Arsip Bulanan: September 2013

Mempelai Zombie yang Hidup – Neil Cole (bagian 3)

  • GEREJA TIDAK TERIKAT DI SATU LOKASI TUNGGAL

Suatu hari yang panas dan kering, Yesus terlibat percakapan menarik dengan perempuan Samaria. Ketika wanita ini menemukan bahwa Yesus sesungguhnya seorang nabi, ia mengajukan pertanyaan yang telah menggelitik pikirannya sepanjang hidupnya: “Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang meyembah.” Kata Yesus kepadanya: “Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” (Yoh 4 : 20-24).  

Kita selalu mengajukan pertanyaan yang salah: Di mana? Selamanya, pertanyaan yang benar adalah – Siapa? Dimana Anda beribadah itu tidak penting dibandingkan siapa yang Anda sembah. Seperti Yesus mengajar perempuan itu (dan juga kita), kenyataannya bukan kita yang pergi dan mencari Allah di suatu tempat khusus; ia telah mencari kita tepat di mana kita berada, bahkan juga di sumur tua di luar desa Samaria.Kita bekerja untuk menciptakan apa yang kita sebut “kebaktian pencarian” tetapi sepanjang Alkitab, kita diberi tahu bahwa “tidak ada seorang pun yang mencari Allah… seorang pun tidak” (Rm 3:11, 12). Kebaktian pencarian yang sejati adalah kebaktian yang berfokus pada Bapa yang mencari para penyembah dalam Roh dan kebenaran. Ia sendirilah “Pencari orang berdosa,” dan kita merupakan kerinduan hati-Nya.

  • GEREJA LEBIH BANYAK DARIPADA KEBAKTIAN SATU JAM YANG DIADAKAN SEKALI SEMINGGU

Satu-satunya saat di mana penyembahan dan kebaktian disatukan dalam Alkitab tidak ada kaitannya dengan sound system, bangku gereja, khotbah atau band penyembahan. Itu merupakan ekspresi kehidupan Kristus dalam diri kita selama dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu. Dalam Roma 12 :1-2, Paulus menulis bahwa kita harus mempersembahkan tubuh kita sebagai bait-Nya. Ia menulis, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.”

Jika Anda membayangkan berapa jumlah sumber daya, energi dan waktu yang diinvestasikan dalam kebaktian yang hanya diadakan sekali seminggu, sungguh luar biasa. Dengan penekanan yang diletakkan pada peristiwa ini, Anda akan mengharapkan ada banyak petunjuk Alkitab untuk memastikan orang-orang menjalankan hal itu tidak ada. Sebaliknya Anda akan menemukan ayat-ayat, pasal, dan seluruh kitab yang berbicara tentang bagaimana kita harus hidup bersama sebagai keluarga rohani. Anda akan menemukan perintah dan petunjuk untuk melayani dan menyembah, tetapi bukan hanya sekali seminggu. Bagaimana mungkin kita sudah menyimpang begitu jauh dari prioritas Alkitab yang murni dan sederhana?

William Law adalah seorang penulis abad ke -18 dan penganut kebatinan dari Inggris yang memberikan dampak bagi pertumbuhan John Wesley dan gerakan penanaman gereja Methodist. Ia melakukan pengamatan ini bertahun-tahun lalu, yang jauh melampaui orang-orang sezamannya, seperti mungkin pada zaman ini: “Tampak jelas bahwa tidak ada satu perintah dalam Injil untuk ibadah bersama; dan mungkin itu adalah tugas yang paling tidak, sedikit ditekankan dalam Alkitab dari yang lainnya. Seringnya kehadiran ke tempat itu tidak pernah disebutkan begitu banyak di sepanjang Perjanjian Baru, sedang agama atau pengabdian yang mengatur tindakan biasa dalam hidup kita bisa ditemukan dalam hampir setiap ayat Alkitab. Juruselamat kita yang diberkati dan rasul-rasul-Nya sepenuhnya dibahas dalam doktrin yang berkaitan dengan kehidupan biasa.”

Saya menemukan banyaknya waktu untuk menjalankan pertunjukan gereja pada hari Minggu pagi telah menanamkan pemahaman tentang gereja yang tidak selalu Alkitabiah dalam pikiran kita. Kita menemukan bahwa hampir mustahil untuk memikirkan gereja tanpa acara kebaktian Minggu pagi, tetapi ini bukanlah norma Alkitab. Ketika membaca tentang kehidupan gereja, kita membaca ide ini ke dalam teks Alkitab. Cobalah membaca Perjanjian Baru dengan kacamata baru. Cobalah membayangkan gereja Perjanjian Baru tanpa kebaktian seminggu sekali. Sesungguhnya, ada banyak bukti bahwa orang percaya berkumpul bersama keluarga gereja setiap hari, bukan seminggu sekali – dan perkumpulan itu lebih banyak berkaitan dengan makan bersama daripada liturgi yang berlagak suci.

Bagaimana kita bisa sampai di satu tempat di mana gereja tidak lebih dari kebaktian satu setengah jam, satu hari dalam seminggu di lokasi tertentu? Saya jamin, dalam pemandangan Kristus, gereja seharusnya lebih daripada itu! Ia tidak membatasi Gereja-Nya pada satu lokasi bangunan atau satu kerangka waktu.

Seorang perempuan muda yang tumbuh dalam gereja relasional kecil di luar negeri sebagai anak perempuan pasangan misionaris, kembali ke AS untuk masuk kuliah. Ia berkata bahwa hari Minggu adalah hari yang paling sepi. Ia dengan setia pergi ke kebaktian gereja setiap hari minggu, tetapi ia kehilangan keluarga rohani yang terjalin akrab yang ia alami dalam bahasa dan budaya lain. Ia telah bergabung dengan ribuan orang lain yang menemukan kebaktian gereja hari Minggu sebagai pengalaman yang asing dan sepi. Orang tuanya sekarang telah kembali ke AS sebagai misionaris ke bangsanya sendiri dengan harapan membawa gereja kembali pada ekspresi keluarga rohani yang sehat.

    Mempelai Zombie yang Hidup – Neil Cole (bagian 2)

    Di bawah ini ada enam ide dasar dari Alkitab tentang gereja yang menyangkal karikatur umum.

    • GEREJA ADALAH ORGANISME HIDUP, BUKAN LEMBAGA STATISTIK

    Seperti Allah menghembuskan kehidupan pada manusia pada awal zaman (Kej. 2:7), Ia juga menghembuskan kehidupan pada gereja-Nya di awal zaman baru (Yoh. 21:21-23; Kis. 2). Gereja itu hidup; ia organik.

    Perintah pertama Allah yang diberikan kepada manusia tidak ada hubungannya dengan buah pohon atau merawat taman. Perintah itu lebih mendasar, telah diulang dan tidak pernah dicabut. Sesungguhnya, orang berdosa yang paling jahat telah menaati perintah ini. Allah berkata, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi” (Kej. 1:28; 9:1,7). Ia telah memberi perintah yang sama kepada gereja (Kis. 1:8).

    Kebanyakan metafora dan penjelasan tentang Kerajaan Allah dan gereja dalam Perjanjian Baru menggunakan konsep alam untuk identifikasi dan deskripsi: tubuh, mempelai, cabang pohon, ladang yang menguning, biji sesawi, keluarga, kawanan domba, ragi, garam dan terang. Ketika Perjanjian Baru menggunakan bangunan sebagai metafora gereja, ayat itu dengan segera menambahkan bahwa bangunan itu terdiri dari batu-batu hidup (1 Ptr. 2:5).

    Kita bisa melakukan jauh lebih baik kalau pemimpin-pemimpin di gereja belajar dari petani daripada belajar dari CEO perusahaan. Sekarang waktunya untuk melihat bahwa gereja dimulai di ladang, bukan di gudang (Ams. 24:27). Kita menghabiskan banyak waktu membangun gudang yang bagus dengan bangku gereja yang dilapisi bantalan yang empuk, gedung ber-AC, dan sound system canggih, namun kita mengabaikan ladang-ladang. Kita sama bodohnya seperti petani yang membangun gudang dan kemudian berdiri di depan pintu memanggil semua tuaian untuk masuk dan membuat diri mereka kerasan. Sekarang waktunya bagi gereja untuk membiarkan tangannya kotor di tanah kehidupan jiwa-jiwa yang terhilang.

    • GEREJA TIDAK HANYA SEBUAH BANGUNAN 

    Sedikitnya empat kali, Alkitab berkata dengan jelas bahwa Allah tidak tinggal di bangunan yang dibuat tangan manusia. Tempat kediaman pertama yang dirancang Allah untuk diri-Nya adalah rumah yang mudah bergerak (tabernakel) karena Ia ingin bergerak bersama umat-Nya. Daud berjuang untuk membangun rumah yang lebih permanen bagi Allah tetapi ia tidak diberi izin. Akhirnya, anak Daud, Salomo membangun bait Allah untuk pertama kalinya. Saat penahbisan, Salomo berdiri dalam bayang-bayang bangunan yang megah itu dan berkata, “Tetapi benarkah Allah hendak diam di atas bumi? sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit pun tidak dapat memuat Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini.” (1 Raj. 8:27).

    Yesaya 66:1 menyatakan dengan jelas: “Beginilah firman TUHAN: Langit adalah tahta-Ku dan bumi adalah tumpuan kaki-Ku; rumah apakah yang akan kamu dirikan bagi-Ku, dan tempat apakah yang akan menjadi perhentian-Ku?”

    Ketika membaca Kisah Para Rasul, kita akan menemukan salah satu adegan paling penting dalam sejarah Kerajaan Allah. Stefanus ditemukan memberitakan Injil kepada sekelompok pemimpin Yahudi di bawah bayang-bayang bait suci lain yang mengagumkan; bait suci ini dibangun Raja Herodes untuk memenuhi tuntutan orang-orang Yahudi. Ia mengutip sebagian besar ayat-ayat Alkitab Perjanjian Lama untuk audiensinya yang penuh perhatian, ketika ia akhirnya berkata, “Tetapi yang Mahatinggi tidak diam dalam apa yang dibuat oleh tangan manusia” (Kis 7 : 48). Ia mengutip kata-kata nabi Yesaya. Ia melanjutkan dengan menyebutkan dalam ayat 51, “Hai orang-orang yang keras kepala dan yang tidak bersunat hati dan telinga, kamu selalu menentang Roh Kudus, sama seperti nenek moyangmu, demikian juga kamu.” Setelah mendengar ini, orang banyak menjadi begitu marah sehingga mereka mengambil batu. Atas seizin Saulus, mereka mengeksekusi Stefanus di sana, di tempat itu juga. Peristiwa ini menjadi awal gerakan yang dirancang Allah untuk membuat gereja-Nya tersebar (desentralisasi) melalui penganiayaan.

    Pada Kisah Para Rasul 17, kita akan menemukan Saulus, yang sekarang disebut Paulus, berkhotbah di depan filsuf Atena, golongan Stoa di Bukit Mars. Mereka adalah audiensi kafir yang tidak mengenal Perjanjian Lama. Pun demikian, dalam bayang-bayang bait suci agung yang masih berdiri sampai saat ini – Parthenon di Akropolis – ia berkata, “Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia, dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan napas dan segala sesuatu kepada semua orang” (Kis 17 : 24-25).

    Yesus tampaknya tidak punya rencana untuk mendirikan bangunan. Suatu hari, Ia berjalan dekat bayang-bayang bait suci Herodes yang indah dan murid-murid menegakkan leher mereka, terpikat oleh keagungan bangunan itu. Mereka berpikir, “Tentu Allah tinggal di sini!” Dalam Markus 13 : 1 kita membaca, “Seorang muridnya berkata : “Guru, lihatlah betapa kokohnya batu-batu itu dan betapa megahnya gedung-gedung itu!” Yesus tidak terkesan. Dalam ayat berikutnya, ia menjawab dengan nubuat yang terkenal, “Kaulihat gedung-gedung yang hebat ini? Tidak satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain, semuanya akan diruntuhkan.” Dan benar, tahun 70, pasukan Roma menghancurkan bait Allah sedemikian rupa sehingga tidak ada satu pun batu yang dibiarkan terletak di atas batu lainnya.

    Perlu dicatat bahwa gereja mula-mula tidak memiliki bangunan selama tiga ratus tahun lebih. Teman saya, Thom Wolf, mengajar para penanam gereja saat ini menempatkan rencana pembangunan tiga ratus tahun kemudian dalam strategi penanaman gereja mereka. Mengutip fakta bahwa gereja tidak memiliki bangunan sampai abad keempat dan berhasil dengan baik, ia menyatakan bahwa fase pertama dari proyek pembangunan muncul setelah menyelesaikan tiga ratus tahun. Mari tempatkan pandangan ini dalam sudut pandang kita. Tiga ratus tahun lalu, musafir mulai muncul di Amerika. Sesuatu berubah dalam pendekatan kita ketika secara sadar kita menunda saran untuk membangun selama paling sedikit tiga ratus tahun. Saya terkesan pada gereja Rick Warren. Meskipun jumlah jemaatnya telah bertumbuh menjadi ribuan, Rick Warren menunggu lima belas tahun sebelum gereja Saddleback membeli tanah dan mulai mendirikan bangunan pertamanya. Bayangkan rencana yang  akan berjalan selama tiga ratus tahun sebelum Anda memulai fase pertama proyek pembangunan, kemudian Anda sungguh-sungguh tidak membutuhkan bangunan sama sekali. Saya menyarankan jika kita bisa membayangkan bagaimana menjalankan gereja tanpa membutuhkan bangunan, kita lebih baik tidak usah membangun gedung.

    Bangunan itu tidak salah atau amoral. Bukan bangunan yang merupakan masalah sesungguhnya. Sayangnya, kita sering memulai fungsi seolah-olah bangunan gereja adalah sumber kehidupan. Meskipun tidak satu pun dari kita mengakui hal ini secara terbuka, kita merasa bahwa kita membutuhkannya, seolah-olah kehidupan kita tergantung pada hal itu. Banyak gereja terus berlanjut lama setelah jiwa di gereja itu pergi karena bangunan itu sendiri membuat mereka terus berjalan. Bangunan bisa menjadi sistem pendukung kehidupan buatan yang menjaga gereja tetap hidup meskipun ia sudah lama mati.

    Tidak sulit untuk membayangkan delapan orang berambut putih yang bertemu setiap hari Minggu di bangunan tua yang harganya jutaan dolar yang bisa menampung ratusan orang. Mereka melanjutkan tugas keimanan gereja dan kemudian pulang ke rumah. Bangunan  itu tetap kosong sepanjang minggu sampai delapan orang yang sama datang lagi… pada waktu yang sama, di tempat yang sama. Adegan ini dimainkan di seluruh AS setiap minggu — di pojok jalan yang berbeda di kota yang berbeda, tetapi bagaiman pun, adegannya sama. 

    Seseorang suatu kali berkata bahwa kita membentuk bangunan kita dan kemudian bangunan itu membentuk kita. Bukan sekadar fakta bahwa bangunan, selain menghambat pertumbuhan kita, ia juga menghambat pemahaman kita tentang Kerajaan Allah. Pikiran dan juga tindakan kita bisa terbelenggu di balik empat tembok yang bernama gedung.

    Sesungguhnya Anda tidak membutuhkan bangunan agar tidak terikat pada pemikiran ini. Sebelum kami memulai AMG, teman dan rekan sekerja saya, Paul Kaak, menceritakan pengalaman ketika berkunjung ke India untuk melihat gerakan penanaman gereja. Dalam usaha menghindari semua jebakan kelembagaan, salah satu gerakan yang ia kunjungi menolak memiliki bangunan sendiri. Sesungguhnya, gereja-gereja menandatangani kontrak yang menyatakan bahwa mereka tidak akan memiliki properti sama sekali. Kalau mereka memilikinya, mereka harus meninggalkan gerakan ini. Ini sangat ekstrem, tetapi saya yakin mereka memulai tradisi ini karena alasan yang benar.

    Namun, kita bisa memiliki pikiran kelembagaan meskipun tanpa tembok, kantor, atau staf. Gereja khusus di India ini sering berkumpul di luar. Jika berkumpul, mereka akan menggelar karpet. Salah seorang pemimpin menceritakan kepada Paul, setelah kebaktian anak-anak selesai, mereka semua berlari-lari dan bermain. Kebetulan, seorang anak berlari melintas permadani di mana mereka berkumpul. Orangtuanya menangkapnya dan dengan tegas memberi tahu dia, “Jangan berlari melintas gereja!” Problem kita bukan pada batu bata dan semen; melainkan pada pikiran kita.    
       
     

    Bukan di Sini atau di Sana, Melainkan di Hati….. (Peter Bambang)



    Kata Yesus kepadanya: “Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.”
    (Yohanes 4:21)

                  “Pernah ibadah di gereja sana?  Wah, kuat lho penyembahannya….”
                “Kalau ingin merasakan hadirat Tuhan dan mengalami mujizat kesembuhan, datang aja ke gereja situ.  Beneran lho, aku sudah merasakannya….”
                “Melihat fasilitas dan kemegahan gedungnya saja itu sudah membuktikan bahwa Tuhan ada dan bekerja di sana.  Jadi pasti tepat dan betul kalau ibadah di sana karena pasti ketemu Tuhan di situ….”
                “Ibadah raya di tempatku luar biasa.  Urapan dan hadirat Tuhan kuat banget.  Nggak kecewa deh kalau beribadah di sana.”
                “Sebisa mungkin sering-sering ikut ke Israel dan tour ke tempat-tempat di sana.  Di Yerusalem atau di Gunung Sinai terasa banget kehadiran Tuhan di sana.  Beda pokoknya dengan di Indonesia.”
                “Cari tempat beribadah itu yang pasti ada Tuhan di sana.  Tandanya waktu kita datang, kita merasa merinding gitu.  Hanya beberapa gereja aja yang bisa buat kau merasa kayak gitu.
               
    Pernahkah Anda mendengar pembicaraan-pembicaraan semacam itu –atau setidaknya semacam ungkapan-ungkapan kalimat di atas? Atau, mungkin Anda termasuk yang pernah dan masih mengatakan hal-hal seperti di atas dalam percakapan-percakapan Anda?  Mungkin Anda berpikir sekarang : apa ada masalah kalau aku berbicara semacam itu?  Atau, kenapa sih kok dipermasalahkan?  Apa ada yang salah kalau mengatakan hal-hal seperti di atas? 
      
    Yang terpenting bukan benar dan salah, saling membenarkan atau saling menyalahkan.  Yang utama adalah apakah pikiran, ucapan perkataan  atau tindakan kita sudah didasarkan pada kebenaran-kebenaran firman Tuhan dan prinsip-prinsip kebenaran sejati yang diajarkan oleh Kristus.
    Yohanes 4:20-21 merupakan kilasan percakapan antara Yesus dan perempuan Samaria di tepi sumur Yakub di wilayah orang-orang Samaria :

    “Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah.”

    Kata Yesus kepadanya: “Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.”

    Perempuan Samaria itu mengatakan bahwa nenek moyangnya (yaitu orang-orang yang menempati Samaria pertama kali -baca 2 Raja-raja 17:24-41), beribadah di gunung ini (kemungkinan besar gunung Gerizim –baca Ulangan 11:29-30) sedangkan ‘kamu’ (yang dimaksud adalah ‘kalian orang-orang Yahudi asli’) beranggapan bahwa penyembahan yang benar dinaikkan di Yerusalem.  Di sini sebenarnya dapat dikatakan bahwa perempuan ini sedang menarik suatu batas pemisah yang kemungkinan besar bermaksud membuat Yesus menjauh dan berhenti dari pembicaraan tersebut atau setidaknya ia sedang menguji apakah reaksi Yesus setelah ia menyampaikan fakta mengenai penyembahan yang berlangsung hingga hari itu.  
    Pastinya, kita mendapatkan informasi dan fakta bahwa penyembahan, dipandang oleh sebagian besar orang pada zaman itu sangat terkait dan tergantung penerimaannya di hadapan Tuhan dengan tempat-tempat atau lokasi-lokasi tertentu.  Artinya, ada tempat dimana penyembahan kita tidak diterima oleh Tuhan dan ada lokasi-lokasi tertentu dimana penyembahan kita akan dikenan oleh Tuhan.  Tepatkah pandangan seperti demikian?

    Inilah tanggapan Yesus : “Percayalah, hai perempuan, saatnya akan tiba, kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.”Wow, sungguh suatu pernyataan yang kuat dan menggoncang!  Apa makna perkataan Kristus ini?  Setidaknya kita dapat menyimpulkan beberapa prinsip rohani yang penting dari perkataan Kristus tersebut :

    1) Penyembahan kepada TUHAN akan dan dapat dilakukan tidak lagi di tempat-tempat sakral tertentu 
    2) Yesus sedang mengatakan bahwa penyembahan bagi setiap orang (siapapun itu baik orang Samaria maupun Yahudi maupun siapapun orangnya) tidak akan lagi dilakukan di tempat-tempat tertentu sesuai kepercayaan nenek moyang mereka, tradisi atau kepercayaan mereka sebelumnya, melainkan ada satu cara yang ditetapkan untuk semua penyembah dari Tuhan yang sejati
    3) Penyembahan yang tidak berkaitan dengan tempat tersebut akan tiba waktunya dan bahkan kemudian ditegaskan oleh Yesus sendiri dalam Yoh. 4:23 bahwa saat-saat itu sudah tiba sekarang yaitu bahwa penyembah-penyembah sejati akan menyembah dengan cara yang tepat seperti diinginkan oleh Allah Bapa.
    4) Tersirat pula bahwa Allah Bapa ingin disembah dengan cara yang ditetapkan-Nya sendiri.  Bukan dengan sekehendak hati menurut cara-cara yang dirancangkan oleh pikiran manusia yang kurang pengenalan akan Tuhan.

    Ketika Yesus datang ke dunia, Ia hendak memulai sesuatu yang baru.  Termasuk memulai suatu bentuk penyembahan yang baru.  Tirai bait suci yang terbelah menjadi dua pada saat kematian-Nya di kayu salib (Mat. 27:51; Mark. 15:38; Luk.23:45) menjadi saksi dan bukti bahwa penyembahan yang baru itu telah dimulai pada saat itu.  Setiap orang –bukan hanya Imam Besar- beroleh kesempatan untuk mendekat ke dalam hadirat Tuhan (yang dilambangkan oleh tabut perjanjian dengan tutup pendamaian di atasnya) dan menyembah dalam keintiman melalui Kristus sebagai perantaranya.  Inilah kasih karunia bagi semua manusia.  Tidak lagi dibatasi tempat, tidak lagi diharuskan melalui ritual-ritual khusus, tidak perlu lagi dilakukan melalui perantaraan manusia atau hamba-hamba Tuhan, bahkan tidak ada cara-cara baku tertentu untuk menyembah Tuhan!  Kita hanya masuk oleh iman kepada darah-Nya yang telah membasuh kita dari segala dosa sehingga kita menjadi layak menghampiri-Nya.Betapa besar kasih dan kerinduan-Nya untuk bersekutu dengan kita!

    Kita adalah penyembah Dia, dimana saja dan kapan saja
                Jadi, dimanakah kita seharusnya menyembah Tuhan?  Dari kebenaran di atas, kita dapat menjawab : dimana saja!  Dia, TUHAN, telah menyediakan diri-Nya untuk ditemui.  Kapan saja dan di mana saja.
           Jika demikian, masihkah kita mempersoalkan dan mencari tempat-tempat tertentu, gereja-gereja tertentu atau acara-acara tertentu untuk merasakan hadirat-Nya? Atau, apakah relevansi fasilitas yang modern dan lengkap di dalam gedung-gedung gereja yang megah atau ruang-ruang pertemuan bertarif sewa mahal demi memantapkan jemaat beribadah kepada Tuhan?  Jika kota yang dianggap keramat seperti Yerusalem tidak lagi menjadi kiblat penyembahan di hadapan Tuhan, akankah segala kemegahan, keindahan atau kelengkapan tempat ibadah hari ini dapat memberikan nilai lebih bagi penyembahan kita di pandangan Tuhan? Dan, bukankah tidak ada bangunan yang pernah didirikan manusia bagi Tuhan di muka bumi ini yang lebih menakjubkan daripada bait suci Salomo namun ketika tidak ada penyembahan sejati lagi di sana  maka segalanya dilenyapkan oleh Tuhan? Atau tidak tahukah Anda sepenggal percakapan antara Yesus dan murid-murid-Nya berikut ini :

    Ketika Yesus keluar dari Bait Allah, seorang murid-Nya berkata kepada-Nya: “Guru, lihatlah betapa kokohnya batu-batu itu dan betapa megahnya gedung-gedung itu!”

    Lalu Yesus berkata kepadanya: “Kaulihat gedung-gedung yang hebat ini? Tidak satu batupun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain, semuanya akan diruntuhkan.” (Mark. 13:1-2)

    Hampir 70 tahun kemudian terjadi demikian : tidak ada satu batupun tertumpuk di atas batu lainnya.  Segalanya runtuh sama sekali, segala kebanggaan dan kekaguman manusia pun hancur lebur.  Pertanyaannya adalah : mengapa tampaknya Tuhan suka meruntuhkan bait-bait yang dibangun demi nama-Nya –sedangkan Anak Manusia sendiri tidak mendirikan satu tembok pun seumur hidup dan pelayanan-Nya di dunia dan tidak satu kata maupun pesan Ia tinggalkan kepada murid-murid-Nya untuk membangun suatu bangunan yang megah untuk tujuan menaikkan penyembahan kepada Bapa?

    Penyembahan kita seharusnya merupakan penyembahan yang tulus bagi Tuhan, yang terpancar dari hati yang memuja dan mencinta, bukan penyembahan yang tampak spektakuler dalam tampilan, sarana, fasilitas maupun tempat.
      
    Diterimakah penyembahan kita jika kita mengedepankan cara-cara kita sendiri dan bukannya penyembahan yang dikehendaki Bapa?
                Sebagian besar orang Kristen (dan ini tidak tendensius atau mengada-ada) meyakini bahwa tempat ibadah yang baik adalah tempat penyembahan yang baik dan diterima oleh Tuhan.  Jika tidak demikian, pastilah orang-orang percaya tidak hanya beribadah di gereja pada hari-hari tertentu belaka namun setiap hari di rumah-rumah mereka!  Masalahnya, ini merupakan cara pandang yang tidak diajarkan oleh Alkitab.  Saya tidak  akan pernah lupa apa yang dikatakan Tuhan kepada Daud ketika Daud bermaksud mendirikan rumah bagi Tuhan :

    “Pergilah, katakanlah kepada hamba-Ku Daud: Beginilah firman TUHAN: Masakan engkau yang mendirikan rumah bagi-Ku untuk Kudiami?

    Aku tidak pernah diam dalam rumah sejak Aku menuntun orang Israel dari Mesir sampai hari ini, tetapi Aku selalu mengembara dalam kemah sebagai kediaman.

    Selama Aku mengembara bersama-sama seluruh orang Israel, pernahkah Aku mengucapkan firman kepada salah seorang hakim orang Israel, yang Kuperintahkan menggembalakan umat-Ku Israel, demikian: Mengapa kamu tidak mendirikan bagi-Ku rumah dari kayu aras?(2 Samuel 7:5-6)

    Tuhan memilih berdiam dalam kemah.  Dia tidak menentukan maupun memiliki tempat khusus yang dipilih-Nya di bumi dimana Dia harus disembah.  Ketika Ia menyetujui untuk berdiam dalam rumah yang didirikan Salomo dengan prakarsa Daud, Ia menghargai kerinduan Daud yang bermaksud memberikan yang terbaik bagi Tuhan.  Namun, mengingat betapa mudah manusia teralih perhatiannya kepada sesuatu yang lain daripada kepada Tuhan sehingga berubah setia kepada-Nya maka TUHAN memberikan peringatan kepada Salomo :

    “Tetapi jika kamu ini dan anak-anakmu berbalik dari pada-Ku dan tidak berpegang pada segala perintah dan ketetapan-Ku yang telah Kuberikan kepadamu, dan pergi beribadah kepada allah lain dan sujud menyembah kepadanya, maka Aku akan melenyapkan orang Israel dari atas tanah yang telah Kuberikan kepada mereka, dan rumah yang telah Kukuduskan bagi nama-Ku itu, akan Kubuang dari hadapan-Ku, maka Israel akan menjadi kiasan dan sindiran di antara segala bangsa. Dan rumah ini akan menjadi reruntuhan, sehingga setiap orang yang lewat akan tertegun, bersuit, dan berkata: Apakah sebabnya TUHAN berbuat yang demikian kepada negeri ini dan kepada rumah ini? Maka orang akan berkata: Sebab mereka meninggalkan TUHAN, Allah mereka, yang membawa nenek moyang mereka keluar dari tanah Mesir dan sebab mereka berpegang pada allah lain dan sujud menyembah kepadanya dan beribadah kepadanya. Itulah sebabnya TUHAN mendatangkan segala malapetaka ini ke atas mereka.” (1 Raja-raja 9:6-9, cetak tebal oleh penulis)

    Jadi, manakah yang lebih penting : tempat di mana kita beribadah atauhati kita yang beribadah kepada Tuhan?  Manakah yang diterima Tuhan : penyembahan yang dilakukan di tempat yang dikatakan dimana ada hadirat Tuhan di situ ataupenyembahan yang dinaikkan dari hati terdalam dimana dikatakan oleh Tuhan sendiri dalam firman-Nya bahwa Ia diam di sana? Saya sungguh berdoa agar Anda datang dalam kejujuran dan ketulusan di hadapan Tuhan.  Di dalam kejujuran itu, Anda telah mengetahui jawaban mana yang benar.

    Renungan dalam doa: Tuhan ampuni aku karena ketidaktahuanku bahwa Engkau mencari di dalam hati bukan di antara bangunan dan gedung-gedung yang indah. Ampuni kebebalan hatiku yang memaksakan kepada-Mu untuk menerima penyembahanku dengan apa yang dapat kukerjakan dan kubawa dengan kebanggaan pribadiku di hadapan-Mu. Engkau mencari ketulusan di dalam batin, ya Tuhan. Bukan peragaan kesalehan dan praktek-praktek ritual. Kini perbaharui hatiku dan berikanlah kekuatan untuk mengubah pikiranku seturut kehendak dan firman-Mu. Di dalam nama-Mu, Yesus Kristus, aku berserah. Amin.