Arsip Bulanan: April 2018

MENYELESAIKAN PEKERJAAN BAPA

Oleh: Peter B, MA


Kata Yesus kepada mereka: “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. (Yohanes 4:34)
Jika kita renungkan, adalah suatu fakta bahwa setiap benda ataupun sesuatu yang dihasilkan atau dibuat oleh tangan manusia memiliki nilai tujuan. Sebutkan benda apa saja, dan kita dapat menyebutkan pula tujuan keberadaan benda tersebut. Mungkin saja ada benda yang semula kita tidak mengerti apa kegunaannya, tetapi jika sang pembuat benda tersebut yang ditanya, maka ia pun akan memberikan tujuan atau manfaat dari benda tersebut. Hampir sulit kita temui suatu benda di dunia ini yang tidak memiliki kegunaan atau tujuan tertentu dalam keberadaannya. Dengan begitu dapat dengan mudah kita menyimpulkan bahwa setiap benda di dunia ini memiliki tujuan tertentu. Benda yang tidak memiliki kegunaan atau tujuan tertentu dalam keberadaannya dapat digolongkan sebagai sesuatu yang tidak memiliki nilai atau arti penting. Benda yang tidak dapat dipakai lagi atau tidak dapat membawa manfaat lagi hanya layak untuk satu perlakuan: dibuang.
Itu dapat disamakan dengan apa yang kita sebut sebagai sampah. Dan memang definisi dari sampah adalah barang yang tak berguna atau tak berharga.
Setiap kali kita melihat atau mendapati suatu barang dan masih menemukan kegunaannya, kita tidak akan membuangnya, bukan? Dan demikian sebaliknya, jika kita merasa suatu barang sudah tidak memberi manfaat lagi paling tidak bagi kita maka kita akan membuangnya. Benda yang tidak memiliki tujuan dalam keberadaannya pasti cepat atau lambat akan disingkirkan atau didaur ulang jika bisa. Hingga di sini kita dapat belajar bahwa tujuan atau manfaat keberadaan suatu benda sangat menentukan nilainya. Jika benda itu membawa banyak keuntungan serta multifungsi, itu pasti memilik nilai tertentu bahkan mungkin saja harga yang mahal. Dan sebaliknya, jika benda itu membawa keuntungan yang sedikit saja, ia akan dinilai rendah. Demikian garis besarnya.
Mungkin Anda bertanya-tanya mengapa kita membicarakan begitu panjang lebar mengenai kegunaan benda-benda hingga ke topik mengenai sampah. Ya, uraian di atas hanyalah pengantar untuk renungan kita kali ini. Dalam edisi lalu kita mengetahui bahwa apa yang dianggap sebagai ‘makanan yang tidak kamu kenal’ (makanan rohani) oleh Yesus ialah 2 perkara yaitu melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan Bapa. sebelumnya kita telah membahas mengenai betapa penting dan berartinya kehendak Bapa dalam kehidupan Yesus, Itulah kebutuhan pokokNya, kebutuhan hidupNya yang paling vital bagi kerohanianNya. Tetapi itu hanya setengah dari apa yang disebut ‘makanan lain’ ini. Hal kedua yang tidak kalah pentingnya dengan melakukan kehendak Bapa adalah menyelesaikan pekerjaan Bapa. Bagi Yesus, tidak ada hal lain yang lebih penting dalam hidupnya selain kedua hal ini. Dan kita akan membahas hal kedua mengenai kebutuhan pokok dan kegemaran dari para penyembah sejati ini. Mari kita mulai.
Jika setiap benda yang diproduksi oleh manusia memiliki kegunaan, pastilah Sang Pencipta Agung itu jauh lebih bijaksana. Tuhan tidak pernah salah mencipta. Ia tidak pernah mengalami kegagalan produksi atau menggunakan formula yang salah sehingga apa yang hendak diciptakannya itu tidak jadi atau setengah jadi. Alkitab memberitahukan kita bahwa semua ciptaanNya itu baik adanya. Dan setelah ciptaanNya yang disebut manusia di tambahkan ke dalam seluruh ciptaanNya, Allah memandang segala yang diciptakanNya itu sungguh amat baik (Kejadian 1:31). Itu berarti bahwa ciptaan Allah tidak hanya sekedar baik, indah, luarbiasa atau dahsyat tetapi juga sempurna.
Dalam kesempurnaan ciptaanNya itu, tentu saja terkandung nilai tujuan di dalamnya. Allah menciptakan manusia bukan untuk menjadi suatu barang yang tidak berguna atau tidak bertujuan. Justru tujuan Allah di dalam penciptaan manusia adalah tujuan yang terbaik. Tujuan keberadaan setiap manusia yang dilahirkan di muka bumi adalah mulia. Jika ada manusia yang merasa tidak memiliki tujuan hidup atau tidak merasa memerlukan suatu tujuan hidup, ia adalah makhluk yang mengingkari kodratnya. Manusia , sepanjang umur hidupnya di dunia di maksudkan untuk suatu tujuan khusus yang ditetapkan oleh Pembuatnya sendiri, Allah.
Sayangnya, karena kejatuhan manusia sejak Adam ditambahkan program-program penghancuran hakikat penciptaan manusia oleh iblis, maka telah begitu banyak manusia yang pernah ada di setiap generasi bumi ini menyimpang dari tujuan hidupnya. Ada kumpulan manusia yang sama sekali tidak membawa kegunaan bagi Tuhan, manusia lain ataupun seisi bumi. Mereka hanya dapat merusak dan merusak saja. Ini penyimpangan yang sangat menyedihkan. Tetapi ada juga yang tidak kalah buruknya – kelompok manusia yang mungkin saja mereka membawa manfaat bagi manusia lain atau isi dunia ini, tetapi tujuan mereka tidak selaras lagi dengan tujuan Penciptanya. Inipun penyimpangan yang sangat tragis karena jika dipersamakan dengan benda manusia demikian sudah tidak berguna lagi bagi Penciptanya. Jika Sang Pencipta merasa ia tidak berguna, maka dengan mudah Ia dapat…. (sungguh ngeri memikirkannya saja!)
Efesus 2:10 menerangkan kepada kita bahwa “kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.” Hal itu menunjukkan sesuatu yang penting: setiap kita diciptakan Tuhan untuk suatu pekerjaan atau tugas khusus dan Tuhan mau kita hidup di dalamnya! Mengapa Tuhan mau demikian? Kembali ke contoh di atas. Jika kita diciptakan untuk suatu tujuan khusus yang telah ditetapkan Tuhan sebelumnya, dan ternyata kita tidak hidup menurut tujuan itu maka tentu saja kita akan menjadi seperti benda yang tidak tepat guna, salah guna bahkan mungkin bisa saja tidak berguna lagi keberadaannya! Ini berarti bahwa untuk mencapai potensi maksimal dari keberadaan kita sebagai manusia di dunia ini, maka tidak dapat tidak – kita harus hidup di dalam tujuan yang sempurna, yang telah ditetapkan Tuhan dalam hidup kita dan kemudian menyelesaikan pekerjaan yang sesuai dengan tujuanNya itu.
Keberadaan serta apa yang dikerjakan oleh Yesus di dunia 2000 tahun yang lalu adalah karena satu tujuan. Itulah sebabnya, salah satu hal yang paling utama dan vital dalam hidupNya adalah menyelesaikan pekerjaan BapaNya. Tanpa melakukan hal itu, keberadaan Yesus di duna ini menjadi tidak berguna lagi. Tanpa hidup dalam tujuan Bapa serta menyelesaikan pekerjaanNya, sia-sialah Ia datang ke dunia ini. Inilah teladan yang sempurna dari manusia yang sempurna bagi kita di masa sekarang ini.
Saudara-saudara kekasih, sebagai penyembah sejati, kita tidak dapat menawar lebih rendah daripada itu. Prinsip demikianlah yang harus kita ambil dan jadikan bagian dalam hidup kita di dunia ini. Tidak ada hal yang lebih berharga, perkara yang lebih mulia, urusan yang lebih utama dalam hidup kita yang singkat di dunia ini selain hidup di dalam rencana tujuan Bapa serta menyelesaikan tugas pekerjaan yang Ia berikan bagi kita. Tidak ada usaha lain yang lebih layak kita perjuangkan daripada hal itu. Itulah kebutuhan utama hidup kita. Itulah kegemaran kita. Itulah yang membuat hidup kita bergairah selama menjalani kehidupan dunia yang gersang ini.
Pertanyaan-pertanyaan ini patut kita renungkan: adakah kehendak Allah serta menyelesaikan pekerjaanNya merupakan prioritas hidup kita? Apakah yang membuat kita tetap bertahan hidup dan bergairah selama di dunia ini: hal-hal duniawi ataukah urusan surgawi? Kita yang mengaku pengikut Kristus dan rindu menjadi penyembah sejati harus mengikuti teladanNya. Kita harus mendahulukan kehendakNya serta memiliki hasrat yang tidak pernah padam untuk menyelesaikan pekerjaan yang telah ditetapkan Bapa pada kita. Biarlah di akhir hidup yang singkat ini kita dapat berkata seperti Yesus: “Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepadaKu untuk melakukannya (Yohanes 17:4). Amin.
(Diambil dari warta Worship Center edisi 12 – 29 Maret 2002)

SUKA MELAKUKAN KEHENDAKNYA

Oleh: Peter B, MA


Sementara itu murid-murid-Nya mengajak Dia, katanya: “Rabi, makanlah.” Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: “Pada-Ku ada makanan yang tidak kamu kenal.” Maka murid-murid itu berkata seorang kepada yang lain: “Adakah orang yang telah membawa sesuatu kepada-Nya untuk dimakan?” Kata Yesus kepada mereka: “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku” (Yohanes 4:31-34)
Di masa kekristenan begitu marak dengan berbagai bentuk pelayanan disertai suatu hembusan segar dari terobosan di bidang pujian dan penyembahan, tidaklah mengherankan ada suatu kegairahan baru dalam beribadah kepada Tuhan. sebagai suatu organisasi yang bergerak di bidang penyembahan, kita dipanggil Tuhan untuk mendalami akan makna, pengertian mendalam bahkan esensi atau inti dari penyembahan itu sendiri. Ketidaktahuan mengenai apa yang dimaksud penyembahan sejati kepada Tuhan didalam Kristus Yesus telah membawa banyak orang Kristen dari zaman ke zaman ke dalam suatu kondisi yang menyedihkan dan penuh dengan kesesatan.
Seperti dikatakan di atas, dengan adanya era baru dalam bentuk-bentuk ibadah kita, maka tidak sedikit pula di antara orang-orang Kristen yang mengaku sebagai para penyembah. Masalahnya adalah suatu sikap atau tanda bagaimanakah yang kemudian menjadi ukuran bagi kita sehingga kita tahu apakah kita termasuk seorang penyembah (sejati) atau tidak. Beberapa orang berkata bahwa dengan menjadi orang Kristen secara otomatis kita menjadi seorang penyembah. Benarkah demikian? Bagaimana dengan mereka yang merasa menjadi penyembah karena telah menunaikan kewajiban agama mereka di hari Minggu? Atau bagaimana pula dengan mereka yang merasa pantas menyandang gelar seorang penyembah karena pelayanan mereka di dalam bidang ‘praise and worship? Atau mungkin seperti konsep yang pernah ada di benak saya dahulu yang saya percaya juga ada di benak beberapa orang yaitu bahwa karena saya suka menyanyikan lagu pujian berirama lambat (yang sering kita sebut lagu penyembahan); maka karena itulah saya menganggap bahwa saya seorang penyembah. Demikian banyak pendapat. Manakah yang dapat kita jadikan pegangan? Darimanakah kita tahu bahwa kita ini penyembah sejati atau bukan?
Sebelum masuk lebih dalam lagi membahas mengenai karakter yang membedakan seorang penyembah dengan bukan penyembah, kita akan merenungkan nats di atas. Yesus berkata, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia (Bapa) yang mengutus Aku…” (Yohanes 4:34). Ini merupakan jawaban atas kebingungan murid-murid saat mereka menawarkan roti dan Yesus menjawab bahwa ada padaNya roti yang tidak mereka kenal. Apa maksud dari semuanya ini? Yesus ingin mengajarkan pada murid-muridNya bahwa sebagai manusia rohani ada perkara lain yang fungsinya sama seperti makanan untuk tubuh. Tetapi makanan yang satu ini adalah untuk kepentingan rohani. Dan makanan itu bernama: “melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan Bapa”!
Saudaraku, Yesus menggambarkan tindakan ‘melakukan kehendak BapaNya’ seperti halnya makanan. Untuk mengetahui maksud terdalam dari perkataan Yesus ini, kita perlu menyelidiki apa sesungguhnya yang disebut ‘makanan’ itu. Menurut Ensiklopedia, ‘makanan’ adalah apa saja yang di makan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik sepeti pertumbuhan, memelihara seluruh proses tubuh, menyediakan tenaga bagi pemeliharaan suhu serta aktivitas tubuh; dan juga untuk memuaskan selera makan kita. Demikianlah apa yang dimaksud sebagai ‘makanan’. Dari keterangan tadi kita menjadi tahu bahwa makanan mencakup dua hal: (1) Kebutuhan hidup dan (2) Kegemaran/kesukaan bagi tubuh kita. Dan seperti itu pulalah Yesus memandang kehendak BapaNya. Bagi Yesus, melakukan kehendak Bapa adalah suatu kebutuhan pokok dan suatu kesenangan hidup. Benarkah demikian? Bagaimana kita tahu pikiran Yesus?
Mari melihat lebih seksama. Yesus berkata, “Makanan-Ku…” (penekanan pada kata ‘Makanan’). Kata ‘makanan’ menunjukkan akan ketergantunganNya serta betapa Ia membutuhkan untuk hidup dalam kehendak BapaNya. Tidak melakukan kehendak Bapa dapat disamakan dengan berhenti untuk makan. Yesus sangat bergantung kehidupan rohaninya akan makanan rohani ini: Ia tidak dapat hidup tanpa melakukan kehendak BapaNya. Dan berikutnya, kita tahu bahwa bagi Yesus ‘melakukan kehendak Bapa’ adalah kesenanganNya dari kata-kata yang sama dengan penekanan yang berbeda. Bacalah sekali lagi kata-kata Yesus, “Makanan-Ku…’(penekanan pada kata “Ku”). Mengapa satu kata kecil itu begitu penting? Ya, itu penting karena Yesus menegaskan bahwa melakukan kehendak Bapa adalah makananNya, makanan yang dipilihNya untuk di makanNya setiap hari. Saudaraku, tidak ada orang yang memilih makanan yang kemudian dijadikan sebagai makanannya sesuatu yang tidak enak untuknya. Kita memilih suatu makanan untuk menjadi ‘makanan kita’ atau ‘makananku’ karena kita merasa makanan itu enak dan kita suka untuk memakannya. Jadi, melakukan kehendak Bapa adalah kebutuhan utama dan suatu kegemaran bagi Yesus! Bukankah demikian?
Dari uraian di atas kita mengetahui sesuatu. Yesus memberitahukan kepada kita salah satu pelajaran paling penting mengenai penyembahan. Sebagai teladan dari penyembahan yang sejati, Yesus menunjukkan kepada kita apa arti sesungguhnya menjadi seorang penyembah sejati itu. Seorang penyembah sejati hidup dan bertahan hidup dari suatu makanan yang disebut ‘melakukan kehendak Bapa’. Tidak ada keharusan yang lebih besar dan kesenangan yang lebih kuat di dalam hati dan hidup para penyembah sejati selain melakukan kehendak Allah (dan menyelesaikan pekerjaanNya: ini akan kita bahas minggu depan) Inilah sesungguhnya perbedaan hakiki antara seorang penyembah sejati dengan mereka yang hanya mengaku sebagai penyembah adalah bahwa PENYEMBAH SEJATI HIDUP UNTUK MELAKUKAN KEHENDAK ALLAH DAN MEREKA MENYUKAINYA!
Bukti nyata dari kehidupan Kristen dalam hal ini adalah doa penyerahanNya di Getsemani; beberapa jam sebelum penyalibanNya. Di sana tiga kali Ia berseru, “Ya Bapa jikalau boleh kiranya cawan ini lalu daripadaKu. Tetapi bukan kehendakKu, melainkan kehendakMu yang jadi.” Orang-orang yang berhati tidak lurus meninggikan tanduknya dan mulai menuduh Yesus, “Hey kedengarannya seperti Ia keberatan? Apakah Ia sedang menawar kehendak Bapa? Benarkah Ia suka melakukan kehendak BapaNya?” Bukan demikian. Jelas bukan demikian sama sekali. Jika kita tahu benar penderitaan yang akan dialami Kristus, kita tidak akan berkata demikian. Perkataan supaya ‘cawan itu berlalu’ menunjukkan kepada kita bahwa Kristus menanggung penderitaan dalam rupa seorang manusia biasa tidak ada rekayasa atau pengurangan rasa sakit karena sifat keillahianNya, semua penderitaan itu nyata, dirasakanNya secara penuh dalam keadaan sadar. Sesungguhnya, jika kita mengerti benar apa yang disebut penyaliban itu, percayalah tidak ada seorang manusiapun di dunia ini yang dapat berdiri tegak dan tidak gemetar. Itu adalah salah satu bentuk kematian terburuk yang pernah ada di pikiran manusia!
Para pembaca terkasih, mari renungkan jawaban apa kiranya yang keluar dari mulut kita saat kita ditanya, “Maukah engkau melakukan kehendakNya? Apakah engkau suka melakukannya?” Jawaban kita menentukan penyembahan kita. Tanggapan kita menyatakan status kita, siapa diri kita di hadapan Tuhan. Tuhan mencari penyembah-penyembah sejati. Seperti Daud; yang berkata, “Aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku; TauratMu ada dalam dadaku.” (Mazmur 40:9). “Bapa, kami rindu menyembahMu dalam kesejatian seperti hambaMu Daud serta menyerupai AnakMu, Yesus. Betapa hati kami rindu penyembahan kami menyenangkan Engkau. Sebab itu, ya Tuhan, berikan kepada kami hati yang rela untuk hidup dalam kehendakMu dan menjadi penyembahMu. Amin.”
(Diambil dari warta Worship Center edisi 11 – 22 Maret 2002)

HIDUP MASA MUDA YANG MURNI KARENA MELAKUKAN FIRMAN

Oleh : Peter B, MA
Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu.
~ Mazmur 119:9 (TB)
Dengan apa gerangan orang muda akan memeliharakan jalannya suci dari pada salah? Jikalau dipatutkannya dengan firman-Mu.
~ Mazmur 119:9 (TL)
How can a young person maintain a pure life? By guarding it according to your instructions!
Mazmur 119:9 (NET)
Mazmur 119:9 merupakan pesan bagi para pemuda dan pemudi. Tapi tidak hanya itu. Tersirat di dalamnya pesan bagi para orang tua atau mereka yang telah melampaui usia muda. Dalam nats ini, kita diberitahu bahwa :
Tuhan menghendaki orang-orang muda hidup dalam suatu cara hidup yang benar, bersih, suci dan murni.
Dunia memandang masa muda sebagai saat-saat terbaik untuk diisi dan dihabiskan dengan mengecap berbagai pengalaman, menikmati berbagai kesempatan, bahkan memuaskan hawa nafsu. “Hidup cuma sekali”, “Kalau tidak selagi muda, kapan lagi, “Nikmatilah masa mudamu sebab itu takkan terulang kembali” dan berbagai jargon lainnya merupakan pemikiran-pemikiran yang ditanamkan dan diikuti anak-anak muda ketika mereka menghadapkan pandangan kepada dunia sekeliling mereka.
Berbeda dengan cara dunia memandang, kesucian adalah sesuatu yang Tuhan ingin kita usahakan selagi muda. Ia menginginkan sesuatu yang sejatinya lebih tinggi dan lebih bermutu daripada sekedar menghabiskan waktu bersenang-senang saja. Ini bukan berarti menghalangi keceriaan dari sebuah masa muda tetapi dalam sejatinya, dalam kemudaan itu, ada kegembiraan yang lebih bermakna sewaktu dijalani dengan melakukan kehendak-Nya.
Mengenai anak-anak muda, Tuhan memberikan beberapa peringatan dan petunjuk :
Bersukarialah, hai pemuda, dalam kemudaanmu, biarlah hatimu bersuka pada masa mudamu, dan turutilah keinginan hatimu dan pandangan matamu, tetapi ketahuilah bahwa karena segala hal ini Allah akan membawa engkau ke pengadilan!
Buanglah kesedihan dari hatimu dan jauhkanlah penderitaan dari tubuhmu, karena kemudaan dan fajar hidup adalah kesia-siaan.
~ Pengkhotbah 11:9-10 (TB)
Ada pertanggungjawaban yang akan Tuhan mintakan terkait masa muda kita, mengenai dengan cara apa seseorang menghabiskan masa mudanya? Selagi semua yang di sekitar mencoba menghanyutkannya dalam suatu gaya hidup mengejar berbagai kesenangan dan sekedar mengikuti keinginan hati, anak-anak muda diingatkan bahwa Tuhan mencatat dan akan menghakimi setiap perbuatan di masa muda seseorang. Tersirat pesan jika Tuhan tak berkenan pada masa remaja yang diisi dengan sesuatu yang membawa kepada kesalahan dan dosa dan yang berujung pada penghukuman!
Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kaukatakan: “Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!”
~ Pengkhotbah 12:1 (TB)
Masa muda adalah masa awal dimana seseorang berkenalan dan mengingat penciptanya. Masa yang baik dimana selagi masih kuat dan segar, menggunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk mengenal Yang Memberi Hidup, Yang Mahakuasa, dan Yang Mahakudus. Masa dimana perjalanan jiwa selama di dunia hendak dimulai, dimana sudah selayaknya jalan yang dipilih ialah jalan kebenaran sejati, yang menuntun pada kebahagiaan dan keselamatan jiwa kelak.
Sebab itu jauhilah nafsu orang muda, kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan damai bersama-sama dengan mereka yang berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni.
~ 2 Timotius 2:22 (TB)
Pada Timotius yang muda, Rasul Paulus justru memanggilnya menjauhi nafsu orang muda. Sejajar dengan Mazmur 119:9, ada suatu gaya hidup yang seharusnya ditempuh anak-anak muda dari umat pilihan Tuhan, yang telah ditebus dengan darah yang mahal itu. Cara hidup itu ialah hidup di dalam keadilan, kesetiaan, kasih, damai dan kemurnian hati. Inilah panggilan yang mulia bagi orang-orang muda. Yang menjadikan masa mudanya tak sia-sia.
Suatu kehidupan yang murni di masa muda menjamin suatu generasi ilahi yang penuh kemenangan dalam hidup dan menggenapi rencana Tuhan
Secara keliru, tidak sedikit yang berpikir bahwa hidup yang saleh dan rohani itu hanya bagi orang-orang tua, yang telah lanjut usianya. Sayangnya, ini lebih merupakan kebodohan daripada kebijaksanaan. Sebab, siapakah yang tahu seberapa lama ia akan hidup? Bukankah tak setiap orang sempat mengalami masa tua? Dan tidakkah menyerahkan sisa-sisa tenaga, daya dan usaha dari hidup kita kepada Tuhan yang memanggil kita sejak muda merupakan bentuk kekurangajaran yang besar di hadapan-Nya?
Tuhan merindukan generasi demi generasi yang mewarisi perjanjian-Nya dan menjadi alat bagi kemuliaan-Nya di muka bumi. Umat Israel yang keluar dari Mesir menghabiskan masa mudanya sebagai budak. Mereka tidak mau keluar dari karakter dan mental perbudakan yang mencengkeram jiwa mereka. Akibatnya, mereka menghujat Tuhan dan menolak rencana-Nya atas mereka. Maka binasalah mereka di padang gurun sepanjang pengembaraan selama empat puluh tahun. Berbeda dengan generasi yang masuk Kanaan dan mewarisi Tanah Perjanjian itu. Mereka dididik sendiri oleh Musa, Yosua dan Kaleb. Maka tampillah suatu umat yang juga merupakan suatu balatentara, pasukan besar yang siap melaksanakan kehendak dan strategi Tuhan apapun yang Tuhan perintahkan demi mewarisi Tanah Perjanjian. Betapa berbedanya!
Generasi muda yang dididik dalam jalan Tuhan akan mewujudkan suatu era yang membawa kemuliaan bagi Tuhan. Kehendak Tuhan dicari dan dilaksanakan. Rencana Tuhan digenapi. Kemenangan dan terobosan terjadi. Warisan rohani dan jasmani pun dimiliki. Terkait masa-masa di depan mereka inilah sebabnya Tuhan ingin orang-orang muda hidup dalam jalan-jalan-Nya.
Jika saja, setiap keluarga membesarkan anak-anak mereka dalam takut akan Tuhan dan seandainya saja setiap orang tua melakukan tugasnya membimbing putra dan putri remaja mereka di jalan Tuhan pastilah Tuhan mempunyai umat yang kian teguh, yang akan bangkit dan menjadi terang bagi dunia yang tersesat ini!
Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.
~ Amsal 22:6 (TB)
Hanya dengan belajar menerapkan firman Tuhan, seorang muda dapat menjaga hidupnya murni seturut kehendak Tuhan
Kehidupan yang murni dan berkenan di mata Tuhan hanya mungkin ketika itu dipadankan dengan kebenaran firman. Pendidikan moral dan budi pekerti atau kelas-kelas pengembangan diri mungkin mampu meningkatkan kualitas pikir dan mental seorang anak, tetapi roh takut akan Tuhan tak terlahirkan di sana. Begitupun ajaran tradisi leluhur beserta nilai-nilai kebajikan yang meski coba ditanamkan, masih belum mampu melampaui standard kebenaran firman.
Di dalam firmanlah, jiwa-jiwa belia ini diperkenalkan pada Allah sejati, pada penggembala dan pemimpin kehidupan, pada Bapa mereka yang akan menjadi tempat mereka berpaut dan berharap di masa-masa selanjutnya di kehidupan mereka. Dan Allah yang mengasihi dan berjanji memeliharakan hidup mereka tidak akan pernah mengecewakan. Teladan-teladan hidup terbaik dan terindah dalam kitab suci merupakan kisah-kisah dari pribadi-pribadi yang sejak muda, seperti Yusuf dan Daud, yang menjalin hubungan dengan Tuhan dan menjalani hidup yang taat pada petunjuk-petunjuk Tuhan. Hanya dengan berjalan mengikuti tuntunan hidup sejati, seseorang meraih keberhasilan di hadapan manusia dan Tuhan sejak waktu remajanya.
Jika merupakan perintah dan isi hati Tuhan supaya setiap orang muda memiliki suatu kehidupan yang benar sejak pikiran mereka mulai memasuki tahap menuju kepenuhan kodrat seorang manusia, maka bukankah merupakan tanggung jawab dan panggilan setiap orang tua untuk menjadi pengajar dan teladan dari suatu kehidupan yang berpedoman firman Tuhan? Dari mana seorang anak yang kemudian menjadi pemuda mengetahui firman jika tiada yang memberitahukannya pada mereka? Tidakkah ini merupakan amanat bagi orang-orang yang lebih dewasa untuk menyaksikan dan menunjukkan bahwa hidup di dalam Tuhan itu indah dan berharga?
Orang benar yang bersih kelakuannya — berbahagialah keturunannya.
~ Amsal 20:7 (TB)
Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah.
Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda.
Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang.
~ Mazmur 127:3-5 (TB)
Tuhan telah memberikan kunci lahirnya keturunan demi keturunan orang-orang benar, suatu rahasia bagi munculnya suatu generasi yang kuat dan perkasa. Dalam hidup seturut hukum dan ketetapan Tuhan, ada suatu kehidupan yang tidak sia-sia. apa yang ditabur di masa muda akan dituai di tahun-tahun berikutnya. Siapa yang menabur kemurnian dan kesucian akan menuai kehormatan dan kebaikan di dunia yang sekarang, serta kemuliaan di dunia yang akan datang (Amsal 10:9; 23:17-18; 24:13-14).
Hai orang muda, sudahkah hidupmu bersih dan murni di hadapan Pencipta dan penebus hidupmu?
Akankah engkau mempertanggungjawabkan setiap perkara sia-sia yang Engkau kerjakan atau menerima kemuliaan dan upah abadi karena engkau mengejar kehidupan yang memuliakan Dia?
Selagi masih muda dan waktu ada, tentukan pilihanmu!
Salam revival
Indonesia penuh kemuliaan Tuhan

MAKANAN YANG TIDAK DIKENAL

Oleh: Peter B, MA

Sementara itu murid-murid-Nya mengajak Dia, katanya: “Rabi, makanlah.” Akan tetapi ia berkata kepada mereka: “Pada-Ku ada makanan yang tidak kamu kenal.” ( Yohanes 4:31-32)
Kebudayaan. Apa yang Anda pikirkan setelah mendengar kata-kata tersebut. Mungkin aja di pikiran kita muncul kata-kata lain seperti tradisi, kebiasaan, adat istiadat dan sebagainya. Memang tidak terlalu salah. Semuanya itu memang termasuk unsur-unsur kebudayaan. Dan tentunya kita semua setuju bahwa kebudayaan itu beraneka ragam macamnya. Setiap bangsa mempunyai budayanya sendiri. Setiap suku bangsa memiliki adat istiadatnya masing-masing. Bahkan lebih kecil dari itu, setiap keluarga mungkin saja mempunyai gaya hidup dan tata cara tersendiri.
Karena macam ragamnya kebudayaan itu, tak pelak lagi hal itu akan menimbulkan adanya berbagai bentuk perbedaan. Antara bangsa yang satu akan berbeda dengan bangsa lain. Setiap suku yang satu pasti memiliki perbedaan-perbedaan dengan suku yang lain. Setiap ras yang satu akan kontras dengan ras yang lain. Termasuk di dalamnya adalah perbedaan pola pikir atau cara pandang terhadap sesuatu hal.
Di dalam setiap kebudayaan, suku terdekat sekalipun bisa saja memang mempunyai lebih banyak kesamaan daripada suku yang lebih jauh tempatnya. Tetapi di antara suku-suku terdekat pasti itu saja tetap akan didapati perbedaan-perbedaan. Tetapi seringkali menjadi fakta bahwa semakin jauh letak dari suatu kelompok atau suku bangsa maka semakin jauh pula perbedaannya dalam segala hal. Ambil contoh suku Dhani di Irian Jaya pastilah sangat jauh berbeda dengan suku Eskimo di kutub.
Jika di amati, perbedaan-perbedaan itu meliputi banyak hal bahkan dalam sendi-sendi terdasar kehidupan mereka. Misalnya, saja dalam bentuk cara berpakaian. Beberapa suku berpakaian sangat tertutup tetapi suku lain begitu terbuka dalam berpakaian. Juga mengenai cara makan maupun bangunan rumahnya. Tradisi tertentu hanya membolehkan satu istri untuk seorang laki-laki tetapi di banyak tradisi memiliki banyak istri atau selir dapat merupakan suatu kebanggaan. Perbedaan yang cukup mengejutkan mungkin saja berkaitan dengan hal makanan, yaitu perbedaan dari apa yang di makan. Kelompok suku yang telah modern membatasi dirinya makan sayur-sayuran dan daging ternak, tetapi suku-suku yang masih primitif bahkan merasa enak mengkonsumsi daging manusia!
Dari manakah sesungguhnya segala perbedaan ini dimulai? Alkitab memberitahukan kita bahwa pangkal mula segala keragaman itu adalah saat Tuhan mengacaukan bahasa manusia di peristiwa menara Babel (Kejadian 11). Kekacauan bahasa berlanjut pada pengelompokan manusia yang berbahasa sama yang pada akhirnya mereka membentuk budaya mereka sendiri di wilayah mereka sendiri pula.
Tetapi sebenarnya ada yang lebih mengerikan daripada perbedaan budaya di antara ras, suku atau golongan-golongan manusia. Itulah perbedaan antara pola pikir Tuhan dan manusia. Pada mulanya, manusia hidup dalam suatu ‘budaya’ yang sama dengan Tuhan. Konsep-konsep mereka sama dengan apa yang ditetapkan oleh Tuhan. Tetapi karena kejatuhan mereka dalam kuasa dosa maka setelah itu kendali hidup atas manusia jatuh di tangan iblis, penguasa kegelapan itu. Sejak hari itulah manusia mulai disesatkan dengan hebatnya. Iblis membawa manusia semakin jauh dari gambaran mereka semula, yaitu segambar dengan Allah. Semakin jauh manusia berbeda dengan Allah, iblis semakin mencapai tujuannya. Sebaliknya, rencana Allah bagi kita adalah membawa kepada kemuliaan kita yang semula, yang serupa dengan Dia (Roma 8:28).
Dengan jujur harus kita akui bahwa seringkali kita menjumpai bahwa prinsip-prinsip hidup kita di dunia ini tidak sama dengan apa yang telah Tuhan tetapkan. Contoh konflik-konflik yang tajam dalam hal ini nyata jelas dalam Alkitab kita. Yesus adalah tokoh utama dalam berbagai konflik ini. Sebagai contoh, kebanyakan manusia melihat pada penampilan luar semata. Apa yang tampak benar dan baik di luar itu juga baik bagi manusia. Tetapi Yesus melihat seperti Bapa melihat. Itulah konsep Tuhan tentang manusia. Tuhan melihat hati. Oleh sebab itu benarlah firman Tuhan bahwa: “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati” (1 Samuel 16:7b). Dan tidak hanya itu, ada banyak lagi pertentangan-pertentangan antara konsep ‘kebudayaan’ manusia zaman ini dengan konsep Tuhan. Renungkanlah mengenai nats ini: Yesus berkata kepada mereka: “Raja-raja bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang yang menjalankan kuasa atas mereka disebut pelindung-pelindung. Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan (Lukas 22:25-26). Di dunia, yang paling berkuasalah yang menjadi pemimpin, tetapi di hadapan Tuhan siapa yang paling rendah hatilah yang akan diangkat sebagai pemimpin oleh Tuhan. Karena ‘apa yang dikagumi manusia, dibenci oleh Allah’ (Lukas 16:15). Satu kontradiksi lagi bukan? Tetapi mungkin tidak ada yang lebih kontroversial daripada konsep Yesus dalam hal ini: ‘Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu’ dan juga ‘Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu’ (Matius 5:39,44). Sungguh betapa jatuhnya kita telah berubah dari sifat alami penciptaan kita!
Dalam nats renungan kita di atas, kita melihat satu kontradiksi kembali. Murid-murid Yesus datang dan menawarkan roti kepada Yesus. Tetapi jawaban Yesus mencengangkan kita. Yesus menjawab, “PadaKu ada roti yang tidak kamu kenal!”. Apakah itu roti dengan resep baru? Atau jenis makanan yang belum pernah ada di Israel? Tentu saja bukan. Pada saat murid-muridNya menawarkan roti kepadaNya, Yesus sedang melihat suatu kesempatan menyampaikan suatu perbedaan antara konsep Tuhan dengan konsep manusia. Manusia seringkali hanya mengenal roti untuk kebutuhan jasmani tetapi tidak mengetahui bahwa ada roti lain yang penting untuk kebutuhan spiritual mereka.Itulah yang dimiliki oleh Yesus tetapi murid-murid tidak mengenalnya.
Apabila kita membaca nats tersebut secara lengkap maka kita akan mengetahui bahwa  makanan yang tidak dikenal’ oleh para murid adalah dua perkara: (1) Melakukan kehendak Bapa dan (2) Menyelesaikan pekerjaan Bapa. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kedua hal tersebut? Itu akan kita pelajari di edisi mendatang tetapi sebelum itu mari kita melihat inti dari renungan kita kali ini.
Sebagai teladan bagi para penyembah sejati, Yesus menunjukkan kepada kita suatu kehidupan yang luar biasa. Ia menunjukkan bahwa kehidupan seorang penyembah adalah berbeda dengan konsep dunia tetapi selaras sejalan dengan konsep illahi yang telah ditetapkan oleh Bapa. Setiap penyembah dipanggil untuk menjalani hidup secara berbeda dari dunia ini. Tetapi bukan hanya itu melainkan juga hidup berbeda dengan standard yang jauh lebih tinggi daripada yang diterapkan dunia ini. Sudah selayaknya dan memang seharusnya kita sebagai penyembah sejati menanggalkan dan mulai mengubah setiap pola pemikiran yang lahir dari sifat kedagingan manusia yang dikuasai oleh dosa itu. Tidak mengherankan Paulus memperingatkan kita supaya kita ‘dibaharui di dalam roh dan pikiranmu dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya’ (Efesus 4:23-24).
Seperti Yesus, kita hidup dalam suatu kehidupan yang unik, yaitu menurut hukum dan prinsip surgawi. Dan sesungguhnya demikianlah Bapa mau kita hidup selama di dunia ini. Apa yang merupakan standard dunia harus kita tinggalkan karena kini hidup kita adalah hidup yang baru dan tersembunyi di dalam Kristus. “Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah” (Kolose 3:3). Amin!
(Diambil dari warta Worship Center edisi 10 – 15 Maret 2002)

MENGANDALKAN TUHAN MENOLONG KITA MENJADI PELAKU FIRMAN

Oleh : Peter B, MA
Aku akan berpegang pada ketetapan-ketetapan-Mu, janganlah tinggalkan aku sama sekali.
~ Mazmur 119:8 (TB)
Aku akan taat kepada hukum-Mu; janganlah sekali-kali tinggalkan aku!
~ Mazmur 119:5 (BM)
Aku akan melakukan apa yang Kau perintahkan untuk kulakukan; jangan pernah menjauh dan meninggalkan aku.
Mazmur 119:7 (MSG)
Mazmur 119 memberitahukan kita banyak hal mengenai bagaimana kita berhubungan dengan firman Tuhan. Jika mempelajarinya dengan tekun, kita akan tahu seluk beluk atas apa yang menjadi maksud dan tujuan firman Tuhan. Di dalamnya, tak sedikit referensi mengenai Sang Perancang firman itu sendiri. Dan yang paling utama, dari Mazmur 119 kita dapat belajar bagaimana sikap hati, pikiran, perasaan, kehendak bahkan gaya hidup orang yang sungguh-sungguh mau belajar melakukan perintah Tuhan dalam hidupnya.
Bagi mereka yang rindu menjadi pelaku-pelaku firman, Mazmur 119 menyimpan rahasia yang besar tentang bagaimana hidup kita dapat menggenapi perintah dan janji Yesus Kristus sendiri, “Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya” (Lukas 11:28)
Nats yang menjadi fokus perenungan kita merupakan suatu doa kepada Tuhan. Suatu doa supaya tidak ditinggalkan Tuhan, saat melangkah menjadi pelaksana perintah-perintah-Nya.
“Jangan tinggalkan aku sama sekali” merupakan pernyataan ketidakmampuan diri sebagai manusia biasa dalam melaksanakan kehendak Tuhan.
Mengapa pemazmur merasa tidak mampu? Sebab dalam melakukan firman, tidaklah mudah. Orang harus melawan kecenderungan dirinya yang dikuasai nafsu dan sifat-sifat kedagingan yang berbeda jalan dengan firman Tuhan. Tidak hanya itu, terkadang kita harus menghadapi cemooh, hinaan, cibiran dan sikap sinis lingkungan sekitar karena dipandang sebagai sok suci dan kaum fanatik. Pada umumnya, gaya hidup taat kepada Tuhan akan dijauhi oleh dunia. Sungguh suatu perjuangan yang besar untuk menjadi pelaku firman sejati. Tidak sedikit yang merasa lemah sebelum melangkah, merasa kalah sebelum berperang.
Meski begitu, di pihak lain, ada sebagian orang yang terlalu percaya diri. Entah karena kurang mengetahui ukuran yang benar atau ia memandang dirinya sendiri terlalu tinggi, merasa mampu menjadi pelaku firman. Ia cukup yakin bahwa dirinya telah berhasil melakukan ketetapan-ketetapan Tuhan (lihat Markus 10:19-20). Hanya, benarkah seseorang benar-benar mampu melaksanakan kehendak Tuhan dengan kekuatannya sendiri?
Pemazmur mengetahui benar akan keterbatasan dan kelemahannya. Sebab itu, ia tak ingin melangkah berdasar kemampuan manusiawinya. Mengikut Tuhan yang tak terlihat, sedangkan kita bagai domba yang lemah, kita memerlukan kekuatan di luar kita (yaitu kekuatan dan kuasa Tuhan), yang melampaui keterbatasan kita, untuk menolong supaya kita berhasil mengamalkan perintah Tuhan
“Janganlah sekali-sekali meninggalkan aku” merupakan ekspresi ketergantungan pada Allah supaya dimampukan memegang perintah-perintah Tuhan dalam hidup.
Kerinduan untuk melakukan firman Tuhan seharusnya disertai suatu ketergantungan kepada Sang Pemberi Firman, satu-satunya yang dapat menolong dan memberikan segala yang kita perlukan untuk melaksanakan perintah-Nya. Kita harus selalu meminta bimbingan, nasihat, petunjuk, bahkan kekuatan supaya kita tidak menyerah dan menjadi lemah.
Dia yang memberikan kepada kita perintah untuk “menjadikan segala bangsa murid-Nya” bukankah Dia pula yang berjanji akan “menyertai kita sampai akhir zaman”? (Lihat Matius 28:18-20). Itu sebabnya kita seharusnya tidak mengandalkan kekuatan sendiri lalu percaya kepada akal pikiran kita sendiri dalam mengerjakan kehendak Tuhan. Kita harus bergantung kepada-Nya oleh karena kita terlalu lemah untuk perintah-Nya yang tampak sukar dari perspektif insani. Juga supaya kita mengerjakan apa yang tepat di hati-Nya sehingga hati-Nya bersuka karena kita.
Hanya dengan tuntunan, penghiburan dan perlengkapan ilahi saja kita sanggup menunaikan mandat dan tugas yang juga ilahi itu.
“Jangan Engkau menjauh dan meninggalkan aku” ialah isi hati seorang murid, hati yang rindu untuk belajar dari Tuhan, yang bersungguh hati mau mengikuti petunjuk Tuhan, yang oleh karenanya berpaling pada Tuhan untuk menjadikannya berhasil
Seorang murid adalah seorang yang belajar. Seseorang yang mengambil posisi untuk diajar. Ia harus rendah hati dan menyediakan diri untuk dibimbing dan diarahkan lebih lanjut. Seorang murid bergantung pada gurunya sebab kepada sang gurulah, ia meletakkan keyakinan dan pengharapan untuk mencapai tingkat yang sama dengan gurunya. Seorang murid tahu dalam bimbingan sang guru dan dalam ketaatannya pada bimbingan itu, ia akan mencapai target pembelajarannya. Itu sebabnya, ia senantiasa berharap disertai dan diarahkan setiap waktu.
Beberapa orang yang ingin melakukan kehendak Tuhan memulainya dengan dasar sikap hati yang keliru. Mereka baru tahu sedikit tetapi seolah sudah memastikan apa yang Tuhan inginkan. Dengan sederet koleksi data berisi pengetahuan hal-hal tentang Tuhan, mereka bersikap seperti sudah mengenal pribadi dan isi hati Tuhan, bahkan dengan berani menilai dan mengklaim Tuhan itu seperti apa. Mereka percaya bukan pada pimpinan Roh Kudus, yang merupakan roh hikmat dan wahyu itu, untuk mengenal Tuhan dengan benar. Mereka menaruh keyakinan pada kemampuan nalar manusiawi mereka yang terbatas dipandang mampu memahami yang tak terbatas, padahal rancangan Tuhan yang kerap kali merupakan kebalikan dari hikmat dunia ini (lihat 1 Korintus 1:18-20; Yesaya 55:8-9). Sejatinya, ini adalah sesuatu yang bodoh, sekalipun dipoles dan ditampilkan dengan berbagai argumen dari olah pikir yang meyakinkan.
Dengan keberadaan kita yang sebelumnya hidup sebagai manusia lama, yang terbiasa mengikuti pola-pola duniawi yang jauh dari pengenalan akan Allah, mustahil kita dapat melakukan firman Tuhan tanpa pertolongan dari Tuhan sendiri. Itu sebabnya, Roh Kudus diutus untuk memimpin kita dalam seluruh kebenaran (Yohanes 16:13). Dan kita pun harus bergantung kepada Dia, yang memberikan kuasa kepada kita untuk hidup sesuai kerinduan-Nya (Kisah Para Rasul 1:8; 2 Timotius 1:7). Sikap mengandalkan kekuatan Tuhan ini hanya mungkin ketika kita cukup rendah hati mengakui bahwa kita ini lemah, mudah sesat dan tertipu, dan kurang dalam hikmat sejati. Memiliki sifat yang merupakan kebalikan dari ini, justru akan membawa kita semakin jauh dari praktek-praktek kebenaran. Yang percaya akan dirinya sendiri akan jatuh dalam kesombongan, meskipun mereka mempelajari firman. Mereka akan merasa dirinya telah cukup tahu dan mengklaim diri benar di mata Tuhan. Alih-alih melakukan kehendak Tuhan, mereka menentang Tuhan dan berpihak pada iblis bahkan dengan mengatas namakan sedang mengamalkan hukum-hukum Tuhan.
Untuk menjadi pelaku firman, kita perlu bergantung pada Tuhan. Pada kekuatan kuasa-Nya, kasih karunia-Nya, hikmat-Nya dan kehadiran-Nya yang menyertai kita. Inilah sebabnya mengapa pada akhirnya dikatakan “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Roma 11:36)
Keberhasilan kita kelak menerima upah kekal sebenarnya bukan karena kemampuan dan kehebatan kita. Semua karena Ia telah begitu sabar dan dengan penuh cinta menopang kita yang lemah dan kecil ini hingga kesudahan segala sesuatu
Oh biarlah hati kita tetap tertuju dan mengandalkan Dia.
Biarlah kiranya diberikan dan tetap senantiasa hati seorang murid menjadi milik kita.
Ya Tuhan, ajar kami senantiasa memandang kepada-Mu, supaya kami senantiasa menanti-nantikan pimpinan-Mu, peneguhan-Mu, dan kekuatan-Mu sebelum berkata-kata, memutuskan sesuatu dan melakukan sesuatu.
Jangan pernah tinggalkan kami, melainkan tuntunlah kami sebab kami mau berjalan dalam kehendak-Mu.
Salam revival
Indonesia penuh kemuliaan Tuhan

DIPUASKAN SELAMA-LAMANYA

Oleh: Peter B, MA


Jawab Yesus kepadanya: “Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah dan siapakah Dia yang berkata kepadamu: Berilah Aku minum! Niscaya engkau telah meminta kepada-Nya dan ia telah memberikan kepadamu air hidup”… … Barangsiapa minum air ini. Ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, Ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.” (Yohanes 4:10, 13-14)
Sesuatu yang tidak dapat habis (inexhaustable thing). Sesungguhnya adakah benda atau sesuatu di dunia ini yang tidak dapat habis atau berkurang nilainya? Pikirkanlah suatu benda. Mungkinkah benda itu tidak dapat habis atau lenyap. Barang pecah belah atau kelontong? Mereka dapat retak serta remuk berkeping-keping. Barang dari besi? Mereka bisa berkarat. Sungai atau air danau? Jika musim kering, itu berkurang bahkan tak berair lagi. Atau sejenis battery yang katanya daya energinya tidak akan habis-habis? Mungkin itu hanya tahan lebih lama tetapi pasti akan habis. Tidak terlalu salah kalau dikatakan tidak ada satu pun perkara yang tidak dapat habis. Bahkan kesabaran manusia yang paling sabar sekalipun satu saat dapat habis!
Keterbatasan manusia tercermin dalam apa yang dihasilkan oleh tangannya. Apa yang dibuat dan dikerjakan manusia tidak ada yang abadi, semuanya akan habis dan lenyap. Sama seperti sifat pembuatnya, demikian sifat apa yang dapat dibuatnya. Sebaliknya, dengan Tuhan. Ia adalah pakar dalam membuat segala yang tidak terbatas, kekal dan tidak dapat lenyap. Melalui kuasaNya yang ajaib, Ia membuat mujizat. Itulah sebabnya hingga kini manusia terpesona oleh karena mujizat. Mujizat selalu membuat manusia terkesima. Apa yang mereka anggap mustahil dan ajaib menarik perhatian manusia. Itu pula sebabnya pertunjukan sulap hingga saat ini tetap merupakan pertunjukan laris dan favorit di muka bumi. Semuanya karena menyuguhkan suatu ‘keajaiban’ dan ‘kemustahilan’. Manusia tidak dapat membuat mujizat. Itu terlalu besar dan terlalu luar biasa bagi mereka. Tetapi bagi Tuhan, mujizat adalah sesuatu yang biasa. BagiNya, melakukan mujizat atau tidak adalah sama saja. Tuhan tidak memerlukan kekuatan yang lebih bahkan kekuatan khusus untuk mengadakan mujizat. Mengadakan mujizat sama mudanya dengan melakukan hal-hal yang biasa.
Berkaitan dengan hal-hal yang tidak dapat habis, beberapa kali Tuhan memperagakan kuasaNya. Kitab Suci mencatat beberapa hal yang luar biasa mengenai perkara-perkara yang tidak dapat habis. Di zaman Musa, Tuhan menyediakan manna serta burung puyuh yang tidak pernah berkurang tiap harinya (Keluaran 16). Dan jangan lupa, pakaian serta kasut orang Israel tidak susut pula selama 40 tahun (lihat Ulangan 29)! Dan bagaimana dengan Eli serta janda Sarfat yang makan roti dari tepung dan minyak yang tak habis-habisnya (lihat 1Raja-raja 17)? Atau Elisa yang menyuruh seorang janda untuk menuang minyak dalam buli-buli yang tidak dapat habis (lihat 2Raja-raja 4)? Semuanya menjadi mungkin dan apa yang semula dapat habis menjadi tidak dapat habis. Hal-hal dahsyat demikian terjadi pula di Perjanjian Baru. Dua kali Yesus membagi-bagikan roti dan ikan, maka 5000 dan 4000 orang pulang dengan kenyang (lihat Matius 14 dan 15). Sungguh Ia ahli dalam mengadakan perkara-perkara yang mustahil. Kita patut bersukacita atas semuanya itu.
Tidak ada yang memungkiri bahwa Allah kita adalah Allah yang dahsyat dan Dia sanggup mengadakan mujizat di alam nyata. Banyak di antara orang percaya menggunakan imannya untuk melihat Tuhan bekerja mendatangkan hal-hal yang ajaib di alam nyata itu. Tetapi kita harus melihat ke dalam seluruh kebenaran. Pengetahuan kita harus lengkap dan tidak berat sebelah. Memang Bapa kita rindu mengadakan segala mujizat untuk memberkati kita secara jasmani. Namun Ia terlebih rindu untuk melihat mujizat itu terlebih dahulu terjadi di alam rohani. Ia tidak tahan melihat penderitaan, kekurangan bahkan kemiskinan anak-anak-Nya. Tetapi Bapa kita lebih tidak dapat menerima kondisi kerohanian kita yang lemah, lesu, buta, miskin dan telanjang (lihat Wahyu 3:17). Dan sesungguhnya sebelum memulihkan segala yang jasmani, Tuhan rindu memulihkan setiap anak-anak-Nya secara rohani. FirmanNya begitu jelas bagi kita, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaranNya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Matius 6:33).
Memuaskan kita secara rohani. Memberikan suatu kehidupan serta kepuasan yang tidak pernah habis. Itulah sebenarnya yang Tuhan hendak kerjakan dalam hidup kita. Perempuan Samaria yang ditemui oleh Yesus datang dengan keadaan letih lesu dan berbeban berat. Ia mencari rasa aman dari kebanggaan tradisi nenek moyangnya yaitu Yacub (Yohanes 4:12). Tetapi ia tidak menemukan rasa puas sejati itu. Perempuan itu mencari kenikmatan serta kesenangan dengan berganti-ganti pasangan (Yohanes 4:17-18). Ia hidup bebas dalam segala hal bahkan dalam hal seks. Tetapi di dalam kebebasan sebebas-bebasnya pun ia tidak menemukan kebebasan sejati, tidak ditemukannya kelegaan. Rohnya haus, tetap haus bahkan semakin haus. Dunia memang tidak dapat memuaskan roh manusia. Sebelumnya roh manusia itu bertemu dengan Roh Yang Tidak Terbatas itu, tidak akan ada kepuasan yang sejati.
Yesus memiliki sesuatu yang tidak dapat habis bagi roh kita. Ia menyediakan suatu kelegaan dan kepuasan sejati hingga itu bukan saja kita rasakan secara pribadi namun membual keluar, terpancar dari hidup kita kepada orang lain hingga hidup kekal (lihat nats di atas). Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan air hidup itu? Dalam Yohanes 7:37 Yesus berseru “Barangsiapa haus baiklah ia datang kepadaku dan minum! Barangsiapa percaya kepadaku… dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup.” Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Yesus kepada perempuan Samaria di dalam Yohanes 4. Dan Rasul Yohanes yang menulis Injil itu memberikan keterangan yang penting bagi kita dalam Yohanes 7:39 yaitu bahwa yang dimaksudkan oleh Yesus adalah “Roh yang akan diterima oleh mereka yang percaya kepada-Nya.” Itulah Roh Kudus.
Mungkin Anda bertanya “Bagaimana Roh Kudus itu dapat memberikan kelegaan bagi kita?’ Saudaraku, saat kita menerima Kristus kita menerima Roh KudusNya dalam hidup kita. RohNya berdiam dalam diri kita dan kita menjadi BaitNya ( 1 Korintus 3:16). Roh Kuduslah yang kemudian membawa kita kepada hubungan yang intim dengan Bapa serta Kristus. Kita dapat menyambung hubungan yang telah demikian lama telah terputus antara Pencipta dan ciptaanNya. Dan di dalam persekutuan dengan Tuhan itulah jiwa kita dipuaskan dan senantiasa disegarkan. Tanpa kuasa Roh Kudus kita tidak mampu untuk berhubungan dengan Allah. “Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru:”ya Abba, ya Bapa!” (Galatia 4:6)
Roh Kudus pulalah yang membuat hidup kita mengalirkan kehidupan kepada banyak orang. Bukankah dalam persekutuan yang erat dan berjalan bersama Dia maka akan nyata dalam hidup kita karakter-karakter mulia itu: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kemurahan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri? Semuanya akan mengalir keluar dengan indah dari hidup kita dan itulah yang dimaksud oleh Tuhan sebagai ‘aliran-aliran air hidup yang terpancar keluar dari kehidupan kita’.
Setiap penyembah Tuhan sejati menemukan kepuasan di dalam Tuhan. Dunia tidak berarti lagi karena jiwa mereka telah menemukan Air Kehidupan itu. Mereka mengerti dunia tidak memberikan kelegaan dan mereka menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Para penyembah sejati sangat dipuaskan di dalam Tuhan. “Mereka mengenyangkan dirinya dengan lemak di rumah-Mu; Engkau memberi mereka minum dari sungai kesenangan-Mu. Sebab pada-Mu ada sumber hayat, di dalam terang-Mu kami melihat terang (Mazmur 36:9-10) Amin.
(Diambil dari warta Worship Center edisi 9 – 8 Maret 2002)

KASIH BAGI SEMUA ORANG

Oleh: Peter B, MA


Maka sampailah Ia (Yesus) ke sebuah kota di Samaria, …..Maka datanglah seorang perempuan Samaria hendak menimba air. Kata Yesus kepadaNya: “Berilah Aku minum.”…. Maka kata perempuan Samaria Itu kepadaNya: “Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaKu, seorang Samaria?” (Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria) Yohanes 4:5,7,9
Semenjak mengalami kelahiran baru beberapa tahun lampau, ada salah satu perubahan yang cukup mendasar dalam hidup saya yang semula tidak terlalu saya sadari. Semakin saya mengenal Tuhan dan jalan-jalanNya. Semakin terasa perubahan dalam hal tersebut. Hingga sekarang perubahan tersebut menjadi makin nyata dan lebih nyata lagi. Dan saya yakin, perubahan dalam hal ini juga terjadi saat Anda sekalian lahir baru dan berjalan makin akrab bersama Tuhan. Perubahan dalam hal apakah gerangan? Ya, perubahan dalam cara pandang kita memandang orang lain khususnya yang berbeda suku, agama, ras, dan golongan, serta status sosialnya dengan kita.
Dahulu saya (dan hampir semua dari kita) seringkali bersikap antipati, negatif dan seringkali memandang dengan perasaan curiga kepada orang lain yang belum kita kenal terlebih lagi mereka yang berbeda latar belakang atau kondisinya dengan kita. Sebagai contoh, yang berkulit putih memandang rendah mereka yang berkulit gelap; penganut agama A membenci dan merendahkan penganut agama B dan sebagainya. Tetapi sejak bertemu pribadi dengan Tuhan semua perasaan-perasaan beserta konsep-konsep negatif itu berangsur-angsur hilang dan digantikan oleh kasih. Kasih Allah yang mengisi hati saya perlahan namun pasti mengubahkan pola pikir – pola pikir yang keliru tersebut. Demikian pula setelah menjalani hidup sebagai pengikut Kristus dan dibimbing oleh Tuhan menjadi penyembahNya yang benar, maka saya semakin menyadari bahwa memang Tuhan tidak pernah membeda-bedakan manusia. Ia mengasihi semua manusia yang ada di dunia sehingga merelakan untuk mengorbankan anakNya yang tunggal (Yohanes 3:16). Dan di hadapanNya semua manusia sama, tidak perduli dia suku atau bangsa mana, kaya ataukah miskinkah. Pembedaan yang dibuat Tuhan bagi sekian banyak orang di dunia adalah: manusia yang mau merendahkan diri di hadapanNya–bertobat dan kembali kepadaNya – atau manusia yang sombong, yang menolak Dia tidak bertobat di hadapanNya (lihat Roma 2:6-8,11)
Salah satu perjumpaan yang paling menggetarkan hati dalam Alkitab adalah perjumpaan Kristus dengan perempuan Samaria. Pertemuan Yesus dengan perempuan Samaria yang tidak disebutkan namanya ini telah banyak dikhotbahkan sebagai suatu kisah pencarian akan Allah dan kisah pertobatan. Tetapi kali ini, saya mengajak Anda untuk melihat dalam satu sisi yang agak berbeda. Sesuai dengan tujuan dan thema renungan kita, yaitu mempelajari penyembahan sejati dari pakar penyembahan yaitu Kristus, maka kita akan mengamati sikap penyembahan yang bagaimana yang diperagakan oleh Yesus dalam kisah ini. Sesungguhnya jika kita mengamati apa yang dilakukan Yesus dalam peristiwa itu dengan seksama, kita akan melihat suatu sikap yang selayaknya dimiliki bahkan tercermin dalam hidup mereka yang mengaku sebagai penyembah sejati.
Dari nast renungan di atas, kita mengetahui bahwa Yesus sampai di perbatasan wilayah Samaria. Karena faktor latar belakang sejarah, selama ribuan tahun hampir semua orang Yahudi tidak pernah sudi untuk melewati wilayah Samaria. Mereka memilih jalan memutar daripada melewati Samaria. Tetapi Yesus mengambil pilihan yang berbeda. Ia masuk wilayah itu dan sampai di kota Sikhar. Di situ Ia duduk di tepi sebuah sumur sedangkan matahari bersinar dengan teriknya tengah hari. Tidak lama seorang perempuan Samaria datang ke sumur itu hendak menimbah air dan….Yesus meminta air minum kepadanya. Dari sini kita dapat belajar banyak hal. Ya, banyak hal.
Saudaraku, jika dibandingkan adat kebiasaan Yahudi waktu itu, Yesus dapat dikatakan melakukan suatu pelanggaran. Pertama, Ia masuk ke daerah Samaria (yang dianggap daerah kafir oleh orang Yahudi). Kedua, Ia berbicara kepada seorang (perempuan) Samaria melewati daerahnya saja terlarang apalagi berbicara dengan orang di sana. Ketiga, Yesus berbicara kepada perempuan dikucilkan orang-orang disekitarnya (Banyak penafsir Alkitab yang percaya bahwa wanita tersebut bukanlah seorang wanita baik-baik di wilayah tersebut. Hal ini didukung fakta-fakta antara lain wanita tersebut mengambil air di tengah hari yang tidak lazim di kalangan wanita serta percakapan Yesus dengan wanita tersebut yang menggambarkan kehidupan wanita tersebut ia telah ‘berganti’ suami 5 kali). Mengapa Yesus melakukan semua itu? Mengapa ia menerobos batas-batas serta tatanan masyarakat pada waktu itu?
Manusia seringkali membuat batas-batas serta tatanan sendiri sesuai dengan apa yang baik menurut pikiran mereka sendiri. Tetapi belum tentu semuanya itu sesuai dengan pandangan Tuhan. Di pandang Tuhan, “semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah,…” (Roma 3:23) tetapi juga setiap mereka adalah berharga di mataNya, sehingga Yesus rela mati untuk mereka sekalian dari kuasa dosa dan maut: “Dan Ia adalah pendamaian untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia.” (1 Yohanes 2:2).
Para penyembah sejati seharusnya hidup mengikuti jejak Kristus. Ia tidak pernah membeda-bedakan orang. Setiap orang adalah obyek kasihNya. Yesus mengasihi mereka tidak hanya dengan kata-kata tetapi juga dengan perhatian dan perbuatan. Tidak memandang apakah seseorang itu kaya atau miskin, cacat (tuli, buta dsb.) atau sehat, golongan terhormat atau golongan bawah, orang-orang awam ataukah tertolak, tua atau muda atau anak-anak. Mereka semua disentuh oleh kebaikan dan perhatianNya di sepanjang pelayanan Yesus yang singkat di dunia ini. Yesus menunjukkan kasihNya kepada semua orang; ya, semua orang. Ia mengasihi segala bangsa karena mereka semua adalah ciptaanNya dan terlebih lagi Yesus merindukan keselamatan mereka. “….tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat (2Petrus 3:9).”
Kita semua mendapat perintah tegas dari Alkitab supaya “Janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka Sebab, jika ada seorang masuk ke dalam kumpulanmu dengan memakai cincin emas dan pakaian indah dan datang juga seorang miskin ke situ dengan memakai pakaian buruk, dan kamu menghormati orang yang berpakaian indah itu dan berkata kepadanya: “Silakan tuan duduk di tempat yang baik ini!”, sedang kepada orang yang miskin itu kamu berkata: “Berdirilah di sana!” atau: “Duduklah di lantai ini dekat tumpuan kakiku!”, bukankah kamu telah membuat pembedaan di dalam hatimu dan bertindak sebagai hakim dengan pikiran yang jahat?” (Yakubus 2:1-4)
Hati setiap penyembahan sejati pastilah dipenuhi kasih kepada semua orang. Mereka tidak terhalang oleh apapun untuk menjalin hubungan orang-orang yang berbeda dengan mereka. Mereka tidak segan-segan untuk menunjukkan perhatian dan kasih sayang kepada orang yang bahkan mungkin jauh lebih rendah statusnya atau kondisinya dari mereka. Itulah yang dilakukan oleh Kristus dan itu pula yang harus kita lakukan. Ingatlah selalu bahwa salah satu hukum yang terutama adalah: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39). Amin.
(Diambil dari warta Worship Center edisi 8–1 Maret 2002)

MENYINGKAPI PENDERITAAN

Oleh: Peter B, MA


Tetapi waktu Yesus mendengar, bahwa Yohanes telah ditangkap, menyingkirlah Ia ke Galilea. Ia meninggalkan Nazaret dan diam di Kapernaum, ditepi danau, di daerah Zebulon Naftali,….(Matius 4:12-13)
Salah satu hal tersulit dan terkadang masih disebut sebagai misteri adalah apa yang disebut sebagai penderitaan. Ada banyak orang Kristen yang akhirnya undur dan meninggalkan Tuhan karena tidak tahan menderita. Mereka tidak tahu bagaimana bersikap menghadapi penderitaan. Seringkali banyak orang memberontak kepada Tuhan karena merasa Tuhan telah bersikap tidak adil, dan mengikut Tuhan itu susah. Tetapi kebalikannyalah yang benar. Tuhan tidak menginginkan anak-anakNya menderita, tetapi seringkali Ia mengizinkan penderitaan menimpa anak-anakNya, supaya mereka semua dibentuk menjadi dewasa di dalam Dia, hingga menjadi sempurna seperti Kristus sendiri. “Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan sesuatu apapun.” (Yakubus 1:2-4).
Sikap kita terhadap penderitaan menentukan komitmen hidup serta penyembahan kita kepada Tuhan. Janganlah karena penderitaan, hidup rohani kita macet dan mengalami kemunduran. Dan janganlah penyembahan kita menjadi ragu-ragu serta terhalang karena penderitaan. Setiap penyembah yang sejati seperti Yesus mengerti benar bagaimana harus bersikap terhadap penderitaan.
Dalam nats di atas, Yesus mendengar Yohanes Pembaptis ditangkap oleh Herodes. Reaksi pertama Yesus adalah Ia menyingkir dari wilayah itu. Beberapa orang mungkin beranggapan bahwa Yesus memang dikehendaki Bapa untuk menyingkir dari tempat itu. Tetapi mau tidak mau harus diakui bahwa salah satu alasan Yesus menyingkir dari tempat itu ke Galilea adalah karena adanya penangkapan Yohanes Pembaptis yang bisa merembet pada penangkapan terhadap Yesus. Pertanyaan adalah: apakah Yesus seorang pengecut sehingga Ia harus melarikan diri karena takut untuk di tangkap? Tentu saja tidak demikian. Yesus jelas bukanlah seorang pengecut sama sekali. Apa yang kita renungkan minggu lalu menyatakan betapa beraninya Yesus. Dengan tegas, Ia menyucikan bait Allah; dengan teriakan dan cambuk. Dalam kisah itu, semua setuju bahwa Yesus tidak tampak seperti seorang pengecut sama sekali.
Jadi, mengapa Yesus harus menyingkir? Tidak lain karena Yesus selain mengikuti aliran kegerakan Bapa (lihat Matius 4:13-16) ada tujuan lain yaitu: Yesus menghindari penderitaan yang tidak perlu. Baiklah, saya mendengar nada-nada tidak percaya Anda. Tetapi haruslah diketahui dengan baik bahwa meskipun Yesus di panggil untuk menderita dan menanggung dosa manusia hingga mati di kayu salib, tetapi Ia tidaklah mengambil segala bentuk penderitaan yang tidak perlu. Dan tidak hanya sekali Yesus bertindak demikian tetapi beberapa kali, misalnya “Lalu mereka mengambil batu untuk melempari Dia; tetapi Yesus menghilang dan meninggalkan Bait Allah” (Yohanes 8:59)
Mengapa hal ini penting untuk dibicarakan? Ini adalah mengenai keseimbangan sikap kita terhadap penderitaan. Beberapa orang menolak mentah-mentah segala bentuk yang berbau penderitaan yang pada akhirnya juga menolak Kristus karena mengikut Kristus mereka identikkan dengan penderitaan serta ketidaknyamanan. Dengan mengetahui fakta ini, mereka yang merasa hidup Kristen penuh dengan penderitaan harus memikirkan kembali pendapat mereka. Yesus tidak selalu memilih semua penderitaan yang ada! Di sisi yang lain, ada orang-orang yang merasa dengan hidup menderita dan menyakiti diri mereka, maka mereka berkenan kepada Tuhan. Yang dapat dimasukkan golongan ini adalah mereka yang hidup membujang, menyepi, menyiksa diri dengan kewajiban-kewajiban jasmani yang hampir tidak masuk akal. Sebenarnya ini adalah kebohongan iblis yang lain untuk menghancurkan hidup manusia sehingga manusia pahit, sengsara dan penuh air mata selama di dunia. Ketahuilah kebenaran ini sekali lagi, Yesus menyingkir karena Ia menghindari penderitaan yang tidak perlu, yang tidak membawa manfaat apapun di hadapan Tuhan. Ia mau menanggung penderitaan asalkan itu membawa kemuliaan nama Tuhan dan menjadi keselamatan bagi banyak orang. Oleh karena itulah, Ia merangkul salib dengan sukacita! (lihat Ibrani 12:2).
Salah satu uraian yang baik mengenai topik ini adalah yang pernah ditulis oleh John White dalam bukunya Harga Penyerahan Diri, demikian: “….Ia (Yesus) tidak mau menderita asalan menderita saja. Pada suatu kesempatan lain, ketika orang banyak hendak membunuh Dia, Yesus meloloskan diri dari kepungan mereka. Pada beberapa kesempatan, Yesus dengan tabah menghadapi maut, tetapi dengan sama cepatnya Ia menghindari maut pada kesempatan lain. Mengapa? Apakah pada beberapa hari tertentu Ia lebih kuat daripada hari-hari lain?
Perjanjian Baru tidak pernah menyatakan bahwa pengorbanan dan penderitaan itu baik. Yesus menghadapi salib, karena itu adalah satu-satunya jalan agar orang-orang berdosa dapat diselamatkan. Ia “mengabaikan kehinaan dan dengan tekun memikul salib” (Ibrani 12:2) bukan karena berbuat begitu adalah kebaikan, tetapi karena penderitaan dan maut adalah harga yang harus dibayar untuk mencapai tujuanNya.
Ini adalah penting. Para guru agama selama berabad-abad telah mengajarkan teknik-teknik pertapaan, kadang-kadang karena membuat diri sendiri menderita dianggap menambah pahala bagi diri sendiri. Tetapi lebih sering diajarkan sebagai semacam latihan Sparta untuk mengalahkan tubuh yang memberontak sehingga pada taraf tertentu orang dapat menjadi benar-benar rohani. Penderitaan seperti itu sama sekali tidak ditemukan dalam kehidupan Yesus. Meskipun Ia miskin, tidak ada petunjuk mengenai peratapan dalam seluruh hidupnya. Bahkan Ia dituduh sebagai seorang pelahap dan peminum” (Matius 11:19). Semata-mata karena sebagaimana pengakuanNya sendiri, Ia makan dan minum seperti juga orang-orang lain pada waktu itu. Jika Ia berpuasa atau melewatkan waktu dalam doa, Ia berbuat demikian dengan tujuan tertentu. Ia bukan melatih diriNya untuk menekan keinginan-keinginan tubuhNya.
Kehidupan Yesus sama sekali bebas dari kedua sikap tersebut terhadap penderitaan. Ketika Ia akhirnya menghadapi penderitaanNya, maka itu adalah karena ‘waktunya’ telah tiba. Yesus bukan seorang masokhis, seorang Sparta atau seorang pertapa. Ia menghadapi penderitaan dan kematian karena Ia mengasihi orang-orang yang tersesat dan tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan mereka.”
Dalam penyembahan kita kepada Tuhan, biarlah kita menyembah dengan suatu pengertian yang benar. Dengan demikian kita akan menyembah dengan segenap hati. Yaitu saat kita sungguh-sungguh mengenal bahwa Ia Allah yang baik, Ia tidak pernah menginginkan penderitaan bagi anak-anakNya. Tetapi Ia Allah yang juga menggunakan penderitaan untuk memproses dan memurnikan setiap anak-anakNya. (Ibrani 12:6-9). Terpujilah kebaikanNya, terpujilah kasih karuniaNya yang mulia itu! Amin.
(Diambil dari warta Worship Center edisi 7–22 Februari 2002)

BELAJAR JALAN TUHAN MENGHASILKAN IBADAH YANG BENAR

Oleh : Peter B, MA
Aku akan bersyukur kepada-Mu dengan hati jujur, apabila aku belajar hukum-hukum-Mu yang adil.
~ Mazmur 119:7 (TB)
Bahwa aku akan memuji Engkau dengan segala tulus hatiku, apabila aku sudah belajar segala hukum kebenaran-Mu.
~ Mazmur 119:5 (BIMK)
Aku akan memuji Tuhan dengan hati yang lurus, saat aku belajar penghakiman-Mu yang benar.
Mazmur 119:7 (KJV)
Aku akan bersyukur dengan tulus, saat aku belajar akan peraturan-peraturan-Mu yang adil.
Mazmur 119:7 (NET)
Mengucap syukur dan menaikkan pujian kepada Tuhan adalah bagian dari kehidupan orang Israel. Mereka melakukannya setiap hari dalam berbagai kesempatan. Termasuk dalam banyak perayaan spiritual. Mereka melakukannya secara pribadi, bersama keluarga atau sebagai suatu bangsa. Israel adalah bangsa yang didirikan dengan dasar ketuhanan yang sangat kuat lengkap dengan segala bentuk ritual dan upacara agama sebagai sendi-sendi kehidupan mereka sebagai suatu bangsa. Seperti halnya ibadah di masa kini, yang sering tidak disadari adalah mengerjakan ibadah adalah satu hal namun apakah ibadah tersebut diterima dan berkenan di kata Tuhan merupakan soal yang berbeda.
Mazmur 119:7 menyinggung mengenai bagaimana seseorang dapat menaikkan syukur dengan cara yang benar dan tepat di hadapan Tuhan.
Ya, menaikkan syukur dengan hati yang jujur, tulus, yang didapati benar di hadapan Tuhan sehingga Tuhan akhirnya berkenan dengan penyembahan kita.
Sudah seharusnya kita tahu bahwa tidak semua orang menaikkan syukur atau pujian pada Tuhan dengan hati yang benar. Ada yang sekedar manis di bibir tetapi hatinya jauh dari Tuhan (Yesaya 29:13; Matius 15:8). Ada pula yang menadahkan tangan meninggikan nama Tuhan tetapi di dalam hati mereka memuji dirinya sendiri (Lukas 18:11-12). Ada pula yang mempersembahkan korban di hadapan Tuhan seakan hendak memuliakan Dia tetapi sebenarnya hatinya dipenuhi maksud dan tujuan pribadi yang egois (Kisah Para Rasul 5:1-11). Pada bagian lain, beberapa orang datang mendekat pada Tuhan, memuji dan memuja Dia dalam doa namun di balik itu hatinya semata-mata tertuju pada kepentingan dan keinginannya sendiri (Yakobus 4:3; Kisah Para Rasul 23:12-15).
Patut menjadi renungan kita, apakah pada dasarnya kita masih termasuk sebagai salah satu dari orang-orang yang memuji Tuhan dengan hati yang tidak lurus itu?
Nats yang kita baca merupakan suatu petunjuk bagi kita. Memberitahukan kita bahwa kita dapat menaikkan penyembahan dari hati yang Tuhan rindukan. Suatu ibadah yang diperkenan Tuhan dan menyukakan hati-Nya. Tetapi dengan cara apa? Dengan menyediakan diri belajar akan hukum-hukum Tuhan yang adil itu!
Ya, saat kita belajar akan keputusan-keputusan-Nya yang adil, maka kita akan dibawa pada suatu tingkatan pengertian dan pemahaman yang baru:
Bahwa Dia Allah yang adil, benar, kudus dan agung dalam segala jalan-Nya.
Banyak rekaman dari banyak sidang atau rapat pengambilan keputusan dari pendiri-pendiri bangsa, para wakil rakyat atau rekaman butir-butir pemikiran para hakim dalam proses memutuskan suatu perkara. Jika didalami, kita akan tahu dan bisa menyelami suasana kebatinan serta berbagai pertimbangan sebelum sebuah ketetapan diambil. Dari antara semua itu, ada yang ketika digali lebih lanjut ternyata kaya dengan hikmat, mencerminkan kedalaman pertimbangan yang matang. Sedangkan yang lain ada pula yang ternyata dangkal dan pragmatis, mementingkan keuntungan sesaat dan ambisi pribadi sang pengambil kebijakan.
Tetapi tidak demikian apabila kita mengamati kebijaksanaan-kebijaksanaan Tuhan. Semakin kita mempelajari pertimbangan-pertimbangan-Nya, kita menjadi sadar bahwa Allah kita itu berhikmat, adil di segala jalan-Nya, penuh kasih setia dan kebenaran. Alam semesta yang sangat teratur menjadi suatu pewahyuan umum akan keberadaan dan sifat-sifat-Nya. Lebih lagi, kitab suci yang diwariskan kepada kita, bila didalami, akan menyingkapkan keagungan pikiran dan pribadi-Nya.
Di sorga, malaikat-malaikat terdengar berseru menyatakan apa yang mereka saksikan dari Allah yang berdiam di sana: “Besar dan ajaib segala pekerjaan-Mu, ya Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa! Adil dan benar segala jalan-Mu, ya Raja segala bangsa!
~ Wahyu 15:3 (TB)
Ada suatu kegentaran yang kudus masuk di hati kita ketika kita menyadari bahwa hukum-hukum-Nya mulia dan tak terbantahkan bagi setiap yang mempelajarinya.
Setelah banyak kali merenungkan taurat Tuhan, Daud bersaksi :
Titah TUHAN itu tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya.
Takut akan TUHAN itu suci, tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum TUHAN itu benar, adil semuanya,
~ Mazmur 19:9-10 (TB)
Dengan hati yang tulus dan terbuka bagi pengaruh serta lawatan ilahi, mata rohani kita dicelikkan saat menyelami hukum-hukum Tuhan. Kita pun menjadi takjub dan kagum akan siapa yang menetapkan dan merancangkan semua itu. Dan selagi kita mencari tahu akan kebenaran semuanya itu, Tuhan sendiri akan menunjukkan pada kita betapa firman-Nya benar, tak mengandung kebohongan atau kepalsuan namun benar-benar teruji.
“Perkataan-perkataan TUHAN itu perkataan yang murni: bagaikan perak yang teruji dalam dapur peleburan di dalam tanah, dimurnikan tujuh kali banyaknya”
~ Mazmur 12:6 (KJV)
Mengetahui ini semua, mungkinkah kita tidak terkagum dan tersungkur dalam penyembahan sambil memberikan pengakuan tertinggi bahwa Dia mahakudus dan benar?
Selagi mempelajari hukum-hukum Tuhan, kita disadarkan akan apa yang salah, telah menyimpang, yang belum tepat, atau yang masih kurang kita lakukan.
Dengan menekuni firman kebenaran-Nya, kita didesak dan didorong oleh Roh Kudus untuk membereskan hati serta hidup kita di hadapan-Nya. Murid-murid Tuhan diajar untuk mengikuti pola-pola yang ditetapkan Tuhan dan saat kita menyerahkan diri untuk taat, hati kita akan datang menyembah di hadapan Tuhan dalam keadaan yang dikehendaki-Nya. Hati kita yang kotor, dibawa untuk merendahkan diri, mohon penyucian. Sikap hati yang egois dimurnikan. Cara-cara penyembahan kita diselaraskan dengan hati-Nya. Misalnya, kita tahu bahwa Allah menyukai kekudusan, maka kita pun akan datang dengan sikap koreksi diri dan menyelidiki mana sikap hati kita yang belum dikenan-Nya. Atau ketika kita menaikkan syukur, kita menaikkannya dengan tulus, tanpa curiga atau dengan perasaan yang tidak puas akan kondisi yang Tuhan pilihkan harus kita jalani. Kita menjadi tahu apa yang menyenangkan hati Tuhan selagi kita belajar akan petunjuk-petunjuk-Nya.
Pembelajaran kita akan hukum-hukum Tuhan dengan hati yang lapar dan haus akan kebenaran akan membawa kita pada tingkatan keintiman demi keintiman dengan Tuhan
Interaksi murid dengan guru tidak hanya membuat sang murid menerima pengetahuan sang guru. Hal itu juga membawa kedekatan dan pengenalan yang makin dalam akan kehidupan sang guru karena menjalani hari demi hari bersama-sama. Akhirnya, gaya dan cara hidup gurunya juga menjadi cara hidup sang murid.
Ketika kita belajar dengan hati yang tertuju pada Tuhan, Ia menyingkapkan diri-Nya pada kita. Kita semakin mengenal Dia. Makin akrab dengan-Nya. Satu demi satu keraguan kita lenyap digantikan keberanian dalam berinteraksi dengan Dia. Maka kita pun datang, berdoa, mengucap syukur, memuji dan menyembah Dia bukan lagi kepada Allah asing yang tiada kita kenal tetapi kepada Tuhan yang telah mengajar dan menuntun kita di dalam jalan kebenaran-Nya. Sebagaimana perasaan malu, canggung atau terasing ketika kita berhubungan dengan seseorang yang belum kita kenal lambat laun menghilang, demikian kita akan datang pada Tuhan dengan sikap hati yang tepat sesuai hati-Nya sebab kita telah mengenal bagaimana berhubungan dengan Dia. Kita yang telah terbiasa dan mengenal jalan-jalan-Nya tak lagi tertahan oleh rasa malu atau ketakutan akan yang pribadi yang asing. Dengan yakin dan penuh keberanian, kita akan menghampiri tahta kasih karunia-Nya (Ibrani 4:16).
Yohanes 4:23-24 memberitahukan kita perkataan Yesus tentang penyembahan sejati:
Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.
Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.”
Penyembah yang dikehendaki Bapa ialah yang menyembah Dia dalam roh dan kebenaran. Menyembah dalam roh berbicara mengenai suatu penyembahan yang lahir dari roh kita yang terhubung dengan Tuhan yang juga roh, yang menjadi ukuran penyembahan melebihi aktifitas badaniah. Menyembah dalam kebenaran adalah dalam suatu pengertian dan cara yang sesuai dengan sifat-sifat Tuhan. Inilah yang dimaksud dalam Mazmur 119:7 itu.
Dalam pengenalan yang benar akan Tuhan, dalam mendalami, meyakini dan menghidupi hukum-hukum Tuhan -sungguh penyembahan kita, ucapan syukur dan pujian kita dimurnikan oleh sebab itu lahir dari hati yang berkenan di mata Tuhan.
Hari ini, jika Anda rindu menyenangkan hati Tuhan melalui penyembahan yang dikehendaki Bapa sorgawi, Anda perlu mengenal Dia dan berusaha oleh pertolongan Roh Kudus-Nya untuk makin mengenal kehendak-Nya sebagaimana yang terkandung dan tersembunyi dalam kebenaran-kebenaran firman-Nya.
Semakin Anda mengenal Dia, Anda dimampukan mempersembahkan ibadah terbaik, yang menyenangkan Dia yang melihat hati, pikiran dan hidup Anda.
Rindukan Anda membawa ibadah Anda menjadi kesenangan-Nya?
Salam revival
Indonesia penuh kemuliaan Tuhan

PEMULIHAN BAGI RUMAH-NYA

Oleh: Peter B, MA


Yesus berkata: “Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah BapaKu menjadi tempat berjualan. Maka teringatlah murid-muridNya. Bahwa ada tertulis: ‘Cinta untuk rumahMu menghanguskan Aku.’ (Yohanes 2:16-17)
Banyak pujian yang mengatakan dan mengajak kita untuk menjadi seperti Yesus. Itu adalah lagu-lagu pujian yang baik, karena itu Alkitabiah. Bapa sendiri memang menghendaki kita meneladani Yesus Kristus, AnakNya. Lebih dari itu, Ia ingin kita menjadi serupa dengan Yesus (lihat Roma 8:28). Tetapi meskipun mungkin telah cukup jelas bagi kita, perlu kita sadari benar bahwa yang dimaksud dalam puji-pujian maupun dari nats Alkitab tersebut, bukanlah kita menjadi seperti Yesus dalam segala arti hurufiahnya. Kita diperintahkan untuk serupa dengan Kristus dalam meniru tingkah laku dan prinsip-prinsip hidupNya. (lihat 1 Yohanes 2:6).
Kegagalan sebagaian orang Kristen mengerti akan perkara-perkara ini menyebabkan mereka menjalani suatu kehidupan yang sebenarnya justru jauh dari kehendak Tuhan. Beberapa orang karena ingin meniru Kristus merelakan dirinya dipaku di atas kayu. Ada pula yang berambut gondrong ataupun memilih jalan hidup lajang, karena berpikiran bahwa bukankah Kristus seperti itu. Benarkah demikian?
Jika pendapat orang-orang itu benar, maka seharusnya mereka juga harus meniru tindakan Kristus yang satu ini dengan persis tepat: mengambil cambuk dan mengusir orang-orang yang berbisnis, berdagang, dan hiruk pikuk di dalam rumah Tuhan. Tentu saja tidak, bukan? Yang perlu kita teladani bukanlah persis seperti apa yang Yesus lakukan kira-kira 2000 tahun lampau, sebagaimana dalam Yohanes 2:15, mengambil cambuk dan mengusir orang-orang keluar. Yang perlu kita pelajari dan contoh adalah semangat yang kuat dan menyala-nyala disertai keberanian yang besar untuk melihat kemuliaan Bapa bersinar dan nyata di dalam BaitNya, yaitu gereja. Yang dilakukan Yesus adalah khusus, tidak semua orang diperintahkan atau harus berbuat demikian. Tetapi prinsip atau intisari dari apa yang dilakukan Yesus adalah prinsip umum yang berlaku atas setiap kita. Intisari dari apa yang Yesus lakukan saat itu adalah bahwa Ia begitu dikuasai semangat serta keberanian yang kudus melihat rumah Bapa-Nya dipulihkan fungsi dan keadaannya yaitu sebagai tempat Bapa di hormati, ditinggikan dalam takut dan hormat.
Yesus tidak takut untuk tampil berbeda dengan orang-orang lain (baca: pengunjung-pengunjung Bait Suci yang lain) pada umumnya. Ketika semua orang hanyut dalam keramaian ‘pasar’ Bait Suci, Yesus mengatakan diriNya dengan cara yang sangat kontras. Mungkin saja, beberapa orang di situ merasa agak risih juga melihat kenyataan seperti itu, tetapi tidak ada seorangpun yang berani bersikap berbeda dengan khalayak umunya jemaat di situ. Mereka memilih untuk diam dan mengikuti apa yang telah berlangsung. Renungan penting bagi kita: lebih mirip siapakah kita? Seperti Yesus yang dipenuhi kemarahan kudus dan semangat yang kudus pula untuk memulihkan kemuliaan Bapa? Atau, seperti orang-orang pada umumnya, yang hanya bisa terdiam membisu melihat rumah Tuhan dipergunakan tidak sebagaimana mestinya?
Mungkin ada di antara Anda yang berpikir, “Ah, itu bukan panggilanku. Aku tidak pernah tergerak untuk melakukan itu. Itu sih urusan para pendeta!” benarkah sikap yang demikian? Perlu saya ingat kan kembali bahwa apa yang dilakukan Yesus haruslah kita teladani. Dan Yesus memberikan suatu peragaan bagaimana seharusnya sikap hati para penyembah sejati. Dan jikalau kita menyelidiki lebih dalam, ketahuilah bahwa pada saat Yesus menyucikan Bait Suci iti pertama kalinya, Ia masih belum dikenal dimana-mana. Itu dilakukannya dalam permulaan masa pelayananNya. Tidak ada seorangpun saat itu yang mengenal Dia sebagai pengajar, nabi, tokoh besar dan sebagainya. Pada saat itu, Yesus masih ‘orang biasa saja’. Di pandangan mata orang Israel waktu itu, Ia tidak lebih dari salah satu pengunjung atau jemaat di Bait Suci itu. Jika Yesus yang belum dikenal, tidak memiliki sebutan apapun, dan tidak menyandang predikat apapun sebagai contoh tokoh agama bersemangat untuk rumah BapaNya, bukankah kita sendiri yang sering kita pandang sebagai ‘orang biasa saja’ juga seharusnya bersikap seperti Kristus?
Oleh karena itu, adalah tanggung jawab kita untuk kita mengambil sikap dan tindakan yang benar sesuai dengan pimpinanNya untuk melihat rumah Bapa dipulihkan secara murni dalam tujuannya. Kita tidak boleh diam saja, apalagi terhanyut sehingga turut serta dalam gelombang orang-orang yang tidak mencari Tuhan di dalam BaitNya. Setiap kita terpanggil untuk menegakkan kebenaran dengan cara yang dikehendaki oleh Tuhan sendiri. Untuk itu, jika kita mendapati keadaan gereja kita mengalami kemerosotan dan tidak lagi berjalan sebagaimana tujuannya, beberapa pemikiran ini kiranya dapat membantu kita:

A. Kita harus menunjukkan sikap yang konsisten (yang didorong oleh semangat yang kudus) untuk tidak pernah lagi menggunakan rumah Tuhan sebagai sarana apapun yang lain selain tempat untuk mencari, meninggikan, menyembah dan memuliakan Dia. Kerinduan Tuhan adalah rumahNya menjadi ‘rumah doa bagi segala bangsa’ (Yesaya 56:7). Sikap yang konsisten akan kebenaran dapat dipastikan mengundang reaksi yang keras dari orang-orang di sekeliling kita. Seperti yang dialami Kristus, orang-orang akan mulai menantang dan bertanya dengan keras, “Ini sudah tradisi kebiasaan di sini. Mengapa engkau mau berbuat begitu?” (lihat Yohanes 2:18). Tetapi kita harus lebih takut kepada Allah daripada kepada manusia.
B. Kita memperagakan suatu pelayanan dan ibadah dengan dasar dan motivasi yang benar yaitu pelayanan bagi kemuliaan Tuhan semata, bukan keuntungan atau kepentingan kita sendiri. Banyak orang hingga hari ini datang ke gereja, yang adalah rumah Bapa, dengan suatu ‘api yang asing’, dengan semangat yang tidak dikenal dan dikenan oleh Bapa. Mereka datang beribadah dan juga melayani didorong oleh motivasi untuk memperoleh keuntungan bagi diri mereka sendiri. Itu tidak boleh terjadi demikian. Kemuliaan Tuhan akan dipulihkan kembali dalam rumahNya, jika kita yang datang kedalamNya merindukan dan mengundang kemuliaan dan kehadiranNya di sana. Jika Ia diundang maka percayalah, Ia pasti datang. Masalahnya adalah, kita sangat jarang mengundang serta mendambakan Dia. Kita lebih sering merindukan apa yang Ia dapat perbuat bagi kita apa keuntungannya bagi kita daripada apa yang bisa kita persembahkan bagi kemuliaanNya.
Dalam hal mengasihi Rumah Tuhan, tidak ada yang lebih baik daripada Daud, raja Israel yang berkenan di hatiNya. Ia memperjuangkan Rumah TuhanNya seumur hidupnya. Lihatlah apa yang tertulis dalam Alkitab kita tentang Daud ini: “Sesungguhnya aku tidak akan masuk ke dalam kemah kediamanku, tidak akan berbaring di ranjang petiduranku, sesungguhnya aku tidak akan membiarkan mataku tidur atau membiarkan kelopak mataku terlelap, sampai aku mendapat tempat untuk TUHAN, kediaman untuk Yang Maha kuat dari Yakub.” (Mazmur 132:3-5) dan juga “Dengan segenap kemampuan aku telah mengadakan persediaan untuk rumah Allahku, yakni emas…perak…tembaga…besi…kayu…batu…permata… (2Tawarikh 29:2).
O, dimanakah Daud-daudnya Tuhan di masa ini? Saya tidak akan pernah dapat mengukur betapa besar kerinduanNya akan penyembah-penyembah sejati seperti Daud.
(Diambil dari warta Worship Center edisi 6–15 Februari 20012)