Arsip Bulanan: Mei 2019

RAHASIA DI BALIK SANG RAKSASA

Oleh : Peter B, MA
Pagi ini, entah bagaimana, saya menemukan
suatu video di youtube yang berisi pembahasan dari seorang wartawan terkenal di
New York, Malcolm Gladwell, mengenai kisah Daud dan Goliat (bisa dilihat videonya
di https://youtu.be/ziGD7vQOwl8). Informasi detail yang diberikannya menambah
pengetahuan dan wawasan baru dalam kisah heroik Daud ini.
Gladwell menyampaikan dua fakta terbaru
berdasarkan data-data mutakhir yang makin memperjelas situasi pada saat itu.
Antara lain :
1) Daud bukan hanya bermodal keberanian dan
kenekadan dalam menghadapi Goliat. Ia mempersiapkan suatu strategi berdasarkan
pengetahuan dan pengalamannya dalam bertarung, yang membuatnya yakin bahwa jika
ia melakukannya bersama Tuhan, ia akan beroleh kemenangan;
2) Goliat sejatinya tidak semenakutkan yang
terlihat. Dari fakta-fakta Alkitab, digabungkan dengan data ilmu pengetahuan
modern, Goliat sebenarnya mengidap acromegaly, suatu kondisi pertumbuhan
fisik yang tidak wajar, yang membuatnya tumbuh lebih cepat dan lebih tinggi
sehingga menyerupai raksasa dalam penampilannya. Ini dialami oleh setiap orang
yang mengalami kelainan tersebut. Di sisi lain, kelemahan dari pengidap
acromegaly ini adalah bahwa mereka memiliki kesulitan melihat dalam jarak
yang jauh. Dengan kata lain, mereka rabun jauh karena ada semacam tumor yang
tumbuh di otak mereka. Dapatkah disimpulkan bahwa Goliat sebenarnya hanya mampu
bertarung ketika musuhnya berada di dekatnya. Dalam jarak yang cukup jauh, ia
sama sekali tidak berdaya.
Dari dua fakta di atas, kita dapat belajar
dari Daud. Hikmat Tuhan turun menerangi setiap fakta di atas menjadi suatu
pesan rohani yang penting bagi kita semua.
Banyak yang mengumpamakan kisah Daud versus
Goliat memiliki kaitan dengan bagaimana orang menghadapi suatu tantangan atau
kesulitan yang besar dalam hidupnya.
Kebanyakan orang, melihat masalah atau
persoalan yang menimpanya dan menjadi lemah. Mereka memilih untuk berdiam dan
merasa tidak berdaya. Sama seperti Saul dan seluruh prajurit Israel. Mereka
terintimidasi. Takut. Merasa tidak mampu berbuat apa-apa. Kecil hati. Semakin
kehilangan harapan.
Dari Daud, kita bisa belajar suatu pendekatan
yang berbeda dalam menghadapi suatu tantangan.
1) Daud menghadapi segala tantangan
bersama-sama dengan Tuhan. 
Tuhan adalah kekuatannya. Terangnya dan
keselamatannya, juga benteng hidupnya (Mazmur 27:1). Bersama-sama dengan Tuhan,
jelas sekali Daud menjadi pribadi yang jauh lebih kuat dan perkasa daripada
manusia biasa. Selama ia mengandalkan Tuhan, ia tak kenal takut dan tak
terkalahkan.
2) Daud mengamati segala sesuatu dengan
seksama untuk kemudian mencari hikmat dari Tuhan untuk menyelesaikan
“masalah” yang ada.
 Di sinilah seringkali orang gagal melakukannya.
Mereka hanya melihat jalan buntu. Di pikiran mereka, persoalan hidup itu telah
menjepit mereka dan mereka merasa mustahil mengalahkannya. Sama seperti tentara
Israel melihat Goliat dan langsung berpikir, “Kita tidak akan mampu. Musuh
terlalu besar. Dia hebat sekali. Kita mustahil menang. Yang pasti, kita semua
pasti dibinasakan.”
Kebanyakan orang begitu fokus pada detail
masalah mereka sampai-sampai mereka lupa pada detail-detail pengalaman mereka,
pengetahuan mereka, modal yang mereka miliki, bakat mereka, koneksi dan hubungan-hubungan
yang mereka miliki atau bahkan pada iman dan pengalaman mereka bersama-sama
dengan Tuhan sebelumnya. Mereka begitu terintimidasi dengan semuanya dan yang
hanya bisa mereka pikirkan adalah, “Aku pasti celaka. Aku pasti
mati.”
Tidak demikian dengan Daud. Ia dengan tenang
mengamati musuhnya. Dengan apa adanya, tidak melebih-lebihkan atau memandangnya
terlalu remeh. Dia melihat kemungkinan-kemungkinan. Lalu ia berharap pada Tuhan
yang telah menyertai dan menerangi jalannya menjaga domba-domba gembalaannya.
Ia telah melihat berkali-kali hewan-hewan buas lari sebagai bukti bahwa Tuhan
menyelamatkannya. Tuhan telah mengajarnya bertarung dan berperang. Untuk
mempertahankan dirinya maupun hewan-hewan lemah yang dilindunginya. Sebaliknya
daripada melihat seperti orang Israel melihat lalu menjadi ketakutan melihat
perawakan Goliat, Daud melihat sang raksasa dengan cara berbeda : postur
lawannya yang tinggi besar itu menjadikan sang rival sebagai sasaran yang lebih
mudah untuk dibidik!
Dari sini, semakin jelas bagi kita mengapa
Daud sangat yakin bisa memenangkan pertarungan, bukan?
Seperti Daud, seharusnya kita menempatkan
masalah kita pada porsinya dan mencari kemungkinan-kemungkinan mengatasinya.
Lebih daripada sekedar meratapi nasib dan terus merengek-rengek di hadapan
Tuhan supaya Dia membereskan masalah kita dan melenyapkannya begitu saja, kita
seharusnya dengan tenang berdiam di hadirat Tuhan dan membiarkan Sang Penasihat
Agung menunjukkan langkah-langkah yang bisa kita lakukan. Hikmat-Nya akan dikaruniakan-Nya
kepada kita. Jika kita mengikuti tuntunan-Nya, Ia pasti menuntun dan membawa
kita di jalan kemenangan. Mengandalkan Tuhan berarti bukan duduk manis dan
menyuruh-nyuruh Tuhan mengubah keadaan kita begitu saja. Mengandalkan Tuhan
berarti menanti-nantikan Dia, mencari Dia dan petunjuk-Nya lalu melangkah
sesuai dengan apa yang disampaikan-Nya kepada kita itu. Jika Ia mau kita
berdiam diri, kita harus diam (lihat Keluaran 14:14) tetapi jika Ia mau kita
bergerak, kita harus melangkah seperti yang dikehendaki-Nya.
3) Kita harus terus menyesuaikan perspektif
kita atas kesukaran-kesukaran yang kita hadapi.
 Beberapa orang terjerat hutang
yang menggunung karena kondisi ekonomi yang tidak stabil. Yang lain mengalami
vonis penyakit yang berat dan prediksi usia yang tak akan lama. Ada pula yang
menghadapi masalah keluarga yang pelik. Daftar ini bisa terus bertambah dengan
variasi yang tak terkira banyaknya. Meskipun demikian, seperti Goliat yang
tampak menyeramkan, sesungguhnya masalah kita bisa jadi tak sedemikian menakutkannya.
Kita dibekali kemampuan oleh Tuhan untuk bertahan hidup. Dan bersama-sama
dengan Tuhan, kita menghadapi semuanya dalam kekuatan ekstra.
“Hanya kuatkan dan teguhkanlah
hatimu,” demikian pesan Tuhan tiga kali banyaknya kepada Yosua saat hendak
masuk Tanah Kanaan dan menghadapi raksasa-raksasa di sana. Ya, kita harus
membuang rasa kecil hati, tawar hati, lemah hati dan mental underdog untuk
menerima janji kemenangan dari Tuhan. Sebaliknya, kita harus yakin bahwa apa
yang ada di dalam kita, yaitu Roh Kudus-Nya, lebih besar daripada roh-roh dunia
ini sekalipun mereka tampak menakutkan. 
Dia yang menyertai kita jauh lebih banyak dan lebih perkasa daripada
yang hendak menjatuhkan kita. Akan cinta Tuhan, kita tidak boleh goyah.
Kasih-Nya menjaga kita dan membuat kita LEBIH DARI PEMENANG!
“Tetapi dalam semuanya itu kita lebih
dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.”
~ Roma 8:37 (TB)
Salam revival!
Indonesia penuh Kemuliaan-Nya

TAKUT AKAN TUHAN : AJARAN HIKMAT YANG PERTAMA

Oleh : Peter B, MA
Dalam Amsal 15:33 dikatakan :
Bahwa takut akan Tuhan itulah (peng)ajaran
hikmat
 (Terj. TL)
Takut akan TUHAN adalah dasar pendidikan yang
baik
 (Terj. BIMK)
Hikmat mengajar orang menghormati TUHAN (Terj. VMD)
Hikmat mengajar engkau untuk menaruh hormat
(maksudnya memiliki rasa takut akan) TUHAN 
(Terj. ERV)
Hikmat sejati selalu PERTAMA-TAMA mengajarkan
untuk orang memiliki takut akan Tuhan. Dari sanalah segala hikmat untuk kehidupan
bermula. Tanpa takut akan Tuhan, hikmat yang dimiliki seseorang akan menyimpang
pada hikmat-hikmat palsu, yaitu hikmat yang diajarkan dunia ini dan kemungkinan
bermula dari pikiran pribadi-pribadi yang lain seperti dari pikiran manusia
maupun iblis.
Pelajaran pertama hikmat yang benar bukan
untuk mengejar hikmat semata tetapi mendasarinya dengan mendidik seseorang
memiliki takut akan Tuhan di hatinya. Ini pula yang disampaikan oleh Salomo
dalam salah satu pernyataan amsalnya yang terkenal : “Permulaan hikmat
ialah takut akan Tuhan”. (Dapatkah Anda mengetahui pasal dan ayat dimana
pernyataan itu dituliskan?)
Itu artinya, untuk memperoleh hikmat yang
sesungguhnya, orang harus memiliki TAKUT AKAN TUHAN. Dan itu pula yang
ditekankan oleh Sang Hikmat itu sendiri. Tanpa takut akan TUHAN, Allah yang
benar, tidak ada petunjuk atau jalan yang benar. Ada banyak jalan tetapi hanya
ada SATU JALAN dimana orang menemukan kunci-kunci akan hidup yang sejati dan
yang menuntun kepada kehidupan yang seharusnya dijalani manusia yang kemudian
membawanya pada kehidupan yang kekal.
Pertanyaannya, mengapa TAKUT AKAN TUHAN
menjadi syarat dasar dan utama yang dituntut oleh hikmat? Seberapa penting
takut akan Tuhan itu?
1) Tanpa takut akan Tuhan, kita tidak akan
pernah datang dan bersentuhan dengan Sang Hikmat Sejati, sumber segala hikmat,
yaitu TUHAN sendiri;
Kegentaran akan Tuhan menjadikan kita tunduk
dan merendahkan diri, menghamliri-Nya untuk mengakui kedaulatan, kedahsyatan
dan kebesaran-Nya yang melampaui kita. Dari sanalah kita hati kita siap untuk
diajar dan dibimbing lebih lanjut.
2) Tanpa takut akan Tuhan, kita hanya akan
terbuka dan menghargai hikmat dari diri kita sendiri atau dari sumber-sumber
lain, selain dari sumber yang benar dan sejati itu;
Sebagai makhluk sosial yang menjalin berbagai
hubungan dengan berbagai unsur alam semesta dan yang hidup dalam suatu
peradaban yang kian luas dan mendunia, setiap individu tak mungkin tak
dipengaruhi oleh semuanya itu. Dengan tidak memiliki takut akan Tuhan, kita menutup
pengaruh ilahi, pengaruh terbaik yang kepadanya seharusnya kita terbuka
selebar-lebarnya. Sebagai gantinya, kita terbuka untuk pengaruh pola pikir
manusia, trend, pergaulan global, sistem dunia yang seringkali berakar dari
kuasa-kuasa kegelapan yang mempengaruhi manusia yang tanpa sadar membuka diri
seluas-luasnya terhadap mereka.
3) Hanya dengan hormat kepada Tuhan, hikmat
yang diperoleh manusia menjadi sebesar-besar manfaat dan berkat bagi kebaikan
dan kebahagiaan manusia;
Perbedaan terbesar antara hikmat Tuhan dan
hikmat yang lain mungkin adalah hikmat Tuhan itu murni dan didasari serta
didorong oleh cinta, yang bertujuan membawa kebaikan bagi semua pihak.
Tetapi hikmat yang dari atas adalah
pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan
dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik.
~ Yakobus 3:17 (TB)
Takut akan Tuhan berarti membuka diri
seluas-luasnya bagi pengaruh ilahi. Yang atas orang-orang demikian, kemudian
diterangi dengan hikmat sejati. Tanpa hikmat sejati ini, setinggi dan sehebat
apapun hikmat manusia hanya akan menjadi sarana untuk memperjuangkan
kepentingan-kepentingan dirinya atau kelompoknya. Ketulusan dan kasih jarang
dijumpai dalam hikmat yang tidak murni. Tidak mengherankan Ahitofel yang penuh
hikmat, menggunakan kebijaksanaan yang ada padanya untuk melakukan makar.
Hikmatnya pun tak mampu membawa damai dalam dirinya sehingga ia mengakhiri
hidupnya sendiri ketika merasa diabaikan (lihat 2 Samuel 16:23; 15:12, 17:23).
Sebagai penutup, ada baiknya kita menyadari
sejak sekarang bahwa pendidikan duniawi yang terbaik sekalipun tidak akan
terlalu berarti dan berguna bagi kehidupan yang penuh bahagia di bumi -jika
seseorang tidak diajar LEBIH DAHULU memiliki rasa takut akan Tuhan, yang mana
sudah seharusnya dilakukan sejak masa kecil dan remajanya.
Pada sisi lain, ini bukan dorongan untuk
belajar agama atau theologis sejak muda. Ini adalah petunjuk untuk mendorong
setiap orang mencari Tuhan dan menundukkan diri kepada-Nya, kepada Bapa sorgawi,
yang kita kenal melalui perjumpaan dengan pribadi Yesus Kristus, jalan
satu-satunya manusia untuk terhubung pada Allah sejati.
Lebih dari mendidik dan mengarahkan anak-anak
kita maupun diri kita menyelami hikmat dunia ini lebih lagi, kita perlu menjaga
dan memelihara HATI YANG TAKUT AKAN TUHAN. Suatu sikap hati yang memungkinkan
kita selalu terhubung dengan hikmat terbaik dan termulia itu. Hanya dengan
hikmat-Nya, hidup kita menjadi hidup terbaik yang bisa dijalani seorang
manusia.
Salam revival!
Indonesia Penuh Kemuliaaan Tuhan