Bukan di Sini atau di Sana, Melainkan di Hati….. (Peter Bambang)



Kata Yesus kepadanya: “Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.”
(Yohanes 4:21)

              “Pernah ibadah di gereja sana?  Wah, kuat lho penyembahannya….”
            “Kalau ingin merasakan hadirat Tuhan dan mengalami mujizat kesembuhan, datang aja ke gereja situ.  Beneran lho, aku sudah merasakannya….”
            “Melihat fasilitas dan kemegahan gedungnya saja itu sudah membuktikan bahwa Tuhan ada dan bekerja di sana.  Jadi pasti tepat dan betul kalau ibadah di sana karena pasti ketemu Tuhan di situ….”
            “Ibadah raya di tempatku luar biasa.  Urapan dan hadirat Tuhan kuat banget.  Nggak kecewa deh kalau beribadah di sana.”
            “Sebisa mungkin sering-sering ikut ke Israel dan tour ke tempat-tempat di sana.  Di Yerusalem atau di Gunung Sinai terasa banget kehadiran Tuhan di sana.  Beda pokoknya dengan di Indonesia.”
            “Cari tempat beribadah itu yang pasti ada Tuhan di sana.  Tandanya waktu kita datang, kita merasa merinding gitu.  Hanya beberapa gereja aja yang bisa buat kau merasa kayak gitu.
           
Pernahkah Anda mendengar pembicaraan-pembicaraan semacam itu –atau setidaknya semacam ungkapan-ungkapan kalimat di atas? Atau, mungkin Anda termasuk yang pernah dan masih mengatakan hal-hal seperti di atas dalam percakapan-percakapan Anda?  Mungkin Anda berpikir sekarang : apa ada masalah kalau aku berbicara semacam itu?  Atau, kenapa sih kok dipermasalahkan?  Apa ada yang salah kalau mengatakan hal-hal seperti di atas? 
  
Yang terpenting bukan benar dan salah, saling membenarkan atau saling menyalahkan.  Yang utama adalah apakah pikiran, ucapan perkataan  atau tindakan kita sudah didasarkan pada kebenaran-kebenaran firman Tuhan dan prinsip-prinsip kebenaran sejati yang diajarkan oleh Kristus.
Yohanes 4:20-21 merupakan kilasan percakapan antara Yesus dan perempuan Samaria di tepi sumur Yakub di wilayah orang-orang Samaria :

“Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah.”

Kata Yesus kepadanya: “Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.”

Perempuan Samaria itu mengatakan bahwa nenek moyangnya (yaitu orang-orang yang menempati Samaria pertama kali -baca 2 Raja-raja 17:24-41), beribadah di gunung ini (kemungkinan besar gunung Gerizim –baca Ulangan 11:29-30) sedangkan ‘kamu’ (yang dimaksud adalah ‘kalian orang-orang Yahudi asli’) beranggapan bahwa penyembahan yang benar dinaikkan di Yerusalem.  Di sini sebenarnya dapat dikatakan bahwa perempuan ini sedang menarik suatu batas pemisah yang kemungkinan besar bermaksud membuat Yesus menjauh dan berhenti dari pembicaraan tersebut atau setidaknya ia sedang menguji apakah reaksi Yesus setelah ia menyampaikan fakta mengenai penyembahan yang berlangsung hingga hari itu.  
Pastinya, kita mendapatkan informasi dan fakta bahwa penyembahan, dipandang oleh sebagian besar orang pada zaman itu sangat terkait dan tergantung penerimaannya di hadapan Tuhan dengan tempat-tempat atau lokasi-lokasi tertentu.  Artinya, ada tempat dimana penyembahan kita tidak diterima oleh Tuhan dan ada lokasi-lokasi tertentu dimana penyembahan kita akan dikenan oleh Tuhan.  Tepatkah pandangan seperti demikian?

Inilah tanggapan Yesus : “Percayalah, hai perempuan, saatnya akan tiba, kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.”Wow, sungguh suatu pernyataan yang kuat dan menggoncang!  Apa makna perkataan Kristus ini?  Setidaknya kita dapat menyimpulkan beberapa prinsip rohani yang penting dari perkataan Kristus tersebut :

1) Penyembahan kepada TUHAN akan dan dapat dilakukan tidak lagi di tempat-tempat sakral tertentu 
2) Yesus sedang mengatakan bahwa penyembahan bagi setiap orang (siapapun itu baik orang Samaria maupun Yahudi maupun siapapun orangnya) tidak akan lagi dilakukan di tempat-tempat tertentu sesuai kepercayaan nenek moyang mereka, tradisi atau kepercayaan mereka sebelumnya, melainkan ada satu cara yang ditetapkan untuk semua penyembah dari Tuhan yang sejati
3) Penyembahan yang tidak berkaitan dengan tempat tersebut akan tiba waktunya dan bahkan kemudian ditegaskan oleh Yesus sendiri dalam Yoh. 4:23 bahwa saat-saat itu sudah tiba sekarang yaitu bahwa penyembah-penyembah sejati akan menyembah dengan cara yang tepat seperti diinginkan oleh Allah Bapa.
4) Tersirat pula bahwa Allah Bapa ingin disembah dengan cara yang ditetapkan-Nya sendiri.  Bukan dengan sekehendak hati menurut cara-cara yang dirancangkan oleh pikiran manusia yang kurang pengenalan akan Tuhan.

Ketika Yesus datang ke dunia, Ia hendak memulai sesuatu yang baru.  Termasuk memulai suatu bentuk penyembahan yang baru.  Tirai bait suci yang terbelah menjadi dua pada saat kematian-Nya di kayu salib (Mat. 27:51; Mark. 15:38; Luk.23:45) menjadi saksi dan bukti bahwa penyembahan yang baru itu telah dimulai pada saat itu.  Setiap orang –bukan hanya Imam Besar- beroleh kesempatan untuk mendekat ke dalam hadirat Tuhan (yang dilambangkan oleh tabut perjanjian dengan tutup pendamaian di atasnya) dan menyembah dalam keintiman melalui Kristus sebagai perantaranya.  Inilah kasih karunia bagi semua manusia.  Tidak lagi dibatasi tempat, tidak lagi diharuskan melalui ritual-ritual khusus, tidak perlu lagi dilakukan melalui perantaraan manusia atau hamba-hamba Tuhan, bahkan tidak ada cara-cara baku tertentu untuk menyembah Tuhan!  Kita hanya masuk oleh iman kepada darah-Nya yang telah membasuh kita dari segala dosa sehingga kita menjadi layak menghampiri-Nya.Betapa besar kasih dan kerinduan-Nya untuk bersekutu dengan kita!

Kita adalah penyembah Dia, dimana saja dan kapan saja
            Jadi, dimanakah kita seharusnya menyembah Tuhan?  Dari kebenaran di atas, kita dapat menjawab : dimana saja!  Dia, TUHAN, telah menyediakan diri-Nya untuk ditemui.  Kapan saja dan di mana saja.
       Jika demikian, masihkah kita mempersoalkan dan mencari tempat-tempat tertentu, gereja-gereja tertentu atau acara-acara tertentu untuk merasakan hadirat-Nya? Atau, apakah relevansi fasilitas yang modern dan lengkap di dalam gedung-gedung gereja yang megah atau ruang-ruang pertemuan bertarif sewa mahal demi memantapkan jemaat beribadah kepada Tuhan?  Jika kota yang dianggap keramat seperti Yerusalem tidak lagi menjadi kiblat penyembahan di hadapan Tuhan, akankah segala kemegahan, keindahan atau kelengkapan tempat ibadah hari ini dapat memberikan nilai lebih bagi penyembahan kita di pandangan Tuhan? Dan, bukankah tidak ada bangunan yang pernah didirikan manusia bagi Tuhan di muka bumi ini yang lebih menakjubkan daripada bait suci Salomo namun ketika tidak ada penyembahan sejati lagi di sana  maka segalanya dilenyapkan oleh Tuhan? Atau tidak tahukah Anda sepenggal percakapan antara Yesus dan murid-murid-Nya berikut ini :

Ketika Yesus keluar dari Bait Allah, seorang murid-Nya berkata kepada-Nya: “Guru, lihatlah betapa kokohnya batu-batu itu dan betapa megahnya gedung-gedung itu!”

Lalu Yesus berkata kepadanya: “Kaulihat gedung-gedung yang hebat ini? Tidak satu batupun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain, semuanya akan diruntuhkan.” (Mark. 13:1-2)

Hampir 70 tahun kemudian terjadi demikian : tidak ada satu batupun tertumpuk di atas batu lainnya.  Segalanya runtuh sama sekali, segala kebanggaan dan kekaguman manusia pun hancur lebur.  Pertanyaannya adalah : mengapa tampaknya Tuhan suka meruntuhkan bait-bait yang dibangun demi nama-Nya –sedangkan Anak Manusia sendiri tidak mendirikan satu tembok pun seumur hidup dan pelayanan-Nya di dunia dan tidak satu kata maupun pesan Ia tinggalkan kepada murid-murid-Nya untuk membangun suatu bangunan yang megah untuk tujuan menaikkan penyembahan kepada Bapa?

Penyembahan kita seharusnya merupakan penyembahan yang tulus bagi Tuhan, yang terpancar dari hati yang memuja dan mencinta, bukan penyembahan yang tampak spektakuler dalam tampilan, sarana, fasilitas maupun tempat.
  
Diterimakah penyembahan kita jika kita mengedepankan cara-cara kita sendiri dan bukannya penyembahan yang dikehendaki Bapa?
            Sebagian besar orang Kristen (dan ini tidak tendensius atau mengada-ada) meyakini bahwa tempat ibadah yang baik adalah tempat penyembahan yang baik dan diterima oleh Tuhan.  Jika tidak demikian, pastilah orang-orang percaya tidak hanya beribadah di gereja pada hari-hari tertentu belaka namun setiap hari di rumah-rumah mereka!  Masalahnya, ini merupakan cara pandang yang tidak diajarkan oleh Alkitab.  Saya tidak  akan pernah lupa apa yang dikatakan Tuhan kepada Daud ketika Daud bermaksud mendirikan rumah bagi Tuhan :

“Pergilah, katakanlah kepada hamba-Ku Daud: Beginilah firman TUHAN: Masakan engkau yang mendirikan rumah bagi-Ku untuk Kudiami?

Aku tidak pernah diam dalam rumah sejak Aku menuntun orang Israel dari Mesir sampai hari ini, tetapi Aku selalu mengembara dalam kemah sebagai kediaman.

Selama Aku mengembara bersama-sama seluruh orang Israel, pernahkah Aku mengucapkan firman kepada salah seorang hakim orang Israel, yang Kuperintahkan menggembalakan umat-Ku Israel, demikian: Mengapa kamu tidak mendirikan bagi-Ku rumah dari kayu aras?(2 Samuel 7:5-6)

Tuhan memilih berdiam dalam kemah.  Dia tidak menentukan maupun memiliki tempat khusus yang dipilih-Nya di bumi dimana Dia harus disembah.  Ketika Ia menyetujui untuk berdiam dalam rumah yang didirikan Salomo dengan prakarsa Daud, Ia menghargai kerinduan Daud yang bermaksud memberikan yang terbaik bagi Tuhan.  Namun, mengingat betapa mudah manusia teralih perhatiannya kepada sesuatu yang lain daripada kepada Tuhan sehingga berubah setia kepada-Nya maka TUHAN memberikan peringatan kepada Salomo :

“Tetapi jika kamu ini dan anak-anakmu berbalik dari pada-Ku dan tidak berpegang pada segala perintah dan ketetapan-Ku yang telah Kuberikan kepadamu, dan pergi beribadah kepada allah lain dan sujud menyembah kepadanya, maka Aku akan melenyapkan orang Israel dari atas tanah yang telah Kuberikan kepada mereka, dan rumah yang telah Kukuduskan bagi nama-Ku itu, akan Kubuang dari hadapan-Ku, maka Israel akan menjadi kiasan dan sindiran di antara segala bangsa. Dan rumah ini akan menjadi reruntuhan, sehingga setiap orang yang lewat akan tertegun, bersuit, dan berkata: Apakah sebabnya TUHAN berbuat yang demikian kepada negeri ini dan kepada rumah ini? Maka orang akan berkata: Sebab mereka meninggalkan TUHAN, Allah mereka, yang membawa nenek moyang mereka keluar dari tanah Mesir dan sebab mereka berpegang pada allah lain dan sujud menyembah kepadanya dan beribadah kepadanya. Itulah sebabnya TUHAN mendatangkan segala malapetaka ini ke atas mereka.” (1 Raja-raja 9:6-9, cetak tebal oleh penulis)

Jadi, manakah yang lebih penting : tempat di mana kita beribadah atauhati kita yang beribadah kepada Tuhan?  Manakah yang diterima Tuhan : penyembahan yang dilakukan di tempat yang dikatakan dimana ada hadirat Tuhan di situ ataupenyembahan yang dinaikkan dari hati terdalam dimana dikatakan oleh Tuhan sendiri dalam firman-Nya bahwa Ia diam di sana? Saya sungguh berdoa agar Anda datang dalam kejujuran dan ketulusan di hadapan Tuhan.  Di dalam kejujuran itu, Anda telah mengetahui jawaban mana yang benar.

Renungan dalam doa: Tuhan ampuni aku karena ketidaktahuanku bahwa Engkau mencari di dalam hati bukan di antara bangunan dan gedung-gedung yang indah. Ampuni kebebalan hatiku yang memaksakan kepada-Mu untuk menerima penyembahanku dengan apa yang dapat kukerjakan dan kubawa dengan kebanggaan pribadiku di hadapan-Mu. Engkau mencari ketulusan di dalam batin, ya Tuhan. Bukan peragaan kesalehan dan praktek-praktek ritual. Kini perbaharui hatiku dan berikanlah kekuatan untuk mengubah pikiranku seturut kehendak dan firman-Mu. Di dalam nama-Mu, Yesus Kristus, aku berserah. Amin. 


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *