Arsip Kategori: EKONOMI ALLAH

MENCARI DIA DALAM KETULUSAN

Oleh: Peter B, MA
“Dengan korban kambing domba dan lembu sapinya mereka
akan pergi untuk mencari TUHAN, tetapi tidak akan menjumpai Dia; Ia telah
menarik diri dari mereka…
Aku akan pergi pulang ke tempat-Ku, sampai mereka mengaku
bersalah dan mencari wajah-Ku. Dalam kesesakannya mereka akan merindukan
Aku:”
– Hosea 5:6,15
Tuhan telah pergi ke tempat-Nya untuk menyembunyikan diri.
Begitu nubuatan Hosea. Itulah suatu pernyataan resmi bahwa Ia tak mau lagi
berurusan dengan umat-Nya. Sekalipun umat-Nya mencari Dia. Sekalipun dengan
kambing domba dan lembu sapi mereka. Persembahan atau korban bakaran mereka.
Dalam ibadah dan sembahyang mereka. Sekalipun mereka bersorak. Atau memuji-muji
dan menyembah. Bahkan meratap dalam tangis sambil membawa banyak berbagai
korban kepada-Nya.
Tuhan telah memutuskan tak lagi menjumpai mereka. Dia baru
akan kembali menyambangi umat-Nya dan hadir di tengah-tengah mereka ketika apa
yang menjadi kerinduan hati-Nya didapati-Nya di hati dan hidup mereka yang
mengaku beribadah kepada-Nya itu.
Inilah masa-masa buruk dan pahit. Tuhan tak lagi menjadi
kawan bagi mereka. Ia sudah tak mampu lagi dibujuk untuk memberkati mereka.
Meskipun beribu kali mereka mengklaim ada di pihak Tuhan dan Tuhan di pihak
merekaTuhan telah berdiri di seberang. Berhadap-hadapan dengan mereka.
Ia akan menentang semuanya. Para imam. Keluarga raja. Semua
rakyat Israel. Hosea 5:1 menyampaikan bahwa Ia akan menghukum semuanya. Bukan
karena benci dan amarah yang tak terkendali tanpa sebab. Tapi karena Ia hendak
berbuat baik supaya mereka bertobat. Ia akan memberikan hajaran yang keras.
“…Aku ini akan menghajar mereka sekalian… “ (ayat 2). Bahkan Ia
mengijinkan pembinasa, alat-alat sang penguasa kegelapan, untuk memakan habis
mereka beserta sumber-sumber penghidupan mereka (ayat 7).
Ya, ketika Yang Adil dan Benar itu murka, bahkan mereka yang
disebut bangsa pilihan-Nya pun akan dijadikan tandus, kering, mengenaskan dan
hampa (ayat 9). Ketika Tuhan menjalankan penghukuman-Nya atas mereka yang tak
lagi berpaut pada-Nya, maka Ia akan meremukkan (ayat 11). Ia akan
menghancurkan. Perlahan namun pasti, menggerus mereka bagai rayap dan belatung
(ayat 12). Betapa mengerikan murka Tuhan! Siapakah yang sanggup menolaknya?
Atau lari menghindar daripadanya?
Namun yang paling mengerikan dari semuanya, Tuhan menarik
diri dari mereka. Tak lagi bersama-sama untuk menjadi penolong dan pembebas
mereka. Tanpa Tuhan siapapun tak akan berbuat apa-apa.  Ketika Tuhan tak lagi bersama kita, kita
hanya akan melihat kemerosotan demi kemerosotan. Di segala bidang dan elemen
kehidupan. Meski kita menghibur diri dengan berbagai pembenahan dan kemajuan
yang tampak namun kita pun tahu ada kerusakan-kerusakan yang terus berlangsung
di tengah-tengah gereja maupun bangsa kita. Sesuatu yang makin jauh dari Tuhan,
firman ketetapan-Nya serta kehendak hati-Nya.
Kambing domba tidaklah cukup untuk mencari Tuhan.
Menghampiri Dia untuk memuji menyembah-Nya dengan berbagai sajian dan
persembahan tidak mampu membuat-Nya dijumpai. Mengapa demikian?
Sebab yang Tuhan kehendaki bukan berbagai program, kegiatan
dan acara peribadahan.  Yang
dirindukan-Nya ialah pertobatan dan pengakuan jujur bahwa kita bersalah di
hadapan-Nya: “..sampai mereka mengaku bersalah…” (ayat 6). Ia menanti
kesadaran kita akan keadaan kita yang melarat, malang, buta, miskin dan
telanjang.
Tuhan rindu kita mencari wajah-Nya: “… dan mencari
wajah-Ku”
. Yaitu mencari perkenan-Nya dan pengenalan akan Dia secara pribadi,
bukan apa yang dapat dilakukan-Nya bagi kita. Mencari Dia untuk mengenal
pribadi-Nya, bukan sekedar kuasa tangan-Nya.
Ia pun menantikan kita merindukan Dia: “..dalam
kesesakannya mereka akan merindukan Aku..”
(ayat 6). Oh betapa hati-Nya
mengharap diri-Nya menjadi yang terutama dan pertama dari yang diinginkan hati
kita! Menjadi yang paling didambakan dan diinginkan untuk ditemui serta berdiam
bersama.
Sebelum semua hal ini memenuhi hati kita hingga menggerakkan
kita untuk mencari Dia apa adanya karena kita tak mampu hidup tanpa Dia
-sebelum Dia menjadi gairah dan satu-satunya yang kita harapkan dan andalkan
dalam hidup- kita belum benar-benar mencari Dia.
Dan seringkali melalui peristiwa dan kenyataan pahit di
sekeliling kita, Tuhan menunjukkan betapa sia-sianya semua yang kita miliki dan
banggakan. Dalam keremukan dan kehancuran, kita akhirnya akan tahu bahwa
Diabsungguh berarti bagi kita. Dalam kesesakan yang tak tertangiskan, kita
akhirnya menyadari bahwa Dialah yang terbaik, satu-satunya milik kita yang
paling berharga dan tak boleh dilepaskan lagi.
Yang kita perlukan bagi kita sebagai gereja dan sebagai
umat-Nya di Indonesia ialah melihat keadaan kita dengan jujur. Segala
kegagalan, kekeliruan, kebodohan dan kesesatan kita haruslah kita akui dalam
pertobatan dengan hati yang hancur.
Janganlah kita tetap berkata kandang babi itu rumah pesta.
Atau makanan babi itu penuh gizi dan lezat. Maupun babi-babi itu binatang yang
mulia. Kita harus melihat keadaan kita dan mengakui betapa kotor dan miskinnya
kita. Betapa lapar, sakit dan lemahnya kita karena jauh dari persekutuan dengan
Bapa. Kita semestinya mengambil keputusan sekarang untukvmengubah cara kita
berhubungan dengan Tuhan. Kita harus bertekad dalam hati untuk tak lagi mencari
berkat-berkat jasmani Bapa. Namun kali ini, kita niatkan hati untuk bekerja
bagi Dia, mengabdi dan mengambil bagian dalam segala pekerjaan-Nya. Demi
semata-mata menikmati persekutuan dan persahabatan dengan Dia. Memandang
wajah-Nya dan menikmati kasih karunia-Nya yang selalu baru dan tak pernah
berakhir itu.
Ketulusan hati kita bagi Bapa adalah dasar pencarian yang
benar akan Tuhan. Dalam keihklasan kita mencari hadirat dan wajah-Nya, kita
akan memandang kemuliaan-Nya dan beroleh perkenan dan sinar wajah-Nya.
“Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang
kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan
menikmati bait-Nya.
… dalam kemah-Nya aku mau mempersembahkan korban dengan
sorak-sorai; aku mau menyanyi dan bermazmur bagi TUHAN.
Janganlah menyembunyikan wajah-Mu kepadaku, janganlah
menolak hamba-Mu ini dengan murka; Engkaulah pertolonganku, janganlah membuang
aku dan janganlah meninggalkan aku, ya Allah penyelamatku!”
(Mazmur 27:4,6,9)
“Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada
seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku
dari pada diam di kemah-kemah orang fasik.” 
(Mazmur 84:11)

KEMANAKAH SEHARUSNYA SAYA MEMBERIKAN PERPULUHAN ?

Oleh Tjia Timotius



SEKAPUR SIRIH
Suatu kali ketika saya sedang melayani ke Balikpapan, seorang usahawan Kristen bertanya kepada saya “Pak, apakah perpuluhan itu harus diberikan kepada gereja lokal tempat saya beribadah?”. Ya mungkin inlah pertanyaan yang ada dalam benak banyak anak-anak Tuhan. “Haruskah perpuluhan diberikan kepada gereja lokal tempat kita berbakti?”

Tentu saja jawaban pertayaan di atas bisa bersama tergantung siapa yang menjawabnya. Kebanyakan pendeta gembala sidang di kota pasti dengan senang hati akan menjawab “Ya, harus!” karena mereka berkepentingan dengan penggunaannya, tetapi pendeta desa atau penginjil keliling mungkin mempunyai jawaban yang berbeda “Tidak harus!” karena masing-masing mempunyai sudut pandang dan kepentingan yang berbeda. Seorang usahawan Kristen pernah berkata “perpuluhan adalah ajaran hukum Taurat sedangkan kita saat ini telah dipanggil masuk dalam hukum Kasih Karunia, jadi sudah seharusnya kita pun meninggalkan ajaran perpuluhan!” jadi mana yang benar?

Saya memandang usahawan Kristen itu sambil tertawa berkata “Menurut saya tidak harus!”. “Loh kenapa?” ia kembali bertanya, lalu saya menjawab dengan pertanyaan juga “Pak, menurut Bapak jika saya sekeluarga melayani Tuhan, bolehkah perpuluhan saya, saya berikan pada istri atau anak saya? Sebaliknya bolehkah perpuluhan istri saya, diberikan pada saya suaminya atau anak saya? Atau perpuluhan anak saya dia berikan kepada saya ayahnya atau ibunya?” Spontan usahawan itu menjawab, “Ya jelas tidak boleh dong, masa perpuluhan kok berputar hanya dalam keluarga, perpuluhan kan seharusnya diberikan keluar rumah tangganya”.

Lalu saya menjawab, “Ya itu benar, perpuluhan sebenarnya mata rantai yang tak terputuskan tetapi sekarang putus di dalam gereja karena gereja lokal hanya pandai mengajar jemaatnya memberi perpuluhan kepada gereja tetapi tidak mau memberikan perpuluhannya keluar gereja, yang terjadi adalah gereja lokal memberi perpuluhan kepada gereja pusat dan gereja pusat memberi perpuluhan kepada Pos PI atau sebaliknya, sehingga perpuluhan tidak keluar dari gereja. Jika gereja lokal tidak memberikan perpuluhannya keluar denominasinya (rumah tangganya) bagaimana mungkin mereka bisa mengharuskan jemaat untuk tertib memberikan perpuluhan kepada gereja?

Saya percaya jika gereja mempraktekkan perpuluhan dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan Tuhan maka ajaran perpuluhan berpotensi mempersatukan Gereja Tuhan sebagai satu Tubuh Kristus yang Am dan Kudus, gereja lokal yang besar akan menjadi berkat bagi gereja lokal yang kecil atau gereja desa, bagi penginjil lepas, bagi yayasan maupun lembaga-lembaga pelayanan yang disebut para church, sehingga dapat bekerja lebih efektif karena mendapat dukungan dana sebagai mitra pelayanan gereja lokal. Namun jika gereja lokal masih bersifat egosentris tidak misioner seperti sekarang maka ajaran perpuluhan yang hanya berputar dalam gereja lokal justru akan menjadi sumber perselisihan dan perpecahan Gereja Tuhan. Dalam situasi seperti ini jemaat tidak harus bahkan tidak perlu memberi perpuluhannya ke gereja lokal.

Sejujurnya pribadi bahkan percaya bahwa kita seharusnya sudah berhenti dan meninggalkan ajaran perpuluhan karena orang-orang non Kristen pada umumnya mengajarkan prinsip hidup amal soleh dimana kebaikan dan kejahatan seseorang akan ditimbang mana yang lebih berat. Jika lebih berat kejahatannya orang tersebut masuk neraka tetapi jika lebih berat kebaikannya orang tersebut akan masuk surga. Bukankah ini ajaran persetengahan atau 50 %? Usahawan tersebut bertanya, “Apakah yang Bapak maksud, kita harus membuang ajaran perpuluhan dari gereja?”. Sambil tersenyum saya menjawab ringan, “Bukan membuang tapi menyempurnakan ajaran perpuluhan dengan ajaran yang lebih baik, karena Tuhan kita berhak menerima yang terbaik yaitu perseratusan.” Pada waktu pulang ke Surabaya, usahawan itu melarang saya membayar tiket pesawat sambil berkata “Biar saya yang bayar pak, bukankah bapak bilang bahwa perpuluhan tidak harus diberikan pada gereja.”

Kami tertarik untuk membantu penerbitan buku ini karena dibuat berdasarkan penelitian seorang anggota jemaat biasa, yang tidak memiliki kepentingan pribadi, karena bukan pekerja fulltimer, didalam pergumulannya mencari kebenaran. Semoga Tulisan Bp Tjia Timotius ini dapat memperkaya wawasan rohani pembaca untuk juga meneliti dan mencari kebenaran. Nasehat kami, janganlah telan mentah-mentah apa yang dituliskan ini, perbandingkanlah dengan ajaran-ajaran sejenis, telitilah kitab suci dan putuskanlah sendiriapa yang benar. Berdoalah karena saya percaya Roh Kudus akan menolong saudara menemukan kebenaran, setelah itu bagikanlah kepada yang lain. Tuhan memberkati

Heru Tjandra Mulia
Pimpinan Nafiri Allah Terakhir
Penerbit








PRAKATA
Penulis adalah anggota dalam gereja, anggota biasa, seorang usahawan yang diberkati Tuhan.
Tulisan ini bukanlah untuk kepentingan penulis, karena penulis bukan dari “suku Lewi” jadi tidak berhak menerima persembahan persepuluhan dari “kesebelas suku Israel yang lain”.

Tujuan penulisan ini di buat adalah:
1. Mendudukkan permasalahan persepuluhan ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam Alkitab, sesuai dengan hati Tuhan.
2. Supaya kita memberikan kepada orang (siapapun dia) apa yang menjadi haknya. Jangan kita menipu / merampas hak orang lain yang memang berhak.
3. Supaya pekerjaan Tuhan secara keseluruhan menjadi lebih baik (karena didukung adanya distribusi / pembagian keuangan perpuluhan yang baik, adil dan benar).
4. Menyenangkan / berbuat sesuatu untuk Tuhan, Yakobus 4:17, “Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.”

Untuk itu penulis mencoba untuk menyelidiki Kitab Suci guna mengetahui, apakah pengajaran perpuluhan yang menganut tradisi atau tafsiran DI GEREJA MANA KAMU BERIBADAT, DIGEREJA ITU PULA KAMU HARUS MEMBERIKAN PERSEPULUHAN, yang kita anut selama ini, itu memang demikian (alkitabiah)? Kisah Para Rasul 17:11b.

Dalam membaca dan menilai tulisan ini jangan kita menilai dengan prinsip dagang, menerima karena diuntungkan atau menolak tulisan ini karena kita dirugikan.
Kita adalah hamba Tuhan, bukan hamba organisasi, bukan hamba uang; kita harus menerima dan memberitakan kebenaran Firman Tuhan secara lengkap dan benar, bukan memberitakan kebenaran Firman Tuhan dengan pertimbangan untung -rugi secara materi.

Akhir kata, semoga tulisan ini menjadi berkat untuk kita semua dan menjadi kebaikan untuk pekerjaan Tuhan secara keseluruhan.




Surabaya, 17 Agustus 2003
Penulis
Drs. Tjia Timotius
Hp: 0811370480








KEMANAKAH SEHARUSNYA SAYA MEMBERIKAN PERPULUHAN?
Mengembalikan sepersepuluh dari penghasilan yang kita dapatkan adalah hukum yang wajib, Mal 3 : 7 – 12, Ibrani 7 : 2 – 9. Tetapi kemanakah seharusnya kita mengembalikan perpuluhan kita kepada Tuhan supaya Tuhan senang? Berdasarkan Maleakhi 3 : 10 persepuluhan harus diserahkan ke RUMAH PERBENDAHARAAN “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan…”

Yang menjadi pertanyaan kita sekarang, apakah rumah perbendaharaan itu masih ada? Kalau masih ada, di mana? Gereja? Lembaga Kristen, misal Lembaga Alkitab Indonesia (di Jakarta), Yayasan Pelangi Kristus (Seminari Alkitab untuk anak di Surabaya)? Pendeta pemilik gereja? Penginjil organisasi gereja? Penginjil organisasi non gereja? Kalau salah satu pihak di atas mengklaim bahwa dirinyalah yang paling berhak disamakan sebagai RUMAH PERBENDAHARAAN dalam Perjanjian Lama, dan pihak yang lain tidak berhak, apa dasar dan kriterianya?

Rumah Perbendaharaan
Dalam jaman Alkitab, rumah perbendaharaan adalah sebuah bangunan fisik di mana orang – orang Yahudi mempersembahkan mereka berupa gandum atau hewan-hewan. Menurut Firman Allah, rumah perbendaharaan memiliki fungsi – fungsi yang spesifik (Ulangan 26 : 12, “…persepuluhan dari hasil tanahmu, maka haruslah engkau memberikannya kepada orang Lewi, orang asing, anak yatim dan kepada janda, supaya mereka dapat makan di dalam tempatmu dan menjadi kenyang”)

1. Untuk memberi makan Suku Lewi (Bilangan 18 : 24-29)
Para imam dan orang – orang dari Suku Lewi sama dengan para pendeta, staf Gereja, para penginjil pada masa kini. Sebagian makanan selalu tersedia bagi orang sakit dan orang – orang miskin sehingga tidak ada seorangpun akan kelaparan.

2. Untuk memberi makan para janda dan yatim piatu Ibrani yang tinggal di kota – kota di Ibrani (Ulangan 14 : 28-29)
Mereka sama dengan para janda dan para yatim piatu yang dilayani di dalam sebuah gereja lokal.

3. Untuk memberi makan orang – orang non Yahudi yang miskin yang tinggal di kota-kota di Ibrani (Ulangan 14 : 28-29)
Persamaannya saat ini adalah orang – orang yang belum diselamatkan di lingkungan sekitar sebuah gereja local

Seringkali dikatakan bahwa gereja – gereja modern kita dimasa kini adalah rumah – rumah perbendaharaan yang dijelaskan didalam Perjanjian Lama dan dimasukkan dalam Perjanjian Baru… Sehingga mengajarkan bahwa persepuluhan kita seharusnya diberikan kepada gereja. Saya berharap hal itu benar. Namun dalam kenyataannya, sedikit sekali gereja-gereja masa kini yang beroperasi sebagai rumah – rumah perbendaharaan, menyediakan kebutuhan orang – orang yang sakit, orang-orang jompo, dan para yatim piatu, dan juga mendukung para pengajar firman Tuhan diluar organisasi gereja. Akibatnya, cukup bnyak “imam dari suku Lewi” (baca: para penginjil dan hamba Tuhan yang melayani diluar organisasi gereja besar atau yang melayani di gereja desa dan di lembaga Kristen yang tidak didanai gereja) mengalami kelaparan. Oleh sebab itu, dalam hal sebuah gereja kurang fokus dalam suatu bidang pelayanan tertentu, saya berpandangan bahwa sebagian dari persepuluhan dapat diberikan kepada para individu atau organisasi-organisasi yang berhubungan dengan gereja sehingga “mengisi jurang pemisah itu”. (Dikutip dari : LARRY BURKETT, Persembahan dan Persepuluhan, halaman 38-39)

Nehemia 13:12-13, “…membawa…persepuluhan…ke perbendaharaan. Sebagai pengawas-pengawas perbendaharaan kuangkat imam Selemya dan Zadok, seorang ahli kitab, dan Pedaya, seorang Lewi, sedang Hanan bin Zakur bin Matanya diperbantukan kepada mereka, karena orang-orang dianggap setia. Mereka diserahi tugas mengurus pembagian kepada saudara-saudara mereka”
Operasional RUMAH PERBENDAHARAAN diatur dengan ketat. Nabi Nehemia sebagai pengatur/penanggungjawab tertinggi, tidak terlibat secara operasional. Operasional dikerjakan oleh orang-orang pilihan dari berbagai golongan yang tepat, imam, ahli kitab, Lewi, dan professional yang jujur. Pembagian persepuluhan yang telah terkumpul dibagikan dengan adil kepada saudara-saudara mereka yang berhak tanpa ada halangan denominasi dan lain organisasi.



Gereja
Saat ini, mungkin yang merasa paling berhak atas persembahan persepuluhan orang Kristen dalah pihak gereja. Apakah ini benar? Apa yang telah dilakukan gereja sehingga gereja merasa paling berhak dan yang lain dianggap tidak berhak/tidak layak untuk menerima persepuluhan?
Mengapa yang lain tidak berhak? Apa yang telah dilakukan mereka sehingga gereja menganggap mereka tidak layak/tidak berhak menerima persepuluhan? Dasar/kriterianya apa?

Siapakah GEREJA itu? Apakah GEREJA itu? Apakah GEREJA itu sama dengan pendeta? Apakah GEREJA itu sama denan Pendeta pemilik gereja dan tidak sama dengan Pendeta pegawai gereja? Apakah itu karena gereja merasa bahwa hanya dirinyalah yang sebagai rumah Allah? Dasarnya apa? Bukankah gereja itu hanya sekadar, sarana tempat ibadat? Sedangkan Alkitab mengatakan bahwa rumah Allah itu adalah tubuh kita, 1 Korintus 3 : 16, 6 : 19, “…tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam didalam kamu…”, Ibrani 3 : 6, “…dan rumahNya ialah kita…”.

Sedangkan gereja tidak pernah dikatakan sebagai rumah Tuhan (dalam arti berhak menerima persembahan perpuluhan, Kisah para rasul 4:35). Gereja disamakan sebagai rumah ibadat / sarana ibadat yang dapat dirobohkan, dan dihancurkan (Matius 9:18,35, Kisah para rasul 13 : 5).

Berdasarkan Nehemia 13 : 12 – 13, Maleakhi 3 : 10a, Ulangan 14 : 28, yang berhak menerima membagi persepuluhan itu RUMAH PERBENDAHARAAN, BUKAN RUMAH IBADAT dengan tujuan:




1. Supaya ada persediaan makanan dirumah-KU (Maleakhi 3 : 10b)
“Rumah-Ku” itu tidak harus/tidak selalu/tidak hanya gereja, bisa ditafsirkan tubuh Kristus (setiap orang beriman sebagai anggota tubuh Kristus), rasul, bisa penginjil, bisa Lembaga Kristen dimana nama Tuhan ditegakkan dan amanat agung Tuhan Yesus dijalankan (Ibrani 3 : 6, 1 Korintus 3 : 16, 6 : 19). Jadi tidak harus diartikan GEREJA sebagai rumah ibadat (2 Samuel 7 : 5-7, Kisah para rasul 7 : 48-49, “… Yang Maha-tinggi tidak diam di dalam apa yang dibuat oleh tangan manusia… Langit adalah takhta-Ku, dan bumi adalah tumpuan kaki-Ku. Rumah apakah yang akan kamu dirikan bgi-Ku,… tempat apakah yang akan menjadi perhentian-Ku?” Ibrani 3 : 6, “…dan rumah –Nya ialah kita…”).

GEREJA yang ditafsirkan sebagai RUMAH IBADAT (Matius 9 : 18, 35, Markus 12 : 39, Kisah para rasul 9:20) tidak sama dengan RUMAH PERBENDAHARAAN (Nehemia 13:10-13, Ulangan 14:28, Maleakhi 3 :10a). Jadi kalau berdasar ayat ini gereja seharusnya tidak berhak menerima / membagi perpuluhan, yang berhak menerima adalah RUMAH PERBENDAHARAAN. Gereja berhak atas uang persembahan yang dimasukkan ke dalam peti persembahan seperti contoh yang diberikan oleh Guru kita, Yesus Kristus (Markus 12 : 41-44), bukan uang persembahan persepuluhan.
Gereja hanya berhak menerima persembahan perpuluhan bila gereja sebagai persekutuan umat beriman, menjalankan fungsi Rumah Perbendaharaan dengan benar dan bertanggung jawab. Bila gereja hanya sebagai rumah ibadat dan organisasi Kristen semata, tentu saja gereja tidak berhak menerima persembahan persepuluhan.



2. Untuk memberi makan suku Lewi
(memenuhi kebutuhan hidup suku Lewi, Bilangan 18:24-29). Suku Lewi adalah hamba – hamba Tuhan yang kerja sepenuh waktu (full time) untuk menjalankan pekerjan Tuhan (dalam Perjanjian Baru dapat diartikan menjalankan amanat agung Tuhan Yesus). Dalam pengertian ini, hamba Tuhan tidak harus rohaniawan setempat yang bekerja dalam organisasi Gereja.Tetapi semua hamba Tuhan yang dipanggil oleh Tuhan melayani penuh waktu dan menjalankan panggilan dengan benar dan bertanggung jawab. Berarti termasuk hamba-hamba Tuhan yang bekerja di Lembaga Kristen, para misionaris yang melayani di pedesaan sedang merintis jemaat baru, para penginjil yang melayani orang-orang sakit di rumah-rumah sakit, dan pelayan Tuhan yang melawat mereka yang dipenjara. Jika mereka tidak mempunyai pekerjaan lain selain pelayanan Injil Kristus, mereka dapat digolongkan sebagai suku Lewi. Dalam hal ini buah dan kesaksian pelayanan Injil yang dilakukan oleh hamba Tuhan itulah yang membuktikan panggilannya sebagai imam yang dapat digolongkan sebagai suku Lewi.



3. Untuk memberi makan para janda dan anak yatim Ibrani (Ulangan 14 : 28-29)
Ini merupakan bentuk kesaksian iman Kristiani dan bentuk nyata lawatan Tuhan yang peduli dan mengasihi mereka yang menderita.



4. Untuk memberi makan orang – orang non Yahudi yang miskin yang tinggal di kota-kota di Ibrani (Ulangan 26 : 12-13)
Persamaannya saat ini adalah orang – orang non Kristen yang miskin yang tinggal di sekitar gereja. Sebagai catatan kritis : Andaikata gereja-gereja di Indonesia melakukan fungsi Rumah Perbendaharaan dengan benar, khususnya butir nomor 3 dan 4, maka saya percaya bahwa peristiwa kerusuhan, pembakaran gedung gereja dan sentimen terhadap gereja dapat dikurangi. Karena masyarakat di sekitar gereja yang mendapatkan pelayanan dan kepedulian dari pihak gereja yang akan bangkit untuk membela dan mempertahankan gereja. Mereka mengalami berkat Tuhan melalui pelayanan Gereja, hal itu dapat mendorong mereka untuk bersama dengan Gereja menghadapi tantangan / pertentangan dari pihak luar.

Tetapi hal ini bagaimana mungkin dikerjakan oleh gereja-gereja yang kecil / miskin, gereja-gereja di desa / pedalaman yang miskin. Untuk hidup sendiri saja sudah susah, boro-boro memberi tetangga. Ini terjadi karena andil (paling tidak ikut andil) tafsiran “prinsip restoran”. Jadi dapat saja yang terjadi sebaliknya.

Orang-orang non Kristen yang tinggal di sekitar gereja yang memberi makan gereja (pendeta pemilik gereja). Kenyataan ini sungguh terjadi di sebuah desa di Jawa Timur. Mengapa hal ini terjadi? Karena uang yang didapat (perpuluhan, kolekte, lain-lain) pendeta desa tersebut terlalu sedikit, sehingga dia dan istrinya harus lebih sering berpuasa (sebagian berpuasa terpaksa karena tidak ada yang dimakan), dan Tuhan tidak rela / malu kalau hambaNya mati kelaparan, maka Tuhan menggerakkan orang non Kristen di sekitar gereja untuk memberi makan.

Dalam cerita ini, apakah kita akan menghakimi dan menyalahkan pendeta desa tersebut? Pantaskah? Bukankah Alkitab menyalahkan kita juga? INI ADALAH KESALAHAN KITA, dan para penguasa / pemegang uang perpuluhan. Nehemia 13 : 10-11, “…sumbangan bagi orang-orang Lewi tidak pernah diberikan, sehingga orang-orang Lewi dan para penyanyi yang bertugas masing-masing lari ke ladangnya. Aku menyesali para penguasa…”Ini terjadi paling tidak karena kita andil (paling tidak ikut andil) menerima tafsiran “prinsip restoran”.

Dalam jaman Perjanjian Baru, diantara 5 jawatan (pegawai Tuhan) yang ada, RASUL, NABI, PENGINJIL, GEMBALA/PENDETA PEMILIK GEREJA, dan GURU (Efesus 4 :11) yang mendapat hak untuk menerima dan membagi uang dari jemaat adalah RASUL (Kisah para rasul 4 : 35). Bila gembala / pendeta masa kini ditafsirkan sebagai para rasul, pertanyaannya adalah, bagaimana mereka dengan penuh tanggung jawab melaksanakan fungsi membagi persembahan perpuluhan dengan setia. Bila para gembala / pendeta gereja hanya memikirkan organisasi gerejanya sendiri, maka sesungguhnya mereka tidak dapat disamakan dengan para rasul. 2 Korintus 8 : 14-15, “… Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, …supaya ada keseimbangan. Seperti ada tertulis: Orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan”.

Jadi menurut pandangan penulis, mengamati kenyataan saat ini, para rasul dalam perjanjian baru tidak dapat disamakan dengan Pendeta / Gembala. BUKAN GEMBALA, BUKAN PENDETA, BUKAN GEREJA, BUKAN RUMAH IBADAT (Kisah para rasul 9 : 20), tapi mengapa saat ini berubah? Sebagian gereja denominasi tertentu menetapkan bahwa yang berhak / berkuasa saat ini adalah GEMBALA (PENDETA PEMIMPIN GEREJA) saja. Yang lain tidak berhak menerima dan membagi uang / perpuluhan jemaat, bahkan yang tidak mau tunduk / tidak mau jadi pengerja / full timer gereja, tidak diberi uang / bagian perpuluhan yang didapatkan gereja. Bahkan menurut penulis (semoga salah), ada gereja yang menerapkan ketentuan, bahwa pengerja gereja itu tidak mendapatkan bagian dari perpuluhan jemaat, tapi mendapatkan honor / gaji, persis seperti pegawai sebuah perusahaan dagang. Apakah ini benar?


Penulis berpandangan bahwa semua fulltimer hamba Tuhan yang melayani, berhak atas persembahan perpuluhan. Bukan hanya Gembala Sidang / Pendeta. Dan bukan hanya Gembala Sidang sebagai satu-satunya yang berhak menerima dan membagi upah / gaji / perpuluhan.

Mengapa GEMBALA menjadi begitu superior daripada yang lain? Apakah ini benar? Bukankah gereja itu adalah persekutuan orang-orang beriman? Dalam hal pelayanan pekerjaan Tuhan, apa bedanya gereja dengan organisasi / lembaga Kristen, misalnya: Mitra Misi Indonesia, Yayasan Pelayanan anak bagi Kristus (Pelangi Kristus), Lembaga Alkitab Indonesia; sehingga hanya Gereja saja yang berhak menerima persepuluhan? Bukankah persepuluhan itu adalah miliknya Tuhan? Imamat 27 : 30, “…segala persembahan persepuluhan…adalah milik Tuhan…”. Mengapa gereja menentukan bahwa persepuluhan itu milik gereja? Bukankah seharusnya kita bertanya kepada Tuhan selaku pemilik persepuluhan itu, kemana kita harus menyerahkan persembahan persepuluhan kita setiap kali kita akan menyerahkan persepuluhan kita?




Penginjil Lembaga Kristen
(Bukan Gereja)
Penginjil sepenuh waktu (full timer) yang bukan full timer Gereja, mungkin dia juga merasa berhak menerima persepuluhan umat Kristen. Apakah ini salah? Apakah untuk mendapatkan bagian persepuluhan yang menjadi haknya (Bilangan 18 : 24-29, Ulangan 26 : 12-13), dia harus menundukkan diri / mengikatkan diri pada gereja dahulu, lalu gereja baru mau memberikan uang? Dan uang itupun apakah bagian perpuluhan yang memang menjadi haknya, atau hanya sekedar digaji supaya bisa hidup cukup seperti pegawai perusahaan dagang?

Bagaimana kalau ada penginjil yang memang dia disuruh Tuhan untuk menjadi penginjil bebas yang tidak tunduk dibawah gereja tertentu, untuk menginjil di pedesaan Kalimantan atau untuk melayani disuatu organisasi Kristen bukan gereja? Apakah dia tidak berhak menerima janji / perintah Tuhan seperti dalam Bilangan 18 : 24-29?



Organisasi / Lembaga Kristen
Ada organisasi / lembaga Kristen yang melakukan kegiatan / aktivitas penginjilan, pengajaran dan pemuridan seperti yang dikerjakan oleh gereja, misalnya: Yayasan Pelayanan Anak bagi Kristus (Pelangi Kristus), apakah lembaga Kristen semacam ini berhak menerima persembahan persepuluhan? Mengapa tidak berhak atau mengapa berhak? Apakah dasar ayat yang dipakai menetapkan berhak dan tidak berhak?

Bukankah sebagai anggota tubuh Kristus kita harus bekerja-sama? Bukankah yang kuat / kaya harus menanggung yang lemah / miskin? Bukankah penginjil yang bekerja full time karena mengemban amanat agung Tuhan Yesus, sekalipun bukan pengerja gereja juga berhak menerima bagian persepuluhan seperti yang diperintahkan Tuhan pada Bilangan 18 : 24-29?



Prinsip Yang Salah
Ada gereja yang mengajarkan: DI GEREJA MANA KAMU BERIBADAT, DI GEREJA ITU PULA KAMU HARUS MEMBERIKAN PERSEPULUHAN.
Ini prinsip yang salah. Prinsip / doktrin / tafsiran / tradisi yang mengatakan bahwa “DI GEREJA MANA KAMU BERIBADAT / MAKAN MAKANAN ROHANI, DI GEREJA ITU PULA KAMU HARUS MEMBAYAR / MENYERAHKAN PERSEPULUHANMU” (Ini yang penulis sebut sebagai prinsip restoran) ini adalah prinsip yang salah, dengan alasan :

1. Dasar Alkitabnya tidak jelas/tidak kuat. Tidak ada ayat Alkitab yang dengan jelas menyatakan demikian. Dapat saja ditafsirkan seperti ini, GEREJA = RUMAH IBADAT (Matius 9 : 18, 35, Markus 12 : 39, Kis 9 : 20) tidak sama dengan RUMAH PERBENDAHARAAN (Nehemia 13 : 10-13, Ulangan 14 : 28, Malekhi 3 : 10a). “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku…”.
Jadi dapat saja ditafsirkan bahwa kecuali gereja menjalankan fungsi Rumah Perbendaharaan, gereja tidak berhak menerima uang persepuluhan. “Rumah-Ku”, jug dapat ditafsirkan = TUBUH ORANG BERIMAN (Ibrani 3 : 6, 1 Korintus 3 : 16, 6 : 19) bukan GEREJA dalam arti gedung atau denominasi (2 Samuel 7 : 5-7, Kis 7:48-49, Ibrani 3:6).


2. Tidak adil, kejam dan mengandung unsur curang.
Prinsip ini tidak menyenangkan hati Tuhan karena tidak adil, kejam dan mungkin mengandung unsur curang. Tuhan membenci ketidakadilan (Mikha 6:9, Daniel 4:27, 1 Korintus 6:9), dan prinsip ini kejam dan curang. Coba kita lihat cerita yang sangat biasa terjadi antara gereja desa dan gereja kota. Ali dalah seorang anak dari keluarga desa yang miskin dan tidak mengenal Tuhan Yesus. Suatu saat ketika Ali berumur 5 tahun, datang seorang penginjil ke desa tersebut, termasuk keluarga orang tua Ali. Sejak saat itu Ali dibimbing dan berbakti di Sekolah Minggu, sampai kaum remaja dan pemuda di gereja yang digembalakan oleh penginjil desa yang sekarang menjadi Gembala Sidang di gereja tersebut.

Setelah Ali berumur 23 tahun, Ali lulus sarjana dan siap untuk bekerja. Karena lapangan pekerjaan di desa sedikit dan gajinya kecil, maka Ali memutuskan untuk pindah dan bekerja di kota Surabaya. Baru berbakti beberapa bulan sudah mendengar khotbah bahwa dia harus memberikan persepuluhannya di gereja di mana dia sekarang beribadat. Apakah ini tidak curang? Bukankah semua pemuda / pemudi anggota gereja desa yang cukup mampu dan pandai pasti pergi ke kota untuk mencari nafkah yang lebih baik? Dan setelah mendapat nafkah yang baik pasti pindah menetap di kota.

Apakah pendeta / penginjil desa hanya ditugasi untuk bekerja mencari jiwa anak-anak kecil desa yang medan dan lingkungannya sulit tetapi setelah bertumbuh menjadi pemuda-pemudi yang siap bekerja diusia produktif (menjadi orang) tidak berhak menerima perpuluhannya? Pendeta desa bagian menabur, mencangkul dan merawati, sementara bagian Pendeta kota adalah menuai? Apakah ini adil? 1 Korintus 3 : 6, “Aku menanam, Apolos menyiram, …Allah yang memberi pertumbuhan.”… dan,pendeta kota yang menuai? Bagi Ali, Pendeta desa tersebut adalah seperti Ibu yang melahirkannya, 1 Tesalonika 2 : 7-8 “…sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawat anaknya demikianlah kami dalam kasih sayang yang besar…bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri”. Bukankah ini yang telah dilakukan oleh pendeta desa tersebut terhadap Ali? Mengapa setelah Ali jadi orang (sukses nafkahnya) perpuluhannya tidak diberikan ke Pendeta desa tersebut ? Bukankah ini suatu hal yang tidak adil, sesuatu yang kejam? Setelah mendapat penghasilan, perpuluhannya tidak diberikan kepada ibunya. Orang yang menuai di tempat dimana orang itu tidak menabur, dan yang memungut dari tempat dimana orang itu tidak menanam adalah orang yang kejam.

Allah sangat memperhatikan keadilan, lebih dari perpuluhan itu sendiri, Matius 23:23 “…persepuluhan… kamu bayar, tetapi yang terpenting…kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan…”. 1 Korintus 6 : 9, “ Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapatkan bagian dalam Kerajaan Allah?”

Matius 23 : 23, “…persepuluhan…kamu bayar…tetapi yang terpenting…kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan…”. Manakah yang lebih penting bagi Tuhan Yesus, persepuluhan atau keadilan? Memberikan persepuluhan atau melakukan keadilan? Jelas melakukan keadilan! Jadi jelaslah bahwa dalam menafsirkan apapun tentang persepuluhan, tidak boleh mengandung sedikitpun unsur ketidakadilan. Melakukan keadilan adalah suatu perintah dan kesenangan Tuhan Yesus. Yohanes 7 : 24, “…hakimilah dengan adil.” Kisah para rasul 17:31,”…Ia dengan adil akan menghakimi dunia…”. Kolose 4 : 1, “…berlakulah adil dan jujur…”. Titus 1 : 8, “…penilik jemaat harus adil…”. Sedangkan dalam kasus Ali di atas, jelas menunjukkan bahwa tradisi “prinsip restoran” menunjukkan / mengandung (sedikit atau banyak) unsur ketidakadilan / kekejaman / kecurangan. Bukankah ini pasti salah? Karena sudah pasti Tuhan itu 100% adil, bukan 90% adil. Tidak mungkin Tuhan itu mengandung ketidakadilan / kekejaman. Jadi tafsiran “prinsip restoran” ini bertentangan dengan azas keadilan Tuhan, bertentangan dengan Alkitab.

3. Merugikan pekerjaan Tuhan secara keseluruhan. Dengan sistem ini terjadi distribusi keuangan yang tidak baik / tidak seimbang antara gereja desa dan gereja kota. Gereja kota kelimpahan uang, sementara gereja desa / pedalaman kekurangan uang. Kelebihan uang yang dialami pendeta kota tidak dapat digunakan untuk pekerjaan Tuhan, hanya menambah beban pendeta kota untuk mengurusi hal yang tidak terlalu perlu saja, sementara pendeta desa tidak dapat bekerja untuk Tuhan dengan optimal karena kekurangan dana (uang). Bahkan sebagian meninggalkan pelayanan karena kekurangan dana (uang), seperti yang terjadi dalam kitab Nehemia 13:10, “…sehingga orang-orang lewi dan para penyanyi yang bertugas masing-masing lari ke ladangnya”. Setiap orang, termasuk pendeta pasti mempunyai batas minimum keuangan (KFM = Kebutuhan Fisik Minimum), demikian juga dengan pendeta kota pasti mempunyai kemampuan maksimum untuk menggunakan uangnya dalam suatu proyek, termasuk proyek pekerjaan Tuhan.

Seorang pendeta desa untuk dapat hidup dengan baik pasti memerlukan sejumlah uang. Uang diperlukan untuk membiayai kehidupan keluarga dan pelayanan. Untuk ini pasti diperlukan suatu jumlah tertentu. Misal, diperlukan uang minimum sebesar Rp. 1.000.000,-/bulan oleh pendeta desa untuk membiayai keluarga (istri + anak) dan pelayanannya, tetapi uang yang ada (perpuluhan + kolekte) hanya tersedia Rp. 97.675,-/bulan. Apakah dengan kondisi ini pekerjaan Tuhan di desa tersebut dapat berjalan dengan baik, efektif dan produktif? Pasti tidak/ sulit. Memang, pekerjaan Tuhan tidak terlalu tergantung pada banyaknya uang, namun pasti jauh lebih baik kalau pendeta desa tersebut mendapatkan uang lebih dari Rp 1000.000,-/bulan, sehingga ia dapat berbuat lebih banyak untuk pekerjaan Tuhan, termasuk perbuatan kasih untuk jemaatnya dan untuk orang-orang non Kristen di sekitar gerejanya, sehingga nama Tuhan dipermuliakan, Mat 5:16.

Kalau ini dikerjakan, penulis yakin bahwa pembakaran/pengerusakan terhadap gereja tidak akan terjadi separah seperti yang telah terjadi selama ini. Hal ini sulit terjadi jika “sistem restoran” ini dianut. Seorang pendeta kota memerlukan sejumlah uang untuk membiayai keluarga (istri + anak) dan pelayanannya, misalnya maximum (bukan minimum) Rp 30.000.000,-/bulan (karena pelayanan memerlukan banyak uang), tetapi uang yang terkumpul (perpuluhan + kolekte + lain-lain) sebesar Rp 50.000.000,-/bulan. Berarti setiap bulan ada kelebihan uang sebesar Rp 20.000.000,-, kelebihan ini akan terakumulasi dan menjadi suatu jumlah yang besar, yang pada akhirnya membuat pendeta kota atau orang-orang di sekitarnya menjadi mati kekenyangan, menjadi dosa karena cinta uang (1 Timotius 6:10). Menjadi pusing karena uangnya terlalu banyak, pusing mengurus deposito (beberapa pendeta), berdosa karena berebutan uang.

Uang yang terkumpul tidak dapat digunakan untuk pekerjaan Tuhan dengan baik, efisien, dan produktif oleh pendeta kota. Ini adalah sama jeleknya dengan kondisi pendeta desa yang kekurangan uang, Amsal 30:8-9. Kedua-duanya adalah keadaan yang tidak baik, tidak efisien, tidak produktif dan merugikan pekerjaan Tuhan.

Kisah nyata, tahun 2003 ini masih banyak gereja / pendeta di pedesaan Jawa Timur yang mendapatkan “penghasilan/nafkah” (perpuluhan + kolekte) dibawah Rp 100.000,-/bulan. Data lebih rinci / detail dapat dilihat di Yayasan Mitra Misi Indonesia cabang Surabaya.  Mengapa terjadi demikian? Coba bandingkan dengan yang terjadi pada Nehemia 13:10-11.

Kalau kita berbicara tentang persepuluhan, berarti kita berbicara tentang keadaan jaman dahulu (jaman Perjanjian Lama), karena pada jaman Tuhan Yesus (jaman Perjanjian Baru) tidak pernah diperintahkan / dianjurkan untuk memberikan persepuluhan. Kalau kita berbicara tentang Perjanjian Lama, maka, kita harus berbicara tentang maksud / tujuan Tuhan mengadakan rumah perbendaharaan dan fungsinya. Kalau gereja berbicara tentang persepuluhan kepada jemaatnya, maka gereja harus menjalankan maksud / tujuan Tuhan mengadakan rumah perbendaharaan dan fungsinya. Kalau gereja tidak mau / tidak mampu menjalankan maksud / tujuan / fungsi diadakannya rumah perbendaharaan, maka seharusnya gereja tidak mengajarkan tafsiran “prinsip restoran” kepada jemaat.

Penulis yakin, bahwa maksud / tujuan diadakannya rumah perbendaharaan / persepuluhan oleh Tuhan adalah bukan untuk membuat gereja (pendeta) kota kaya / makmur / dan pendeta desa miskin / kelaparan. Tetapi adalah untuk membuat semua pekerjaan Tuhan menjadi baik, efektif dan produktif dan nama Tuhan dipermuliakan, bukan dipermalukan.

Tuhan Yesus tidak pernah memerintahkan kita memberikan persepuluhan, tetapi Tuhan Yesus memerintahkan kita memberikan semua yang kita miliki, seluruh hidup kita, jiwa kita untuk kemuliaan dan kebesaran nama Tuhan, Matius 5:16, Roma 12:1.

4. Menyebabkan sebagian orang Kristen kota mengkomersilkan gereja / pelayanan (bisnis gereja). Karena mendirikan / membentuk gereja di tempat tertentu di kota dapat menghasilkan uang yang banyak, maka sebagian orang Kristen membentuk gereja dengan semangat semakin banyak orang yang datang, semakin banyak uang perpuluhan yang di dapat dari “sistem restoran” ini.

5. Jika gereja tidak menjalankan fungsi Rumah Perbendaharaan, dalam hal menerima persepuluhan, maka: Gereja adalah rumah ibadat, bukan rumah perbendaharaan. GEREJA = RUMAH IBADAT RUMAH PERBENDAHARAAN. Gereja sedemikian harus mengurus rohani jemaat dan harus mengurus amanat agung Tuhan Yesus, bukan mengurus uang jemaat / uang Tuhan /uang perpuluhan harus diserahkan kemana. Gereja yang tidak menjalankan fungsi rumah perbendaharaan, tidak seharusnya mengajarkan tafsiran / prinsip “sistem restoran” tersebut di atas.

6. “Supaya ada persediaan makanan di rumahKu”, seandainya “rumahKU” ditafsirkan dengan gereja. Kalau gereja di mana kita beribadat sungguh sangat kaya, sedangkan banyak gereja desa / pedalaman yang masih sangat miskin, apakah kita harus tetap memberikan perpuluhan kita di gereja di mana kita beribadat? Tidak masuk akal bukan? Bukankah gereja desa itu juga rumah Tuhan? Dan jelas-jelas tidak ada makanan / kekurangan / kelaparan. Jadi prinsip ini tidak masuk akal kalau diterapkan / dikhotbahkan di gereja kota yang sudah kaya. Tuhan kita bukan Tuhan yang egois, bukan Tuhan yang senang kalau umatNya kelaparan.

7. Tafsiran ini hanya menguntungkan “beberapa gereja kota yang besar” secara materi (uang ) saja, tetapi merugikan pekerjaan Tuhan secara keseluruhan, khususnya pekerjaan Tuhan di desa / pedalaman yang jumlahnya sangat banyak.

8.Kalau prinsip ini benar, lalu “yang lain” selain gereja mendapat dana / uang dari mana? Dasarnya apa? Mengapa demikian?

9. Prinsip ini cenderung / agak egois, dan (mungkin) menyakitkan / menyakiti pihak “yang lain” yang sama-sama berhak.

10. Kalau prinsip ini ditiadakan (diganti dengan prinsip “tanya Tuhan – doa”, seperti uraian di bawah), yang rugi hanya beberapa gereja kota yang besar tetapi jelek (di hadapan Tuhan) saja, sedangkan gereja besar tetapi baik (di hadapan Tuhan), juga semua gereja desa / pedalaman yang baik, pasti diberi bagian uang perpuluhan yang banyak, karena yang menjadi pengatur perpuluhan adalah Tuhan sendiri, bukan “prinsip restoran”, bukan gereja, bukan manusia, tetapi TUHAN HAKIM YANG ADIL . Dalam hal ini pengurus persembahan perpuluhan (a. l. Pendeta, Penatua, Majelis Jemaat, dll) harus memiliki hati nurani yang bersih, pertimbangan yang adil dan benar, sehingga dapat mengarahkan persembahan perpuluhan yang dipercayakan oleh jemaat ke gereja tersebut, sesuai dengan kehendak Tuhan).



Kemanakah Seharusnya Kita Memberikan Persepuluhan?
Karena sekarang ini tidak ada RUMAH PERBENDAHARAAN, maka kita dapat memberikan persepuluhan kita dengan berpedoman pada ayat-ayat Alkitab. Beberapa pedoman dibawah ini dapat menjadi penuntun bagi kita jika akan menyerahkan perpuluhan atau uang persembahan yang lain, antara lain:

1) Penulis berpendapat bahwa kita memang harus mendoakan dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan. Pertama, kita harus menguji apakah gereja di mana kita berjemaat sudah menjalankan fungsi Rumah Perbendaharaan dengan benar dan bertanggung jawab. Bila jawabannya adalah ya, kita dapat mempercayakan persembahan persepuluhan kita melalui gereja (sama seperti prinsip Rumah Perbendaharaan dalam Perjanjian Lama).

2) Tanya Tuhan langsung. Tuhan yang punya (yang berhak) uang perpuluhan, Imamat 27:30, “Demikian juga segala persembahan persepuluhan…adalah milik Tuhan; itulah persembahan kudus bagi Tuhan”, Tuhan pula yang menentukan harus diserahkan kemana. Bukan gereja, bukan manusia. Berdoa sungguh-sungguh, pasti Tuhan pimpin kemana perpuluhan kita harus kita serahkan (Amsal 3:5).

3) Minta pimpinan Tuhan (berdoa) ke mana kita harus menyerahkan uang (perpuluhan) kita, karena uang yang kita miliki adalah milik Tuhan. Bertanya-tanya kepada Tuhan seperti Daud (1 Sam 23:2). Kalau Tuhan pimpin kita supaya kita menyerahkan perpuluhan kita (bahkan lebih dari perpuluhan sekalipun) ke gereja di mana kita berbakti, sekalipun gereja kita sudah sangat besar, bahkan terbesar, kita harus taat. Karena gereja yang besar biasanya juga mempunyai proyek / pelayanan yang besar yang memerlukan uang yang sangat banyak. Tuhan senang kalau kita / umatNya selalu bertanya-tanya kepada Tuhan (Hosea 8:4a), tentang apapun juga, terlebih tentang perpuluhan harus diserahkan ke mana, karena hal ini juga termasuk menghormati Tuhan selaku pemilik uang perpuluhan, Hosea 11:7. Gereja seharusnya mengajar / melatih jemaatnya untuk hal ini.

4) Kita mengalami sejahtera, sukacita, dan damai pada waktu kita menyerahkan uang kita (Yesaya 26:3).

5) Penerima uang (orang Lewi / Gereja / organisasi) mereka yang dengan setia melayani di dalam nama Tuhan Yesus Kristus (Kolose 3:17), dan sedang mengemban / menjalankan amanat agung Tuhan Yesus untuk menjadikan semua orang murid Kristus (Matius 28:19). (Ada buah pelayanan yang dapat kita saksikan).

6) Dalam hal penerima uang adalah organisasi / gereja, maka praktek manajemen keuangan yang baik harus dijalankan / pembukuan transparan / terbuka, Luk 16:12. Hal ini penting supaya tidak disalahgunakan untuk memperkaya salah satu orang / pengurus. Uang yang kita salurkan adalah uang milik Tuhan (Imamat 27:30), sudah selayaknya digunakan untuk memajukan pekerjaan Tuhan, bukan untuk memperkaya salah satu orang / golongan. Meskipun gereja kita sendiri, jika kita ragu / tidak dapat mempertanggungjawabkan bahwa uang yang kita serahkan itu sepenuhnya, digunakan untuk memajukan pekerjaan Tuhan, tetapi hanya (sebagian) digunakan untuk memperkaya salah satu orang / golongan, maka sebaiknya kita menyerahkan uang (perpuluhan) kita ke tempat lain (Roma 14:23).

7) Pihak penerima uang dalam pelayanannya harus dapat mengubah kehidupan banyak orang kepada Kristus (Galatia 5:22-23), dan memegang teguh doktrin alkitabiah dalam organisasi dan pelayanannya (Galatia 1:9).

8) Karena sekarang ini tidak ada rumah perbendaharaan, maka berikut ini adalah beberapa pihak yang menurut pandangan penulis, layak / berhak menerima persembahan perpuluhan langsung dari jemaat:

* Gereja di mana sekarang kita beribadat / dipelihara / ditumbuhkan.

* Gereja di mana dulu kita beribadat / dipelihara / ditumbuhkan.

* Gereja / organisasi / yayasan bukan gereja yang menjalankan / mendukung amanat agug Tuhan Yesus (Mat 28:19).

* Orang-orang Lewi (Penginjil, rasul, Gembala Sidang / Pendeta, Nabi, dan Guru), Galatia 6:6, khususnya yang melayani di desa / pedalaman dan miskin dan takut akan Tuhan, sesuai dengan pimpinan Tuhan kepada kita. Untuk penyerahan uang kepada “orang-orang Lewi” secara pribadi / perorangan, harus dilakukan dengan seleksi yang sangat ketat, hati-hati dan bertanggungjawab kepada Tuhan. Awas jangan sampai kita tertipu oleh rayuan / kata-kata manis “orang-orang Lewi gadungan yang tidak baik”. Perlu doa (pimpinan Tuhan ) extra untuk hal ini. Dan ingat jangan sampai kita sombong / memegahkan diri karena kita memberi / menyerahkan uang (perpuluhan), karena uang yang kita serahkan tersebut adalah uangnya Tuhan, bukan uang kita! Harus dengan motivasi yang tulus dan benar di hadapan Tuhan. Jangan mencuri kemuliaan Tuhan.

* Para janda dan anak yatim Kristen (Ulangan 14:28-29), ini perlu hikmat dan pimpinan Tuhan secara khusus dan sebaiknya dilakukan oleh badan seperti rumah perbendaharaan, misalnya gereja atau yayasan kristen bukan gereja yang menerima perpuluhan, bukan oleh umat Kristen.

* Orang-orang non Kristen miskin yang tinggal di sekitar gereja (Ulangan 26:12-13) khusus untuk butir ini, jauh lebih baik dikerjakan oleh gereja, bukan oleh individu orang Kristen. Hal ini demi meneguhkan kesaksian gereja sebagai wakil Kristus di dunia yang melawat umat-Nya yang menderita. Sehingga nama Tuhan yang dipermuliakan dan bukan diarahkan kepada individu orang Kristen tertentu.

Jika tulisan ini adalah kebenaran firman Tuhan, maka sudah seharusnya saudara menyebarkan / memberikan tulisan ini kepada orang lain Yakobus 4:17, 2 Raja-raja 7:9.