EKSES MEDIA SOSIAL

Tak terbayangkan apabila Yesus pada usia 12 tahun yang
sedang berdiskusi seru dengan tua-tua Yahudi, ahli-ahli taurat dan orang-orang
Farisi (lihat Lukas 2:41-51) terjadi pada masa sekarang ini. Di era digital dan
informasi ini, pastilah saat hal itu terjadi, orang-orang yang melihatnya di
sekitar mereka akan membuka smartphone mereka, merekam peristiwa itu dalam
bentuk video, yang lalu diviralkan di Youtube, dibagikan linknya di twitter,
diunggah gambarnya di Instagram dengan keterangan yang menarik perhatian,
dibagikan berulang kali di status pengguna facebook, menjadi pembicaraan luas
di grup-grup Whatsapp dan seterusnya. Dalam semalam, wajah si anak ajaib akan
tersebar dengan cepat. Seorang pengkhotbah cilik dengan segera akan
menggemparkan seluruh dunia. 

Jika itu yang terjadi, apa kira-kira reaksi Yesus kecil?
Apa yang akan dilakukan kedua orang tuanya ketika anak mereka menjadi tenar
dalam semalam?

Catatan Injil Lukas memberitahu kita:

Lalu Ia (Yesus) pulang bersama-sama mereka ke
Nazaret;
 dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya
menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya.
~ Lukas 2:51
Ya. Setelah peristiwa itu Yesus pulang ke Nazaret. Kembali
ke desa kecil yang tak terlalu diketahui orang itu. Begitu saja. Pun orang
tuanya. Hanya menyimpan semuanya dalam hatinya, tidak memberitahukannya kepada
siapa-siapa tentang keajaiban anak mereka.

Satu kejadian lain yang dicatat Alkitab meneguhkan
bagaimana sesungguhnya karakter Yesus yang mungkin saja akan tampak sangat
berbeda dengan kaum milenial sekarang ini. Saat itu Yesus telah berumur 30
tahun. Bersama ibunya, Ia diundang dalam suatu pesta kawin di kota Kana (lihat
Yohanes 2:1-11). Pesta yang meriah itu tiba-tiba dirundung kepanikan saat
anggur yang disediakan habis. Maria, ibu Yesus, yang tahu siapa dan apa yang
dapat dilakukan anaknya segera meminta Yesus campur tangan. Setidaknya,
mengadakan suatu mujizat atas keadaan yang mendesak dan dapat mempermalukan
yang mengadakan pesta. Dan inilah jawaban Yesus, “Mau apakah
engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba “ (Yohanes
2:4)
Jawaban Yesus tegas. Terkesan kasar. Ia menyebut ibunya
“Hai perempuan” dan “Apa hubungannya Aku dengan kamu”
(versi TL). Namun di balik sikap-Nya, Yesus sesungguhnya ingin menyatakan bahwa
Ia tidak akan tampil dan menunjukkan diri sebelum Bapa-Nya menghendaki. Ia
memegang prinsip itu dengan sangat ketat. Keras mendisiplin diri-Nya supaya
tidak mendahului penetapan ilahi dan dengan demikian keluar dari kehendak Bapa.

Meski begitu, Ia tetap turun tangan juga. Diubah-Nya air
menjadi anggur. Tapi secara diam-diam. Besar kemungkinan Ia menyuruh semua
pelayan yang mengetahui hal itu supaya merahasiakannya. Kemungkinan lainnya,
Yesus segera menghilang dari sana supaya tidak seorang pun mengetahui Dia dan
mencari tahu lebih lanjut akan diri-Nya. Waktu-Nya memang belum tiba.

Sebenarnya Yesus harus menunggu 18 tahun lamanya untuk
tampil di hadapan umum. Waktu yang sama sekali tidak sebentar.  Itu
pun bukan atas inisiatif dan kemauan-Nya sendiri. Ia muncul karena Bapa
menghendaki demikian. Waktu-Nya telah tiba.

Hari ini, semuanya jauh berbeda. Satu contoh nyata saja.
Tidak sampai satu dekade lalu, orang berusaha keras. Melatih diri,
mengembangkan bakat dan kemampuan bertahun-tahun lalu harus melewati berbagai
pekerjaan kecil (yang seringkali dengan upah yang sangat kecil atau tidak
diupah) atau mengikuti banyak audisi (yang kebanyakan ditolak) untuk dikenal
sebagai seorang artis. Kini, memasuki abad 21, semuanya dapat menjadi artis.
Instan. Dadakan. Bermodal tampang dan penampilan keren rupanya cukup mampu
menarik perhatian sampai ribuan orang. Dengan sudut pandang pengambilan foto
yang tepat serta pengeditan yang baik, seseorang bisa tampil mengesankan dan
menjadi pembicaraan. Yang lebih parah, jika tampil keren tidak mampu diraih,
orang bisa mengatakan sesuatu yang kontroversial, membuat video yang membakar
emosi atau menyebarkan berita bohong. Seluruh dunia (atau setidaknya satu
negeri) akan segera tahu siapa dia. Dalam sehari ia telah menjadi semacam
selebriti dengan caranya sendiri.

Yang patut disayangkan, ini pun terjadi di dunia rohani dan
pelayanan Kristen. Seseorang dengan segera memperoleh pujian dan pengakuan
sebagai anak Tuhan yang giat dan rohani hanya dengan meng-copy paste
pesan-pesan rohani setiap hari. Pesan yang tidak pernah susah payah ditulisnya
sendiri atau lahir dari perenungan pribadi yang mendalam melalui keintiman
pergaulan dengan Tuhan. Ini ditambah belakangan fenomena live atau siaran atau
liputan langsung yang juga difasilitasi media-media sosial semakin menjadi
tren. Orang bisa menyiarkan aktivitasnya kepada siapapun yang ingin melihatnya.
Ini semakin marak ketika orang yang melakukan live dapat memperoleh penghasilan
dari yang menontonnya. Setiap orang seolah mendapatkan semacam sarana yang memberikan
kebebasan dan kesempatan untuk mempromosikan dan menonjolkan dirinya di depan
banyak orang. Tidak heran jika kini istilah ‘narsis’ menjadi kata yang
disebut-sebut setiap hari.

Yang saya bahas di atas sesungguhnya adalah ekses dari
media sosial. Suatu keadaan yang melampaui batas-batas yang diharapkan. Apa
yang semestinya menjadi pembuka kesempatan yang sama bagi bakat-bakat terpendam
yang selama ini terhalang berbagai sekat tak pelak digunakan pula oleh mereka
yang belum siap atau matang menanggung beban dan harga dari ketenaran maupun
kondisi-kondisi yang berubah akibat dikenal secara luas.

Memang itu mustahil dicegah. Sebab sifat manusia sejak
kejatuhannya dalam kuasa dosa menjadi berpusatkan pada diri sendiri serta
cenderung meninggikan diri, lebih-lebih di masa-masa terakhir dari kesudahan
zaman (baca Kejadian 11:1-9; 2 Timotius 3:2). Tetapi yang tidak diperkirakan
ialah bahwa melalui ekses media sosial ini, kuasa-kuasa kegelapan
menggunakannya lagi-lagi untuk membuat manusia makin memuliakan dirinya
daripada memuliakan Allah.

Internet sebenarnya hanya sarana, layaknya sarana apapun
yang ada seperti uang. Sifatnya netral namun di tangan manusia yang dikuasai
natur dosa dan kelemahan karakternya, itu bisa menjadi sesuatu yang melawan
Allah. Di sinilah kita seharusnya menegaskan posisi kita: apakah kita akan
mengasihi dan melayani Tuhan dalam segala keikhlasan dan ketulusan atau kita
hendak memperjuangkan agenda-agenda kita sendiri dengan memanfaatkan Dia, yang
ujung-ujungnya menentang Dia karena peninggian diri kita?

Dunia entertainment sejatinya telah banyak memampangkan
dengan telanjang bagaimana beban sebuah ketenaran. Kita tahu bagaimana seorang
remaja berbakat seperti Justin Bieber seolah menjadi fenomena semalam melalui
video yang diupload ibunya di youtube. Benar, ia seorang anak yang penuh
talenta dalam bidang musik. Tetapi karakternya yang belum matang karena sangat
muda menjadikan ia tak mampu menangani tekanan dan perubahan gaya hidup secara
drastis sebagai pesohor. Ia tenggelam dalam euphoria selebritas yang menyebabkannya
jatuh dalam berbagai kebiasaan buruk, gaya hidup amoral, pemakaian obat
terlarang dan sikap-sikap yang tidak dapat dipandang terhormat sebagai seorang
panutan anak-anak muda. Dan Justin Bieber bukan satu-satunya. Sangat sedikit
idola anak muda dunia yang dapat dibanggakan dan diteladani karakternya.

Daud, yang kita ketahui pertama kali sebagai seorang remaja
yang takut akan Tuhan dan sangat mengasihi Tuhan, yang kemudian menjadi
pahlawan dalam sehari setelah menjatuhkan raksasa Goliat, sama sekali tidak
dibiarkan Tuhan melenggang dengan mudah menjadi apa yang telah ditetapkan dan
dinubuatkan Tuhan atasnya:  menjadi raja atas seluruh Israel. Ia
harus melewati tahun-tahun yang berat. Tahun-tahun proses, yang hampir saja
membuatnya putus asa untuk hidup secara benar di hadapan Tuhan.

Namun Daud bukan seperti rata-rata orang dengan hati
seperti orang kebanyakan. Ia spesial di mata Tuhan. Ia punya hati yang percaya
teguh kepada Allahnya. Ia menantikan peninggian dari Tuhan sendiri. Dengan
penuh sabar. Dengan menahan diri untuk mencari nama bagi dirinya. Ia melakukan
bagiannya dengan tekun dan setia di tiap tahapan yang Tuhan tentukan, ia yakin
Tuhan punya rencana terbaik sesuai waktu terbaik yang telah Tuhan tetapkan.
Kehidupan yang serupa namun tak sama dinyatakan kembali melalui kehidupan dan
pelayanan Sang Anak Daud, Yesus Kristus yang rela menjalani proses dalam tubuh
manusia untuk menjadi teladan sejati akan kehidupan seorang hamba Tuhan.

Bukankah jika kita mengaku sebagai pengikut dan murid-Nya,
kita semestinya mengikuti teladan dan petunjuk-Nya yaitu dengan sabar dan
tenang menantikan waktu-Nya bagi kita lebih daripada mencari peninggian diri
dengan cara-cara kita sendiri?

Seperti Kristus yang semata-mata memuliakan Bapa dan hidup
dalam kehendak Bapa-Nya itu, kitapun dipanggil hidup dan melayani dengan hati,
jiwa dan roh yang serupa. Melalui itulah kita akan dibedakan dengan apa yang
bukan berasal dari-Nya.

Sebab bukan dari timur atau dari barat dan bukan dari
padang gurun datangnya peninggian itu, tetapi Allah adalah Hakim:
direndahkan-Nya yang satu dan ditinggikan-Nya yang lain.
~ Mazmur 75:7-8
Dan kamu semua, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang
lain, sebab: “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang
yang rendah hati.”
Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan
Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya.
~ 1 Petrus 5:5-6
Tuhan memberkati setiap kita yang melakukan petunjuk dan
perintah-Nya!

Dalam terang Firman-Nya,
Peter B

Hamba sahaya di ladang Tuhan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *