Oleh: Peter B, MA
“Kita lebih dari sekedar tubuh-tubuh
yang kita diami, kata Fawkes. Mereka (tubuh-tubuh itu) hanya bernilai
sedikit lebih dari pakaian, namun kita mendasarkan penilaian begitu
banyak pada itu semua ( maksudnya yang tampak dari luar)”.
yang kita diami, kata Fawkes. Mereka (tubuh-tubuh itu) hanya bernilai
sedikit lebih dari pakaian, namun kita mendasarkan penilaian begitu
banyak pada itu semua ( maksudnya yang tampak dari luar)”.
~Michael J. Sullivan, The Death of Dulgath”
“Jangan menghakimi seseorang di kesan pertama. Anda hampir selalu keliru”
~Nicole Gallimore
“Sebelum Anda menghukum seseorang atas suatu perbuatan yang salah,
periksa tingkah laku dan kebiasaan Anda dan lihatlah apakah Anda juga
melakukan perbuatan yang sama atau bahkan lebih buruk daripada yang
orang itu lakukan. Maka Anda tidak akan berada dalam posisi untuk
menghakimi”
~Ellen J. Barrier
“Setiap orang bodoh bisa mengkritik, mengeluh, dan menghujat -dan
hampir semua yang bodoh melakukannya. Namun memerlukan suatu karakter
dan pengendalian diri untuk memahami dan memaafkan”
~Dale Carnegie, How to Win Friends and Influence People
Ungkapan
“Don’t judge a book by its cover” (Jangan menilai sebuah buku dari
sampulnya) tampaknya hanya mudah jika diucapkan. Kenyataannya, hingga
kini mayoritas manusia di dunia menilai orang lain terutama dari apa
yang tampak di depan mata. Sudah menjadi sesuatu yang umum, khususnya di
Indonesia, bahwa yang tampak kaya, berpangkat, menduduki posisi
kekuasaan atau tempat yang tinggi dalam hirarki otoritas agama akan jauh
lebih disegani dan dihormati daripada orang² biasa yang tidak memiliki
itu semua. Memiliki gelar tertentu ,entah dalam bidang pendidikan atau
dalam status² jabatan tertentu di masyarakat, kenyataannya, lebih
dihormati daripada yang tidak menyandang predikat tertentu. Begitu pula
dengan penampilan dan pembawaan diri. Yang baik rupanya, cantik atau
tampan, lebih digandrungi dan dikagumi daripada yang tampangnya dinilai
biasa² saja. Hingga kini dalam pikiran hampir setiap orang dari segala
bangsa dan suku bangsa ada suatu cara pandang tertentu mengenai warna
kulit, agama, karakter suku lain yang sangat menentukan sikap mereka
dalam berhubungan satu sama lain. Banyak hal sangat ditentukan dari
batasan² dalam pikiran atau pandangan² subyektif yang disimpulkan sejak
kesan pertama. Dari pola² kebiasaan berpikir manusia sedemikian inilah
ditaburkan benih² penghakiman yang mudah mencari kelemahan dan
menyatakan sesamanya bersalah dan layak dihujat atau diberi penghukuman.
“Don’t judge a book by its cover” (Jangan menilai sebuah buku dari
sampulnya) tampaknya hanya mudah jika diucapkan. Kenyataannya, hingga
kini mayoritas manusia di dunia menilai orang lain terutama dari apa
yang tampak di depan mata. Sudah menjadi sesuatu yang umum, khususnya di
Indonesia, bahwa yang tampak kaya, berpangkat, menduduki posisi
kekuasaan atau tempat yang tinggi dalam hirarki otoritas agama akan jauh
lebih disegani dan dihormati daripada orang² biasa yang tidak memiliki
itu semua. Memiliki gelar tertentu ,entah dalam bidang pendidikan atau
dalam status² jabatan tertentu di masyarakat, kenyataannya, lebih
dihormati daripada yang tidak menyandang predikat tertentu. Begitu pula
dengan penampilan dan pembawaan diri. Yang baik rupanya, cantik atau
tampan, lebih digandrungi dan dikagumi daripada yang tampangnya dinilai
biasa² saja. Hingga kini dalam pikiran hampir setiap orang dari segala
bangsa dan suku bangsa ada suatu cara pandang tertentu mengenai warna
kulit, agama, karakter suku lain yang sangat menentukan sikap mereka
dalam berhubungan satu sama lain. Banyak hal sangat ditentukan dari
batasan² dalam pikiran atau pandangan² subyektif yang disimpulkan sejak
kesan pertama. Dari pola² kebiasaan berpikir manusia sedemikian inilah
ditaburkan benih² penghakiman yang mudah mencari kelemahan dan
menyatakan sesamanya bersalah dan layak dihujat atau diberi penghukuman.
Wikipedia bahasa Indonesia menulis seperti ini tentang apa yang disebut ‘stereotipe’ :
“Stereotipe
adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap
kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotipe
merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh
manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam
pengambilan keputusan secara cepat. Namun, stereotipe dapat berupa
prasangka positif dan juga negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan
untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian beranggapan bahwa
segala bentuk stereotipe adalah negatif.
adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap
kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotipe
merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh
manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam
pengambilan keputusan secara cepat. Namun, stereotipe dapat berupa
prasangka positif dan juga negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan
untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian beranggapan bahwa
segala bentuk stereotipe adalah negatif.
Stereotipe
jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar,
atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang. Berbagai disiplin ilmu memiliki
pendapat yang berbeda mengenai asal mula stereotipe: psikolog
menekankan pada pengalaman dengan suatu kelompok, pola komunikasi
tentang kelompok tersebut, dan konflik antarkelompok. Sosiolog
menekankan pada hubungan di antara kelompok dan posisi kelompok-kelompok
dalam tatanan sosial. Para humanis berorientasi psikoanalisis, (semisal
Sander Gilman) menekankan bahwa stereotipe secara definisi tidak pernah
akurat, namun merupakan penonjolan ketakutan seseorang kepada orang
lainnya, tanpa mempedulikan kenyataan yang sebenarnya. Walaupun jarang
sekali stereotipe itu sepenuhnya akurat, namun beberapa penelitian
statistik menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus stereotipe sesuai
dengan fakta terukur.”
jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar,
atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang. Berbagai disiplin ilmu memiliki
pendapat yang berbeda mengenai asal mula stereotipe: psikolog
menekankan pada pengalaman dengan suatu kelompok, pola komunikasi
tentang kelompok tersebut, dan konflik antarkelompok. Sosiolog
menekankan pada hubungan di antara kelompok dan posisi kelompok-kelompok
dalam tatanan sosial. Para humanis berorientasi psikoanalisis, (semisal
Sander Gilman) menekankan bahwa stereotipe secara definisi tidak pernah
akurat, namun merupakan penonjolan ketakutan seseorang kepada orang
lainnya, tanpa mempedulikan kenyataan yang sebenarnya. Walaupun jarang
sekali stereotipe itu sepenuhnya akurat, namun beberapa penelitian
statistik menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus stereotipe sesuai
dengan fakta terukur.”
Adalah
fakta bahwa kita dibesarkan dan dididik dalam satu budaya tertentu.
Tanpa kita sadari, pola² menghakimi budaya lain serta memberikan cap
bagi kelompok di luar budaya kita turut ditanamkan dalam pikiran kita.
Tak mungkin dapat dipungkiri bahwa kita tumbuh dalam indoktrinasi
berbagai stereotipe mengenai berbagai suku, agama, ras dan golongan.
Kita menerima begitu saja -sebagai seorang anak atau anggota keluarga
muda yang belum berpengalaman- ketika berbagai cap atau label ditanamkan
dalam benak kita mengenai suku tertentu, agama tertentu atau marga dan
keluarga tertentu. Ini jelas makin menyulitkan kita menilai seseorang
secara apa adanya karena kita telah mengenakan kaca mata berwarna
tertentu atau menempatkan diri dalam sudut pandang tertentu yang
membatasi dan menyulitkan kita melihat sisi² berbeda dari karakter
seseorang atau sekelompok orang.
fakta bahwa kita dibesarkan dan dididik dalam satu budaya tertentu.
Tanpa kita sadari, pola² menghakimi budaya lain serta memberikan cap
bagi kelompok di luar budaya kita turut ditanamkan dalam pikiran kita.
Tak mungkin dapat dipungkiri bahwa kita tumbuh dalam indoktrinasi
berbagai stereotipe mengenai berbagai suku, agama, ras dan golongan.
Kita menerima begitu saja -sebagai seorang anak atau anggota keluarga
muda yang belum berpengalaman- ketika berbagai cap atau label ditanamkan
dalam benak kita mengenai suku tertentu, agama tertentu atau marga dan
keluarga tertentu. Ini jelas makin menyulitkan kita menilai seseorang
secara apa adanya karena kita telah mengenakan kaca mata berwarna
tertentu atau menempatkan diri dalam sudut pandang tertentu yang
membatasi dan menyulitkan kita melihat sisi² berbeda dari karakter
seseorang atau sekelompok orang.
Yesus
memerintahkan supaya “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak,
tetapi hakimilah dengan adil” (Yoh. 7:24). Apa yang terlihat oleh mata
seringkali menipu dan menyesatkan. Kita harus menilai dan menentukan
sikap berdasarkan hal² yang lebih daripada sekedar yang nampak secara
lahiriah atau yang kita tangkap secara sekilas pandang. Kita harus
mengetahui bagaimana menghakimi dengan adil itu. Suatu sikap menghakimi
yang tidak dilarang oleh Tuhan, yang disebut oleh Yesus sebagai
“menghakimi dengan adil” itu. Inilah cara yang diajarkan Tuhan yang
semestinya perlu kita pelajari supaya terhindarkan dari dosa menghakimi
yang jahat dan ditentang Tuhan itu.
memerintahkan supaya “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak,
tetapi hakimilah dengan adil” (Yoh. 7:24). Apa yang terlihat oleh mata
seringkali menipu dan menyesatkan. Kita harus menilai dan menentukan
sikap berdasarkan hal² yang lebih daripada sekedar yang nampak secara
lahiriah atau yang kita tangkap secara sekilas pandang. Kita harus
mengetahui bagaimana menghakimi dengan adil itu. Suatu sikap menghakimi
yang tidak dilarang oleh Tuhan, yang disebut oleh Yesus sebagai
“menghakimi dengan adil” itu. Inilah cara yang diajarkan Tuhan yang
semestinya perlu kita pelajari supaya terhindarkan dari dosa menghakimi
yang jahat dan ditentang Tuhan itu.
Kita harus tahu bagaimana ‘menghakimi’ yang ‘bukan menghakimi’ itu.
Ambillah waktu beberapa saat untuk kita merendahkan diri bersama-sama dan belajar kebenaran-kebenaran berikut ini.
Bagaimana sesungguhnya menghakimi dengan adil sesuai yang dikehendaki Allah itu?
1. Hakimilah Diri Kita Sendiri Sebelum Menghakimi Orang Lain
Yesus berkata dalam Matius 7:5 “Hai orang munafik, KELUARKANLAH DAHULU balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”
Sejatinya, Yesus sedang memberikan petunjuk bagaimana semestinya kita menjalankan apa yang dinamakan pengakiman itu. Diri kita sendirilah yang PERTAMA-TAMA harus kita hakimi, bukan orang lain. Ini berlaku di dalam segala situasi dan segala waktu. Tuhan memerintahkan bahwa kita seharusnya melakukan INTROSPEKSI terhadap diri kita lebih dulu sebelum mulai menilai (sekalipun hanya dalam hati) orang lain tidak benar, bersalah atau telah menyimpang. Ini harus kita lakukan sebagai suatu kebiasaan. Jika tidak kita akan melakukan sebaliknya, dimana kita cenderung mencela atau menghujat sesama kita tetapi belakangan menjadi malu oleh sebab kita sendiri telah salah menilai atau malah melakukan kesalahan yang sama atau mungkin lebih parah daripada orang yang kita hakimi.
Mungkin tidak ada yang lebih menjelaskan ini seperti peristiwa dimana seorang perempuan yang kedapatan berzinah dibawa oleh ahli² Taurat dan orang² Farisi ke depan Yesus (Yoh. 8:2-11). Mengatasnamakan hukum Musa, mereka mendakwa perempuan itu telah bersalah dan layak mendapatkan hukuman dirajam sampai mati. Menghadapi situasi ini, Yesus tidak memberikan jawaban apapun selama beberapa lama. Ia hanya menulis-nulis di atas tanah. Tampaknya Yesus ingin orang² merenung dan berpikir sebaik-baiknya melalui sikap diamnya. Sementara teriakan dan tuduhan orang² yang mengaku taat pada hukum makin riuh rendah, Yesus akhirnya berdiri dan berkata, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Tiba² suara² itu mulai menyurut. Perlahan, tinggal gumaman satu atau dua orang lalu hilang digantikan langkah² kaki para pendakwa itu pergi menjauh. Satu demi satu. Dimulai dari yang tertua, mereka semua pergi dari sana. Hingga orang terakhir yang pergi, tak ada lagi tuntutan apapun lagi. Tak lagi ada tuduhan atau desakan untuk penghukuman. Setelah mengambil waktu introspeksi diri, semua menyimpulkan bahwa mereka sama berdosanya dengan perempuan itu. Tak lagi merasa layak untuk menghakimi dan menghukumnya.
Benar yang Yesus katakan. Orang yang hendak mengambil selumbar dari mata saudaranya tetapi balok itu ada di matanya tidak lain tidak bukan hanya orang munafik saja (Matius 7:5a). Pada dasarnya, mereka banyak kesalahan tapi menutupinya dan mengalihkannya pada orang lain supaya terlihat dirinya lebih baik, lebih benar dan lebih suci.
Poin yang penting di sini : mudah mengacungkan telunjuk dan mempersalahkan orang lain. Tidak menunggu lama untuk melakukannya. Jauh lebih segera daripada memeriksa diri sendiri. Peristiwa di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa ketika kita mengambil waktu untuk mengoreksi diri kita sendiri maka sikap menghakimi pun perlahan-lahan sirna. Kita mulai menyadari bahwa kita semua punya kesalahan dan dosa. Dan atas dosa², kesalahan, kelemahan dan kejatuhan kita itu kita memerlukan pengampunan dan kesempatan yang baru. Kita membutuhkan kasih karunia. Bukannya penghakiman.
Adalah mudah menunjukkan kekurangan orang serta menjatuhkan hukuman bagi mereka tetapi terasa sukar untuk memberikan maaf dan pengampunan pada orang lain. Padahal itulah yang kita harapkan saat kita berbuat kesalahan.
Itulah sebabnya, kita semestinya memperhatikan kehidupan kita lebih dahulu sebelum menuding orang lain. Meskipun jika kesalahan orang tampak sangat amat nyata, bukan dengan entengnya kita menyalahkan dan menghujatnya. Kita harus menyadari betapa lemahnya kita sebagai manusia. Atau merenungkan betapa tidak mudahnya hidup dalam kekudusan. Atau bisa jadi orang yang jatuh dalam dosa itu sebenarnya belum tahu bagaimana hidup berkemenangan bersama Kristus itu. Dan juga seharusnya kita menyadari bahwa dosa beberapa orang memang menyolok tetapi bukan berarti orang yang tidak terlihat kejahatannya sudah pasti benar di hadapan Tuhan. Dosa Saul hanya tampak di depan Samuel. Skandal Daud diketahui seluruh rakyatnya. Tetapi dosa Saul dalam tingkatan tertentu jauh lebih buruk daripada Daud. Saul menolak taat kepada Tuhan, menduakan-Nya dengan bertanya pada arwah² serta seumur hidup hatinya sangat congkak dan menganggap rendah Tuhan sebagai Pribadi yang tidak perlu dipedulikan perintah dan keberadaan-Nya. Jika menilai dari apa yang tampak luar, Saul tentu lebih baik dari Daud. Namun Tuhan, yang melihat hati, tahu segala sesuatunya. Pada Dialah ada penghakiman yang benar. Hanya mereka yang bisa melihat menurut ukuran Tuhan, yaitu yang memiliki sudut pandang-Nya dan hati-Nya, mampu melihat dengan jernih dan tepat semuanya ini.
Untuk memiliki sudut pandang yang benar, haruslah didahului adanya sikap yang terus menerus menerapkan standar ilahi itu PERTAMA-TAMA KEPADA DIRI SENDIRI. Dengan cara demikianlah kita terlatih untuk selalu berada pada posisi yang netral, adil, tidak memihak atau berat sebelah. Dari sana kita terbiasa mengetahui dan menerapkan ukuran² yang benar dan hidup di dalamnya sehingga kita memahami dan melihat orang lain sebagaimana kita melihat diri kita sendiri.
Bukankah Yesus memerintahkan kita untuk “mengasihi sesama kita seperti kita mengasihi diri kita sendiri”?
2. Saat kita Menilai Dan Menyampaikan Penilaian Mengenai Sesama Kita, Hati Kita Haruslah Bersih Dari Segala Prasangka Atau Kepentingan Diri
Serupa dengan memakai kacamata yang berwarna (lensanya tidak bening) yang akan mempengaruhi warna asli dari apa yang kita pandang, demikian pula saat kita memandang dan mengamati orang lain dengan pikiran yang sudah berprasangka maka apa yang kita lihat pastilah bukan ‘warna’ yang sebenarnya dari orang tersebut. Pada saat itulah kita tidak menangkap gambar tentang seseorang dengan tepat, adil dan seimbang. Pikiran yang negatif terhadap seseorang menjadikan segala sesuatu tentang orang itu, gerak geriknya atau perkataannya terasa tidak elok dalam tangkapan indera kita. Perasaan kita telah gelisah serta curiga sejak dari awalnya. Gambaran² dan data² keburukan yang sebelumnya kita terima mengenai suku, ras atau tampilan² tertentu akan sangat mewarnai penilaian kita mengenai seseorang. Sebagai contoh, kabar yang kita dengar mengenai suatu citra buruk dari karakter suku Madura atau Maluku atau keturunan Tionghoa akan turut menentukan bagaimana kita memandang, cara kita berinteraksi sampai apa dan bagaimana kita menyampaikan pendapat atau komentar kita mengenai mereka.
Begitu pula dengan kepentingan² pribadi kita. Ketika ada seseorang yang baik dengan kita, sering memberikan hadiah atau menyumbangkan hartanya pada kita maka saat itu muncullah kesan yang baik di hati kita terhadap orang itu. Sebaliknya, ketika kepentingan kita tak terakomodasi dan merasa dirugikan oleh seseorang, walaupun orang itu dalam posisi yang benar, acapkali kita memandang ia sebagai seorang pribadi yang buruk. Pada titik kepentingan² kita turut bermain saat itulah kebenaran menjadi nisbi (relatif), bergantung pada siapa yang melihat. Penghakiman kita pun menjadi tidak lagi adil. Hal semacam ini lumrah terjadi khususnya dalam bentuknya yang paling nyata dan terang-terangan di dunia politik. Kepentingan² pribadi atau golongan (termasuk partai²) mampu memutarbalikkan apa yang benar menjadi salah dan memelintir apa yang salah menjadi seolah-olah benar. Memburukkan lawan politik dengan fitnah dan tuduhan palsu bukan sesuatu yang sukar ditemukan dalam suatu pertarungan dan pertaruhan demi memperoleh kekuasaan.
Masalahnya, tidaklah mudah untuk melepaskan prasangka dan menafikan kepentingan² pribadi. Hampir setiap orang dibesarkan oleh keluarga maupun pengalaman² hidupnya dengan berbagai prasangka. Terhadap suku tertentu, ras yang berbeda atau kepercayaan yang tidak sama. Itu belum ditambah dengan doktrin atau ajaran agama yang ditanamkan dalam pikiran kita yang hampir selalu, meski tanpa benar² disadari, sedikit banyak disampaikan dalam bentuk² yang menghakimi dan subyektif sesuai pandangan dari pembimbing atau pengamatan pengajar kita. Semua itu pada akhirnya memupuk sikap apriori (berasumsi sebelum menyelidiki kenyataan sebenarnya) terhadap penganut² agama tertentu di benak kita.
Jika kita mempelajari kehidupan dan pelayanan Yesus, sukar kita menemukan sikap memihak atau berat sebelah dalam menilai. Yang dikecam Yesus justru kalangan yang suka menghakimi, kelompok orang yang jelas² membenarkan orang² yang mau mengikuti ajaran mereka tetapi menentang pihak² yang berbeda dengan mereka. Yesus bergaul dengan semua kalangan. Ia membuka diri terhadap setiap golongan dan status manusia. Dari Zakheus, pemungut cukai dan Maria Magdalena yang dikenal sebagai perempuan sundal hingga Nikodemus yang Farisi. Dari yang tua hingga anak². Dari yang sehat hingga yang cacat. Dari yang kaya, lebih² yang miskin. Dari yang Yahudi asli sampai orang Kanaan. Dari yang waras hingga yang gila dan kerasukan. Dari cendekiawan hingga awam. Terhadap wanita atau pria. Yesus bersikap yang sama dan tidak membeda-bedakan.
Mengapa bisa demikian? Salah satu rahasia Yesus ialah hati-Nya yang dipenuhi, dilimpahi, hingga tumpah ruah, dengan cinta kasih. Bagi Yesus, hidup ialah untuk mengasihi, bukan sekedar untuk dicintai. Yesus memperagakan suatu kehidupan yang pas dan sempurna di mata segala makhluk, sesuai dengan yang dikehendaki Bapa-Nya. Yaitu hidup penuh kasih pada Bapa dan sesama. Kepentingan-Nya pun hanya satu, kepentingan kerajaan Allah. Bahkan Yesus sendiri tidak mencari nama bagi diri-Nya! Ia membiarkan orang menilai siapa diri-Nya, sambil tidak menolak penyembahan yang diberikan kepada-Nya. Ia ingin orang menilai sendiri, apakah Ia Tuhan atau bukan. Seumur hidup dan seluruh pelayanan-Nya adalah pertunjukan kasih, kasih, kasih dan kasih. Kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama.
Sikap menghakimi merupakan cerminan egoisme (cinta diri) yang besar dan terus berkembang. Mereka merasa diri mereka paling benar sehingga layak untuk mengoreksi orang, layak diperhatikan dan didengarkan kata-katanya, layak dipandang sebagai orang yang baik dan benar. Untuk semakin kurang menghakimi, kita harus membiasakan untuk fokus mengasihi pribadi² di luar kita ketimbang terus menerus mengasihi diri kita sendiri. Daripada menutup diri dan menjauhi orang² tertentu, adalah baik kita membuka diri dan bersikap terbuka terhadap semua orang. Sebelum kita mengenal pribadi orang per orang, seharusnya kita tidak memagari diri dalam ketakutan karena agama, suku, ras atau golongan tertentu yang berbeda atau asing bagi kita. Justru pengetahuan kita tersebut seharusnya dapat berguna untuk menjalin komunikasi yang baik dan lebih baik dengan mereka.
Begitu pula kepentingan² kita jangan sampai membuat kita terpecah belah, mengikuti aksi dukung mendukung tokoh tertentu atau gerakan dan aliran tertentu sebelum mendapat konfirmasi ilahi atau bukti² nyata mengenai karakter seseorang. Kepentingan kita seharusnya ialah memperjuangkan kehendak Tuhan. Melihat kerajaan-Nya datang di bumi seperti di sorga. Jikalau akhirnya kita memberikan dukungan kepada salah satu gerakan atau pemimpin tertentu, haruslah itu karena Tuhan dan kehendak-Nya, yang tercermin dalam penilaian kita yang tepat dan adil. Salah dikatakan salah. Benar dikatakan benar. Bukannya yang salah dikaburkan menjadi benar atau yang benar dibalikkan menjadi salah oleh sebab kepentingan² pribadi atau tujuan (termasuk politik) yang bersumber ambisi manusiawi belaka.
3. Jika Kita Digerakkan Menyampaikan Pesan-pesan Berdasar Firman (Atau Pesan Profetik Yang Diterima Secara Supranatural) Yang Keras Dan Bersifat Mengoreksi, Kita Harus Benar-benar Memastikannya Pesan Itu Berasal Dari Hati Tuhan Sendiri (Bukan Dari Roh Yang Lain Atau Pemikiran Manusiawi Atau Kedagingan Kita)
Salah satu jebakan terbesar bagi orang yang mendalami firman Tuhan dan perkara² rohani ialah bergesernya kesadaran dari sikap hati semula yang merendahkan diri karena memerlukan Tuhan di hidup kita menjadi pribadi² yang kemudian merasa tahu atau mengerti hal² tentang Tuhan serta merasa sudah cukup rohani.
Penyebab utamanya ialah kurangnya pengajaran yang benar dan seimbang dalam hal mengikut Kristus. Banyaknya penekanan pada poin² firman Tuhan yang berfokus pada identitas baru dan posisi diri kita di dalam Yesus tetapi mengurangi penekanan pada sifat² Allah maupun minimnya pengenalan akan pikiran, pribadi dan hati-Nya dapat menjadi sumber penyimpangan dari jalan yang benar dalam mengikuti jejak Guru Agung kita.
Alih² menjadi rendah hati dan makin dipenuhi kegentaran akan Tuhan, banyak anak Tuhan yang menjadi angkuh secara rohani. Baru memahami makna beberapa ayat dari Alkitab, tanpa benar² menyadarinya, mereka ‘meninggikan’ hatinya sehingga merasa sudah cukup pantas menilai atau bahkan menghakimi orang lain. Merasa telah mengenyam pendidikan tinggi, baik di bidang sekuler atau Theologia, hati orang dapat berubah oleh karena merasa punya memiliki pengalaman. Demikian pula status dan jabatan di lembaga rohani, atau lamanya seseorang menjadi jemaat maupun berkecimpung di pelayanan rohani bisa melenakan jiwanya sebagai orang yang memandang dirinya punya pengetahuan tentang Tuhan dan firman-Nya.
Mengenai bahaya dari pengetahuan, Paulus memberikan peringatan,
“Kita tahu bahwa, “Kita semua mempunyai pengetahuan.” “Pengetahuan” itu membuat kamu sombong, tetapi kasih membuat kamu menolong orang lain semakin bertumbuh.
Seorang yang berpikir bahwa ia tahu sesuatu, sebenarnya ia belum tahu yang seharusnya diketahuinya.
Tetapi orang yang mengasihi Allah, dikenal oleh Allah” (1 Korintus 8:1-3, Versi Mudah Dibaca)
Jelas sekali sang Rasul mengatakan bahwa “pengetahuan menjadikan kita sombong” dan “orang yang berpikir dia tahu sesuatu, sebenarnya ia tidak tahu hal yang semestinya ia ketahui”.
Oleh karena kita merasa punya pengetahuan, maka kita merasa lebih baik dan lebih tinggi tingkatannya dari orang lain. Itu sebabnya kita mulai menghakimi orang. Dan orang yang menghakimi orang, persis seperti yang Yesus katakan, seolah ia tahu sesuatu padahal ia sesungguhnya tidak tahu apa yang seharusnya ia ketahui yaitu “balok yang ada di matanya”!
Orang yang menghakimi orang lain merasa dia yang layak mengajari dan mengoreksi orang tetapi pada sisi yang lain, ia sendiri yang perlu diajar dan dikoreksi: mengenai bagaimana memiliki kerendahan hati. Atau dalam hal memeriksa diri sendiri terlebih dahulu sambil melatih diri supaya selalu rendah hati dan rela diajar.
Paulus juga mengatakan bahwa “kasih itu membangun” (1 Kor. 8:1c) atau “membuat orang lain bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan”. Juga, “orang yang mengasihi Allah dikenal oleh Allah”. Semuanya menyiratkan bahwa sudah semestinya kita memeriksa diri kita sebelum mengoreksi atau menudingkan tangan atas kesalahan dan keburukan orang. Hanya orang² yang di hatinya terdapat kasih yang akan dikenal oleh Dia -yang kepadanya Tuhan akan mempercayakan pesan dan petunjuk-Nya untuk selanjutnya disampaikan demi membantu orang lain supaya sampai pada pengenalan akan Allah.
Bukan orang yang gemar menghakimi (dimana kasih absen di sana), yang akan dapat merasakan hati Tuhan dan yang akan dapat bergerak sehati dengan cara-cara-Nya. Hanya mereka yang menetapkan hati mengasihi Tuhan akan beroleh kasih-Nya sehingga dimampukan untuk mengasihi, bukannya menghakimi, sesamanya.
Orang yang mengasihi dirinya sendiri, yang digerakkan oleh kepentingan dan ambisi pribadi, yang di lubuk hatinya merasa lebih unggul dan lebih baik dari yang lain tidak dikenal oleh Tuhan. Sebenarnya ini suatu keadaan yang menakutkan. Sebab jika seseorang tak dikenal oleh Tuhan (yang maksudnya bukan Allah tidak mengetahui akan eksistensi orang itu melainkan Ia tak mengakui orang itu sebagai umat-Nya) maka roh yang lain akan mendekat (tepatnya Tuhan ijinkan mendekat) padanya dan mempengaruhi hidupnya.
Contohnya:
“Tetapi Roh TUHAN telah mundur dari pada Saul, dan sekarang ia diganggu oleh roh jahat yang dari pada TUHAN” (1 Sam. 16:14)
“Keesokan harinya roh jahat yang dari pada Allah itu berkuasa atas Saul, sehingga ia kerasukan di tengah-tengah rumah, sedang Daud main kecapi seperti sehari-hari. Adapun Saul ada tombak di tangannya” (1 Sam. 18:10)
Dikatakan bahwa roh jahat itu datangnya dari Allah bukan berarti Tuhan mengirimkan roh jahat kepada manusia. Namun atas ijin-Nyalah roh jahat memiliki akses masuk dalam hidup orang yang pernah diurapi-Nya itu oleh karena orang itu mengeraskan hatinya untuk tinggal dalam sikap menghakimi, iri hati, dengki dan benci. Tidak heran apabila kemudian karakter mereka semakin lama makin serupa dengan roh² jahat itu.
Lagi,
“Apabila roh jahat keluar dari manusia, ia pun mengembara ke tempat-tempat yang tandus mencari perhentian, dan karena ia tidak mendapatnya, ia berkata: Aku akan kembali ke rumah yang telah kutinggalkan itu.
Maka pergilah ia dan mendapati rumah itu bersih tersapu dan rapi teratur.
Lalu ia keluar dan mengajak tujuh roh lain yang lebih jahat dari padanya, dan mereka masuk dan berdiam di situ. Maka akhirnya keadaan orang itu lebih buruk dari pada keadaannya semula “(Luk. 11:24-26)
Rumah yang kosong adalah gambaran dari hati yang tak memiliki persekutuan dengan Tuhan meskipun telah bebas dari cengkeraman kuasa kegelapan. Tanpa Tuhan bersemayam di hati,saat perkara² dan prinsip² dari sistem dunia yang jahat ini menanamkan pengaruhnya pada kita, selanjutnya dapat diduga jika roh² jahat itupun kembali lagi. Kali ini tidak sendiri melainkan bersama teman-temannya. Menjadikan orang itu lebih buruk dari kondisinya semula. Yang menjelaskan mengapa orang yang tidak memiliki hubungan yang erat dan intim dengan Tuhan kmeskipun taat beribadah) mudah dipengaruhi roh² lain yang membawanya pada perbuatan² dosa yang makin besar, yang bahkan seringkali tak terdeteksi oleh dirinya sendiri semacam dosa² kemunafikan, kesombongan, atau pembenaran diri sendiri.
Satu lagi,
“Jika kamu menaruh perasaan iri hati dan kamu mementingkan diri sendiri, janganlah kamu memegahkan diri dan janganlah berdusta melawan kebenaran!
Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi dari dunia, dari nafsu manusia, dari setan-setan.
Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat” (Yakobus 3:14-16)
Kita harus memastikan sedang ada di pihak Tuhan saat kita tampil menyampaikan kebenaran yang mengoreksi sesama atau saudara² kita. Itu tidak cukup hanya karena kita telah tahu akan kebenaran. Kita harus lebih dahulu memastikan bahwa Roh Kudus yang sedang menguasai kita, Sang Hikmat sendirilah yang mengilhami kita dan kasih Ilahi yang sedang menggerakkan kita untuk berkata² dan menyampaikan firman yang mengoreksi itu. Tanpa itu, penghakiman kita tidak adil, ternoda dan membawa kerusakan dan kekacauan semata.
Hanya orang² yang memiliki hubungan yang erat dengan Tuhan yang tidak akan menjadi hakim atas orang lain. Alih² menyalahkan dan menyakiti orang, mereka akan menjadi serupa dokter, yang dengan hikmat yang ada pada mereka menjadi instrumen² yang membawa kesembuhan dan pemulihan. Mungkin dengan cara yang tidak menyenangkan, seperti obat yang pahit, terapi yang menjemukan atau pembedahan yang menyakitkan, namun hasilnya ialah suatu keadaan yang lebih baik. Bukan kerusakan dan kehancuran yang selalu merupakan akibat sikap menghakimi.
Sifat dan karakter Kristus akan terpancar dari pesan, perkataan, komentar, pendapat dan ulasan dari mereka yang dipimpin oleh Roh Tuhan yang penuh kasih itu. Pernyataan mereka pada saudara-saudaranya telah sebelumnya menjadi bahan koreksi bagi dirinya sendiri, lalu oleh kasih karunia Tuhan disampaikan sebagai suatu pesan yang jauh di dalam lubuk hati terdalam dari orang yang menerimanya, ia tahu, karena kuasa Roh Kudus yang bekerja, jika itu merupakan pesan dari hati Tuhan sendiri.
4. Suatu Tegoran Dan Koreksi Harus Dilakukan Dalam Kasih Dan Cara Yang Lahir Dari Pimpinan Hikmat Dari Tuhan Sendiri
Sesungguhnya, jauh lebih penting kita menilik dan memeriksa hati kita sebelum dengan cepat serta mudah memberikan penilaian dan pandangan terhadap orang. Lebih² jika kita bermaksud mengoreksi kekurangan atau kelemahan sesama kita. Hati kita jauh lebih penting untuk dijaga dengan segala kewaspadaan supaya jangan sampai tercemari justru pada saat kita menyangka kita sedang ‘memurnikan’ orang lain.
Bukan saja kita perlu memastikan (kebenaran dan kemurnian) pesan kita, kita pun perlu memahami dan benar² sepenuh hati mempersiapkan diri saat hendak menyampaikan sesuatu yang bisa dipandang sebagai suatu sikap menghakimi orang lain. Hati kita harus dibebaskan dari segala motif pribadi yang bersumber cinta diri. Kita perlu meminta kasih Tuhan supaya memenuhi hati kita. Selain itu, kita juga memohon hikmat-Nya diberikan pada kita supaya dapat menyampaikan suatu komentar atau koreksi dengan cara yang diinginkan-Nya.
Kebanyakan orang memilih salah satu di antara dua sikap saat menghadapi perilaku yang dipandang tidak sesuai dengan norma² yang baik dan benar. Ia bisa menutup mata dan membiarkan saja perbuatan tersebut seolah-olah tidak pernah terjadi sebagai suatu cara menghindari konflik (meski perbuatan jahat akhirnya semakin merajalela). Atau ia bisa mengoreksi tindakan tersebut secara langsung atau saat ia tak tahan lagi dengan kondisi yang mengganggu tersebut. Masalahnya, kedua-duanya tidak selalu memberikan solusi yang diinginkan. Jika kita diam, maka orang lain tidak pernah mengetahui kesalahannya bahkan makin menjadi-jadi kelakuan buruknya. Jika kita mengoreksinya, maka banyak kali itu didasari alasan yang emosional seperti misalnya karena tak tahan lagi dengan situasi yang sangat mengganggu kenyamanan kita. Masih jarang orang yang menegor orang lain oleh sebab alasan² yang benar, yang sebenarnya karena alasan itulah justru Tuhan menyampaikan tegoran-Nya pada kita.
Tuhan memberikan tegoran bahkan tempelakan kepada kita bukan karena Ia terganggu dengan keberadaan kita. Dalam kesempurnaan-Nya, Ia dapat membuat diri-Nya sama sekali tidak terganggu dengan apapun yang diperbuat siapapun. Ia mengoreksi kita oleh sebab kasih-Nya pada kita. Kasih yang demikian besarnya sehingga Ia menjadi peduli pada kita kala kita menempuh jalan yang salah, yang menuju pada malapetaka. Ia peduli dengan jiwa kita, hidup kita dan demi terjadinya yang terbaik di hidup kita. Tidak ada kemarahan, kejengkelan atau kebencian di hati-Nya saat Ia menghakimi kita. Juga bukan karena Ia sedang tak enak hati dan emosi sesaat, sekalipun sebagai pribadi, Tuhan pasti memiliki perasaan yang mungkin bahkan jauh lebih kuat daripada manusia manapun. Tuhan mengoreksi kita karena Ia peduli dan mengasihi kita. Dan dalam kasih karunia serta kemahatahuan-Nya, Ia menghakimi kita dengan cara yang sesuai porsi dan keadaan kita, menurut hikmat-Nya yang tak terselami itu. Itulah sebabnya, penghakiman Tuhan adil dan benar, tak meleset barang sedikitpun, tak dikurang-kurangi dan tak dilebih-lebihkan sedikitpun. Dialah Hakim yang adil itu.
Perbedaan kita dengan Tuhan sangat jauh. Pastilah kita tidak mampu menilai seperti yang Tuhan lakukan. Meski begitu, bukan berarti kita membiarkan begitu saja penyimpangan dan perbuatan² jahat merebak dan menghancurkan perkara² yang baik. Kita dipanggil untuk menegakkan kebenaran. Untuk melihat kerajaan-Nya datang dan kehendak-Nya jadi di muka bumi. Dan itu tidak dapat dilakukan dengan berdiam diri. Kita harus mencintai kebenaran sehingga kita hidup dan memperkatakan kebenaran itu setiap hari di hidup kita. Bukankah pada kita diperintahkan untuk mengenakan ikat pinggang kebenaran dan baju zirah keadilan? Bukankah kasut kita ialah kesediaan memberitakan Injil damai sejahtera sambil berketopongkan pengharapan dan berperisaikan iman? Dan bukankah di tangan kita diberikan PEDANG ROH yaitu firman Tuhan yang sudah semestinya kita angkat tinggi dan gunakan untuk menyerang kuasa² kegelapan yaitu roh² jahat yang mempengaruhi pikiran banyak orang melawan Tuhan dan terus hidup dalam kegelapan?
“Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.
Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.
Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Matius 5:14-16)
“Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang,
karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran,
dan ujilah apa yang berkenan kepada Tuhan.
Janganlah turut mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa, tetapi sebaliknya telanjangilah perbuatan-perbuatan itu.
Sebab menyebutkan saja pun apa yang dibuat oleh mereka di tempat-tempat yang tersembunyi telah memalukan.
Tetapi segala sesuatu yang sudah ditelanjangi oleh terang itu menjadi nampak, sebab semua yang nampak adalah terang” (Ef. 5:8-13)
Sesungguhnya terang Tuhanlah yang kita sinarkan. Bukan dari kehebatan dan kebenaran diri kita sendiri. Semuanya berasal dari Tuhan. Kuncinya ialah bagaimana kita bisa menjadi suatu kaca transparan yang memantulkan terang Allah melalui kehidupan kita. Begitu pula dalam hal menghakimi secara adil.
Yesus berkata, “Hakimilah dengan adil” (Yoh. 7:24). Itu berarti kita, oleh karena dimampukan oleh-Nya, dapat melakukannya sebagaimana yang dikehendaki hati-Nya. Kasih Tuhan akan menolong kita mengekspresikan kasih yang tulus sekalipun harus memberikan koreksi atau menunjukkan kesalahan, tanpa harus takut dipandang menghakimi. Kasih kepada sesama harus lebih besar daripada kasih pada diri kita sendiri yang memilih memegang erat kenyamanan kita sendiri. Dan kasih pada Tuhan dan kebenaran-Nya semestinya mengalahkan segala ketakutan apapun termasuk risiko disalahpahami atau dianiaya sekalipun.
“Tetapi engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku.
Engkau telah ikut menderita penganiayaan dan sengsara seperti yang telah kuderita di Antiokhia dan di Ikonium dan di Listra. Semua penganiayaan itu kuderita dan Tuhan telah melepaskan aku dari padanya.
Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya, (2 Tim. 3:10-12)
“Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.
Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu” (Mat. 5:10-12)
Kata kunci yang penting di sini ialah “oleh sebab kebenaran”. Ya, karena kebenaranlah kita tidak tinggal diam untuk meluruskan apa yang jahat dan bengkok. Pada sisi lain, di dalam kebenaran pula kita menunjukkan jalan Tuhan dan menjalankan penghakiman yang benar. Kita harus melakukannya dengan cara² yang benar, bukan emosional. Melalui cara yang berhikmat dan bertujuan memperoleh kebenaran sejati, bukan demi menunjukkan kebenaran kita sendiri.
Salah satunya seperti yang disampaikan oleh Paulus dalam Galatia 6:1 berikut ini:
“Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.”
Ada perintah untuk memimpin seorang saudara yang melakukan pelanggaran supaya ia kembali pada jalan Tuhan. Itu berarti akan ada pertemuan, pembicaraan, koreksi, dorongan dan ajakan untuk mengubah arah yang salah atau supaya ia berhenti melakukan apa yang jahat, hingga melakukan konfrontasi yang menempelak dengan tujuan saudara kita ini tersadarkan dari kekeliruannya. Semuanya hampir serupa dengan tindakan menghakimi seseorang (dan kadangkala dilawan dengan menuduh bahwa kita sedang menghakiminya) tetapi itu tidaklah sana. Itulah sebabnya kita perlu membuat perbedaan dengan apa yang disebut sebagai menghakimi itu.
Bagaimana? Dengan melakukannya dengan cara yang sedemikian rupa supaya saudara yang kita koreksi merasakan ketulusan dan kasih kita. Cara ini hanya dapat dilakukan jika kita melakukannya dengan hikmat Tuhan. Dan hikmat Tuhan menunjukkan salah satu di antara cara² itu ialah dengan memiliki suatu roh yang lemah lembut dan dengan melakukan koreksi itu sambil “menjaga diri kita sendiri, supaya tidak terkena pencobaan” (Gal. 6:1c)
Apakah maksud semua itu?
Roh yang lemah lembut berarti suatu roh yang tidak mudah terluka dan marah yang lalu cepat bermaksud membalas perlakuan buruk yang kita terima. Suatu jiwa yang memilih untuk mengalah, sabar dan menunggu waktu yang tepat untuk kembali menyampaikan pesan kebenaran yang Tuhan titipkan melalui kita. Termasuk dengan rela menanggung prasangka, tuduhan atau bahkan luapan kemarahan dari orang yang kita koreksi. Memilih untuk mengikuti pimpinan Tuhan daripada larut dan hanyut dalam emosi yang menggelora.
Demikian pula kita diperingatkan bahwa selagi kita menunjukkan kesalahan dan menuntun saudara kita itu, ada risiko hati kita ternoda. Maksud baik disertai harapan yang besar melihat saudara kita mengalami perubahan seringkali hancur berkeping-keping saat kita tidak memperoleh tanggapan yang kita harapkan. Tegoran dan koreksi penuh kasih sekalipun selalu rentan terhadap penolakan dalam bentuk sikap yang dingin hingga kemarahan yang meledak-ledak. Dari situ hati kita merasa kecewa dan tersakiti. Belum lagi saat pikiran² kita lambat laun menjadi negatif dan mulai membayangkan cara² lain (yaitu cara² berdasarkan kemampuan dan kebenaran kita sendiri) untuk mendisiplin saudara kita itu.
Sesungguhnya tidak mudah menyampaikan koreksi. Persiapan hati kita seringkali lebih penting daripada menyampaikan tegoran itu sendiri. Karena itulah menilai dan menghakimi secara benar bukan perkara enteng. Orang yang tahu betapa tidak mudah menjaga hati tidak akan mudah melakukan penghakiman pada orang lain. Memaparkan penyimpangan ini dan itu, memberikan sebutan² negatif serta menyampaikan komentar atau pernyataan yang mengolok-olok atau menertawakan orang atau kelompok lain di hadapan banyak orang atau memuatnya di media sosial untuk menunjukkan betapa ngawurnya seseorang itu -jauh lebih menunjukkan siapa kita daripada orang yang kita kritisi dengan cara² yang tidak bersumber hikmat Tuhan. Berhati-hatilah supaya maksud hati yang baik dengan tujuan yang mulia tidak berubah menjadi taburan benih² sakit hati dan permusuhan yang lebih besar dengan akibat perpecahan dimana-mana!
Jadi, jika demikian rumitnya, masih perlukah kita menyampaikan tegoran atau koreksi bagi rekan² kita? Tentu saja. Banyak yang perlu dituntun dan dibawa untuk mengenal kebenaran dan hidup di dalamnya. Memilih tetap berdiam diri selagi melihat kejahatan berlangsung bebas di depan mata sama dengan turut melakukan perbuatan jahat itu sendiri. Itu artinya kita setuju dengan semuanya itu dan secara tidak langsung memberikan dukungan supaya kefasikan makin menancapkan kuku-kukunya dalam suatu keadaan. Hanya saja, jika kita harus meresponnya, tanggapan kita tidak boleh didorong oleh emosi atau kepentingan² diri yang egois. Yang akhirnya bisa menyeret banyak pihak dalam kondisi yang lebih keruh lagi.
Alangkah baik dan tepatnya jika respon kita berasal dari dorongan suci di hati yang dikuasai kasih dan digerakkan oleh Allah yang memanggil dan menyuruh kita menjadi kepanjangan mata, mulut dan hati-Nya. Demikianlah hamba² Tuhan di segala zaman maupun Yesus Kristus, Tuhan kita, menjalankan pengabdian pelayanan-Nya. Di dalam kasih dan hikmat Allah. Dalam takut akan Tuhan. Dalam kerendahan hati dan roh yang lemah lembut. Dalam mencari pimpinan Tuhan dan melangkah dalam ketaatan yang terlihat jelas saat mereka menyampaikan pesan² dari Tuhan yang dipercayakan pada mereka.
5. Terhadap Saudara-saudara Seiman Jangan Pernah Menetapkan Seseorang Bersalah (Sekalipun Dalam Hati) Sebelum Ada Saksi-Saksi Yang Meneguhkan Dan Sebelum Memberikan Kesempatan Pada Orang Lain Untuk Menjelaskan Perkaranya
Tidak banyak yang memahami bagaimana Tuhan berurusan dengan kita. Dia, Sang Hakim Agung yang maha adil itu memiliki suatu cara saat Dia harus menghakimi kita. Sudah seharusnya kita mempelajari cara-Nya dan menggunakannya sebagai pedoman bagaimana kita menghakimi dengan benar sebagaimana yang Tuhan perintahkan dan bukannya cepat menjatuhkan vonis seseorang bersalah.
Matius 18:15-17 merupakan perkataan Yesus sendiri:
“Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali.
Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan.
Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.
Di dalamnya sesungguhnya ada pola atau prosedur ilahi. Sebagaimana Ia memberikan petunjuk bagaimana berurusan dengan saudara kita yang menyimpang dari kebenaran, demikian pula cara-Nya berurusan dengan kita semua saat kita mengambil jalan yang salah dan tinggal dalam dosa.
Perhatikanlah bahwa pertama-tama, tegoran atau koreksi itu sifatnya pribadi. itu dimulai dari Anda atau saya yang mengetahui ada “sesuatu yang salah” dengan saudara kita, berlanjut pada pembicaraan atau pertemuan yang sifatnya rahasia dan hanya empat mata saja. Di sanalah Galatia 6:1 dipraktekkan pertama kalinya. Dengan roh yang lemah lembut, kita mencoba berbicara hati ke hati dengan saudara kita itu.
Apakah yang dibicarakan? Tentu saja menanyakan apakah benar bukti² yang kita peroleh tersebut dan apakah saudara kita itu tahu bahwa ada sesuatu yang salah dari apa yang dilakukannya. Pada saat melakukan ini, seharusnya kita juga membuka telinga dan hati bagi kisah, situasi, alasan maupun pertimbangan² dari saudara kita tersebut. Bisa jadi kita telah salah sama sekali menilai atau mungkin saja kita masih separuh benar. sangat mungkin pula apabila saudara kita itu melakukan pelanggaran karena belum paham akan kebenaran yang sesungguhnya. Di sinilah kita akan dibawa masuk lebih dalam akan pribadi seseorang yang beraneka ragam dan tidak bisa digebyah uyah atau disamaratakan dengan kondisi orang lainnya atau yang pada umumnya. Dari sana pula seharusnya kasih kita makin bertumbuh dan dimampukan melihat sebagaimana Tuhan melihat.
Dalam proses ini, responnya bisa beragam. Dari yang mau membuka diri dan mendengarkan masukan hingga menolak secara terang-terangan sampai timbulnya kemarahan yang meledak. Dari yang terbuka mengakui kesalahannya sampai sama sekali menyangkal bahkan menuduh balik diri kita sebagai orang² yang suka menghakimi. Di sini kita harus mempersiapkan diri supaya tidak terseret dalam pencobaan yang menjatuhkan kita dalam kemarahan, kekecewaan, sakit hati sampai kepahitan.
Sejatinya, seperti itu pulalah Tuhan menegor kita. Secara pribadi. Di tempat paling tersembunyi (yaitu hati kita). Di luar sepengetahuan siapapun selain kita sebab hanya kita dan Tuhan yang maha tahu yang menjadi saksi segala sesuatu yang kita lakukan. Dia tidak akan terburu-buru atau secara sembrono mengumbar aib kita di hadapan banyak orang atau di depan umum. Tidak. Tidak akan pernah. Dia ingin kita menyelesaikan terlebih dahulu dengan Dia secara pribadi sebab Tuhan ingin memberikan kesempatan kita mengubah diri, bertobat dan tidak terus tinggal dalam kesalahan kita itu. Melalui berbagai peristiwa, berbagai pesan dari khotbah, artikel, berita dan orang² di sekitar kita, Tuhan menempelak dan menghakimi (hati) kita supaya tersadar bahwa sikap atau langkah yang selama ini kita ambil atau keyakinan yang selama ini kita pegang erat ternyata bertentangan dengan kehendak dan jalan-Nya. Jika kita peka terhadap maksud Tuhan, kita segera akan tahu bahwa Dia sedang berbicara dengan kita sebab hanya kita yang tahu ketika suatu pesan melalui orang lain, melalui peristiwa atau suatu pengalaman dihubungkan Tuhan dengan kondisi kita yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Itulah peranan kuasa Roh Kudus yang mengingatkan, menyadarkan dan menolong kita supaya kembali pada jalan yang benar dalam mengikut Kristus. Dan di sinilah kita tahu betapa pentingnya introspeksi diri itu. Saat kita rajin menyelidiki hati kita tiap-tiap waktu maka kita dihindarkan dari kesalahan yang besar dan menyolok dimana atasnya koreksi dari Tuhan akan semakin keras pula. Beberapa anak Tuhan atau hamba Tuhan mengabaikan ini dan terjatuh dalam dosa² yang buruk dan akhirnya mempermalukan dirinya dan nama Tuhan.
Tahap kedua, ialah tahap saksi. Tahap ini dijalankan saat koreksi yang kita sampaikan dengan tulus dilandasi kasih tidak membawa saudara kita pada kesadaran akan kebenaran. Masih dalam suasana yang bersifat pribadi dan tertutup, satu orang saksi (yang mengetahui hal yang sama dan berkomitmen yang sama dalam kebenaran) dapat kita ajak untuk menyampaikan suatu tegoran yang mendidik di dalam Tuhan. Tujuan pertemuan dengan sedikit orang masih sama. Supaya hanya sedikit orang yang mengetahui kejatuhan rekan tersebut sekaligus mempersempit kemungkinan penyangkalan dan penolakan atas kesalahannya itu.
Saksi yang dibawa haruslah rekan yang terpercaya, jujur, tulus dan sama² digerakkan oleh kasih melihat sesama saudara kembali di jalan Tuhan. Juga haruslah ia seorang yang mampu menjaga rahasia demi memberikan kesempatan saudara yang menyimpang itu bertobat. Semua ini dilakukan bukan supaya kejahatan² disembunyikan atau kebobrokan ditutup-tutupi. Ini merupakan bentuk kasih karunia Tuhan yang memberikan saudara kita waktu untuk merenung dan menghakimi dirinya sendiri dengan pertolongan saudara² yang peduli, yang mengasihi dan mau berkorban menanggung kelemahan saudaranya dalam kasih.
Sebenarnya menurut tahap inilah pesan² kenabian seringkali disampaikan kepada umat Tuhan. Nabi² sejati menjadi salah satu atau dua saksi yang Tuhan bawa untuk menghakimi umat-Nya atau pemimpin² umat-Nya. Tuhan mengijinkan nabi-nabi-Nya melihat apa yang dilihat-Nya sekaligus menjadi penyambung lidah-Nya untuk mendidik dan mengoreksi umat-Nya yang menjauh dari hukum dan ketetapan-Nya.
Di hadapan Tuhan sebagai saksi pertama dan nabi (atau nabi²) sebagai saksi kedua, ketiga dan seterusnya Tuhan menyampaikan pesan dari hati-Nya supaya umat-Nya berbalik kepada-Nya. Untuk tujuan inilah salah satunya pelayanan kenabian dimunculkan oleh Tuhan. Para nabi membongkar setiap apa yang tersembunyi rapat² di pikiran atau batin seseorang yang kerap tegar tengkuk dan merasa benar sendiri karena merasa telah melakukan berbagai kewajiban agama padahal motif² mereka sama sekali jauh dari keinginan Tuhan. Itulah yang ditampilkan oleh nabi² dalam Alkitab kita sebagai pribadi² kepercayaan Tuhan demi menyadarkan umat-Nya.
Oleh karena itu, sebenarnya cukup mengherankan jika apa yang sekarang sering disebut-sebut sebagai pelayanan profetik, yang menyampaikan berbagai nubuatan dan pesan Tuhan justru menekankan banyak janji² berkat, terobosan di bidang² keuangan atau kata² harapan untuk menjadi sukses yang seringkali lebih mengikuti ukuran² duniawi daripada ilahi dan sorgawi. Meski tidak selalu bernada mengecam atau menegor, sebagian besar pelayanan kenabian mengalami berbagai penolakan dan aniaya (ingat Mat. 5:12) oleh sebab pesan² mereka yang keras menggoncang kesadaran pendengarnya. Janji Tuhan diberikan menyertai pertobatan dari kesalahan, pengindahan dari tegoran dan didikan-Nya serta kerelaan untuk taat atas petunjuk-petunjuk-Nya. Bukan sebagai suatu pesan penghiburan dan janji² yang tidak berdasar, yang banyak kali tidak mendorong umat Tuhan membayar harga untuk suatu hubungan yang lebih intim dengan Tuhan. Dengan proses kehidupan yang tidak sebentar tetapi sangat keras menanggung berbagai penolakan, Tuhan mempercayakan rahasia-rahasia hati-Nya pada pria dan wanita dari Allah ini, yang dipanggil dan diproses melalui kehidupan yang berbeda dengan orang pada umumnya supaya memiliki hati seperti hati-Nya. Hanya sahabat² sejati Tuhan yang akan sehati dan sepandangan dengan Tuhan sehingga siap meluruskan apa yang bengkok serta mengembalikan hati umat-Nya yang dilakukan sesuai kehendak dan cara-Nya.
Jika saudara kita yang dikoreksi tidak menunjukkan tanda² ia untuk mengubah langkahnya yang menyimpang, barulah yang berikutnya, perkara itu dibawa ke hadapan umum.
Dalam bentuk suatu tegoran yang keras di hadapan banyak saudara dan di tengah² jemaat yang banyak itu supaya disampaikan bahwa ada sesuatu yang salah, yang tidak layak ada di antara kumpulan umat Tuhan. Pada tahap ini seringkali perpecahan bisa terjadi sebab selalu ada satu atau beberapa orang yang tidak setuju dengan cara yang dianggap mempermalukan seseorang ini. Ada juga orang² yang beranggapan bahwa tindakan ini menghakimi seseorang dan seterusnya. Meskipun demikian, setelah melalui berkali-kali pembicaraan yang tidak membawa hasil, Tuhan mengijinkan situasi seperti ini diadakan.
Dalam bentuk dan tingkat yang berbeda-beda, Tuhan seringkali menyingkapkan di depan umun kesalahan dan kejahatan anak-anak-Nya atau hamba-hamba-Nya yang mengeraskan hati dalam ketidaktaatan. Setelah berulangkali berbicara secara pribadi atau melalui peringatan dari para hamba atau nabi-Nya, Tuhan dengan terpaksa, mengijinkan aib dari satu atau sebagian orang² percaya bahkan pemimpin² rohani yang dipilih-Nya diketahui banyak orang. Ini merupakan sikap yang keras, yang terkadang menghancurkan reputasi orang² pilihan-Nya. Namun lagi², jika ada hati yang mau merendahkan diri, Tuhan sanggup memulihkan lebih lagi dan membawa kita pada tingkat yang lebih tinggi lagi dari sebelumnya. Petrus yang pernah menyangkal Yesus merupakan bukti bahwa saat hati kita yang diliputi rasa malu bersedia dibukakan bagi Tuhan dan menerima koreksi ilahi, Sang Penyembuh segala luka batin akan mengerjakan karya keagungan-Nya.
Dari sini jelaslah bahwa tidak begitu saja kita boleh mengumbar kekurangan, kesalahan atau kejatuhan saudara² kita dan menjadikannya olok-olok dalam pembicaraan² bersama atau di media sosial. Bahkan sekalipun kesalahan itu telah diungkapkan begitu terang-terangan di mata semua orang, kita sudah seharusnya berada di samping Tuhan, turut menangisi kejatuhan saudara kita itu sambil merindukan dan memohonkan Tuhan memberikan kasih karunia dan kekuatan untuk saudara kita itu bertobat.
Tahap terakhir dari semua ini disebut oleh Tuhan sebagai “pandanglah dia (yaitu saudara yang menolak tegoran dan koreksi) sebagai orang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai”
Ketika kebenaran firman telah dibukakan dan disampaikan dengan jelas dari hati yang murni demi menuntun seorang saudara yang keluar dari jalan Tuhan hingga seluruh jemaat mengetahui perkaranya, tetapi itupun tidak membuatnya kembali pada Tuhan, maka bukan merupakan suatu yang menghakimi ketika jemaat diperintahkan untuk menjauhi orang tersebut dan tidak lagi memanggilnya sebagai saudara. Dipandang sebagai pemungut cukai berarti menjadi orang² yang disamakan dengan orang² yang menetapkan diri untuk melakukan apa yang dibenci banyak orang, membawa kerugian dan beban bagi yang lain. Pemungut cukai juga merupakan gambaran dari golongan orang² terhilang dan sakit (rohani), yang perlu menerima Injil sebelum diajar kebenaran² ajaran Kristus.
Apa yang dilakukan Yesus pada orang² Farisi dan ahli² taurat dengan mengecam mereka secara terbuka dalam Matius 23, sesungguhnya termasuk pada tahapan ini. Yesus bertindak dan berbicara sebagai nabi yang menyampaikan pesan menempelak dari Allah Bapa di depan banyak orang, menyatakan mereka sebagai golongan orang² yang sangat ditentang oleh Allah. Yesus yang sudah mulai memasuki tahun akhir pelayanan-Nya telah memberikan banyak kesempatan bagi orang² agamawi itu untuk menyaksikan dan mendengarkan pengajaran-Nya, yang tentu banyak pula yang ditujukan bagi mereka. Mereka berkesempatan melihat hidup Yesus, menguji mujizat-mujizat yang dibuat-Nya, bahkan bersoal jawab dengan Dia. Jawaban² Yesus maupun pertanyaan² Yesus bagi mereka menunjukkan betapa dahsyat hikmat yang ada pada-Nya. Semua itu merupakan kesempatan dan waktu kasih karunia bagi mereka untuk datang merendahkan diri dan berbalik pada Allah, meninggalkan kerohanian semu yang mereka hidupi selama ini. Sayang sekali, bukannya membuka hati dan rela untuk dikoreksi, pemuka² agama ini terus berbantah-bantah, mencari-cari kesalahan, menjebak Yesus dalam berbagai pertanyaan dan peristiwa sampai² mencari jalan untuk membunuh Yesus. Mereka tetap mengeraskan hati yang berarti menampik kasih karunia Allah bagi mereka lalu menghujat Roh Allah yang berbicara di hati mereka dengan menyamakan Yesus sebagai Beelzebul, si penghulu setan (Mat. 12:24-32).
Itu sebabnya perkataan² keras ini akhirnya disampaikan secara terbuka di hadapan banyak orang sebagai pernyataan tegas bahwa Tuhan menolak pribadi² agamawi – yang tampaknya menyembah, melayani dan beribadah pada-Nya namun sarat dengan kepentingan sendiri, sikap menghakimi dan memanipulasi hukum² rohani yang kudus demi mencapai tujuan² pribadi atau kelompok mereka:
“Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa.
Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.
Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya.
Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang;
mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat;
mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil Rabi.
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu mengarungi lautan dan menjelajah daratan, untuk mentobatkan satu orang saja menjadi penganut agamamu dan sesudah ia bertobat, kamu menjadikan dia orang neraka, yang dua kali lebih jahat dari pada kamu sendiri.
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.
Hai kamu pemimpin-pemimpin buta, nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di dalamnya kamu telan.
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan.
Hai orang Farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih.” (Mat. 23:2-7, 15, 23-26)
Merekalah “orang² luar” dari kumpulan umat Tuhan yang sejati. Jika para pemungut cukai diberikan kesempatan untuk datang dan menerima keselamatan dan banyak yang bersedia (Mat. 21:32-32) maka orang Farisi dan ahli Taurat dapat diibaratkan “pemungut cukai” di hadapan Kerajaan Allah. Orang yang tidak diinginkan dan ditolak oleh Tuhan sendiri ada di tengah² umat-Nya. Bagaikan ragi yang mengkhamiri (mempengaruhi dan mengubah) seluruh adonan, Tuhan memperingatkan kita untuk menjauhi sikap dan cara² agamawi dalam pengabdian kita kepada-Nya
KESIMPULAN
Kita dilarang menghakimi dengan sembarangan. Yang diperintahkan pada kita ialah menghakimi dengan adil. Tujuannya, demi mencegah pengaruh buruk atas kita maupun komunitas kita. Selain itu, kita dipanggil menunjukkan kesalahan saudara² kita dengan sikap yang benar sesuai dengan kehendak dan cara-Nya. Untuk itu, sebelumnya kita perlu melakukan banyak introspeksi dan proses belajar menyamakan hati dan pikiran kita dengan hati dan pikiran Tuhan ketimbang memperinci berbagai kesalahan, kekurangan dan dosa² saudara kita itu.
Hanya orang yang telah mendisiplin diri memeriksa batin, pikiran, perkataan dan hidupnya yang akan dipercayakan pesan² Tuhan yang perlu disampaikan pada mereka yang perlu mendengar kebenaran firman yang sejati. Jika proses ini belum dilalui, maka sikap menghakimilah yang muncul dan pasti menyeret semua pihak dalam potensi kerusakan dan kehancuran yang tak terkira. Tidak ada kebaikan dalam mengungkit-ungkit dan mengumbar aib atau borok orang lain.
Kecuali suatu perkara mengenai saudara kita telah jelas dan nyata di permukaan disertai saksi² dan bukti² yang tak diragukan lagi tetapi kemudian tidak ada suatu penyesalan dan pertobatan yang nyata, maka terlarang bagi kita membawa masalah ini ke tengah² jemaat. Baru setelah tahapan yang Tuhan tetapkan dilalui (sebagai suatu proses yang penuh belas kasihan, kesabaran dan kelemahlembutan sekalipun menyakitkan itu) maka dengan berat hati disampaikan di hadapan semua orang bahwa suatu penyimpangan telah terjadi dan umat Tuhan dengan jujur mengakuinya. Ini pun tidak dapat dimasukkan sebagai sesuatu yang menghakimi orang sebab semua ini dilakukan setelah melewati proses panjang, sebagai suatu tindakan kasih bagi Tuhan kebenaran-Nya, bagi kepentingan gereja-Nya dan sebagai suatu kesaksian bagi dunia bahwa umat-Nya tidak berkompromi dengan dunia.
Pribadi² yang berjalan bersama Tuhan berurusan dengan diri mereka sendiri setiap hari ketimbang mengamati hidup orang untuk mencari-cari kesalahannya. Jika ada waktunya kita harus tampil dan menyampaikan koreksi, itupun seharusnya karena dorongan melakukan kehendak Allah, bukan berdasarkan emosi² negatif atau kepentingan² diri sendiri. Selalu ingat bahwa yang mengasihi akan selalu semakin kurang menghakimi dan jika masih ada sikap kita menghakimi untuk menghukum orang, kita tahu kasih sejati dari Tuhan sudah mulai pudar di hati kita.
Biarlah hati Tuhan yang penuh kasih menjadi hati kita juga.
Melalui kasihlah, jiwa² dimenangkan dan gereja-Nya bersinar menjadi kesaksian yang hidup di tengah kegelapan dunia.
Dengan kasih. Bukan dengan menghakimi dan menghukum.
Inilah janji-Nya bagi kita saat kita memilih untuk menilai dengan adil berdasarkan kasih dan meninggalkan sikap² menghakimi dan menghukum:
“Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan belakangmu.
Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan TUHAN akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah,
apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari.
TUHAN akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan.
Engkau akan membangun reruntuhan yang sudah berabad-abad, dan akan memperbaiki dasar yang diletakkan oleh banyak keturunan. Engkau akan disebutkan “yang memperbaiki tembok yang tembus”, “yang membetulkan jalan supaya tempat itu dapat dihuni”. (Yes. 58:8-12)
Hari ini, naikkanlah satu doa dari hati Anda terdalam supaya HANYA KASIH TUHAN – kasih Bapa, cinta Yesus dan kelembutan Roh Kudus- yang memenuhi hati Anda hari dan seterusnya. Dan buktikanlah! Hidup Anda akan dipenuhi sukacita dan berkat. Malah lebih dari itu. Hidup Anda akan dijadikan-Nya saluran berkat bagi dunia yang membutuhkan kasih sejati ini.
Berdoalah pula bagi saudara, sahabat, kenalan atau rekan Anda yang sedang berada di jalan yang keluar dari kebenaran. Doakan dengan air mata dan jeritan yang tulus demi melihat ia kembali pada Tuhan dan dipulihkan.
Berdoalah dengan kasih hingga kasih itu terus bertambah dan semakin kuat dalam jiwa Anda. Berdoalah hingga Tuhan bekerja dan menghakimi dengan cara-Nya, entah melalui Anda atau melalui banyak cara yang lain.
Jadilah alat Tuhan meringankan beban saudara Anda dalam Tuhan. Bukan menambahkannya melalui penghakiman Anda.
Penghakiman tidak menghasilkan apapun yang baik selain rasa sakit dan kehancuran. Hanya kasih sejati yang akan membuat perbedaan dan perubahan yang ajaib atas seseorang.
Doa saya bagi Anda sekalian menyertai pengajaran ini.
SALAM REVIVAL.
INDONESIA PENUH KEMULIAAN TUHAN!