HAL MENGHAKIMI

Oleh: Peter B, MA
“O prasangka, prasangka, prasangka, berapa banyak yang telah kau hancurkan! Manusia yang seharusnya bijak tetap menjadi bodoh karena berpikir diri mereka bijak. Banyak yang menentukan bagaimana seharusnya injil itu, namun tidak pernah benar-benar mencari apakah sebenarnya yang ada di dalamnya. Mereka tidak membaca Alkitab untuk memperoleh pandangan yang benar akan iman mereka, tapi mereka membuka buku untuk menemukan ayat-ayat yang cocok dengan opini-opini yang mereka sampaikan. Mereka tidak pernah terbuka pada kuasa yang murni dari kebenaran, dan karenanya mereka tidak akan diselamatkan olehnya”

~Charles H Spurgeon, pengkhotbah modern terbesar sepanjang masa

“Sedikitlah jumlah orang yang melihat dengan matanya dan berpikir dengan pikirannya”

~Albert Einstein tentang menghakimi orang lain

“Bagaimana mungkin saya menyuruh Anda untuk mandi saat bau badan saya menyengat? Bagaimana mungkin Anda menyuruh saya menyikat gigi saat bau nafas Anda menjijikkan? Yesus akan berkata, ”Anda seperti orang munafik.”

~ Sandra M. Michelle

Salah satu topik yang cukup sering dijadikan bahan perdebatan di antara orang² Kristen (khususnya juga yang ada di Indonesia) ialah terkait hal menghakimi. Ketidakjelasan mengenai hal ini telah membawa lebih banyak akibat² yang buruk daripada yang baik dan berguna. Di antaranya, atas nama “jangan menghakimi” maka kesalahan² tidak dikoreksi, penyimpangan ditolerir, kesesatan dibiarkan merajalela dan keadaan tanpa perubahan (status quo) terus berlangsung, yang sebenarnya juga berarti tidak ada perubahan atau pertumbuhan yang lebih baik. Didasari latar belakang bangsa kita yang kurang menyukai (baca: lamban) dalam melakukan perubahan dan lebih memilih menutupi aib daripada membereskannya, maka larangan untuk menghakimi terdengar semakin keras bagi siapapun yang mencoba berbicara secara lebih terbuka dan terang-terangan mengenai persoalan² yang ada.

Dalam hal menghakimi, satu kelompok meyakini bahwa perbuatan tiap orang adalah urusan mereka sendiri dengan Tuhan; yang lain memandang bahwa hal-hal yang salah perlu diluruskan, lebih² yang menyangkut hajat hidup orang banyak supaya tidak terjadi penyimpangan dan kerusakan yang lebih parah dimana-mana. Yang satu beranggapan bahwa sebaiknya kita mengurusi dosa-dosa kita sendiri, sedangkan yang lain merasa terpanggil untuk menegakkan kebenaran.

Lalu bagaimana sesungguhnya hal menghakimi ini menurut firman Tuhan?
Apakah sebenarnya pandangan Tuhan -yang merupakan standard kebenaran sejati- berkaitan dengan hal ini?
Selagi semua orang (merasa) benar menurut pandangannya sendiri, adakah pedoman yang bisa kita pegang dan yakini sehingga kita berjalan sesuai kehendak-Nya sehubungan dengan apa yang disebut “menghakimi” orang itu?

APA YANG DIANGGAP SEBAGAI MENGHAKIMI MENURUT PENDAPAT UMUM?

Kebanyakan orang berpendapat bahwa menghakimi berarti menilai orang secara buruk atau negatif. Tidak menghakimi berarti berpikir yang baik atas seseorang atau sesuatu. Agar tidak menghakimi, kita mesti berprasangka baik. Dan harus selalu begitu. Yaitu bahwa semua orang pada dasarnya baik dan jika mereka jahat atau tidak baik, itu bukan urusan kita tapi itu urusan pribadi orang itu dengan Tuhan.

Pertanyaannya, mungkinkah itu? Mungkinkah kita tidak memiliki pikiran yang negatif tentang seseorang apalagi jika bukti² nyata menunjukkan bahwa ia memang seorang yang telah melakukan sesuatu yang jahat? Mungkinkah kita menilai seseorang tetap benar walaupun ia jelas² telah melakukan kesalahan yang fatal? Mungkinkah kita dilarang berasumsi dan “menghakimi” dalam pikiran dan batin kita yang justru sering kali tanpa sadar hampir sepanjang waktu memberikan penilaian dan pendapat terhadap berbagai hal yang kita alami maupun terhadap beragam orang yang kita temui sepanjang hari? Dan, mungkinkah kita tidak perlu menilai mana yang baik dan buruk atas tindakan seseorang, atas nama bahwa itu urusannya dengan Tuhan, padahal kita tiap hari hidup satu komunitas dengan mereka, dimana kita perlu memberikan penjelasan pada anak² kita mana yang benar dan mana yang buruk atau yang baik di samping yang jahat?
Lebih lanjut, secara rohani, mungkinkah kita menganggap setiap doktrin atau pengajaran -dan kini ditambah dengan nubuat dan penglihatan- sebagai sesuatu yang semuanya benar dan boleh disebarluaskan begitu saja atas nama kita tidak boleh menghakimi semuanya itu? Bukankah kita diperintahkan Tuhan untuk tidak percaya akan setiap roh; juga untuk menguji segala sesuatu (Ef. 5:10; 1 Tes. 5:21; 1 Yoh. 4:1)?

Benarkah bahwa “tidak menghakimi” berarti sekedar tidak berbicara mengenai orang lain secara negatif dan memberikan cap yang buruk terhadap seseorang atau sesuatu?
Jika demikian, Yesus pasti telah berdosa dalam hal menghakimi saat Dia menuding orang² Farisi dan ahli² taurat sebagai orang² munafik, orang² bodoh dan pemimpin² buta. Dia sudah melewati batas saat ia mengatakan pada para pemuka agama Yahudi yang sangat dihormati secara sosial pada waktu itu. Namun, siapakah yang berani mengatakan bahwa Dia bersalah karena menghakimi?
Beberapa orang mungkin berpikir bahwa Yesus memiliki kuasa untuk menghakimi karena Dia Allah. Bisa jadi itu benar. Tetapi telitilah kitab nabi² dan surat² Perjanjian Baru yang ditulis para rasul. Ada begitu banyak pesan, teguran, kecaman bahkan hardikan dalam istilah-istilah yang sangat keras bagi orang² berdosa yang belum mengenal Tuhan maupun terhadap umat Tuhan sendiri, baik terhadap Israel di masa Perjanjian Lama maupun gereja di masa Perjanjian Baru.
Inilah beberapa di antaranya:

Yesaya 57:3-5

Tetapi kamu, mendekatlah kamu ke mari, hai anak-anak dari perempuan-perempuan sihir, hai keturunan orang yang berzinah dan perempuan sundal!
Tentang siapakah kamu berkelakar, terhadap siapakah kamu melontarkan kata-kata yang bukan-bukan dan mengejeknya? Bukankah kamu ini anak-anak pemberontak, keturunan pendusta,
hai orang-orang yang terbakar oleh hawa nafsu dekat pohon-pohon keramat, di bawah setiap pohon yang rimbun, hai orang-orang yang menyembelih anak-anak di lembah-lembah, di dalam celah-celah bukit batu

Yeremia 2:8, 11, 13, 19, 21, 23-24, 29

Para imam tidak lagi bertanya: Di manakah TUHAN? Orang-orang yang melaksanakan hukum tidak mengenal Aku lagi, dan para gembala mendurhaka terhadap Aku. Para nabi bernubuat demi Baal, mereka mengikuti apa yang tidak berguna.
pernahkah suatu bangsa menukarkan allahnya meskipun itu sebenarnya bukan allah?
Tetapi umat-Ku menukarkan Kemuliaannya dengan apa yang tidak berguna.
Sebab dua kali umat-Ku berbuat jahat: mereka meninggalkan Aku, sumber air yang hidup, untuk menggali kolam bagi mereka sendiri, yakni kolam yang bocor, yang tidak dapat menahan air.
Kejahatanmu akan menghajar engkau, dan kemurtadanmu akan menyiksa engkau! Ketahuilah dan lihatlah, betapa jahat dan pedihnya engkau meninggalkan TUHAN, Allahmu; dan tidak gemetar terhadap Aku, demikianlah firman Tuhan ALLAH semesta alam.
Namun Aku telah membuat engkau tumbuh sebagai pokok anggur pilihan, sebagai benih yang sungguh murni. Betapa engkau berubah menjadi pohon berbau busuk, pohon anggur liar!
Bagaimanakah engkau berani berkata: Aku tidak pernah menajiskan diriku, aku tidak pernah mengikuti para Baal? Lihatlah tingkah langkahmu di dalam lembah, ketahuilah apa yang telah kaulakukan: hai, unta betina yang ringan kaki yang berlari-lari kian ke mari,
yang melepaskan diri lari ke padang gurun, karena ingin menghirup udara! Siapakah yang dapat menahan nafsunya untuk berjantan? Semua yang mencari dia, tidak usah berlelah, mereka akan menemukannya dalam musim berjantan.
Mengapakah kamu mau berbantah dengan Aku? Kamu sekalian telah mendurhaka kepada-Ku, demikianlah firman TUHAN
Filipi 3:2 (surat rasul Paulus)
Hati-hatilah terhadap anjing-anjing, hati-hatilah terhadap pekerja-pekerja yang jahat, hati-hatilah terhadap penyunat-penyunat yang palsu,
Kisah Para Rasul 7:51-53 (perkataan Stefanus kepada imam² kepala dan ahli Taurat yang mendakwanya)
Hai orang-orang yang keras kepala dan yang tidak bersunat hati dan telinga, kamu selalu menentang Roh Kudus, sama seperti nenek moyangmu, demikian juga kamu.
Siapakah dari nabi-nabi yang tidak dianiaya oleh nenek moyangmu? Bahkan mereka membunuh orang-orang yang lebih dahulu memberitakan tentang kedatangan Orang Benar, yang sekarang telah kamu khianati dan kamu bunuh.
Kamu telah menerima hukum Taurat yang disampaikan oleh malaikat-malaikat, akan tetapi kamu tidak menurutinya
Kisah Para Rasul 8:20-23
Tetapi Petrus berkata kepadanya: “Binasalah kiranya uangmu itu bersama dengan engkau, karena engkau menyangka, bahwa engkau dapat membeli karunia Allah dengan uang.
Tidak ada bagian atau hakmu dalam perkara ini, sebab hatimu tidak lurus di hadapan Allah.
Jadi bertobatlah dari kejahatanmu ini dan berdoalah kepada Tuhan, supaya Ia mengampuni niat hatimu ini; sebab kulihat, bahwa hatimu telah seperti empedu yang pahit dan terjerat dalam kejahatan
Tidakkah semua itu merupakan kata² yang keras dan tajam, tanpa dihaluskan sama sekali, yang berisi tuduhan dan sebutan yang kasar serta sangat buruk, yang dialamatkan pada seseorang atau sekelompok orang yang juga merupakan pemuka bangsa dan pemimpin agama pada waktu itu? Apakah semua perkataan itu termasuk sebagai menghakimi orang lain? Atau jika bukan termasuk sebagai menghakimi, bagaimana kita menjelaskan perbedaannya dengan yang disebut sebagai menghakimi?
Harus kita akui bahwa banyak di antara kita tidak benar² memahami apa yang disebut sebagai menghakimi atau tidak menghakimi orang lain. Kita menggunakan ukuran² yang tidak jelas, seringkali didasari pemikiran² pribadi (subyektif) yang mudah berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang terjadi. Terkadang saat kita merasa diserang, kita merasa dihakimi tetapi seringkali pula tanpa sadar kita melakukan yang sama terhadap orang lain -yang tentu saja pada saat itu kita tidak merasa sebagai sikap menghakimi orang. Merupakan isu yang tidak mudah dibahas, kita merenungkan lebih dalam tentang menghakimi dengan mencari dan menemukandan pikiran rahasia² yang tersimpan di hati Tuhan yang dituangkan dalam firman-Nya.

HAL MENGHAKIMI, DARI PENGAJARAN YESUS SENDIRI

Tidak ada sumber yang lebih baik untuk mengetahui apa yang dimaksud dalam ajaran Kristus mengenai menghakimi selain dari perkataan² Kristus sendiri.
Injil memberitahukan kita bahwa pengajaran Yesus mengenai ini dituliskan dalam dua Injil yaitu Matius dan Lukas. Apakah sesungguhnya yang diajarkan Yesus?
Matius 7:1 memberitahukan pada kita perintah Yesus, “Janganlah kamu menghakimi…” tetapi pada bagian lain Dia pun memberikan perintah supaya kita, “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil” (Yoh. 7:24). Tampak membingungkan sepertinya karena seolah-olah ada dualisme perintah yang bersifat larangan di sana.

Lukas memberikan penekanan yang sedikit berbeda dengan menuliskan perkataan Yesus seperti ini :
“Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni” (Luk. 6:37).
Dari uraian beberapa ayat di atas maka semestinya kita perlu membedakan apa yang dimaksud oleh Yesus sebagai menghakimi. Meskipun kedua kata asli yang dipakai sama tetapi maksudnya bisa berbeda. Pada satu sisi, Yesus ‘mengijinkan’ untuk kita menghakimi (Yoh. 7:24) asalkan kita melakukan penghakiman tersebut dengan adil, sepatutnya dan dengan sikap hati seperti yang ada pada Tuhan. Pada sisi lain, Yesus ‘melarang’ kita menghakimi apabila itu dilakukan dalam suatu cara sehingga pada akhirnya kita, tanpa alasan² yang adil dan benar lalu menjatuhkan penghukuman (to condemn, menyatakan bersalah) pada seseorang atau sesuatu.

Jadi, YANG YESUS TIDAK PERBOLEHKAN IALAH SIKAP MENJADI HAKIM ATAS ORANG LAIN dimana dengan seenaknya dijatuhkan vonis bahwa seseorang bersalah telah melakukan dosa ini atau itu padahal semua itu dilatarbelakangi dasar² penilaian yang tidak tepat dan serampangan, lebih-lebih jika didukung motif-motif yang mementingkan diri sendiri atau yang jahat.
Bagi Tuhan, menghakimi bukan sekedar melontarkan kata² tuduhan atau memberikan cap yang buruk kepada seseorang. Apa yang tersimpan dalam hati adalah apa yang dilihat dan dinilai oleh Tuhan. Oleh sebab itu, menghakimi, dalam pandangan Tuhan, ialah akumulasi suatu sikap hati maupun pikiran yang jahat di mata Tuhan. Bahkan ketika orang tersebut tidak berkata-kata atau berbuat sesuatu yang jahat terhadap yang lain.
Sikap menghakimi dibentuk oleh kumpulan pikiran dan perasaan buruk dan negatif yang akhirnya berlanjut pada terbentuknya dan menetapnya suatu sudut pandang yang memandang seseorang atau sekelompok orang secara rendah, buruk, jahat atau berdosa sedangkan itu belum tentu benar dan belum tentu demikian dalam pandangan Tuhan.
Sebagai contoh, ketika Daud kelaparan dan mencari makanan di kemah suci setelah melarikan diri dari Saul, ia akhirnya memakan roti persembahan unjukan yang seharusnya menurut taurat Musa hanya diijinkan dimakan oleh para imam saja.
Tetapi inilah yang dikatakan Yesus sekaligus sebagai pertanyaan pada ahli² taurat dan orang² Farisi yang mempersoalkan murid-murid-Nya memetik gandum pada hari Sabat :
“Tetapi jawab Yesus kepada mereka: “Tidakkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya lapar, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan bagaimana mereka makan roti sajian yang tidak boleh dimakan, baik olehnya maupun oleh mereka yang mengikutinya, kecuali oleh imam-imam?” (Mat 12:3-4 )
Yesus sebenarnya ingin berkata bahwa jika para ahli taurat itu mempersoalkan murid-murid-Nya, maka seharusnya mereka juga mempersalahkan Daud karena telah melanggar ketetapan hukum taurat. Orang² Farisi waktu itu telah memandang murid-murid Yesus bersalah dengan memetik bulir gandum dan memakannya. Masalahnya, Yesus tidak memandang demikian. Ada sudut pandang yang digunakan Yesus dan Bapa yang tidak serta merta secara mudah dan cepat menuduh atau menyebut seseorang bersalah melanggar perintah Tuhan.

“Jika memang kamu mengerti maksud firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah” (Mat. 12:7-8)

Maksudnya ialah Tuhan tidak mudah menilai dan menentukan bersalah (apalagi menghukum) atas seseorang dengan satu atau dua sebab saja (lebih² yang tidak dapat dijadikan ukuran sebagai kejahatan yang besar). Belas kasihan Tuhan itu mengamati, mempedulikan, mengerti dan memahami lalu menimbang keadaan tiap-tiap orang dengan segala kondisinya yang tidak sempurna.
Jika akhirnya Tuhan sampai menjatuhkan penghakiman-Nya yang menghukum, maka itu pun merupakan tindakan kebijaksanaan-Nya yang didasarkan, lagi-lagi, atas kasih-Nya yang besar supaya manusia bertobat dan berbalik kepada-Nya, supaya orang dapat kembali ingat dan berpaling pada-Nya untuk perubahan dan perbaikan hidup sebagaimana yang dirindukan-Nya atas orang itu. Di pihak lain Tuhan menyatakan hukuman-Nya sebagai alternatif terakhir berdasarkan keadilan-Nya, atas perbuatan dan sikap hati orang yang tetap bersikeras menolak ajakan atau didikan-Nya setelah kasih karunia telah cukup diberikan.
Ini berbeda dengan manusia. Karena sifat alaminya yang telah dikuasai dosa, sebelum terjadi pemulihan gambar diri dan perubahan akal budi oleh kuasa Tuhan dan firman-Nya, maka manusia adalah pribadi² yang cenderung mementingkan diri dan memandang dirinya selalu lebih baik dibanding orang lain. Dalam kitab Kejadian pasal 3, Adam menuduh Hawa yang bersalah atas peristiwa pelanggaran perintah Tuhan yang melarang makan pohon pengetahuan baik dan jahat. Tidak mengejutkan saat Hawa pun menunjukkan jarinya pada ular sebagai yang bertanggung jawab atas kejatuhannya. Manusia suka membenarkan diri dan mudah menyalahkan orang sejak hari itu. Dalam hidupnya, mereka tidak mau dihakimi oleh Tuhan atau sesamanya tetapi justru menempatkan dirinya sebagai hakim atas segala sesuatu. Atas dirinya, atas orang lain. Bahkan terhadap Tuhan!
George Aiken berkata benar saat mengungkap sifat manusia ini: “Jika kita terbangun di suatu pagi dan menemukan kenyataan bahwa semua orang memiliki ras yang sama, bahasa dan warna kulit yang sama, maka kita akan menemukan sebab-sebab lainnya untuk saling curiga satu sama lain di siang harinya.”

Satu hal tersirat dalam perkataan Yesus : “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu” (Mat. 7:1-2)
Sesungguhnya Yesus bermaksud menunjukkan betapa orang yang gemar menghakimi biasanya menggunakan ukuran-ukurannya sendiri dalam menilai orang. Mereka berprasangka, memberikan penilaian dan menentukan seseorang itu baik atau jahat dengan standar yang subyektif atau dengan ukuran yang bukan didasarkan pada prinsip² kebenaran sejati yang berasal dari pikiran dan hati Tuhan yang tersirat atau tersembunyi di dalam firman-Nya.
Dalam hal ini, penafsiran yang tepat dan teruji merupakan kuncinya. Sebab dengan menggunakan ayat² kitab suci yang ditafsirkan oleh pikiran manusia yang dipimpin hawa nafsu daripada Roh Allah, kebenaran firman dapat dimanipulasi sebagai sesuatu yang seolah-olah standar Tuhan. Jika penafsiran yang benar saja dapat diselewengkan demi tujuan² pribadi yang duniawi, maka sangat berbahaya pemahaman yang menyimpang dari pengajaran Sang Firman yang menjadi manusia itu, Yesus Kristus sendiri. Sudah bukan rahasia bahwa perdebatan² mengenai doktrin yang terus terjadi hingga hari ini, jika dirunut ke belakang, selalu didahului dengan penafsiran² tertentu yang kemudian diangkat sebagai suatu kebenaran mutlak, yang berdasarkan itu lalu mengambil posisi untuk menyatakan yang lain telah bersalah atau menyimpang di hadapan Tuhan.

Mereka yang akan dihakimi oleh Tuhan ialah mereka yang kerap dengan mudah memandang orang lain telah bersalah bahkan berdosa di hadapan Tuhan. Mereka yang merasa dengan ukuran² mereka sendiri merasa orang lain berbuat sesuatu yang jahat sehingga memandang rendah mereka padahal ukuran² itu belum tentu atau bahkan sama sekali tidak mereka terapkan terhadap diri mereka sendiri. Itulah sebabnya Yesus menyebut orang² yang suka menghakimi, dalam Matius 7:5a, sebagai orang² yang munafik, orang² yang lebih suka mencari kesalahan orang lain sedangkan dirinya sendiri sebenarnya telah melakukan kesalahan yang sama atau bahkan lebih besar dan lebih banyak dari yang dihakiminya. Seseorang yang seharusnya berurusan dengan dosanya sendiri tetapi menudingkan tangannya pada dosa orang lain seolah-olah dirinya paling benar dan suci sesungguhnya telah berlaku munafik di hadapan Tuhan yang mengetahui segala sesuatu!
Allah geram dengan orang yang gemar memberikan cap-cap yang buruk pada orang lain berdasarkan apa yang benar di pandangan orang itu sendiri bahkan saat mereka mengatasnamakan ayat² kitab suci. Alih-alih mencoba untuk mencari tahu lebih lanjut dan menunjukkan dengan cara Allah bahwa seseorang telah menyimpang jalannya dari kebenaran, berdasarkan satu dua data atau bukti-bukti yang tidak akurat, hati mereka telah menghinakan orang lain, menganggap jalan seseorang itu salah dan sesat, lalu melontarkan kata² tuduhan yang keji bahwa orang itu telah melakukan hal yang jahat dan melawan Tuhan. Allah yang mahatahu saja tidak sedemikian mudahnya menjatuhkan penilaian lalu menjatuhkan hukuman, mengapa banyak orang (termasuk orang² Kristen) melakukannya?
Allah, yang memiliki segala bukti di alam semesta ini justru memberikan kasih karunia dan kesempatan serta mengusahakan pertobatan demi keselamatan manusia, mengapa ada orang yang disebut pendeta atau hamba Tuhan, menilai dan mengutuk sejak di dalam hati mereka bahwa seseorang telah dilaknat Tuhan?
Bahkan ketika Tuhan telah mengutuk sekalipun, bukankah selalu ada pintu kesempatan untuk datang menerima kasih karunia-Nya melalui pertobatan, namun mengapakah orang memberikan tudingan pada orang lain sebagai orang kafir yang pantas masuk neraka?
Tuhan menghakimi dengan cara yang berbeda dengan manusia.
Tuhan menghakimi dengan adil. Berdasarkan sudut pandang yang semestinya, dengan alasan² yang benar, demi maksud² yang mulia. Kita acap melakukan sebaliknya. Kita menghakimi menurut ukuran² yang kita ciptakan sendiri, didukung kebenaran² dan sudut pandang yang sempit, didorong alasan² yang mementingkan diri sendiri, demi tujuan dan maksud² yang mungkin tampaknya baik tetapi lebih kepada mencapai tujuan² kita sendiri.

Jadi, yang dimaksud Tuhan sebagai menghakimi ialah sikap menilai dan memandang orang lain sedemikian rupa sehingga akhirnya segera memutuskan bersalah bahkan siap menjatuhkan hukuman tanpa disertai keadilan, tanpa bukti dan pertimbangan yang jelas dan teruji, terlepas dari ukuran² kebenaran yang murni dan sejati yang berasal dari Allah. Pendeknya, sebutan lain untuk sikap menghakimi yang dilarang Tuhan adalah “berprasangka” atau “berburuk sangka” terhadap sesama.
SELUMBAR YANG MENGGANGGU PEMANDANGAN, BALOK YANG TERLEWATKAN

Dalam Matius 7:3, Yesus menyingkap sudut pandang orang yang menghakimi. Yesus berkata, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?”

Selumbar ialah sehelai serabut dari sepotong kayu. Sesuatu yang tidak mudah terlihat dan sangat gampang luput dari pandangan mata. Tetapi serupa itulah kesalahan yang relatif kecil tetapi tampak seolah sangat menyolok di depan mata orang yang menghakimi sesamanya. Di pihaknya sendiri, ada balok yang menutup matanya. Sesuatu yang mudah terlihat dan dikenali namun nyatanya justru terlewatkan dari perhatiannya.

Di Indonesia, perkataan Yesus ribuan tahun lampau ini diungkapkan dalam bentuk peribahasa yang sangat terkenal : “Kuman diseberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak”.

Sejatinya, ada banyak hal yang terkandung dalam perumpamaan Tuhan ini mengenai bagaimana sikap hati dan sudut pandang orang yang menghakimi orang lain :

Orang Yang Menghakimi Orang Lain Mudah Melihat Kesalahan Orang Lain
Walaupun selumbar kecil dan sepele saja, mereka yang menjadi hakim bagi sesamanya mampu melihatnya. Suatu lambang betapa jeli dan telitinya mereka mencari-cari kekurangan, kelemahan atau kekurangan orang lain.
Haruslah diakui betapa mudah dan cepatnya kita mengamati orang lain lalu menemukan kekurangannya. Hanya memerlukan sedikit usaha untuk mencari kekurangan dan keburukan di sekeliling kita. Entah itu terhadap orang atau keadaan lingkungan sekitar kita. Juga, betapa segeranya kita mengeluh akan keadaan kita, ya, akan hal² buruk yang menimpa kita. Apakah itu tentang kemacetan. Tentang panasnya udara. Tentang makanan yang kurang sesuai selera. Atau tentang nasib kita yang seolah tanpa perubahan. Tentang keluarga kita. Tentang tetangga kita. Masyarakat kita. Bangsa dan pemerintahan kita.
Adalah suatu fakta bahwa manusia memang jauh lebih mudah menemukan hal² negatif daripada hal² positif dari orang lain. Bersungut-sungut atau mengumpat tanpa kita sadari menjadi kebiasaan sehari-hari kita daripada mengucap syukur dan memperkatakan hal² yang positif.
Kita pun mampu lebih cepat menyebutkan sepuluh kekurangan orang daripada satu saja kelebihan orang lain. Saat kita mampu menyampaikan berbagai kritik terhadap berbagai kekurangan orang lain sedangkan kita kesulitan menyebutkan hal² postif tentang orang tersebut, maka kita semestinya mulai tersadar bahwa mungkin saja kita sebenarnya selama ini telah hidup dalam suatu pola pikir yang suka menghakimi. Lebih lagi bila sikap itu makin menjadi-jadi manakala kita mendengar dan menerima informasi² yang buruk mengenai orang atau sekelompok orang tertentu juga bila bercampur perasaan kita yang telah terluka dan kecewa atau masih trauma atas kenangan buruk terhadap seseorang atau sesuatu hal di masa lalu.
Masalah yang disebut sebagai SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) sebenarnya timbul karena orang, entah ia diindoktrinasi atau karena ia sendiri pernah merasakan pengalaman buruk atau mendapati sendiri berbagai kekurangan di antara satu sama lain. Lalu itu diulang-ulang dalam pikiran maupun dalam kelompoknya sendiri, menetapkannya di benaknya, menjadikannya sebagai suatu patokan untuk bersikap terhadap satu sama lain. Hampir tanpa berpikir keras, mereka yang pikirannya telah dipenuhi isu SARA dengan mudah menyampaikan berbagai hal negatif mengenai pribadi atau kelompok lain yang berbeda dengan mereka.

Orang Yang Menghakimi Jarang Sekali Berpikir Mengenai Kekurangan Atau Kesalahannya Sendiri
Bagaikan balok yang besar namun tak kelihatan, demikianlah sikap hati orang yang suka menghakimi terhadap kesalahan atau kekurangannya sendiri. Dan itulah yang kerap terjadi. Saat kita fokus memperhatikan apapun yang lain daripada diri kita, kita menjadi kurang waspada akan keadaan diri sendiri. Terlalu lama memandang ke atas menjadikan kita tidak melihat lubang besar menganga di bawah kita. Saking pedulinya seorang mahasiswa mengabadikan dirinya dalam selfie, ia melupakan bahwa ia sedang berada di puncak gunung yang curam dikelilingi jurang yang dalam. Begitu seriusnya mengamati wajah orang lain, tanpa kita sadari wajah kita sendiri sedang berlepotan makanan.
Mengapakah sebuah balok tak terlihat? Oleh sebab balok itu memang tak pernah dihiraukan atau diperhatikan secara khusus. Pikiran yang berfokus mencari kesalahan orang, pada waktu yang sama sukar untuk memperhatikan apa yang dilakukannya atau kesalahan yang mungkin justru sedang diperbuatnya. Dan ini semakin parah ketika kebiasaan² mental yang lain turut dilibatkan di dalamnya.
Itulah sebabnya, saat seseorang terbiasa mencari kesalahan orang namun jarang melakukan introspeksi diri ada suatu dampak fatal yang jarang disadari pada awalnya tetapi saat menyadarinya cukup terlambat untuk menghindari kerusakan yang diakibatkannya.

Orang Yang Suka Menghakimi Semakin Lama Makin Terbiasa Berpikir Secara Negatif Mengenai Orang Lain

Salah satu ucapan terkenal Bunda Teresa ialah, “Ketika Anda menghakimi orang lain, Anda tidak mempunyai waktu untuk mengasihinya.”
Menghakimi ialah suatu sikap mental. Dimulai dari benih² kecil dan butiran² halus pikiran² negatif yang diperoleh atau ditanamkan orang lain atau dirinya sendiri dalam pikirannya, lambat laun terwujud suatu sikap menghakimi dalam pikiran kita. Ketika sikap itu dipertahankan, maka pembentukannya semakin lama semakin sempurna. Proses dalam melakukannya pun makin cepat terjadi. Pola pikir negatif melahirkan penghakiman yang memperbanyak koleksi pikiran² negatif atas sasarannya. Terlebih lagi jika itu kemudian didukung pengalaman² tidak menyenangkan maupun data² tambahan baru (yang seringkali juga ditafsirkan melalui kacamata pikiran negatif yang sudah terbentuk sebelumnya) yang sepertinya membuktikan bahwa apa yang dipikirkan secara negatif itu benar.
Dalam pola pikir yang negatif, bahkan apa yang positif pada akhirnya, terlihat sebagai sesuatu yang mengandung kekurangan serta dilekati hal² yang negatif juga. Dalam hal inilah sikap menghakimi bertentangan dengan sikap Tuhan. Tuhan, melampaui segala kekurangan dan kejatuhan manusia yang berlumur dosa, menatap melalui mata kasih karunia-Nya. Tidak menghinakan atau membuangnya untuk membinasakannya. Tetapi mengulurkan tangan dan memberikan cinta-Nya. Memberikan kesempatan untuk manusia kembali pada hangat dekapan-Nya.
Bapa yang baik dan penuh kasih itu, yang melihat anaknya yang hilang terseok-seok kembali ke rumahnya, berlari menyambut sang anak dengan air mata penuh sukacita dan pesta (Luk.15:20,22-24). Tidak demikian dengan si sulung, kakaknya, yang melihat sisi negatif dari kepulangan adiknya. Ia mengeluh mengenai banyak hal. Mengeluhkan betapa kerja kerasnya tidak dihargai. Mengeluhkan betapa dia berusaha menyenangkan bapanya tetapi sang bapa tidak pernah peduli. Mengeluhkan penerimaan bapanya pada adiknya yang sudah merugikan dan menghambur-hamburkan harta keluarga tetapi masih diterima seperti semula bahkan disambut dengan pesta (Luk.15:28-30).
Sang bapa (yang merupakan gambaran Bapa sorgawi kita) melihat dan bertindak berdasarkan KASIH : “Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali” dan “Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali” tetapi si sulung, oleh karena pola pikirnya yang menghakimi, mencela adiknya sekaligus pilihan sikap bapanya!
Bukankah semakin jelas mengapa Tuhan memerintahkan kita untuk tidak menghakimi? Sebab menghakimi berarti memikirkan hal-hal yang buruk, negatif dan tidak mau melihat hal-hal yang baik maupun memberikan kesempatan, pengampunan dan penerimaan oleh karena kasih seperti yang Tuhan rindu dan teladankan.
Karena Menilai Secara Negatif, Mereka Yang Menghakimi Memandang Rendah, Bahkan Memperkatakan Hal-hal Yang Buruk Serta Menjelekkan Yang Lain
Bagaikan virus yang menyebar ke seluruh sel² tubuh dan menjangkit serta melemahkan sel² tersebut, sejak semula, orang yang menghakimi, sadar maupun tidak, telah melangkah dalam jalan kerusakan. Pikiran negatif mereka terus makin kuat bahkan menjadi kebiasaan. Dampak selanjutnya ialah pikiran mereka terbentuk menjadi pikiran yang memandang tinggi dirinya –setidaknya merasa lebih baik daripada orang yang dipandangnya kecil dan rendah itu.
Ketika kita melihat sesuatu yang cacat, kita cenderung menolaknya. Bahkan memandangnya rendah atau kurang berarti. Bukankah kita memilih produk yang terbaik saat membeli sesuatu? Bukankah barang yang cacat menjadi kurang nilainya sehingga dipandang tidak layak dihargai seperti harga sebelumnya? Dan jika kita tahu bahwa sebuah benda telah berstatus ‘bekas’, pasti kita memandangnya kurang berharga dari yang ‘baru’.
Pun saat kita menghakimi orang lain dan berfokus pada kekurangan mereka, maka cepat atau lambat, kita mulai akan merendahkan mereka. Di pikiran kita. Di perasaan kita. Bahkan lebih dari itu.
Yang sudah dikuasai roh menghakimi tak lagi memandang orang seperti Tuhan memandang melainkan melihatnya sebagai suatu ‘barang yang cacat’, sesuatu yang tidak perlu dihargai dan diperhatikan lagi karena sudah tidak terlalu berarti lagi. Lebih parah lagi, cap atau label yang buruk diberikan pada orang-orang yang dihakimi. Mulai dari istilah² yang tidak terlalu ekstrim sampai sebutan² yang keji seperti mempersamakan orang dengan binatang atau tokoh² jahat lainnya. Orang yang menghakimi menyebut yang lain sebagai ‘menyimpang’ atau ‘sesat’, dari ‘manusia arogan’, ‘si goblok’ hingga ‘anjing’, ‘kerbau’ sampai ‘gurita’.
Sesungguhnya kerusakannya mengerikan. Mereka yang menghakimi tidak hanya menyakiti pihak yang dihakimi tetapi tanpa benar² disadarinya mereka menumbuhkan dalam diri mereka suatu karakter yang sombong, sesuatu yang sangat ditentang Tuhan (1 Pet. 5:5; Yak. 4:6).

Pola Pikir Menghakimi Mudah Menyatakan Seseorang Bersalah Dalam Satu Atau Dua Hal Lalu Menjatuhkan Penghukuman
Sejarah mencatat bahwa lembaga rohani seperti gereja sekalipun di masa “Era Kegelapan” telah menjatuhkan penghukuman yang sangat dahsyat dengan korban jiwa yang konon lebih besar dari peperangan manapun sebagai akibat dari berbagai ‘fatwa’ atau amanat keagamaan yang diputuskannya. Setiap orang atau kelompok yang dinilai ‘melanggar’ firman Tuhan, oleh pemuka² gereja dijatuhi hukuman² dari pengucilan sampai hukuman mati dan pemusnahan. Ini tampaknya masih berlangsung dari generasi demi generasi setelah itu hingga sekarang meski dilakukan melalui cara² dan sebab² yang berbeda terhadap berbagai gerakan atau pelayanan rohani di luar mereka yang mengklaim dirinya gereja yang sah.
Di zaman Yesus, para ahli taurat dan orang Farisi merupakan golongan yang gemar menggunakan hukum-hukum ilahi sebagai sarana pendukung, pembenar dan pemaaf untuk kepentingan² mereka khususnya dalam menjebak, menjatuhkan dan menghancurkan pribadi atau institusi yang menghalangi tujuan² mereka. Yesus sendiri, karena iri dan dengki pemuka² agama itu, telah diseret dalam persidangan tanpa keadilan yang dipenuhi oleh tuduhan dan fitnah jahat tak berdasar tanpa kejelasan akan kesalahan yang pernah dilakukan-Nya.
Semakin jelas betapa berbahaya dan mengerikan sikap menghakimi itu. Mereka yang menghakimi jauh lebih menyerupai iblis yang disebut “Sang Pendakwa” itu (Wah. 12:10) ketimbang menyatakan karakter ilahi seperti Kristus. Pekerjaan² merekapun seperti kuasa kegelapan yang menghalangi orang dari Allah. Tidak mengherankan apabila Yesus menyebut orang-orang Farisi : “..orang-orang munafik, karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk” (Mat. 23:13).
Puncak dari semua ini ialah hati yang dipenuhi prasangka, kebencian, permusuhan yang berakhir dengan percideraan bahkan pembunuhan. Ketika perkara² yang negatif memenuhi batin, maka kasih Tuhan perlahan sirna di hati seseorang. Tiada kasih karunia, belas kasihan atau pengampunan. Yang ada hanya penindasan, kekejaman dan kekerasan yang menginginkan orang lain menanggung hukuman atau penderitaan akibat kesalahannya. Oleh karena seluruh Israel termakan ajaran dan perkataan pemimpin² rohani mereka, maka Anak Manusia dihukum mati dengan sangat keji. Tak terlintas satu pemikiran pun bahwa pria yang tergantung di atas kayu salib itu telah memberikan segala-galanya selama tiga setengah tahun bagi kebaikan, kesembuhan dan pemulihan orang banyak –termasuk keluarga dan sanak saudara mereka.
Hari ini, kebenaran masih tetap dihakimi. Pengikut² sejati Kristus pun tetap diperlakukan sama dengan Guru mereka. Mereka yang berjalan di jalur ketaatan pada kehendak Tuhan dan kehambaan masih menjadi sasaran penghakiman yang tidak adil yang tidak jarang dilakukan oleh sesamanya yang seiman.
Meskipun demikian, firman Tuhan adalah sandaran dan jaminan yang teguh. Yang menghakimi akan dihakimi oleh Tuhan. Yang mempersalahkan orang karena maksud-maksud hatinya yang jahat akan diperhitungkan pula hingga kesalahannya yang terkecil. Dengan ukuran yang dipakai untuk mengukur orang lain, pribadi² yang suka menjadi hakim bagi orang lain akan menanggung hukuman lebih berat daripada yang mereka jatuhkan kepada orang lain.

CIRI SELANJUTNYA

Yesus melanjutkan pengajaran-Nya, “Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu” (Mat. 7:4)

Melalui pernyataan-Nya itu, Yesus sedang menyingkapkan ciri dan karakter pribadi orang yang menghakimi sesamanya itu. Alangkah baiknya apabila kita menyimak dengan sikap hari belajar dan introspeksi karena mungkin saja selama ini -tanpa kita sadari- kita telah menghakimi orang lain.

Orang Yang Menghakimi Akan Menjadi Angkuh Dalam Hatinya
Ketika memandang ada kesalahan pada sesuatu atau seseorang dan berfokus padanya maka langkah selanjutnya adalah jalan yang semakin menurun. Yesus mengatakan bahwa orang yang suka menghakimi akan mulai mengoreksi orang lain: “Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu.”
Menemukan suatu kesalahan adalah satu hal. Memandang diri sebagai orang yang akan mengoreksi dan membenarkan kesalahan adalah hal yang berbeda. Itu peningkatan satu tahap lebih tinggi. Dari seseorang yang merasa tahu kesalahan orang menjadi orang yang berpikir akan menunjukkan dan memperbaiki kesalahan orang. Tidak dapat tidak, tangga kesombongan telah didaki. Bahkan mungkin semakin naik lebih tinggi apabila kesalahan beserta bukti-bukti yang diperoleh makin banyak dan lengkap.
Pernahkah Anda melihat orang yang merasa dirinya benar dan semua orang lain yang salah? Orang demikian memandang dirinya selalu bersih, selalu benar, selalu rohani dan selalu disayangi Tuhan. Orang Farisi yang berdoa bersama dengan seorang pemungut cukai dalam perumpamaan Yesus menggambarkan secara sempurna tentang pola pikir orang yang suka menghakimi:
“Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku” (Luk 18:11-12)
Farisi itu sedang berdoa. Dari luar ia tampak seperti orang yang sangat menghormati Allah. Isi doanya pun suatu ucapan syukur. Tetapi….alih-alih menyembah dan meninggikan Tuhan, dia membangga-banggakan dirinya sendiri. Merasa dirinya sebagai pribadi yang sudah baik, bahkan sangat baik. Suatu edisi khusus yang paling mahal nilainya. Sepenuhnya tangannya bersih menurut pandangannya sendiri. Pada sisi lain, ia memandang rendah semua orang lain bahkan menghakimi mereka sebagai orang² berdosa. Oleh sebab apa? Oleh sebab ia telah melakukan kewajiban² rohaninya seperti yang diajarkan di tempat ibadah dan hukum² agama. Itulah yang membuatnya merasa dirinya telah benar atau mungkin malah yang paling benar di hadapan Tuhan. Sesungguhnya di mata Tuhan, dia telah jatuh sangat dalam. Melampaui dosa setiap perampok, orang lalim, pezinah dan pemungut cukai yang ada. Ia telah jatuh dalam dosa yang sangat ditentang oleh Tuhan, yang oleh sebab itu Lucifer diturunkan dan dibuang dari sorga. Kesombongannya telah naik ke hadapan Tuhan dan memuakkan hati-Nya.
Ibadah orang yang menghakimi orang lain tidak akan diterima oleh Tuhan.
Yesus berkata mengenai orang Farisi itu:
“Aku berkata kepadamu: Orang ini (si pemungut cukai) pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu (si Farisi) tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Luke 18:14)
Mereka yang datang kepada Tuhan dengan berkata dalam hatinya, “Aku sudah datang ke gereja. Aku sudah melayani hari Minggu ini. Persembahan dalam jumlah tidak sedikit juga sudah kuberikan. Puji-pujian dan doa nyaring sudah kupanjatkan. Pastilah Tuhan senang dan berkenan kepadaku” tidak lebih dari orang² yang angkuh dan sok pamer di hadapan Yang Mahatinggi. Mereka tidak tahu apa dan bagaimana memperkenan Tuhan melalui suatu ibadah yang sejati itu. Bukankah Tuhan mencari persembahan hidup daripada persembahan ritual yang sekedar formalitas (tampak benar secara prosedur semata) ?
Bagaimana mungkin seorang yang mengaku menyembah pada Tuhan justru memuliakan diri dengan secara bangga menyebut-nyebut perbuatan-perbuatan baiknya sendiri ketimbang memuja kebaikan dan kasih karunia Tuhan? Akankah Tuhan menerima penyembahan dengan hati yang demikian?
Hanya ilah yang bodoh yang menyukai kepalsuan penyembahan semacam itu.
Pola Pikir Menghakimi Lebih Suka Mengoreksi Kesalahan Orang Daripada Memeriksa Dan Menguji Diri Sendiri
Sejak dari pikirannya, orang yang menghakimi sepertinya selalu memiliki solusi bagi setiap masalah orang lain. Mereka melihat kekurangan di sekitarnya dan berpikir bahwa seharusnya seperti ini atau seperti itu, semestinya tidak begini atau begitu. Mereka berkomentar tentang banyak hal dan gemar memberikan masukan atau koreksi terhadap berbagai situasi –bahkan tanpa diminta. Merasa dirinya paling tahu dan (hampir) selalu benar, mereka memberikan pandangan dengan cepat dan tegas mengenai benar atau salahnya berbagai macam hal.
Salah satu bidang pelayanan rohani yang rawan akan hal ini ialah pelayanan mimbar yang menyampaikan pengajaran dan penafsiran akan firman tertulis serta pelayanan kepemimpinan yang kerap dimintai pandangan atau pendapat sebab dianggap sebagai panutan orang banyak. Ini pun terefleksikan secara sejajar dengan fakta yang umum terjadi dimana para pemimpin politik dan agama yang menggunakan berbagai alasan pembenar (termasuk ayat² kitab suci) untuk menyerang dan memburukkan lawan²nya. Akan tetapi, kecenderungan untuk merasa benar lalu mudah berkomentar negatif mengenai keadaan orang lain hampir dilakukan setiap hari dalam skala yang sangat luas seiring berkembangnya realita makin maraknya media sosial yang memungkinkan orang menyampaikan pikiran dan pandangannya tanpa berhadapan muka dan anonim.
Hari ini, sudah merupakan hal yang jamak bila setiap orang mengeluarkan pendapatnya sendiri terhadap berbagai berita atau topik² hangat yang dibicarakan di media sosial. Dan dengan fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan penggunaan media sosial terbanyak di dunia, maka sama sekali tak terhindarkan maraknya sikap menghakimi yang berlangsung secara masif dan mengakibatkan kerusakan² sosial yang sebenarnya akan sangat parah dan sulit diperkirakan ujungnya.
Memasuki era komunikasi ini, sumbat² komunikasi massa seolah terlepas dan bagaikan bendungan yang jebol, bangsa kita hanyut dalam euphoria kebebasan menyatakan pendapat. Itulah sebabnya salah satu hal utama yang hilang hari ini ialah INTROSPEKSI DAN KOREKSI DIRI. Kemudahan menyampaikan pikiran dan berkomentar tentang segala sesuatu jika tidak dikontrol dan disadari sebagai sesuatu yang memiliki dampak negatif akan menumpulkan bahkan membutakan kita akan kewajiban kita di hadapan Tuhan untuk mencari Dia dan mengikut Dia –dimana semua itu memerlukan waktu untuk merenung, belajar, mengamat-amati langkah² kita di hadapan Tuhan, yang harus dikerjakan dengan terus menerus merendahkan diri di hadapan-Nya.
Benarlah yang dikatakan Charless Glassman dalam Brain Drain The Breakthrough That Will Change Your Life bahwa “menghakimi orang itu mudah karena itu mengalihkan kita dari tanggung jawab untuk menilai dan mengoreksi diri kita sendiri.”
Memeriksa dan menguji diri menjadi sesuatu yang tak terlintas di pikiran ketika pikiran kita dipenuhi penilaian² mengenai orang lain serta berbagai pendapat dan komentar untuk mengoreksi orang lain. Jika ini terus berlanjut, sebatang kayu tanpa terasa telah menutup mata, membutakan mata rohani kita dari Tuhan dan kebenaran-Nya.
Saat Menghakimi Orang Lain, Dalam Pandangan Tuhan Kesalahan Terbesar Ada Pada Orang yang Menghakimi
Yesus berkata, “Mungkinkah kamu bermaksud mengeluarkan selumbar di mata sesamamu padahal LIHATLAH balok itu ada di matamu (KJV)”
Balok kayu menggambarkan suatu kesalahan yang besar, berbanding terbalik dengan serpihan kayu yang sangat kecil. Balok itu ada pada orang yang menghakimi sedangkan selumbar didapati pada orang yang dihakimi. Meskipun seolah-olah yang dihakimi tampak bersalah oleh karena berbagai tuduhan dan sepertinya perlu dikoreksi TETAPI sebenarnya yang lebih besar kesalahannya dan perlu disadarkan akan hal itu–dalam pandangan Tuhan- justru orang yang menghukum sesamanya itu.
Itulah sebabnya mengapa diumpamakan seperti balok. Oleh karena kesalahan itu besar. Menjadi besar karena ada banyak yang terkumpul. Suatu kumpulan sikap hati yang jahat di hadapan Tuhan. Yang jauh dari karakter Allah sendiri. Sombong. Munafik (Mat. 7:5a). Benci. Iri hati. Dengki. Fitnah. Berdusta dengan memutarbalikkan fakta. Gemar mendakwa. Agamawi dan sesat karena memanfaatkan Tuhan dan menggunakan firman-Nya demi tujuan² yang mementingkan diri. Semua itu akan berlanjut dalam bentuk yang lebih merusak seperti percideraan, pertengkaran, perselisihan, perpecahan hingga kerusuhan, pembunuhan bahkan pembantaian. Seperti yang dikatakan Tryon Edwards, “Ia yang dikuasai pola pikir yang menghakimi dikuasai sesosok iblis, salah satu dari jenis iblis terjahat, sebab ia membungkam kebenaran dan seringkali menuntun orang pada kesalahan yang menghancurkan.”

KESIMPULAN, SEJAUH INI

Larangan untuk menghakimi bukan merupakan larangan untuk menilai sesuatu atau seseorang – suatu sikap yang hampir setiap saat kita lakukan terhadap segala sesuatu di sekitar kita. Melakukan penilaian yang tulus dan adil terhadap sesama bukan termasuk sebagai menghakimi. Menghakimi menjadi sesuatu yang dilarang bahkan merupakan suatu dosa di mata Tuhan oleh karena didasarkan dan dibangun dari sikap² hati yang jahat, yang kemudian membentuk suatu pola pikir dan kondisi hati yang condong atau cepat menyatakan seseorang bersalah lalu siap sedia menjatuhkan hukuman -sesuatu yang jauh dari hati Tuhan sebagai Pribadi yang lebih suka memilih menganugerahkan kesempatan untuk bertobat dan pengampunan bagi yang bersedia berubah dan diubahkan-Nya.
Ada dampak yang mengerikan dari sikap menghakimi. Karena menghakimilah orang menutup diri terhadap kesalahannya sendiri, membenarkan diri, menjadi congkak sehingga merendahkan orang lain, berfokus pada kesalahan orang yang makin dibesar-besarkan sehingga benturan dan konflik tak terelakkan lagi. Bagai efek berantai bom atom, itu terus pecah dan meledak dalam bentuk keributan, pertengkaran bahkan pembunuhan. Dan di atas banyak sebab yang lain, agama dan ajarannya terbukti telah menjadi salah satu sarana yang kerap dipakai menjadi dasar penghakiman dan penghukuman bagi orang lain.
Lalu, bagaimana sikap kita seharusnya supaya tak jatuh dalam sikap menghakimi? Bagaimana kita seharusnya menilai orang secara benar dan melihatnya dari sudut pandang Kristus? Bagaimana pula kita menyikapi orang yang jelas-jelas menyimpang dari jalan Tuhan dan melakukan kesalahan fatal?
Semuanya akan kita dalami pada artikel berikutnya.
Untuk saat ini, mari merenungkan kebenaran ini dengan hati yang terbuka untuk diselidiki dan dikoreksi oleh Roh Kudus yang akan berbicara secara pribadi di hati kita. Adakah hati kita didapati penuh pembenaran akan diri sendiri, kerap curiga dan mudah dipenuhi pikiran negatif pada orang lain? Jika ya, maka kita telah menyiapkan dasar bagi sikap menghakimi orang lain. Atau mungkin saja kita telah menjadi pribadi yang suka menuding dan memvonis orang bersalah atas nama ajaran, doktrin atau bunyi ayat tertentu dari Alkitab? Jika Tuhan melihat hati Anda dan saya saat ini, adakah Dia menemukan suatu roh yang manis, penuh kasih karunia dan pengampunan? Yang memilih untuk memandang dan memperlakukan sesama dengan sikap yang digerakkan kasih sejati dan ilahi seperti yang ada pada Kristus?
Kita tidak akan pernah menjadi berkat bagi dunia jika kita memiliki sikap hati yang jahat ini. Kasih Tuhan tidak akan pernah tersalurkan saat kita lebih suka memusatkan diri untuk menuntut dan mendakwa orang lain karena kesalahan-kesalahan mereka.
Tetapi sebagaimana telah sekilas kita ketahui, Tuhan memberikan kesempatan hari ini pada kita untuk memulai untuk hidup dalam cara pandang dan gaya hidup yang berbeda dengan dunia, yang menyatakan karakter Kristus.
Kiranya Roh Kudus menuntun Anda melakukan introspeksi dan memberikan pada Anda hati yang rela hidup dalam kehendak-Nya!
Doa saya menyertai Anda.
SALAM REVIVAL.
INDONESIA PENUH KEMULIAAN TUHAN!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *