Oleh : Rick Joyner
(Diterjemahkan dari buku “The Path: Fire on the Mountain”)
BAB TIGA
PILIHAN (1)
Aku melihat ke petugas muda itu dan kemudian ke semua penumpang lainnya. Ratusan orang berada di pantai itu dan aku berasumsi bahwa beberapa ribu orang lagi ada di kapal.
“Kau bilang engkau siap untuk pergi. Engkau siap pergi kemana?” aku bertanya kepada petugas kapal yang sepertinya mewakili seluruh kelompok yang akan berangkat itu.
“Kami akan pergi ke tempat yang sama yang dicari setiap orang pengembara — kota yang sedang dibangun Tuhan.”
“Bagaimana kamu mengenalku, dan menurutmu mengapa aku bisa membawamu ke sana?” aku bertanya.
“Kami tahu siapa engkau, dan kami diberi tahu bahwa engkau tahu jalan yang akan membawa kami ke sana,” kata salah satu penumpang.
“Apakah ini satu-satunya kelompok yang akan ikut?” aku bertanya.
“Sisanya bilang mereka akan ikut belakangan,” jawab yang lain.
“Mungkin tidak akan ada nanti,” kataku. “Waktunya semakin singkat.”
“Aku telah memberi tahu mereka tentang hal itu, tetapi mereka tidak mempercayaiku,” kata perwira muda itu.
“Bagaimana dengan kapten kapalnya? Apakah dia tidak memberitahu mereka?”
“Tuan, aku rasa dia tidak yakin waktunya singkat,” kata perwira muda itu dengan persetujuan yang nyata dari mereka yang mengikutinya.
“Apa yang akan mereka lakukan?” aku bertanya. “Kemana mereka pergi sekarang?”
“Mereka bilang mereka memiliki semua yang mereka butuhkan. Jika mereka tidak tinggal di sini, mereka kemungkinan akan naik kapal lagi dan menyusuri pantai, seperti yang telah kami lakukan sejak lama” salah satu dari penumpang menambahkan.
Aku memberi tahu kelompok itu untuk memasuki hutan melalui jalan setapak di dekatnya, dan aku akan segera bergabung dengan mereka. Aku tahu penting bagi mereka untuk segera memulai, sebab jika mereka tinggal di tempat itu lebih lama, banyak yang akan tergoda untuk kembali ke kapal. Aku kemudian meminta petugas muda itu untuk membawaku ke kapten kapal agar aku dapat berbicara dengannya, dan dia bersedia.
Saat kami naik ke kapal, aku kagum akan betapa indahnya kapal itu. Semuanya dirancang demi suatu kenyamanan dan kemewahan. Ada pertemuan besar yang terjadi di tengah kapal, yang aku bisa dengar gemanya menembus ruangan. Musiknya indah.
“Kalian pasti memiliki sound system yang bagus di kapal ini,” komentarku kepada perwira muda itu.
“Memang kami hanya menggunakan yang terbaik. Semuanya canggih, ”jawabnya.
“Apakah kabinnya sebagus area untuk umum?” aku bertanya.
“Beberapa bahkan lebih bagus. Engkau harus melihat kabin tempat para pemimpin tinggal. Mereka mengatakan bahwa mereka harus memiliki tempat-tempat seperti itu untuk mengesankan dan menyenangkan semua orang-orang terhormat yang mengunjungi kami. Kami punya banyak orang-orang terkenal yang datang dan pergi, ”tambah perwira muda itu.
“Aku ditawari tempat yang luar biasa bagiku sendiri jika aku bersedia tinggal. “
“Apakah engkau tidak tergoda menerimanya?” aku bertanya.
“Aku sangat tergoda. Bahkan berjalan balik kembali ke sini pun tidak mudah bagiku, ”jawabnya.
“Ingatlah bahwa Tuhan tidak mencobai kita. Jika itu godaan, kita harus melawannya,” kataku, prihatin bahwa aku seharusnya tidak mengembalikannya ke situasi itu, meskipun aku tahu aku harus berbicara dengan kapten.
“Jangan khawatirkan aku,” jawab perwira muda itu. “Aku tidak bisa meninggalkan mereka yang pergi ke gunung. Aku mencintai mereka lebih dari aku mencintai kapal ini.”
Saat kami tiba di kamar kapten, aku tidak bisa tidak mengagumi kemewahannya. Dia menunggu untuk menuntun kami masuk dan bahkan telah menyiapkan minuman. Aku berasumsi dia telah diberi tahu akan kedatanganku ketika aku melewati petugas di geladak kapal. Dia tampak sangat senang melihatku. Setelah
bertukar salam, dan berbagi beberapa berita tentang beberapa orang yang sama-sama kami kenal, aku langsung menyampaikan maksudku
“Kapten. Aku merasa terhormat bahwa Anda telah mempercayai aku untuk memimpin beberapa orang penumpang Anda untuk melanjutkan misi ini, ”aku memulai.
“Aku sangat senang Anda mengambilnya. Mereka semua adalah orang-orang hebat, dan aku pikir mereka akan melakukannya dengan sangat baik bersama Anda, “jawab kapten.
“Beberapa menit aku bersama mereka, terlihat mereka sepertinya sudah dipersiapkan dengan baik. Perhatianku adalah untuk orang-orang lain yang ada di sini. Waktunya singkat. Mereka yang tidak segera melakukan perjalanan ini mungkin tidak akan pernah memiliki kesempatan. Ini bisa jadi panggilan terakhir, ”kataku.
“Aku menghargai semangat Anda,” sang kapten menjawab, “tetapi orang-orang telah mengatakan itu dari generasi ke generasi. Faktanya, aku pikir setiap generasi merasakan hal yang sama, namun waktu toh terus bergulir saja.”
“Meskipun waktu kita banyak, kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu itu. Pertarungan antara terang dan kegelapan terus meningkat, dan pertempuran terakhir jelas sudah dekat. Kita harus sampai ke gunung Tuhan dengan sebanyak orang yang kita bisa, ”desakku.
“Pasti ada pertempuran besar yang sedang terjadi,” jawab kapten. “Kami menghargai semua yang berperang itu dan melakukan sebanyak yang kami bisa untuk mendukung mereka. Aku sendiri pernah bertarung di dalamnya satu dua kali, tapi saat ini kita sedang diajari bagaimana menjadi makmur dan sejahtera. Kita harus patuh pada panggilan kita. Ini adalah bagian kami sekarang, dan dengan kemakmuran kami, kami dapat membantu mendukung mereka yang masih menjalankan misi ini.”
Kemegahan dan kemewahan di situ benar-benar mematikan pikiran. Semua yang dikatakan kapten sepertinya sangat masuk akal. Kata-kataku sendiri tampak kosong dan tidak nyata di kapal yang begitu besar. Setelah kesulitan besar yang aku alami, sangat kuat godaan untuk berhenti dan bersantai di kapal itu sementara waktu.
Kapten tampaknya merasakan kelemahanku yang makin nyata, dan melanjutkan: “Aku mempelajari sekian lama bahwa Anda harus segera membawa pergi mereka yang bertekad untuk melakukan perjalanan Anda bersama mereka. Jika mereka tidak pergi, mereka akan menabur perselisihan di sini. Mereka semua orang baik, dan aku berterima kasih Anda telah mengambil mereka.”
“Sebelum Anda pergi,” kata kapten itu, memegang lenganku dengan ramah, “Apakah Anda yakin untuk tidak tinggal di sini sebentar saja? Saya punya jabatan yang sempurna bagi Anda. Tidak ada yang lebih baik sebagai tempat untuk menyembuhkan luka Anda dan dari kesukaran yang telah Anda lalui sebelumnya seperti di tempat ini.”
Aku tidak ingat pernah begitu tergoda dalam hidupku. Aku tahu bahwa jika sekalipun aku membuka mulutku untuk berdebat dengan kapten, aku akhirnya akan tinggal di situ Aku hanya menggelengkan kepalaku dan pergi secepat aku bisa.
Petugas muda itu tepat di belakangku. Aku merasa kalah. Bukan hanya karena aku tidak bisa menembus atmosfer di kapal itu dan memperingatkan orang-orang di salamnya, kapal itu bahkan hampir menguasai diriku. Aku seolah berlari menyelamatkan diri seperti anak anjing dengan ekor masuk di antara kedua kakinya.
Saat kami menyeberangi pantai, aku menoleh kepada petugas muda itu, “Apa yang menyebabkan engkau bersedia pergi dari posisi yang begitu nyaman untuk pergi ke alam liar seperti ini? “
“Aku tidak ingin bersikap negatif atau tidak menghormati kaptenku,” jawab perwira muda itu. “Dia mengajariku begitu banyak dan telah memberiku begitu banyak, tetapi yang kita bicarakan kemudian selalu hanyalah tentang uang dan materi.
Aku bergabung dengan mereka itu untuk melayani Tuhan, bukan untuk menjadi kaya. Mereka mungkin dipanggil untuk ini, tetapi bukan untuk itu aku sebenarnya dipanggil.”
Aku kagum pada pemuda itu karena begitu tegasnya tentang sesuatu yang membuatku begitu lemah.
Sementara kami berjalan dia melanjutkan: “Betapa pun hebatnya berada di kapal itu, hatiku terasa kosong, dan semakin lama semakin kosong. Aku melihat orang-orang baik menyimpang dan mulai melakukan hal-hal yang seharusnya tidak mereka dilakukan. Aku tahu jika aku tidak tinggalkan kapal itu segera, aku tidak akan pernah akan meninggalkannya. Kemudian aku akan menjalani kehidupan yang penuh kompromi dan kekalahan._ Aku pikir ini adalah panggilan terakhir bagiku terlepas dari berapa banyak pun waktu yang dimiliki dunia.”
“Engkau tahu kalau engkau baru saja meninggalkan kemewahan dan kenyamanan ini untuk masuk ke dalam suatu kesukaran yang besar, bukan?” tanyaku.
“Ya, aku tahu itu. Ini mungkin lebih sulit daripada yang aku pikirkan, tetapi aku telah membaca buku-buku rohani klasik. Pembawa-pembawa pesan yang luar biasa dari Tuhan sepanjang sejarah. Mereka semua menjalani kehidupan yang sangat berbeda dari kami yang tinggal di kapal itu. Semakin banyak aku membaca tentang kehidupan orang-orang kudus yang agung semakin aku mempertanyakan semua yang kami lakukan dan ajarkan di sana. Aku tidak tahan lagi. Kapten memang benar. Aku akan menyebabkan perselisihan jika aku tetap tinggal di sana. Aku harus menempuh perjalanan ini atau aku tidak pernah akan merasakan damai,” kata perwira muda itu.
“Engkau telah melakukan hal yang benar,” kataku, “tetapi itu bakalan sulit. Bagaimana dengan orang-orang yang mengikutimu, apakah mereka tahu apa yang mereka hadapi? ”
“Mereka semua adalah bagian dari kelompok yang kami mulai, yang disebut ‘Perkumpulan Bonhoeffer,’” kata petugas muda itu
“Baiklah. Itu cukup jelas bagiku” jawabku saat kami memasuki hutan belantara. Aku perhatikan dia bahkan tidak menoleh kembali ke kapal.
(Bersambung ke Bagian 7)