“JANGANLAH KAMU BODOH…” (Efesus 5:17)

Pesan
pengajaran untuk 2017
Bagian
2 (SELESAI)

Oleh: Bpk. Peter B, MA

Dalam Efesus 5:17,
Paulus menyampaikan supaya jemaat Tuhan JANGAN MENJADI BODOH tetapi USAHAKANLAH
SUPAYA MENGERTI KEHENDAK TUHAN. Sangat menarik mengetahui Paulus menyebutkan
bahwa supaya tidak menjadi bodoh kita harus mengerti kehendak Tuhan.
Perhatikanlah. Lawan dari kebodohan di hadapan Tuhan bukanlah kepandaian dalam
berpikir, berprestasi serta penuh gelar di bidang akademis atau memiliki
pengetahuan yang luas mengenai berbagai macam hal di dunia ini. Bahkan lawan
dari bodoh, di pemandangan Tuhan, bukanlah menjadi jenius.
Seseorang tak lagi
bodoh di mata Tuhan KETIKA ia memahami kehendak Allah. Dengan demikian tidak
semua orang pandai itu pandai menurut Allah. Tidak semua orang berpengetahuan
itu berhikmat di pemandangan Tuhan. Orang yang diakui secara luas sebagai orang
bijak dan memiliki pengetahuan yang mumpuni di bumi belum tentu berpengertian
menurut ukuran Kristus.
Untuk tidak menjadi
bodoh selama hidup kita di dunia, kita memerlukan satu hal mendasar yang harus
ada di hati kita yaitu : KITA MENGETAHUI KEHENDAK ALLAH bagi hidup kita. Itulah
sebabnya dikatakan oleh Salomo bahwa “permulaan
hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian”
(Amsal 9:10) dan “takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan”
(Amsal 1:7).
Tanpa pengenalan akan Tuhan, manusia tetaplah makhluk-makhluk
yang berada dalam kebodohan dan tinggal di sana sampai pada kebinasaannya
-sekalipun mereka merasa pandai dan bijak. Hanya dengan mengenal Dia yang
menyatakan diri melalui kehadiran Yesus Kristus maka manusia menemukan hikmat
yang sejati, juga jati dirinya dimana kemudian 
hidupnya berada di jalur yang benar sesuai tujuan penciptaan-Nya.
“… yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia
dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia.
Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan
orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk
memalukan apa yang kuat,
dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah,
bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang
berarti,”
supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan
Allah” (1 Korintus 1:25, 27-29)
Jika kita tidak
mengetahui apa yang diinginkan-Nya atas kita maka kita pasti tersesat. Adam dan
Hawa yang tahu bahwa Tuhan melarang mereka makan buah pohon pengetahuan tentang
yang baik dan jahat, nyatanya masih mengambil jalan yang salah dengan tidak taat
kepada Tuhan. Betapa celakanya kita jika kita tidak tahu membedakan mana yang
benar dan salah, baik dan jahat di mata Tuhan. Dan itu belum termasuk
membedakan yang benar dan hampir benar!
Bayangkanlah bagaimana
celakanya kita jika kita tidak mengetahui (atau tidak mau mengenal) mana yang
seharusnya kita lakukan dan mana yang tidak sesuai petunjuk Sang Khalik
Pencipta kita? Betapa sesatnya jalan kita jika kita tidak tahu (atau tidak mau
tahu) jalan mana yang harus kita tempuh sepanjang hari-hari kita di dunia yang
dipenuhi jebakan dan siasat si jahat ini? Bukankah kita semua telah tahu dan
paham bahwa “malu bertanya maka kita akan sesat di jalan”? Ya.
Manusia melakukan banyak perbuatan bodoh oleh karena mereka berhasil dibodohi
tanpa mereka sadari atau secara sadar tetap memilih tinggal dalam kebodohan.
Tanpa hikmat dan
pikiran Tuhan yang menjadi pedoman kita maka kita akan berpikir bodoh,
berkata-kata bodoh dan berlaku bodoh -tak peduli seberapa pun kita menyebutnya
cerdik atau memandang diri kita bijak.
Itu sebabnya langkah
pertama kita untuk mendapat hikmat bagi hidup di dunia ini dan tidak menjadi
bodoh ialah pertama-tama mengetahui dan melakukan kehendak Bapa yang paling
mendasar bagi kita yaitu PERCAYA KEPADA YESUS:
“Lalu kata mereka kepada-Nya: “Apakah yang harus kami
perbuat, supaya kami mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah?”
Jawab Yesus kepada mereka: “Inilah pekerjaan yang dikehendaki
Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah.”
(Yohanes 6:28-29)
Lagi,
Sebab inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat
Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku
membangkitkannya pada akhir zaman.” (Yohanes 6:40)
Yesus adalah Jalan,
Kebenaran dan Hidup. Mempercayakan hidup kita kepada-Nya, maka kita akan
menemukan jalan yang benar dan yang menuju pada hidup sejati lagi kekal. Dengan
mengikut Dia kita akan berjalan di jalan Sang Hikmat itu sendiri. Mengikuti
petunjuk-Nya sama dengan menerima dan melaksanakan nasihat terbaik yang pernah
kita terima (bukankah Yesus bergelar Penasihat dalam Yesaya 9:5?). Memahami dan
melaksanakan perintah-Nya adalah cara hidup terbaik yang bisa kita lakukan
mengingat betapa terbatasnya  pengetahuan
dan kemampuan kita.
Menyadari akan hal
ini, Daud dengan jujur mengakui bahwa dia memerlukan seorang Gembala Yang Baik
(Mazmur 23). TUHAN adalah Gembala Yang Baik Itu. Dialah yang rindu dan selalu
akan membawa kita  -jika kita mau menjadi
domba-domba-Nya- kepada jalan yang benar, kepada air yang tenang penuh damai
sejahtera, kepada rumput yang hijau penuh kelimpahan dan kecukupan dimana di
sana kita tidak akan kekurangan apapun juga! Semua kebaikan, pemeliharaan,
perlindungan serta keselamatan hingga kita sampai di rumah Tuhan kita terima
saat kita mengikut Yesus sebagai pembimbing dan pemimpin hidup kita.
Ketika Sang Hikmat
menuntun kita yang mau membuka hati untuk mengikuti petunjuk-Nya, mustahil kita
masih berada di jalan kebodohan.
YANG DIMAKSUD MENGERTI KEHENDAK TUHAN
Jalan-jalan Tuhan
bukanlah sesuatu yang mudah. Ada jurang yang mahalebar yang memisahkan kita
yang hidup di tubuh jasmaniah yang fana ini dengan Tuhan yang adalah roh. Itu
sebabnya kita perlu dilahirkan kembali dan menjadi manusia baru, yang tak lagi
hidup hanya mengikuti sifat-sifat tu tubuh jasmani dan nafsu jiwani melainkan
mengikuti tabiat baru yaitu yang rohani yang memiliki sifat-sifat ilahi, dimana
roh kita akhirnya hidup dan aktif. Roh yang dimampukan untuk berhubungan bahkan
berkomunikasi secara intim dengan Tuhan sendiri. Oleh karena pembaharuan inilah
maka kita disanggupkan untuk memahami pikiran-pikiran Allah serta
mengetahuinya. Malahan lebih dari itu, kita akan dapat membedakan berbagai
kehendak Allah (Rom. 12:2; 1 Kor. 2:10-16).
Sebaliknya daripada
menjadi bodoh, kepada kita diajarkan supaya MENGERTI KEHENDAK TUHAN. ‘Mengerti’
yang dimaksud berasal dari kata Yunani yang artinya “menyusun atau
mengumpulkan bersama-sama” yang juga berarti “menata atau menyusun
bersama-sama dalam pikiran”. Dari sini kita dapat memperkirakan seperti
bagaimana sesungguhnya seseorang akhirnya beroleh pengertian itu:
1) ia harus memiliki
bukan hanya satu melainkan beberapa atau banyak data untuk disusun;
2) berusaha untuk
memahami merupakan suatu proses yang terkadang cukup panjang; jarang terjadi
secara spontan atau tiba-tiba meskipun tampak seperti itu;
3) ia harus
merangkaikan satu persatu dengan mempertimbangkan semuanya secara tepat dan
benar sehingga susunan yang terbentuk benar dan jelas;
4) apa yang terbentuk
atau disatukan dalam pikiran itu sebaiknya dicocokkan kembali dengan cara
dikomunikasikan dengan yang lain supaya tercapai suatu pengertian yang lebih
akurat atau lebih tajam
Menggunakan poin-poin
pengertian di atas dalam hubungannya dengan memahami kehendak Tuhan maka jelas
bahwa sekalipun mengetahui kehendak Tuhan itu dimungkinkan tetapi prosesnya bukan seperti membalikkan telapak
tangan begitu saja.
Memahami pribadi orang yang telah hidup bersama-sama
dengan kita berpuluh tahun lamanya terasa sukar, lebih-lebih memahami jalan-jalan
Tuhan yang tak terselami dan penuh misteri itu. Itu sebabnya kita senantiasa
memerlukan pertolongan Roh Kudus, roh hikmat dan wahyu itu untuk menolong kita
mengenal Tuhan dengan benar dan memimpin kita kepada seluruh kebenaran sejati
(Ef. 1 :17; Yoh. 16:13).
Sungguh berbahaya
ketika dengan gampangnya (tanpa menguji dan menyelidiki diri dengan seksama)
seseorang mengklaim menerima petunjuk dari Tuhan, menerima pesan khusus dan
pribadi dari Tuhan lalu mengaku sebagai seseorang yang menyampaikan kehendak Tuhan
dimana ia kemudian dianggap mengerti akan kehendak Tuhan. Kenyataannya, untuk
menangkap apa yang menjadi kehendak Tuhan seringkali memerlukan perenungan yang
mendalam, dengan menyelidiki dan mencocokkan apa yang kita terima dengan ajaran
dan prinsip firman Tuhan yang benar, juga dengan menghubungkan dengan tepat
pada situasi dan keadaan kita sekarang lalu mengujinya kembali dalam doa serta
melakukan diskusi dengan rekan-rekan di dalam Tuhan yang juga tulus mencari
kehendak Tuhan. Membayangkan ini sepertinya proses yang dilalui tampak terlalu
lama namun dengan berjalannya waktu, kita akan semakin terlatih untuk bergerak
secara roh seiring makin pekanya kita akan kehadiran dan gerakan Tuhan di hati
dan roh kita maupun kedalaman pengenalan kita akan jalan-jalan Tuhan (Ibr.
5:14).
Oleh karena diperlukan
waktu untuk mencerna apa yang Tuhan sampaikan kepada kita maka sikap hati kita
seharusnya DIJAGA SUPAYA SENANTIASA SIAP MENGOLAH DENGAN BENAR APA YANG KITA
TERIMA DARI TUHAN DALAM ROH KITA
Dengan cara apa? Dengan
cara lebih banyak waktu berdiam diri; merenungkan firman dan jalan² Tuhan.
Mencari kesepadanan antara apa yang kita rasa telah kita terima dari Tuhan
dengan prinsip-prinsip yang tertulis dalam Alkitab kita. Roh Kudus akan menjadi
guru penuntun kita saat kita melakukannya dengan sepenuh hati di dalam
ketulusan serta lapar dan haus akan kebenaran.
Dengan cara apa lagi?
Dengan membiasakan diri untuk tidak memberikan respon-respon yang sifatnya
emosional, meledak-ledak, sok pintar, merasa lebih tahu dari yang lain apalagi
mengolok-olok, mencaci maki hingga menghujat apa yang disampaikan atas nama
Tuhan (dimana hal ini semakin umum terjadi dengan fenomena berkembangnya media
sosial yang memudahkan orang yang mungkin tak akan berkomentar dalam pergaulan langsung
menyampaikan komentar dan pendapatnya sebebas-bebasnya). Seberapa pun sebuah
pesan yang diterima dan disampaikan saudara kita dalam Tuhan, jika itu
disampaikan atas nama Tuhan sudah seharusnya itu disimak dan dipikirkan
terlebih dahulu dan alangkah baiknya jika mungkin, dicari tahu apa yang
melatarbelakangi pesan tersebut. Apabila kemudian ternyata itu merupakan pesan
yang jauh dari kebenaran firman yang murni, sudah menjadi beban dan tanggung
jawab kita untuk mencari cara dan menjadi sarana supaya rekan atau saudara kita
itu boleh memiliki pemahaman yang tepat dan kembali mengenal jalan yang benar
di dalam Tuhan (Gal. 6:1-4).
Masih ada lagikah?
Satu lagi. Dengan senantiasa menjaga hati kita bersih dari segala ambisi dan
keinginan duniawi. Mengapa harus demikian? Sebab hati kita yang tidak murni
akan dengan mudah disusupi oleh pikiran-pikiran asing, yang bukan dari Tuhan,
yang akhirnya mencampuri atau lebih tepatnya mencemari kehendak Tuhan yang
sebenarnya. Oleh karena Hawa tak mampu menjaga hatinya dari keinginan untuk
menjadi makhluk yang luar biasa seperti Allah, maka iblis berhasil membujuknya
dan melakukan kebalikan dari yang dikehendaki Tuhan.
Ini bagian yang paling
tidak mudah. Tetapi jika kita bersedia melakukannya, kita akan beroleh harta
terindah yaitu mutiara-mutiara hikmat dimana saat kita menghidupinya kita akan
menjadi orang-orang paling beruntung dan berbahagia di bumi.
Saat kita mengenali
kehendak Tuhan, maka kita akan dijauhkan dari kesesatan dan apa yang
bertentangan dengan kerinduan-Nya. Kita dimampukan untuk menyenangkan hati-Nya
dan tetap berada di jalur yang benar yang membawa kita lebih dekat lagi pada
Tuhan. Kita pun akan terlatih untuk membedakan mana yang sungguh-sungguh dari
Tuhan dan mana yang bukan. Mengetahui mana yang benar dan mana yang
hampir-hampir benar atau yang tamaknya benar namun bukan berasal dari Allah.
Kita akan menjadi orang-orang yang melakukan sebenar-benarnya kehendak Bapa,
bukan hanya seolah-olah melakukan perintah Tuhan. Puncak dari semuanya ini,
kita akan mendengar Tuhan berkata kepada kita, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia;
..Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Mat. 25:21) daripada
kemudian Ia berkata dengan terus terang pada kita, “Aku tidak pernah
mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!”
(Mat. 7:23)
walaupun kita telah merasa melayani Tuhan dan mengadakan
tanda-tanda ajaib demi nama Tuhan (Mat. 7:21).
KEGAGALAN PETRUS
Bukan suatu rahasia
jika Petrus adalah murid Yesus yang paling vokal. Dia yang terdepan dalam
menyikapi segala sesuatu. Paling cepat berkomentar. Paling bersemangat dalam
menyampaikan jawaban. Seorang yang penuh spontanitas dan kepercayaan diri.
Karena kebiasaannya
ini, ia mendapat pujian sekaligus teguran dari Yesus. Ada dua peristiwa
(walaupun sebenarnya lebih dari dua) yang akan kita bahas di sini. Semuanya
menunjukkan bagaimana seorang anak Tuhan dapat terperosok dalam kejatuhan yang
dalam oleh karena gagal membedakan mana yang benar dan mana yang hampir benar.
Yang pertama. Dalam
Matius 16:13-17  dikisahkan :
“Setelah Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada
murid-murid-Nya: “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?”
Jawab mereka: “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga
yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang
dari para nabi.”
Lalu Yesus bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah
Aku ini?”
Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang
hidup!”
Kata Yesus kepadanya: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab
bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di
sorga.”
Betapa bangganya
Petrus. Ketika semua murid yang lain kesulitan memberikan jawaban, Petrus
menjawab dengan segera dan jawabannya tepat sebagaimana yang Yesus harapkan.
Berkat pun diberikan bagi Petrus sebab jawaban yang menyenangkan hati Tuhan.
Pas dengan hati-Nya.
Sayangnya, itu tidak
bertahan lama. Saat Yesus menceritakan bagaimana setelah itu Ia akan menanggung
derita yang sangat, dianiaya, bahkan dibunuh (Mat. 16:21), Petrus pun merespon
lebih dahulu. Menanggapi pemberitahuan Yesus, inilah sikap Petrus:
Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia, katanya:
“Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa
Engkau” (Mat. 16:22)
Bukankah reaksi Petrus
sangat masuk akal, penuh perhatian dan kasih serta memiliki dasar yang kuat.
Secara logika, mungkinkah Yesus yang telah melakukan perbuatan-perbuatan yang
luar biasa itu disiksa, menderita sengsara lalu mati dibunuh dengan keji?
Tidakkah Bapa di sorga akan melindungi hamba-hamba dan nabi-nabi-Nya, apalagi
Mesias yang merupakan orang pilihan-Nya? Bukankah pendukung dan murid-murid
Yesus banyak? Juga pastilah segenap sorga dan pemilik-Nya ada di belakang Yesus
untuk membela, mengamankan dan memenangkan Dia mengatasi segala ancaman dan
marabahaya?
Mari kita simak
tanggapan Yesus atas sikap Petrus itu:
“Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus: “Enyahlah
Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa
yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia ” (Mat.
16:23)
Apakah Yesus tidak
keliru? Pendukung terbesarnya yang seblumnya disebut ‘berbahagia’ dan ‘pada
pikiran, hati dan mulutnya ditaruhkan pikiran Bapa’ kini dalam tempo tak begitu
lama kini disebut sebagai ‘iblis’,’batu sandungan bagi Yesus’ dan ‘keliru
pemikirannya’? Wow, sesuatu yang sangat serius.
Maukah kita jujur
mengakui fakta-faktanya berikut ini?
Dalam pemikiran
tertentu, seorang anak Tuhan mungkin saja berpikir secara benar dan sesuai
dengan kerinduan Tuhan tapi mengenai satu atau dua hal yang lain, pikiran
manusianyalah yang bekerja sehingga kemudian ia dipimpin atau digerakkan oleh
pemikiran manusiawinya daripada kehendak Tuhan.. Pikiran dari Allah sudah pasti
benar. Pikiran dari manusia bisa jadi tidak selalu benar dimana yang benar
terlihat salah dan salah terlihat benar. Sedangkan pemikiran iblis pastilah
tidak benar tapi ditampilkan selalu sebagai yang hampir benar. Dan dalam
menanggapi Yesus, Petrus merespon karena pengaruh pikiran iblis dan
manusiawinya.
Betapa rentannya
pikiran manusia jika dalam waktu yang singkat bisa dipengaruhi oleh tiga oknum
yang berbeda! Betapa sesatnya kita saat kita tidak tahu membedakan mana pikiran
Tuhan, pikiran manusiawi kita lebih-lebih mana yang pikiran dari setan! Betapa
kita akan melangkah dalam arah yang berlawanan dengan kehendak Tuhan saat kita
merasa pikiran kita benar. Jalan yang kita tempuh bisa sangat keliru saat kita
percaya pada apa yang tampaknya benar dan baik padahal itu merupakan umpan
iblis yang gemar mengakali manusia dengan apa yang hampir benar.
Petrus, meski
mengetahui kebenaran bahwa Yesus itu Mesias, rupanya gagal mengetahui untuk apa
dan bagaimana Mesias itu menunaikan misi-Nya. Petrus memikirkan jalan-jalan dan
rancangan-rancangan di hati Tuhan sebatas dengan apa yang dinilai baik dan
benar menurut PEMAHAMANNYA SENDIRI. Bukannya mencoba menyelami, mendalami dan
menanyakan pada Yesus apa maksud perkataan Sang Guru, Petrus mengikuti apa yang
“dirasanya benar” apalagi toh baru saja ia telah mendapat pujian
bahwa pikirannya dipimpin oleh Allah Bapa sendiri.
Sebenarnya wajarkah
Yesus menegur Petrus demikian keras? Jika direnungkan lebih lagi, bagi Yesus
yang mengetahui apa yang terjadi pada Petrus, tidaklah mengejutkan jika Yesus
tahu bahwa iblislah yang mengilhami Petrus untuk menyampaikan bahwa Yesus tidak
perlu dan tidak mungkin mengalami penderitaan yang sedemikian. Itu disusupkan
dengan halus melalui Petrus seperti ular yang menyusupkan ide-ide yang
bertentangan dengan kehendak Tuhan. Pikiran manusia yang tidak mau mencari dan
mengerti kehendak Tuhan merupakan habitat yang subur untuk berkembangbiaknya
benih-benih pikiran yang ditaburkan kuasa-kuasa kegelapan yang pada akhirnya
akan menentang, menghalangi dan merusak rencana Allah yang sempurna atas hidup
kita.
Yesus yang mengetahui
bahwa pikiran Petrus melawan kehendak Bapa memberikan suatu teladan bagi kita
untuk bersikap tegas menolak dan menentang segala pikiran yang bukan dari
Tuhan. Yesus tidak memberikan kesempatan sedikitpun bagi kemungkinan
pikiran-pikiran yang melawan kehendak Bapa-Nya (Ef. 4:27).
Sebaliknya, yang
dialami Petrus menjadi peringatan bagi kita supaya kita tidak mudah-mudahnya
mengikuti emosi di hati serta mengikuti kecenderungan pikiran-pikiran manusiawi
yang tidak mendasarkan diri pada prinsip-prinsip kebenaran serta yang
melalaikan pencarian kehendak Tuhan namun kemudian meyakini dan menyampaikan
semua itu sebagai kehendak Tuhan. Kita harus berhati-hati dalam hal memutuskan
apa yang benar-benar kehendak Tuhan dan yang sepertinya kehendak Tuhan. Jika
tidak demikian, kita berpotensi besar untuk mengikuti tuntunan yang keliru
dimana dengan begitu kita justru melawan kehendak Tuhan yang sesungguhnya!
Tapi kisah Petrus belum
berakhir. Kegagalannya memastikan mana yang benar dan hampir benar belum
mencapai titik terendahnya. Pikirannya belum tersadarkan untuk belajar
mengetahui hati Tuhan. Itu masih diulanginya pada saat-saat terakhir Yesus
hingga kegoncangan yang besar lalu menyadarkannya. Injil mencatat dalam
perjamuan terakhir Yesus bersama dua belas murid-Nya, Petrus beberapa kali
melontarkan pernyataan-pernyataan yang lagi-lagi terlihat benar namun semuanya
tidak tepat sesuai yang Tuhan inginkan.
Dalam Yohanes 13, dicatat
suatu peristiwa di perjamuan itu. Yesus merendahkan diri untuk membasuh kaki
murid-murid-Nya. Sesuatu yang mengejutkan semua tetapi tidak ada satupun yang
berani berbicara. Selain Petrus.
“Maka sampailah Ia kepada Simon Petrus. Kata Petrus kepada-Nya:
“Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?”
Jawab Yesus kepadanya: “Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu
sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak.”
Kata Petrus kepada-Nya: “Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai
selama-lamanya.” Jawab Yesus: “Jikalau Aku tidak membasuh engkau,
engkau tidak mendapat bagian dalam Aku.”
Kata Simon Petrus kepada-Nya: “Tuhan, jangan hanya kakiku saja,
tetapi juga tangan dan kepalaku!”
Kata Yesus kepadanya: “Barangsiapa telah mandi, ia tidak usah
membasuh diri lagi selain membasuh kakinya, karena ia sudah bersih seluruhnya.
Juga kamu sudah bersih, hanya tidak semua.” (Yoh. 13:6-10)
Yesus mengatakan
dengan tegas bahwa Petrus tidak akan memahami apa yang dilakukan-Nya tapi kelak
sang murid akan mengerti. Namun, alih-alih taat pada perkataan Yesus, Petrus
‘mengusulkan’ hal-hal lain yang sepertinya lebih baik daripada yang hendak
dilakukan Yesus. Pertama, ia menolak untuk dibasuh kakinya (yang menurut
pikiran umum bukankah pantas dan baik jika seorang murid menolak dibasuh kakinya
oleh gurunya dan bukankah sebaliknya yang harus dilakukan yaitu murid
membersihkan kaki gurunya?). Setelah ditolak dan dijawab tegas oleh Yesus,
Petrus menyarankan sesuatu yang lain. Yaitu meminta Yesus membasuh tangan dan
kepalanya juga. Inipun meleset dari maksud Yesus yang sesungguhnya.
Beruntunglah kemudian Petrus tidak meneruskan ulahnya. Meski demikian, sikap
semacam itu tak lama kemudian membawa Petrus dalam masalah yang lebih serius.
Usai perjamuan, Yesus
bersama muri-murid-Nya beranjak ke Bukit Zaitun. Keempat injil mencatat
percakapan berikut ini:
“Sesudah mereka menyanyikan nyanyian pujian, pergilah mereka ke
Bukit Zaitun.
Lalu Yesus berkata kepada mereka: “Kamu semua akan tergoncang
imanmu. Sebab ada tertulis: Aku akan memukul gembala dan domba-domba itu akan
tercerai-berai.
Akan tetapi sesudah Aku bangkit, Aku akan mendahului kamu ke
Galilea.”
Kata Petrus kepada-Nya: “Biarpun mereka semua tergoncang imannya,
aku tidak.”
Lalu kata Yesus kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya
pada hari ini, malam ini juga, sebelum ayam berkokok dua kali, engkau telah
menyangkal Aku tiga kali.”
Tetapi dengan lebih bersungguh-sungguh Petrus berkata: “Sekalipun
aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau.” Semua
yang lain pun berkata demikian juga” (Markus 14:26-31).
Petrus lagi-lagi
menjadi yang terdepan di antara rekan-rekannya. Yesus berkata, “Kalian
semua akan tergoncang imannya” tapi Petrus menjawab, “Biarpun semua
tergoncang imannya, aku tidak.” Daripada memilih merenungkan yang Yesus
sampaikan, menanyakan lebih jauh dan mengoreksi diri sendiri, Petrus
mempercayai pikiran dan penilaiannya sendiri lalu dengan yakin berkata bahwa ia
akan teguh berdiri dan tidak akan tergoncang. Petrus mulai menggunakan pikiran
manusianya sambil percaya bahwa itu pasti kehendak Tuhan dan tentunya akan
menyukakan hati Yesus. Jawaban Yesus dapat dipandang sebagai sebuah tamparan
bagi kepercayaan diri Petrus. Yesus menjawab dengan perkataan nubuat,
“Sesungguhnya pada hari ini, malam ini juga, sebelum ayam berkokok dua
kali, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.” Ya. Berkebalikan dari yang
dikatakan Petrus, Yesus tanpa keraguan berkata bahwa malam itu juga Petrus akan
menyangkal Dia. Ia akan tidak mengakui Yesus sebagai gurunya dan menyangkal
dirinya sebagai murid Yesus. Bukan hanya sekali, tapi tiga kali.
Bagaimana jika Anda
menjadi Petrus? Perkataan Yesus terasa menggelikan, bukan? Tampak sekali
meremehkan dan merendahkan komitmen serta keberanian Petrus sebagai murid-Nya.
Begitu juga nubuatan-Nya. Tentu banyak yang hari ini setuju bahwa sebuah
nubuatan yang isinya pesan yang buruk dan sifatnya mengutuki seseorang seperti
itu harus dipertanyakan kebenarannya. Bukankah nubuat seharusnya membangun,
menasihati dan menghibur? Mengapa Yesus seolah menjatuhkan mental Petrus?
Mengapa Yesus justru menolak pembelaan dari murid-Nya yang siap memberikan
dukungan pada-Nya malah justru meramalkan sesuatu yang jahat sebagai kebalikan
pernyataan keteguhan hati sang murid?
Inilah mengapa jika
hari ini Yesus di tengah-tengah kita, sangat mungkin banyak di antara kita
tidak akan mengenali-Nya -jika kita sering berusaha menemukan kehendak Tuhan
SEMATA-MATA melalui pikiran-pikiran manusiawi kita sendiri, lebih daripada
berusaha memahami kehendak Tuhan yang sesungguhnya melalui pencarian yang tulus
dan seksama di hadapan Tuhan.
Kenyataannya, Petrus
tetap bersikeras. Suatu sikap yang kemudian memancing murid-murid yang lain
untuk melakukan hal yang sama. “Sekalipun aku harus mati bersama-sama
Engkau, aku takkan menyangkal Engkau, ” demikian klaim Petrus yang
didukung rekan-rekan lainnya. Terbukti pemikiran-pemikiran manusiawi kerap
mendapat dukungan orang-orang yang juga memakai pikiran-pikiran manusiawinya
daripada menyelidiki kehendak Tuhan. 
Dengan menyatakan itu, sesungguhnya mereka TIDAK PERCAYA dan MENOLAK apa
yang disampaikan Yesus. Bukannya berusaha mencerna dan memahami apa maksud
Yesus menyampaikan pesan itu, mereka justru memikirkan dan meyakini kebalikan
perkataan Yesus itu. Akibatnya sangat fatal. Alih-alih menyiapkan mental dan
meminta kekuatan untuk menanggung ujian yang menanti di depan mereka,
murid-murid dan terutama Petrus menepuk dada dan menilai diri mampu menghadapi
kegoncangan itu. Bandingkanlah ini dengan puluhan ribu orang Israel yang
berperang melawan Filistin di bawah pimpinan Hofni dan Pinehas. Membawa tabut
Tuhan, mereka berdeklarasi dan sangat yakin Tuhan memberikan kemenangan. Karena
tidak mencari kehendak Tuhan sejati mereka dipermalukan. Hari itu tewaslah
kira-kira 33.000 orang Israel sebagai tambahan dari 4.000 orang yang gugur
sebelumnya pada pertempuran yang pertama (1 Sam. 4:1-11). Sungguh fatal jika
kita melangkah mengikuti penilaian dan pemikiran kita sendiri tapi tidak
mencari pimpinan yang benar dari Tuhan.
Kembali pada malam
terakhir Yesus. Ketika peristiwa itu terjadi dimana Getsemani didatangi
segerombolan pasukan, murid-murid barulah tersadar betapa mereka telah luput
dalam menangkap kehendak Tuhan. Iman mereka goncang dan mereka melarikan diri
dalam kengerian saat satu persatu yang pernah disampaikan Yesus tentang
penderitaan-Nya mulai menjadi kenyataan. Murid-murid berpisah jalan dan
menyembunyikan diri. Secara tidak langsung mereka mengingkari perkataan mereka
sendiri yang akan berdiri membela Yesus sekalipun harus mati. Iman mereka goyah
dan selanjutnya teror menghantui mereka.
Bagaimana dengan
Petrus?
Petrus jatuh lebih
parah. Pertama-tama ia menjadi emosi di sela-sela penangkapan Yesus. Secara
membabi-buta ia mencabut pedang yang ia tidak pernah tahu cara memakainya. Daun
telinga seorang dari rombongan penangkap Yesus pun putus. Apakah Yesus memuji
dan membela Petrus?  Lagi-lagi Yesus
menegurnya. Berlawanan dengan yang dilakukan Petrus, Ia mengembalikan daun
telinga orang itu ke tempatnya dan menyembuhkannya.
Masih dalam usahanya membuktikan
diri, Petrus mengikut Yesus dari kejauhan (Mat. 26:58). Terlihat ia masih
menolak nubuat yang Yesus sampaikan. ia mencoba mengawal persidangan Yesus.
Celakanya, di sanalah ia mengalami kejatuhan begitu dalam. Di halaman rumah
Imam Besar Kayafas dimana Yesus diadili dengan keji, Petrus harus berhadapan
dengan realita yang menyakitkan. Di sanalah ia tahu siapa dirinya yang
sesungguhnya, tersadar betapa tak jujurnya ia terhadap dirinya sendiri dan
betapa tak percaya serta bebalnya ia terhadap pesan Yesus, guru yang sebenarnya
dikasihinya itu.
Sebelum ayam berkokok
dua kali, hampir tak dapat dipercaya tapi itulah faktanya, Petrus BENAR-BENAR
menyangkal Yesus yang telah menjadi panutannya selama tiga tahun ini. Ia
meninggalkan tempat pengadilan Yesus dengan berurai air mata dengan kehancuran
yang amat sangat di hatinya. Tatapan mata Yesus telah menyadarkannya bahwa ia
telah menyangkal Yesus daripada membelanya hingga titik darah terakhir. Petrus
bukan sekedar goncang imannya malam itu. Ia kehilangan segala yang
dibanggakannya sebagai murid Yesus.
“Lalu berpalinglah Tuhan memandang Petrus. Maka teringatlah Petrus
bahwa Tuhan telah berkata kepadanya: “Sebelum ayam berkokok pada hari ini,
engkau telah tiga kali menyangkal Aku.”
Lalu ia pergi ke luar dan menangis dengan sedihnya.”(Lukas
22:61-62)
Orang yang mulanya
tampaknya paling berani, paling memahami Yesus, paling mendukung dan paling
berhikmat di antara semua murid  di malam
kelam itu berubah menjadi murid yang paling keji dan melakukan perbuatan paling
bodoh di antara yang lainnya. Ini karena ia luput mengenali kehendak Tuhan yang
sesungguhnya telah disampaikan kepadanya tetapi ia tidak mau berusaha lebih
lagi  menangkap isi hati Tuhan.
PENUTUP
Kebodohan bukan
sekedar tidak berpendidikan atau kurang pengetahuan. Di hadapan Allah, orang
paling berhikmat sekalipun akan menjadi bodoh jika tidak mengetahui kehendak
Tuhan. Dialah Sang Hikmat itu sendiri, yang olehnya alam semesta ini diciptakan
dan ada serta ditopang maupun  dijalankan
dalam keteraturan yang menakjubkan. Mengenal Dia berarti memiliki hikmat. Di
dalam Kristus, pengertian akan asal usul kita hingga tujuan akhir hidup kita
didapatkan.
“Usahakanlah kamu
mengerti kehendak Tuhan” adalah perintah yang penting. Sayangnya justru
ini yang sering diabaikan oleh anak-anak Tuhan. Mungkinkah ini karena meski
mengaku mengikut Tuhan, kita lebih suka mengikuti pikiran dan kehendak kita
sendiri? Jika memang demikian, tentu kita bukan penyembah Tuhan yang
sebenar-benarnya. Sebab jika Tuhan yang harus mengikuti cara berpikir kita dan
bukan sebaliknya, maka kita masih memegang kendali atas hidup kita dan menjadi
tuan atas hidup kita sendiri. Kebodohan dan kejatuhan terbesar manusia tetap
sama hingga kini. Keinginan mereka tidak berubah sejak di taman Eden yaitu
ingin menjadi seperti Allah dan hidup bahagia tanpa terikat pada Allah dan
peraturan-peraturan-Nya. Tidak heran jika iblis tetap berhasil menipu manusia
dengan memanipulasi firman Tuhan DEMI KEPENTINGAN MANUSIA sehingga manusia
merasa telah melakukan yang benar padahal yang diyakininya hanyalah sesuatu
yang hampir benar saja.
Saat kita gagal
mengenali kehendak Tuhan dalam bidang apapun di hidup kita maka saat itulah
posisi kita rentan terhadap kesesatan dan penyimpangan. Jika kita bersikeras
tidak mau mencari Tuhan dan mengoreksi hidup kita sesuai dengan yang
diinginkan-Nya, kita akan jatuh dalam kebodohan atau lebih buruk lagi,
merangkul kebebalan. Dan apa yang ditaburkan dalam kebodohan akan dituai dalam
kerugian, kecelakaan dan malapetaka. Karena Harun tidak mencari kehendak Tuhan
tapi takut kepada manusia, maka ia membuat patung lembu emas yang mengakibatkan
puluhan ribu orang Israel dibinasakan. Karena tidak mengakui Musa sebagai
pemimpin sejati atas Israel, Korah beserta Datan, Abiram dan kaum keluarganya
ditelan oleh bumi. Karena tidak melakukan yang Tuhan perintahkan untuk berkata
pada bukit batu mengeluarkan air tetapi memukulnya dengan tongkat dalam
kegeraman, Musa tak dapat memasuki tanah Kanaan. Karena tidak mencari kehendak
Tuhan atas orang-orang Gibeon, Yosua dan tua-tua Israel membuat seluruh bangsa
terikat perjanjian membebani mereka selamanya. 
Karena Daud tidak mencari jalan yang benar setelah berzinah dengan
Batsyeba, Daud mengorbankan perwiranya yang tidak bersalah dan melakukan
kejahatan keji yang merupakan kebodohannya sebagai raja yang besar. Dan daftar
ini terus berlanjut. Mungkin juga berbagai kebodohan ada dalam catatan
perjalanan hidup kita.
Meski demikian, selagi
Tuhan masih memberikan nafas kehidupan, selalu ada kesempatan untuk memeriksa
diri dan memperbaiki hidup kita. Itulah kasih karunia untuk belajar serta
bertumbuh dalam  kasih karunia dan
pengenalan akan Tuhan (2 Pet. 3:18). Dan akan jauh lebih baik kita belajar
mengenali kehendak Tuhan dan taat kepada pimpinan-Nya itu walaupun belum
memahami keseluruhan rahasia rencana Tuhan daripada belajar melalui pengalaman
pahit saat kerugian dan kesakitan yang besar menimpa kita.
Doa saya kiranya
Indonesia menggenapi takdirnya yaitu menjadi salah satu bangsa yang mengetahui
kehendak Tuhan dengan tepat sebagaimana disebutkan dalam 1 Tawarikh 12:32,

“Dari bani Isakhar orang-orang yang mempunyai pengertian tentang saat-saat yang baik, sehingga mereka mengetahui apa
yang harus diperbuat orang Israel
: dua ratus orang kepala dengan segala
saudara sesukunya yang di bawah perintah”
Semuanya hanya mungkin
terjadi jika gereja Tuhan di Indonesia memutuskan untuk meninggalkan segala
kebodohan (yaitu mengikuti pikiran dan kehendak sendiri) lalu berkomitmen untuk
selanjutnya rajin mencari dan menguji apa yang menjadi kehendak Tuhan lalu
hidup di dalamnya. Saat hati kita tertuju pada Tuhan untuk melakukan
kehendak-Nya, Sang Hikmat menjadi sahabat kita dan kita akan dituntun-Nya untuk
berjalan dalam jalan kemenangan dan keberhasilan sehingga kita semua bersinar
terang ketika kegelapan melanda dunia (Yes. 60:1-2).
Benarlah kemudian yang
disampaikan pemazmur supaya kita merenungkan firman Tuhan siang dan malam.
Yaitu supaya akhirnya kita tidak tinggal dalam kebodohan tetapi dipenuhi dengan
hikmat Tuhan yang nyata dalam ketetapan-ketetapan Tuhan. Saat kita tak lagi
hidup dalam kebodohan, kita akan beroleh ganjaran keberhasilan dan hidup kita
menjadi saluran berkat yang besar.
Itukah yang menjadi
kerinduan Anda?
“Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang
fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam
kumpulan pencemooh,
tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat
itu siang dan malam.
Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan
buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya
berhasil.” (Mazmur 1:1-3)
“Hanya, kuatkan dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh, bertindaklah hati-hati sesuai dengan
seluruh hukum yang telah diperintahkan kepadamu oleh hamba-Ku Musa; janganlah
menyimpang ke kanan atau ke kiri,
supaya engkau beruntung, ke mana pun
engkau pergi.
Janganlah engkau lupa
memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya
engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya
, sebab dengan demikian perjalananmu akan
berhasil dan engkau akan beruntung.” (Yosua 1:7-8)
SALAM REVIVAL!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *