“Di atas ranjangku pada malam hari kucari jantung hatiku. Kucari, tetapi tak kutemui dia.
Aku hendak bangun dan berkeliling di kota; di jalan-jalan dan di lapangan-lapangan kucari dia, jantung hatiku. Kucari, tetapi tak kutemui dia.
Aku ditemui peronda-peronda kota. “Apakah kamu melihat jantung hatiku?”
Baru saja aku meninggalkan mereka, kutemui jantung hatiku; kupegang dan tak kulepaskan dia, sampai kubawa dia ke rumah ibuku, ke kamar orang yang melahirkan aku.
~ Salomo (dalam Kidung Agung 3:1-4)
“Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi.
Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.
Tetapi aku, aku suka dekat pada Allah; aku menaruh tempat perlindunganku pada Tuhan ALLAH, supaya dapat menceritakan segala pekerjaan-Nya.”
(Mazmur 73:25-26, 28)
Kata ‘romance’, menurut kamus Webster, salah satunya diartikan sebagai “kisah cinta” yang jika didalami memiliki makna “suatu perasaan dan ketertarikan yang kuat serta antusiasme terhadap sesuatu”. Pengertian keseluruhannya, apabila diterjemahkan secara bebas, antara lain : “kelekatan secara romantis atau suatu babak diantara orang-orang yang saling mencintai” atau “suatu antusiasme yang penuh dengan emosi, energi dan kegairahan”.
Dalam kamus bahasa Indonesia, kata ‘roman’ salah satunya yang berkaitan dengan definisi di atas, diterjemahkan sebagai “cerita percintaan yaitu kisah mengenal hal berkasih-kasihan antara laki-laki dan perempuan”.
Intinya, ada suatu gairah yang kuat dari dalam diri seseorang terhadap sesuatu di luar dirinya sehingga ia menjadi penuh dengan ketertarikan dan juga cinta kepada suatu obyek tersebut.
Lalu apakah hubungannya ini dengan pesan rohani yang akan disampaikan?
Dalam hal menjalin hubungan, manusia tak mungkin dapat dilepaskan dengan apa yang disebut sebagai perasaan atau emosi. Emosi inilah yang membawa manusia satu dengan yang lain menjadi saling tertarik, mendekat, menjalin hubungan lebih jauh bahkan bertahan dalam hubungan tersebut hingga waktu yang sangat lama -yang bisa jadi berlangsung sepanjang hidup mereka bersama-sama. Emosi itu kita sebut ‘cinta’ atau ‘kasih’. Sementara emosi-emosi negatif merusak, kasih dalam sifatnya yang tulus dan tak bersyarat merekatkan, menyatukan, menjadikan manis serta pada dasarnya mampu mempertahankan hubungan-hubungan.
Begitu pula dalam hubungan kita dengan Tuhan. Itu tidak hanya bisa didekati secara pikiran dan harapan-harapan. Namun semestinya setelah memasuki pintu gerbang iman, selanjutnya kita memasuki mahligai-mahligai kasih.
Penulis Kidung Agung menggambarkan hal ini dalam Kidung Agung 1:4 :
“Tariklah aku di belakangmu, marilah kita cepat-cepat pergi! Sang raja telah membawa aku ke dalam mahligai-mahligainya. Kami akan bersorak-sorai dan bergembira karena engkau, kami akan memuji cintamu lebih dari pada anggur! Layaklah mereka cinta kepadamu!”
Setelah kita terhubung dengan Tuhan melalui jembatan iman, sudah seharusnya kita melangkah lebih jauh dan makin jauh dalam suatu perjalanan cinta di dataran yang baru. Dari sanalah kisah cinta kita dengan Tuhan dimulai. Seperti yang dinyatakan dalam nats di atas: “Tariklah aku di belakangmu” kata sang mempelai wanita. Suatu gairah untuk mengikuti kekasihnya. “Marilah kita cepat-cepat pergi”, lanjutnya. Suatu kerinduan untuk keintiman, keluar dari kerumunan orang dan khalayak ramai untuk dapat berdua saja dengan ujaan hatinya.
Dan berikutnya, kisah berlanjut dalam mahligai-mahligai sang raja, kekasih sang putri itu. Inilah ruang-ruang pribadi raja yang tidak sembarang orang akan dibawa ke sana dan melihat apa isi di dalamnya. Hanya bagi mereka yang dekat, dipercaya dan dikasihi saja maligai-maligai itu dibukakannya. Dan suatu kisah cinta pun mulailah.
Sesungguhnya hal yang serupa menjad kerinduan Tuhan bagi kita. Kita yang telah celik mata rohaninya melalui iman, selanjutnya masuk lebih dalam pada suatu hubungan kasih. Diawali kasih mula-mula. Dilanjutkan dengan kasih yang membara. Diperkuat dengan kasih yang setia. Disempurnakan dalam kasih yang abadi. Dimana pada akhirnya, dua pihak yang saling mencintai disatukan dalam kekekalan sorgawi.
Dan bukankah yang Tuhan minta dari kita adalah cinta dan hanya cinta?
“Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.
Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.
Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”
(Matius 22:37-40)
Setiap orang yang merindukan pengenalan akan Kristus lebih dan lebih lagi, hatinya seharusnya dipenuhi emosi-emosi semacam itu. Ditandai dengan adanya ketertarikan yang kuat akan Tuhan. Kerinduan untuk senantiasa tinggal dekat Tuhan. Tak ingin terasa jauh dan terpisah lama dengan Dia. Perbuatan-perbuatannya pun akan selalu mencari-cari kesempatan untuk lebih intim dan lebih erat lagi dalam hubungannya dengan Tuhan.
Sudahkah cinta yang berkobar pada Tuhan ini didapati di hati kita? Bahkan menguasai serta menggerakkan kita dalam aktifitas sehari-hari kita? Dapatkah kita dengan rendah hati menyebutkan diri kita ini sebagai “orang yang mengasihi Tuhan melampaui semuanya”?
Jika ditanya, siapa tokoh dalam Alkitab yang dikenali penuh dengan cinta pada Tuhan, tentu tidak ada yang melebihi Daud. Mazmur-mazmurnya adalah ungkapan perasaan, ekspresi serta catatan perjalanan cintanya dengan Tuhan. Setiap babak dalam hidupnya dipenuhi romantismenya dengan Yahweh, Allah bangsanya namun juga Allahnya secara pribadi. Berikut beberapa ungkapan hati Daud yang tidak hanya telah menyentuh hati kita namun juga telah begitu menggugah hati Tuhan:
“Ya TUHAN, Engkaulah bagian warisanku dan pialaku, Engkau sendirilah yang meneguhkan bagian yang diundikan kepadaku.”
(Mazmur 16:5)
“Aku mengasihi Engkau, ya TUHAN, kekuatanku!
Ya TUHAN, bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku, Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku!”
(Mazmur 18:2-3)
“TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? TUHAN adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar?
Sebab Ia melindungi aku dalam pondok-Nya pada waktu bahaya; Ia menyembunyikan aku dalam persembunyian di kemah-Nya, Ia mengangkat aku ke atas gunung batu.
Maka sekarang tegaklah kepalaku, mengatasi musuhku sekeliling aku; dalam kemah-Nya aku mau mempersembahkan korban dengan sorak-sorai; aku mau menyanyi dan bermazmur bagi TUHAN.
Hatiku mengikuti firman-Mu: “Carilah wajah-Ku”; maka wajah-Mu kucari, ya TUHAN.
Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku.”
(Mazmur 27:1, 5-6, 8, 10)
“Bagianku ialah TUHAN, aku telah berjanji untuk berpegang pada firman-firman-Mu.”
(Mazmur 119:57)
“Aku berseru-seru kepada-Mu, ya TUHAN, kataku: “Engkaulah tempat perlindunganku, bagianku di negeri orang-orang hidup!”
(Mazmur 142:5)
Ya, Daud telah memulai hubungan dengan Tuhan sejak masih sangat belia. Ia telah memutuskan untuk mencintai Tuhan di urutan pertama dalam hidupnya. Lalu ia merawat hubungan itu dengan berkomunikasi dan berjalan bersama Tuhan sepanjang hidupnya. Dan ia tidak pernah surut membangun hubungan itu dengan melakukan berbagai perbuatan tanda cintanya pada Tuhan: ia mendirikan kemah/pondok Daud yang menaikkan doa dan penyembahan 24 jam tiap hari tanpa henti, ia mengumpulkan perbendaharaan dan menyumbangkan hartanya untuk mempersiapkan pembangunan Bait Suci terbesar dan terindah yang pernah ada di muka bumi, ia menari-nari seperti rakyat jelata tanpa malu menunjukkan cinta pada Tuhannya, ia bahkan menghardik istrinya sendiri karena menghinanya setelah ia menari-nari di hadapan Tuhan itu. Belum lagi gubahan mazmur-mazmur, perenungan, pencariannya akan kehendak Tuhan dan hatinya yang senantiasa mencari perkenan dan kehendak Tuhan dalam berbagai keputusan-keputusan dalam hidupnya.
Melalui perjalanan naik turunnya perasaannya, jatuh bangun imannya, kelembutan atau kekerasan hatinya, hingga keberhasilan dan kegagalannya… hati Daud tetap pada Tuhannya. Di atas segala sesuatu, ia selalu akan memilih Tuhan, kekasih sejatinya itu, di tempat yang pertama. Betapapun ia harus menyisihkan dan melepaskan segala hal lain yang semula terasa berarti baginya.
Tidak heran TUHAN selalu terkenang-kenang akan Daud :
“Namun demikian, kerajaan itu tidak seluruhnya akan Kukoyakkan dari padanya, satu suku akan Kuberikan kepada anakmu *oleh karena hamba-Ku Daud *dan oleh karena Yerusalem yang telah Kupilih.”
Bukan dari tangannya akan Kuambil seluruh kerajaan itu; Aku akan membiarkan dia tetap menjadi raja seumur hidupnya, oleh karena hamba-Ku Daud yang telah Kupilih dan yang tetap mengikuti segala perintah dan ketetapan-Ku.
Dan jika engkau mendengarkan segala yang Kuperintahkan kepadamu dan hidup menurut jalan yang Kutunjukkan dan melakukan apa yang benar di mata-Ku dengan tetap mengikuti segala ketetapan dan perintah-Ku seperti yang telah dilakukan oleh hamba-Ku Daud, maka Aku akan menyertai engkau dan Aku akan membangunkan bagimu suatu keluarga yang teguh seperti yang Kubangunkan bagi Daud, dan Aku akan memberikan orang Israel kepadamu.”
(1 Raja-raja 11:13,34,38)
“Namun demikian, TUHAN tidak mau memusnahkan Yehuda oleh karena Daud, hamba-Nya, sesuai dengan yang dijanjikan-Nya kepada Daud, bahwa Ia hendak memberikan keturunan kepadanya dan kepada anak-anaknya untuk selama-lamanya.”
(2 Raja-raja 8:19)
“Dan Aku akan memagari kota ini untuk menyelamatkannya, oleh karena Aku dan oleh karena Daud, hamba-Ku.“
(Yesaya 37:35)
“Aku akan mengangkat satu orang gembala atas mereka, yang akan menggembalakannya, yaitu Daud, hamba-Ku; dia akan menggembalakan mereka, dan menjadi gembalanya.
Dan Aku, TUHAN, akan menjadi Allah mereka serta hamba-Ku Daud menjadi raja di tengah-tengah mereka. Aku, TUHAN, yang mengatakannya.
(Yehezkiel 34:23-24)
“Mereka akan tinggal di tanah yang Kuberikan kepada hamba-Ku Yakub, di mana nenek moyang mereka tinggal, ya, mereka, anak-anak mereka maupun cucu cicit mereka akan tinggal di sana untuk selama-lamanya dan hamba-Ku Daud menjadi raja mereka untuk selama-lamanya.”
(Yehezkiel 37:25)
Sudah menjadi pernyataan yang dikenal luas bahwa cinta, meskipun dimulai dari perasaan, itu bukan semata suatu emosi. Bukan juga perkataan-perkataan yang manis lagi indah. Cinta pun bukan mengenai merasa nyaman satu dengan yang lain.
Emosi bisa segera berlalu digantikan emosi demi emosi lainnya. Perkataan manis dapat terlontar ketika emosi membubung tinggi. Dan rasa nyaman dapat berangsur hilang ketika ada konflik dan ketidakcocokan dalam satu atau dua hal dalam suatu hubungan.
Dalam mengasihi Tuhan, cinta kita akan dinyalakan dan dinobatkan semakin besar ketika kita terus bergerak maju dan beralih dari sekedar perasaan yang diungkapkan melalui kata-kata indah pujian dan penyembahan menjadi suatu gaya hidup yang mengasihi Tuhan melalui perbuatan-perbuatan kita yang memilih berpihak padaTuhan lebih dahulu serta mengutamakan kepentingan-Nya dan berusaha menyukakan Dia lebih dahulu di dalam setiap langkah hidup kita -entah itu dilihat orang maupun tidak.
Yesus menggambarkannya secara ekstrim dalam pernyataannya:
“Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebi dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.”
(Matius 10:37)
“Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.”
(Lukas 14:26)
Yang kesemuanya menunjukkan bahwa jika kita bisa memprioritaskan sesuatu yang lain seperti keluarga dan harta, Ia lebih lagi mengharapkan itu. Dan jika kita memberikan kurang dari itu, kita belum dipandang layak sebagai pengikut-pengikut-Nya. Terasa keras dan berat bagi sifat manusia yang kedagingan dan duniawi.
Tetapi bukankah Ia layak memperoleh tempat tertinggi di hati kita? Tidakkah Ia sudah memberikan cinta-Nya yang tulus dalam pengorbanan dan penderitaan yang ngeri demi menunjukkan cinta-Nya bagi kita? Masihkah kita tidak mengasihi-Nya dan menahan-nahan memberikan yang terbaik dari hidup kita?
Jika kita masih menyayangkan diri kita dan apa yang ada pada kita bagi Dia, sesungguhnya kita tidak pernah mengenal kasih-Nya dan hidup mengasihi-Nya. Kita tetap mencintai diri kita sendiri dan masih bermaksud memanfaatkan Dia untuk melayani dan memudahkan hidup kita. Dan jika demikian, kita tidak sedang membuat kisah cinta dengan Tuhan. Kita sejatinya sedang melecehkan Dia!
Ada saatnya orang akan melihat cinta kita pada Tuhan melalui pengorbanan demi pengorbanan dalam hidup kita demi kemuliaan dan kepentingan Tuhan. Namun yang penting, Tuhanlah yang mengetahui hati dan hidup kita di hadapan-Nya sebab jika Dia adalah yang kita kasihi, cukuplah Dia yang tahu bahwa kita mengasihi-Nya sampai di kedalaman batin atau kompleksitas pikiran kita. Dia sendirilah yang menilai -seperti Ia menilai Daud- bahwa di atas segalanya dalam keberadaan kita, kita mengasihi Dia dan akan selalu memilih Dia sebagai segala-galanya dalam hidup kita.
KESIMPULAN
Orang yang sungguh-sungguh rindu mengenal Tuhan lebih lagi dikuasai dan digerakkan oleh kasih yang kian lama kian besar pada Tuhan. Ia tidak mampu untuk tidak mencintai Tuhan. Meski terkadang fokusnya teralihkan dan sempat mengalami masa-masa kejenuhan, hatinya senantiasa akan kembali mencari Tuhan dan kembali berkobar bagi-Nya. Bahkan kisah hidupnya merupakan suatu kisah cinta – salah satu dari banyak kisah cinta terbesar yang pernah terjadi di antara manusia dan Tuhannya.
Petrus yang terpuruk malu dan dibayangi rasa bersalah, pagi itu di danau Galilea, dengan berurai air mata menjawab pertanyaan Yesus, guru dan Tuhannya.
“Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”
Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: “Apakah engkau mengasihi Aku?”
Dan ia berkata kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.
Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.“
(Yohanes 21:17-18)
Jawaban Petrus sebenarnya belum memuaskan hati Tuhan. Tuhan meminta kasih sempurna sedangkan Petrus belum memberikannya. Meski demikian, Tuhan memberikan kesempatan pada sang murid untuk melayani-Nya dan hidup bagi-Nya.
Ia tahu Petrus sedang membaharui dan memulai kisah cintanya dengan Tuhan.
Dan Yesus pun memberitahu Petrus bahwa kisah cintanya itu akan meminta segala-galanya dalam hidupnya. Untuk menderita dan dianiaya oleh dunia oleh karena Tuhan. Namun meski demikian, sejak hari itu Petrus justru memberanikan diri melangkah lebih jauh untuk menyelesaikan romansanya dengan Tuhan.
Ia telah menginginkan hidupnya menjadi suatu persembahan cinta. Suatu kisah yang akan diceritakan kembali oleh generasi demi generasi sesudah dia. Suatu hidup penuh cinta seorang mantan nelayan yang karena cinta menjadi penjala manusia sesuai kehendak Tuhan.
Di akhir hidupnya, Petrus tak lagi menyangkal Yesus dan lari. Ia membuktikan cintanya pada kekasih jiwanya dengan mati syahid. Dengan disalib terbalik untuk menunjukkan dia lebih rendah dan tidak layak mati seperti Yesus. Suatu kesaksian yang tak terbantahkan bahwa seumur hidupnya ia ingin mengikuti jejak Yesus Kristus, junjungannya.
“Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya.”
(1 Petrus 2:21)
Jika hari ini kita dipanggil mengikut Kristus dan untuk berjalan di jalan-Nya, akankah kita akan mengalaminya dengan penuh cinta yang makin menyala-nyala bagi Dia?
Di dalam bait-Mu yang kudus, Bapa
Kurasakan hadiratMu
Inilah tempat perhentian
Kusujud menyembahMu Yesus
Hatiku meluap dengan kata indah
Ku hendak menyampaikan
Pujian bagiMu
Kau yang terindah, termulia,
Tuhan dan Allahku
Ku mengasihiMu, Yesus
Penebusku
Kaulah segalanya dalam hidupku
~ Theresia Age (dalam pujian “Di Dalam Bait-Mu”)