Oleh: Peter B,
“Kedua murid itu mendengar apa yang dikatakannya itu, lalu
mereka pergi mengikut Yesus. Tetapi Yesus menoleh ke belakang. Ia melihat, bahwa
mereka mengikuti Dia lalu berkata kepada mereka:” Apakah yang kamu cari? “Kata
mereka kepada-Nya: “Rabi (artinya: Guru), di manakah Engkau tinggal?” Ia
berkata kepada mereka: “Marilah dan kamu akan melihatnya.” Mereka pun datang
dan melihat di mana Ia tinggal, dan hari itu mereka tinggal bersama-sama dengan
Dia; waktu itu kira-kira pukul empat (Yohanes 1:37-39)
mereka pergi mengikut Yesus. Tetapi Yesus menoleh ke belakang. Ia melihat, bahwa
mereka mengikuti Dia lalu berkata kepada mereka:” Apakah yang kamu cari? “Kata
mereka kepada-Nya: “Rabi (artinya: Guru), di manakah Engkau tinggal?” Ia
berkata kepada mereka: “Marilah dan kamu akan melihatnya.” Mereka pun datang
dan melihat di mana Ia tinggal, dan hari itu mereka tinggal bersama-sama dengan
Dia; waktu itu kira-kira pukul empat (Yohanes 1:37-39)
Di zaman yang kata banyak orang sebagai ‘zaman edan’ ini,
tampaknya sangat sulit menemukan orang yang tulus, ramah, berhati baik, yang
hidupnya bebas dari prasangka. Di waktu-waktu yang lampau, orang-orang desa
digambarkan sebagai orang-orang yang polos, lugu, sederhana dan jujur. Mungkin
saja masih ada orang-orang desa yang demikian, namun dapat dikatakan mereka
semakin jarang keberadaannya. Jikalau ada, mereka seringkali adalah orang-orang
tempo dulu yang tidak pernah mengetahui apapun selain kehidupan bersahaja dan
apa adanya di desa mereka sendiri. Orang-orang desa zaman ini hampir tidak jauh
berbeda dengan banyak orang pada umumnya. Kepolosan dan ketulusan hampir punah
karena desa-desa telah terjamah pengaruh buruk teknologi dan informasi.
tampaknya sangat sulit menemukan orang yang tulus, ramah, berhati baik, yang
hidupnya bebas dari prasangka. Di waktu-waktu yang lampau, orang-orang desa
digambarkan sebagai orang-orang yang polos, lugu, sederhana dan jujur. Mungkin
saja masih ada orang-orang desa yang demikian, namun dapat dikatakan mereka
semakin jarang keberadaannya. Jikalau ada, mereka seringkali adalah orang-orang
tempo dulu yang tidak pernah mengetahui apapun selain kehidupan bersahaja dan
apa adanya di desa mereka sendiri. Orang-orang desa zaman ini hampir tidak jauh
berbeda dengan banyak orang pada umumnya. Kepolosan dan ketulusan hampir punah
karena desa-desa telah terjamah pengaruh buruk teknologi dan informasi.
Di zaman ini pula, sepertinya terlihat wajar untuk
memperingatkan anak-anak kita dengan pesan-pesan sebagai berikut, “Hati-hati di
jalan banyak perampok dan pencopet. Lihatlah ke kiri dan ke kanan karena siapa
tahu mereka adalah penjahat yang mengincarmu” atau “Jangan lewat daerah sana.
Di sana para beradal dan para penjahat berkumpul” dan juga “jangan percaya
kepada siapapun terlebih seorang yang tidak kamu kenal. Sewaktu-waktu seseorang
dapat menggunakan teknik sihir atau gendam (semacam
hipnotis) untuk menipu dan mengambil uangmu!” Lebih dari itu, keluhan beberapa
orang menambah panjang deretan kebobrokan zaman ini: “Percuma menanyakan arah
jalan kepada seseorang di sini. Mereka tidak bisa dipercaya dan malah sering
menyesatkan” atau “pengemudi taksi yang kutumpangi sepertinya membawaku ke
tujuan tapi ternyata aku di bawa berputar-putar di sekitar situ saja karena aku
merasa melihat tempat yang itu-itu lagi.”
memperingatkan anak-anak kita dengan pesan-pesan sebagai berikut, “Hati-hati di
jalan banyak perampok dan pencopet. Lihatlah ke kiri dan ke kanan karena siapa
tahu mereka adalah penjahat yang mengincarmu” atau “Jangan lewat daerah sana.
Di sana para beradal dan para penjahat berkumpul” dan juga “jangan percaya
kepada siapapun terlebih seorang yang tidak kamu kenal. Sewaktu-waktu seseorang
dapat menggunakan teknik sihir atau gendam (semacam
hipnotis) untuk menipu dan mengambil uangmu!” Lebih dari itu, keluhan beberapa
orang menambah panjang deretan kebobrokan zaman ini: “Percuma menanyakan arah
jalan kepada seseorang di sini. Mereka tidak bisa dipercaya dan malah sering
menyesatkan” atau “pengemudi taksi yang kutumpangi sepertinya membawaku ke
tujuan tapi ternyata aku di bawa berputar-putar di sekitar situ saja karena aku
merasa melihat tempat yang itu-itu lagi.”
Di lain pihak, ada juga yang terlihat bersikap ramah dan
penuh perhatian. Tetapi jika dilihat lebih jauh, ketulusan adalah yang tidak
mereka miliki. Berbaik hati dan peduli seringkali diartikan sebagai tindakan
penuh tipu daya yang mengandung maksud tertentu. Inti dari semua ini
disimpulkan oleh orang-orang duniawi dalam suatu kalimat ini: “jangan pernah
percaya kepada siapapun juga kecuali dirimu sendiri.” Dengan suburnya
kejahatan, maraknya penipuan, derasnya arus kebebasan, meningkatnya ketimpangan
dan ketidakadilan sosial, banyak orang akhirnya menjadi sangat berhati-hati
terhadap lingkungan atau orang-orang di sekitarnya. Di Indonesia, Negara kita
tercinta ini, keramahan dan kerukunan kini menjadi tinggal kenangan manis dari
masa lampau. Ketenteraman, kedamaian, dan kebersamaan sebagai suatu bangsa
telah terancam musnah digantikan oleh semangat perpecahan, kekerasan,
pembunuhan, kebencian, dan pengrusakan, Suku yang dikenal begitu lemah lembut,
penuh sopan santun dan tenggang rasa di wilayah Jawa bagian tengah ternyata
menampakkan keberingasan serta kegarangannya dalam peristiwa kerusuhan beberapa
tahun lalu. Pertanyaan yang penting di sini adalah masih adakah orang yang
jujur, terbuka, ramah, tidak munafik dan tanpa prasangka? Kapankah kita
terakhir bertemu dengan mereka? Sungguhkah mereka masih ada di muka bumi ini?
Adakah orang yang masih dapat kita percaya?
penuh perhatian. Tetapi jika dilihat lebih jauh, ketulusan adalah yang tidak
mereka miliki. Berbaik hati dan peduli seringkali diartikan sebagai tindakan
penuh tipu daya yang mengandung maksud tertentu. Inti dari semua ini
disimpulkan oleh orang-orang duniawi dalam suatu kalimat ini: “jangan pernah
percaya kepada siapapun juga kecuali dirimu sendiri.” Dengan suburnya
kejahatan, maraknya penipuan, derasnya arus kebebasan, meningkatnya ketimpangan
dan ketidakadilan sosial, banyak orang akhirnya menjadi sangat berhati-hati
terhadap lingkungan atau orang-orang di sekitarnya. Di Indonesia, Negara kita
tercinta ini, keramahan dan kerukunan kini menjadi tinggal kenangan manis dari
masa lampau. Ketenteraman, kedamaian, dan kebersamaan sebagai suatu bangsa
telah terancam musnah digantikan oleh semangat perpecahan, kekerasan,
pembunuhan, kebencian, dan pengrusakan, Suku yang dikenal begitu lemah lembut,
penuh sopan santun dan tenggang rasa di wilayah Jawa bagian tengah ternyata
menampakkan keberingasan serta kegarangannya dalam peristiwa kerusuhan beberapa
tahun lalu. Pertanyaan yang penting di sini adalah masih adakah orang yang
jujur, terbuka, ramah, tidak munafik dan tanpa prasangka? Kapankah kita
terakhir bertemu dengan mereka? Sungguhkah mereka masih ada di muka bumi ini?
Adakah orang yang masih dapat kita percaya?
Mari kita perhatikan nast kita. Di sana dicatat bahwa Yesus
pernah satu kali diikuti sepanjang perjalanan oleh orang-orang asing. Mereka
sebelumnya tidak mengenal Yesus, sebaliknya Yesus juga belum pernah berhubungan
langsung dengan mereka. Pada saat Yesus berjalan, dua orang ini mengikuti dari
belakang tanpa keberanian untuk bertanya langsung. Akhirnya Yesus menoleh dan
berkata kepada mereka, “Apa yang kalian cari?” Di masa ini apabila orang
diikuti orang lain dan bertanya demikian, orang sudah dianggap ramah dan baik
karena mereka masih mau memberikan sedikit perhatian. Namun perhatikan lebih
lanjut. Kedua orang yang mengikuti Yesus itu kemudian menanyakan pertanyaan
yang sangat pribadi sifatnya, “Di manakah engkau tinggal, Guru?” Mereka belum
saling mengenal dan berkenalan tetapi dua orang asing itu menanyakan rumah
Yesus! Reaksi kebanyakan dari kita seringkali adalah mulai memandang atau
berpikir dengan penuh kecurigaan. Biasanya tanggapan kita mendengar
pertanyaan demikian adalah, “Ada keperluan apa sih, kalian ini? Kenapa kok
Tanya rumah segala.” Bahkan kini bukan lagi sesuatu yang aneh apabila orang
enggan memberikan alamat rumah atau teleponnya (di antara mereka cukup banyak
terdapat mereka yang menyebut dirinya ‘hamba-hamba Tuhan’). Bagaimana tanggapan
Kristus?
pernah satu kali diikuti sepanjang perjalanan oleh orang-orang asing. Mereka
sebelumnya tidak mengenal Yesus, sebaliknya Yesus juga belum pernah berhubungan
langsung dengan mereka. Pada saat Yesus berjalan, dua orang ini mengikuti dari
belakang tanpa keberanian untuk bertanya langsung. Akhirnya Yesus menoleh dan
berkata kepada mereka, “Apa yang kalian cari?” Di masa ini apabila orang
diikuti orang lain dan bertanya demikian, orang sudah dianggap ramah dan baik
karena mereka masih mau memberikan sedikit perhatian. Namun perhatikan lebih
lanjut. Kedua orang yang mengikuti Yesus itu kemudian menanyakan pertanyaan
yang sangat pribadi sifatnya, “Di manakah engkau tinggal, Guru?” Mereka belum
saling mengenal dan berkenalan tetapi dua orang asing itu menanyakan rumah
Yesus! Reaksi kebanyakan dari kita seringkali adalah mulai memandang atau
berpikir dengan penuh kecurigaan. Biasanya tanggapan kita mendengar
pertanyaan demikian adalah, “Ada keperluan apa sih, kalian ini? Kenapa kok
Tanya rumah segala.” Bahkan kini bukan lagi sesuatu yang aneh apabila orang
enggan memberikan alamat rumah atau teleponnya (di antara mereka cukup banyak
terdapat mereka yang menyebut dirinya ‘hamba-hamba Tuhan’). Bagaimana tanggapan
Kristus?
Ayat selanjutnya memberitahukan kita suatu fakta yang
sangat mengejutkan. Dikatakan di sana, “Yesus berkata kepada mereka, “Marilah
dan kamu akan melihatnya.” Mereka pun datang dan melihat di mana Ia tinggal,
dan hari itu mereka tinggal bersama-sama dengan Dia….” (Yohanes 1:39). Yesus
baru berkenalan dengan kedua orang itu dan mereka diijinkan tinggal bermalam
bersama Yesus! Pernahkah kita memberikan tumpangan seperti itu kepada seorang
yang belum pernah kita kenal sebelumnya? Seringkali apabila kita melakukan
seperti itu di abad kedua puluh satu ini, kita dipandang sebagai orang yang
bodoh atau kurang waras.
sangat mengejutkan. Dikatakan di sana, “Yesus berkata kepada mereka, “Marilah
dan kamu akan melihatnya.” Mereka pun datang dan melihat di mana Ia tinggal,
dan hari itu mereka tinggal bersama-sama dengan Dia….” (Yohanes 1:39). Yesus
baru berkenalan dengan kedua orang itu dan mereka diijinkan tinggal bermalam
bersama Yesus! Pernahkah kita memberikan tumpangan seperti itu kepada seorang
yang belum pernah kita kenal sebelumnya? Seringkali apabila kita melakukan
seperti itu di abad kedua puluh satu ini, kita dipandang sebagai orang yang
bodoh atau kurang waras.
Yesus tidak gila. Justru Dialah teladan sempurna bagi
kehidupan manusia di muka bumi. Ketika Ia menerima kedua orang murid Yohanes di
rumahnya, Ia sedang memberikan pelajaran yang berharga kepada kita mengenai
sikap dan perilaku para penyembah sejati dalam berhubungan dengan orang lain
teristimewa orang yang belum kita kenal. Beberapa poin yang dapat dicatat di
sini adalah:
kehidupan manusia di muka bumi. Ketika Ia menerima kedua orang murid Yohanes di
rumahnya, Ia sedang memberikan pelajaran yang berharga kepada kita mengenai
sikap dan perilaku para penyembah sejati dalam berhubungan dengan orang lain
teristimewa orang yang belum kita kenal. Beberapa poin yang dapat dicatat di
sini adalah:
Pertama, Yesus menilai
manusia yang lain. Menilai bukan menghakimi. Menilai berarti menguji menurut
hikmat Tuhan. Rasul Paulus berkata, “Tetapi manusia rohani menilai segala
sesuatu…” (1Korintus 2:15). Apa maksudnya? Setiap manusia yang bergerak bersama
Roh Allah tidak pernah gegabah. Mereka menimbang-nimbang segala sesuatu,
menunggu pimpinan Allah dan baru bertindak sesuai dengan arahan dari Tuhan.
Yesus melihat kedua orang murid Yohanes Pembaptis tersebut dan menilai mereka.
Dari sikap mereka, dari tanggapan mereka, dari kesaksian Roh Kudus di dalamNya
maka Ia tahu kedua orang itu tulus dan bermaksud baik. Jawaban mereka yang
berupa pertanyaan, “Guru, dimanakah Engkau tinggal” mengandung nada
penghormatan, ketulusan, dan kerinduan akan persekutuan. Dan Yesus mengetahui hal
itu. Itulah sebabnya, Ia menerima mereka. Satu dari kedua orang itu, Andreas,
menjadi murid Yesus yang paling pertama dan dari dialah Yesus mendapatkan
Petrus. Sebagai penyembah sejati, setiap saat kita harus peka akan tuntunan dan
petunjuk Roh Kudus sehingga kita mengalir dalam rencanaNya, tanpa sedikit pun
kehilangan berkatNya. Sudahkah kita peka menilai orang sesuai pimpinan Tuhan?
manusia yang lain. Menilai bukan menghakimi. Menilai berarti menguji menurut
hikmat Tuhan. Rasul Paulus berkata, “Tetapi manusia rohani menilai segala
sesuatu…” (1Korintus 2:15). Apa maksudnya? Setiap manusia yang bergerak bersama
Roh Allah tidak pernah gegabah. Mereka menimbang-nimbang segala sesuatu,
menunggu pimpinan Allah dan baru bertindak sesuai dengan arahan dari Tuhan.
Yesus melihat kedua orang murid Yohanes Pembaptis tersebut dan menilai mereka.
Dari sikap mereka, dari tanggapan mereka, dari kesaksian Roh Kudus di dalamNya
maka Ia tahu kedua orang itu tulus dan bermaksud baik. Jawaban mereka yang
berupa pertanyaan, “Guru, dimanakah Engkau tinggal” mengandung nada
penghormatan, ketulusan, dan kerinduan akan persekutuan. Dan Yesus mengetahui hal
itu. Itulah sebabnya, Ia menerima mereka. Satu dari kedua orang itu, Andreas,
menjadi murid Yesus yang paling pertama dan dari dialah Yesus mendapatkan
Petrus. Sebagai penyembah sejati, setiap saat kita harus peka akan tuntunan dan
petunjuk Roh Kudus sehingga kita mengalir dalam rencanaNya, tanpa sedikit pun
kehilangan berkatNya. Sudahkah kita peka menilai orang sesuai pimpinan Tuhan?
Kedua, kepribadian
Kristus adalah kepribadian yang terbuka dan positif. Terhadap orang asing,
perasaan curiga maupun prasangka tidak dimiliki oleh Yesus. Ia memandang
kebaikan dari orang lain bukan keburukannya. Yesus memikirkan yang baik
terhadap orang yang baru dikenalNya. Kepribadian penyembah sejati adalah
kepribadian yang manis, ramah, terbuka, hangat serta penuh kasih. Bukankah kita
diperintahkan untuk “mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”? Yesus
menyambut orang lain, merindukan persekutuan yang hangat dengan orang lain,
mencari persahabatan bukan permusuhan, terbiasa bersikap hangat daripada angkuh
dan dingin.
Kristus adalah kepribadian yang terbuka dan positif. Terhadap orang asing,
perasaan curiga maupun prasangka tidak dimiliki oleh Yesus. Ia memandang
kebaikan dari orang lain bukan keburukannya. Yesus memikirkan yang baik
terhadap orang yang baru dikenalNya. Kepribadian penyembah sejati adalah
kepribadian yang manis, ramah, terbuka, hangat serta penuh kasih. Bukankah kita
diperintahkan untuk “mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”? Yesus
menyambut orang lain, merindukan persekutuan yang hangat dengan orang lain,
mencari persahabatan bukan permusuhan, terbiasa bersikap hangat daripada angkuh
dan dingin.
Seringkali karena sikap-sikap tidak ramah dan kurang
bersahabat, hubungan-hubungan maupun persekutuan-persekutuan yang didorong oleh
Roh Kudus, yang dikehendaki oleh Tuhan akhirnya terhambat bahkan tidak jarang
gagal terjalin sehingga rencana Tuhan dirusakkan. Betapa ruginya apabila itu
terjadi! Andreas dan saudaranya, Petrus menjadi rasul-rasul utama dan pertama
karena keterbukaan Yesus. Sudahkah keramahan kita membuahkan hasil yang sama
mulia dengan itu? Amin.
bersahabat, hubungan-hubungan maupun persekutuan-persekutuan yang didorong oleh
Roh Kudus, yang dikehendaki oleh Tuhan akhirnya terhambat bahkan tidak jarang
gagal terjalin sehingga rencana Tuhan dirusakkan. Betapa ruginya apabila itu
terjadi! Andreas dan saudaranya, Petrus menjadi rasul-rasul utama dan pertama
karena keterbukaan Yesus. Sudahkah keramahan kita membuahkan hasil yang sama
mulia dengan itu? Amin.
(Diambil dari warta Worship Center edisi 39 – 4 Oktober
2002)
2002)