KETULUSAN : SALAH SATU SYARAT UTAMA PENYEMBAH SEJATI

Oleh Peter B, MA

“Hakimilah aku, TUHAN, apakah aku benar, dan apakah aku tulus ikhlas”
~ Daud (dalam ratapannya Mazmur 7:9)


“TUHAN, siapa yang boleh menumpang dalam kemah-Mu? Siapa yang boleh diam di gunung-Mu yang kudus?
Yaitu dia yang berlaku tidak bercela, yang melakukan apa yang adil dan yang mengatakan kebenaran dengan segenap hatinya”
~ Dialog Daud dengan TUHAN (dalam Mazmur 15:1-2)

Di hadapan Tuhan yang maha tahu, ketulusan adalah sesuatu yang mendasar dan sangat diperhatikan-Nya. Jika kita bisa berpura-pura sepenuhnya baik dan jujur di mata manusia, di hadapan Tuhan tidak. Jika orang mudah dipengaruhi, dibuat terkagum-kagum dan dikelabui, mustahil melakukannya di hadapan Tuhan.

Entah karena ketidaktahuan, kenaifan atau kesadaran yang rendah, sayangnya, banyak orang yang berpikir bisa mengesankan Tuhan dengan tampilan-tampilan jasmaniah seperti halnya pada saat mereka membuat kagum manusia-manusia lainnya. Tapi Tuhan mencari dan melihat hati lebih daripada semuanya. Hati tidak dapat berdusta dan berbohong. Hati adalah apa adanya seseorang.  Dan hati kita terbuka di pemandangan Tuhan. Jadi, siapakah kita sebenar-benarnya, Tuhan mengetahuinya. Sejelas-jelasnya. Selengkap-lengkapnya. Tiada yang tersembunyi di hadapan-Nya. Inilah yang dimaksud bahwa “semua makhluk telanjang di hadapan-Nya”:

“Dan tidak ada suatu makhluk pun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab.”
(Ibrani 4:13)

Oleh sebab Ia mengetahui segala sesuatu, maka Ia tahu apakah kita sedang berlaku tulus ataukah tidak. Banyak sekali yang beribadah pada Tuhan serta melayani Dia dalam ketidaktulusan. Mereka mencari keuntungan melalui itu semua.Untuk memperoleh popularitas, demi meninggikan nama mereka sendiri di hadapan orang banyak, atau sebagai jalan sekedar membuktikan diri. Ada pula yang menginginkan penerimaan, pengakuan, pujian bahkan kekaguman dari orang lain melalui cara-cara yang tampak rohani dan menyebut-nyebut nama Tuhan. Disadari atau tidak, Tuhan melihat, mengetahui dan menilai semuanya.
Dalam kasih karunia-Nya yang besar, Ia membiarkan dan memberikan kesempatan untuk berubah. Hanya saja, kepada yang benar-benar tulus mengasihi-Nya, Ia sungguh-sungguh memberikan perkenan dan pengakuan-Nya.  Inilah murid-murid dan hamba-hamba sejati di mata-Nya. Yaitu mereka yang semata-mata demi kasih mengabdikan diri kepada Tuhan. Mereka tidak ingin memanfaatkan Tuhan maupun nama dan segala hal yang berkaitan dengan Tuhan untuk kepentingan mereka. Mereka justru mencari untuk ambil bagian mengerjakan serta menyelesaikan tugas dan kepentingan sorgawi seturut rencana Tuhan yang berlangsung di masa mereka hidup.

“Ketulusan” dalam bahasa Ibrani disamakan artinya dengan “sempurna” atau “perfect”. Sempurna dalam makna maha terbaik dalam segala hal hanya ada pada Tuhan. Tetapi yang disebut ‘sempurna’ yang disematkan pada manusia, menurut kamus Vine, artinya “tidak didapati ada kesalahan”, “lengkap atau utuh”, “selesai”(dalam hal pekerjaan atau yang diharapkan), “bebas dari keberatan atau tidak ada lagi yang dipermasalahkan”, “tidak ada perbuatan yang tampak luar atau keadaan yang ada dalam hati yang tidak disukai Tuhan”. Ini juga berarti “integritas” yang bermakna kesatuan dan kesesuaian antara apa yang tampak di luar dengan apa yang ada dalam hati. Yang jika dinilai menunjukkan suatu “ukuran yang penuh”, “ketakbersalahan” (innocency), dan “kesederhanaan” (keadaan yang tidak rumit, berbelit-belit, simplicity).

Serupa itulah Tuhan menilai kita. Ia mendapati kita sempurna ketika sepenuh hati, sepenuh jiwa, sepenuh keberadaan dan sepenuh perbuatan kita menunjukkan bahwa kita mengasihi Dia. Jadi hati, pikiran, perasaan, kehendak, perkataan dan perbuatan harus didapati lengkap dan satu nada di hadapan Tuhan. Ketidaksamaan atau ketidaksesuaian di antara elemen-elemen itu menunjukkan ketidaklengkapan, ketidakutuhan, belum selesai dan tidak mencapai target sehingga Tuhan melihatnya belum layak memberikan suatu penyembahan dan pengabdian yang sejati kepada-Nya. Berbeda dengan manusia yang hanya mampu menangkap sesuai pengetahuan inderanya yang terbatas, Tuhan mampu melihat semuanya. Ia tidak mudah terpengaruh, terkesan apalagi tertipu akan tampilan luar kita. Dan Ia tidak berkenan jika kita datang pada-Nya dalam kepura-puraan atau ketidaktulusan.

Ketidaktulusan Menjadikan Ibadah Kita Tak Diindahkan-Nya 

Banyak yang masih bertanya-tanya mengapa persembahan Kain tidak diterima sebagaimana persembahan Habel. Padahal keduanya memberikan yang terbaik dari hasil pekerjaan tangan mereka. Dan bukankah wajar jika Kain mempersembahkan hasil tanah karena ia seorang petani dan Habel mempersembahkan ternak yang digembalakannya?
Nyatanya, Tuhan lebih berkenan pada persembahan Habel. Banyak penafsir setuju bahwa persembahan Habel menggambarkan korban Kristus, Anak Domba Allah, yang menyelamatkan dunia. Yang kemudian itu diperhitungkan sebagai sikap hati Habel yang mengetahui apa yang memperkenan hati Tuhan.

Jika demikian, maka di sinilah Kain telah gagal memberikan persembahan yang berkenan di hadapan Tuhan. Apabila keduanya memang dididik oleh orang tua mereka bahwa Tuhan menyukai korban darah, maka seharusnya Kain tahu bahwa itulah yang menyenangkan hati Tuhan. Tapi faktanya, Kain memilih persen bahan seturut hatinya. Entah karena ia merasa ingin dihargai sebagai petani serta ingin menunjukkan hasil kerja kerasnya, ataukah karena ia tak bersedia merendahkan diri meminta kambing domba adiknya maupun memberikan persembahan yang sama dengan adiknya -bagaimanapun Kain telah datang membawa persembahan BUKAN KARENA TUHAN dan BUKAN UNTUK MENYENANGKAN HATI TUHAN. Ia memberikan persembahan dan penyembahan pada Tuhan karena ingin unjuk diri, untuk memberitahukan kepada Tuhan bahwa ia memberikan persembahan terbaiknya dari hasil kerja kerasnya sebagai petani dan meminta Tuhan mengakui dan menerimanya meskipun itu ia tahu bukan itu yang diinginkan hati Tuhan!
Ketidaktulusan Kain membuat ibadah dan persembahannya pada Tuhan menjadi sia-sia….

Terbukti ketika Tuhan menegurnya setelah membunuh adiknya, ia terus menjadi marah. Ada perasaan tidak terima yang meluap-luap, yang menunjukkan betapa ia hanya peduli kepada dirinya sendiri. Tidak kepada adiknya, tak sedikitpun juga kepada Tuhan.

Firman TUHAN kepada Kain: “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram?
Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.”
Kata Kain kepada Habel, adiknya: “Marilah kita pergi ke padang.” Ketika mereka ada di padang, tiba-tiba Kain memukul  Habel, adiknya itu, lalu membunuh  dia.
Firman TUHAN kepada Kain: “Di mana Habel, adikmu itu?” Jawabnya: “Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?”
(Kejadian 4:6-9)

Begitu pula ketika Tuhan menghukum dan mengutuknya. Apakah Kain peduli akan isi hati Tuhan yang terluka, kecewa dan murka? Sama sekali tidak. Ia tetap mencari keselamatan dan keuntungan bagi dirinya sendiri.

“Maka sekarang, terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu itu dari tanganmu.
Apabila engkau mengusahakan tanah itu, maka tanah itu tidak akan memberikan hasil sepenuhnya lagi kepadamu; engkau menjadi seorang pelarian dan pengembara di bumi.”
Kata Kain kepada TUHAN: “Hukumanku itu lebih besar dari pada yang dapat kutanggung.
Engkau menghalau aku sekarang dari tanah ini dan aku akan tersembunyi dari hadapan-Mu, seorang pelarian dan pengembara di bumi; maka barangsiapa yang akan bertemu dengan aku, tentulah akan membunuh aku.”
Firman TUHAN kepadanya: “Sekali-kali tidak! Barangsiapa yang membunuh Kain akan dibalaskan kepadanya tujuh kali lipat.” Kemudian TUHAN menaruh tanda pada Kain, supaya ia jangan dibunuh oleh barangsiapa pun yang bertemu dengan dia.
Lalu Kain pergi dari hadapan TUHAN  dan ia menetap di tanah Nod, di sebelah timur Eden.”
(Kejadian 4:11-16)

Mereka yang tidak tulus ingin menyenangkan hati Tuhan, sesungguhnya sedang mengikuti jejak Kain. Mereka mencari perkenan Tuhan bukan demi menyukakan Tuhan, namun demi kesenangan dan kepentingan-kepentingan mereka sendiri.
Ini nyata dalam pelayanan-pelayanan yang kecil maupun besar, doa-doa yang dinaikkan di hadapan Tuhan, juga program-program gereja yang secara teratur diadakan tetapi dikerjakan dari cara dan pikiran manusia belaka.
Tanpa mencari tahu isi hati-Nya dan menemukan apa yang ingin kita lakukan bagi Dia, maka kita sedang memaksa Tuhan menerima persembahan kita dan mengklaim bahwa Dia disenangkan oleh kita.
Masalahnya, siapakah kita yang merasa bisa mengatur-atur Tuhan? Bisakah hati kita digembirakan oleh pemberian hadiah yang tidak kita harapkan di hati? Apalagi diberikan pada kita dengan niat-niat hati yang hendak mengharapkan balik sesuatu dari kita? Jika kita saja tidak berkenan dengan cara-cara semacam itu, betapa Tuhan lebih lagi merasa terhina!

Susah saatnya kita berhenti bersikap seperti Kain di hadapan Tuhan.
Sudah saatnya dan selayaknya, Tuhan menerima persembahan yang tulus penuh kerinduan semata-mata yang menyukakan hati-Nya dari anak-anak-Nya dan pelayan-pelayan-Nya.

KESIMPULAN 
Tuhan mencari para penyembah. Dan di antara penyembah-penyembah-Nya, Ia mencari penyembah yang tulus. Seperti Habel. Itu ditandai dengan senantiasa mencari tahu apa yang menyenangkan hati Tuhan dan memberikan segala kemuliaan bagi Tuhan dari suatu hati yang telah dibebaskan dan dibersihkan dari maksud dan tujuan yang mencari keuntungan-keuntungan bagi dirinya sendiri.
Meskipun langka di zaman di mana manusia mengarahkan segala sorotan bagi dirinya dan membiasakan diri memuliakan dirinya, penyembah-penyembah sejati akan membuat perbedaan melalui hidupnya. Melalui ketulusan mereka, banyak orang akan berbondong-bondong, suatu kali kelak, untuk mencari Tuhan dan mencari perkenan Tuhan saja. Dalam perkenan Tuhan atas ketulusan kitalah maka Ia akan menyatakan diri dan hadir di tengah-tengah umat-Nya menyatakan lawatan dan kebangunan rohani yang terakhir dan terbesar sebelum kedatangan Kristus Yesus kedua kalinya.

“Ketulusan dan kejujuran kiranya mengawal aku, sebab aku menanti-nantikan Engkau.”
~Daud, penyembah yang tulus di hadapan Tuhan (dalam Mazmur 25:21)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *