KORBAN SYUKUR BAGI TUHAN

Oleh Peter B, MA


“Lalu Daud
memuji TUHAN di depan mata segenap jemaah itu. Berkatalah Daud: “Terpujilah
Engkau, ya TUHAN, Allahnya bapa kami Israel, dari selama-lamanya sampai
selama-lamanya. Ya TUHAN, punya-Mulah kebesaran dan kejayaan, kehormatan,
kemasyhuran dan keagungan, ya, segala-galanya yang ada di langit dan di bumi!
Ya TUHAN, punya-Mulah kerajaan dan Engkau yang tertinggi itu melebihi segala-galanya
sebagai kepala”
(1 Tawarikh
29:10-11)
Salah satu lagu
pujian mengatakan, “Kubawa korban syukur, ke tempat kudusMu Tuhan. Hatiku
limpah dengan syukur, sebab Tuhan baik”. Sebuah lagu pujian yang baik dan
semangat menyentuh. Pujian yang menggambarkan bahwa ada suatu korban syukur
kita bawa saat kita datang ke hadiratNya. Tetapi apakah artinya “korban
syukur”? Benarkah setiap korban yang kita naikkan selalu disertai syukur? Atau
apakah selalu syukur yang kita naikkan disertai korban? Jadi apa sebenarnya
“korban syukur” itu?
Satu hal yang saya
tahu pasti adalah bahwa tidak selalu ucapan syukur kita disertai
pengorbanan/korban. Ya, saya tahu itu karena saya sering melakukan dan
menjalaninya. Saya bisa jadi bersyukur kepada Tuhan dengan segala bentuk
ekspresinya. Dengan mengangkat mengangkat tangan, dengan menangis haru, dan
dengan mengangkat suara sekuat-kuatnya kita dapat menaikan syukur… dan itu
tetap bukan merupakan korban syukur. Mengapa? Karena kita bersyukur atas segala
pemeliharaan dan berkat Tuhan yang melimpah atas kita dan kita berterima kasih
sepenuhnya padaNya.
Kita menaikkan
syukur karena mendapatkan sesuatu bukan karena mengorbankan sesuatu. Kita
menaikkan syukur tanpa mengorbankan apapun. Kita hanya sedang berterima kasih
atas kemurahan Tuhan.
Menaikkan syukur
dengan korban adalah berbeda. Itu berarti kita menaikkan syukur dengan
mengorbankan sesuatu. Ini lebih sukar. Ini lebih sulit. Tetapi ini menyenangkan
hati Tuhan. Masih ingatkah Anda dengan kata-kata Daud sewaktu ia hendak membeli
tanah Ornan untuk dijadikan lokasi pembangunan mezbah korban bakaran. Memang
begitulah hati Daud: “Aku tiak mau mempersembahkan korban bakaran
untuk Tuhan tanpa membayar apa-apa”
(1 Tawarikh 21:24). Daud selalu
rindu untuk berkorban bagi Tuhan. Setiap penyembahan dan syukurnya senantiasa
diserta dengan pembayaran suatu harga. Itulah hati yang rindu untuk berkorban. A Heart of Worship. Hati yang penuh
dengan penyembahan dan kepada hati seperti itulah Tuhan berkenan.
Coba pikirkan
baik-baik: Jika seseorang menerima sesuatu pemberian dan ia tidak berterima
kasih, ia akan disebut orang tak tahu diri dan tak tahu berterima kasih. Jika
seseorang menerima suatu pemberian dan ia berterima kasih, itu sudah selayaknya
dan memang demikianlah seharusnya. Tetapi, jika seseorang memberikan sesuatu
dan ia pula yang berterima kasih, ini sesuatu yang aneh dan kurang wajar.
Bagaimana mungkin kita yang memberi kita juga yang berterima kasih? Dapatkah
itu diterima sebagai sesuatu yang wajar? Bisa saja, bahkan mungkin kita sendiri
pernah melakukannya kepada orang lain. Bagaimana itu? Ya, saat memberikan
sesuatu kepada orang lain, saya juga yang berterima kasih karena pemberian saya
itu sebenarnya untuk membalas
kebaikannya yang sudah pernah saya rasakan dalam hidup saya. Masuk akal, bukan?
Kita memberi dan juga berterima kasih kepada seseorang  karena orang itu telah begitu baik pada kita.
Setelah
mempersembahkan segala harta benda, emas, perak dan permata bagi pembangunan
Bait Suci, Daud dan seluruh pengikutnya menaikkan ucapan syukur. Suatu ucapan
syukur yang murni. Suatu pengucapan syukur dengan pengorbanan dan persembahan
yang terbaik dari hidup mereka. Inti dari pengucapan syukur mereka adalah:
(1) Mereka
mengembalikan segala kemuliaan dan kebesaran bagi Tuhan
(1 Tawarikh
29:10-11). Apa yang mereka berikan mungkin saja harta benda yang dengan susah
payah mereka kumpulkan dan simpan seumur hidup mereka. Mereka bisa saja
mengatakan itu  hasil usaha dan kerja
keras mereka. Tetapi Daud dan pengikutnya memilih untuk memandang segala apa
yang mereka punya dalam hidup mereka sebagai kebaikan dan berkat Tuhan semata.
Bersama-sama mereka mengaku, “Kekayaan
dan kemuliaan berasal daripadaMu… dalam tanganMulah kuasa membesarkan dan
mengokohkan segala-galanya.”
Semuanya bagi kemuliaan Tuhan. Itulah korban
syukur.
(2) Mereka
memandang kesanggupan mereka untuk memberi adalah berasal dari Tuhan.

Dengarlah pengakuan Daud, “sebab siapakah
aku ini dan siapakah bangsaku, sehingga kami mampu memberikan persembahan
sukarela seperti ini?……Ya TUHAN, Allah kami, segala kelimpahan bahan-bahan
yang kami sediakan ini untuk mendirikan bagi-Mu rumah bagi nama-Mu yang kudus
adalah dari tangan-Mu sendiri dan punya-Mulah segala-galanya”
(1 Tawarikh
29:14,16). Mereka memberi karena Tuhan telah memberi dengan limpah pada mereka.
Tidak ada kekuatan dan kebanggaan manusia di sini. Itulah korban syukur.
Daud dan para
bawahannya telah merasakan kebaikan dan kemurahan Tuhan sepanjang hidup mereka
dan karena itu mereka berkorban sambil mengucap syukur. Mereka rindu membalas
kasih serta kebaikan Tuhan dengan cara merendahkan diri dan mengendalikan
kemuliaan bagi Tuhan.
Jika dahulu hanya
Daud yang terbiasa menaikkan korban syukur, kini hampir seluruh pemimpin Israel
ikhlas rela berkorban bagi Tuhan. Intensitas penyembahan telah meningkat: dari
satu orang menjadi sekelompok orang. Kemuliaan Tuhan semakin besar dan nyata.
Tahta Tuhan sedang dibangun dengan korban-korban yang terbaik. Allah pun segera
bersiap diri. Ia tidak tahan lagi untuk tidak beranjak dari tahta surgawi-Nya
dan berdiam di tengah-tengah umatNya.

Saudaraku,
ketahuilah ini: saat Allah ditinggikan di atas segalanya, itu sama dengan
membangun tahta yang layak bagiNya. Saat Ia ditinggikan di atas segalanya dan
segala kemuliaan diberikan bagi Dia, kita mengundang Allah untuk datang dan
memerintah. Di atas puji-pujian dan kerinduan umatNya akan Dia, Ia akan hadir
dan memanifestasikan diriNya. Inilah kunci lawatan Tuhan. Inilah rahasia
kebangunan rohani. Sebelum semua kemuliaan serta kerinduan diberikan bagi Dia,
hadiratNya terhalang. Hanya hati yang merindukan Dia saja yang akan mendapat
perhatianNya. Seberapa besar kerinduan kita akan Dia, sejauh itulah Ia akan
menyatakan diriNya kepada kita. Seberapa haus kita akan pribadiNya, sedemikianlah
Ia akan melawat kita.

Jadi apa yang
menjadi batasan lawatanNya? Kerinduan kita. Kerinduan yang sedikit, lawatan sedikit.
Kerinduan besar, lawatan besar. Kerinduan Daud seorang menjadikannya hamba
Tuhan yang tiada taranya. Tetapi kerinduan Daud, Salomo, seluruh pengikut dan
rakyatnya mendatangkan manifestasi hadirat Tuhan yang begitu nyata.
Sekarang apa yang
menjadi penghalang kehadiranNya? Sesuatu, entah itu benda atau seseorang, yang
dikagumi dan diingini lebih dari Dia! Bait
Suci dimana Tuhan hadir dibangun dengan hati, pandangan, harapan, kekaguman,
kerinduan, dan kebanggaan yang sepenuhnya diarahkan pada Dia.
Itulah
rahasia lawatan yang dahsyat. Itulah rahasia revival. Mari satukan kerinduan dan hasrat. Kepada Dia dan hanya
Dia saja. Oh, betapa Dia rindu melawat
kota-kota dan bangsa kita.
Jadikan
kami serindu Engkau, ya Tuhan! Amin.


(Diambil dari warta Worship Center edisi 44– 31 Agustus 2001)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *