Perjalanan
Di dalam mimpi saya melihat seorang pria yang berjalan sendirian menyusuri sebuah jalan. Ketika matahari tenggelam di balik perbukitan, tampak muncul sebuah kota. Di dekat kota, musafir itu menyaksikan sejumlah besar gereja. Puncak bangunan dan salib-salib gereja tersebut menembus kaki langit. Langkah si musafir semakin cepat. Apakah tempat ini yang ditujunya? Ia melewati sebuah bangunan yang mengesankan bertuliskan kata-kata yang terbuat dari neon yang berkelap-kelip “Katedral Masa Depan”. Agak jauh dari situ terdapat sebuah stadion yang diterangi lampu sorot dan menyangga sebuah papan iklan yang menyatakan bahwa di sana terdapat lima puluh ribu orang yang menghadiri pertemuan pekabaran Injil selama tiga malam dalam seminggu. Di depan jalan juga terdapat kumpulan kapel “Perjanjian Baru” dan sinagoga orang Kristen Ibrani yang terlihat sederhana.
“Apakah ini Kota Allah?” saya mendengar musafir itu bertanya pada seorang wanita yang berada di bagian informasi pusat kota.
“Bukan, ini Kota Kristen,” jawabnya.
“Tapi kukira jalan ini menuju ke Kota Allah!” serunya dengan kekecewaan yang besar.
“Kami juga mengiranya demikian ketika kami tiba di sini,” jawab wanita itu dengan nada simpatik.
“Jalan ini berlanjut sampai ke atas gunung, kan?” tanyanya.
“ Saya benar-benar tidak tahu,” kata wanita itu dengan hampa.
Saya melihat pria itu pergi meninggalkannya dan dengan susah payah berjalan mendaki ke arah gunung di dalam kegelapan yang pekat. Ketika ia sampai di puncak, ia menatap ke dalam gelap; sepertinya benar-benar tidak ada satu pun yang dapat dilihat. Dengan rasa ngeri ia kembali melangkah menuruni gunung menuju ke Kota Kristen dan memesan sebuah kamar untuk menginap di hotel.
Pada subuh keesokan paginya, tanpa menyegarkan diri terlebih dulu pria itu kembali menyusuri jalan menuju ke gunung; di bawah terang sinar matahari ia baru mengetahui bahwa kehampaan yang dirasakannya pada malam sebelumnya ternyata karena di situ terdapat padang gurun – kering, panas dan sejauh mata memandang yang tampak hanya pasir yang bertebaran. Jalan tersebut kemudian menyempit menjadi sebuah jalan setapak yang menanjak menuju ke bukit pasir lalu menghilang. “Dapatkah jalan kecil ini memimpin ke Kota Allah?” ia bertanya-tanya di dalam hati. Tampaknya jalan itu sangat sunyi dan jarang dilalui.
Karena bimbang ia memperlambat langkahnya, kemudian ia kembali ke Kota Kristen dan makan siang di sebuah restoran Kristen. Di tengah alunan musik rohani, saya mendengar ia bertanya pada seorang pria yang duduk di meja sebelah, “Jalan setapak itu menuju ke gunung dimana padang gurun bermula, apakah jalan itu berakhir di kota Allah?”
“Jangan bodoh!” pria itu menjawab dengan segera. “Setiap orang yang mengambil jalan itu telah terhilang …tertelan oleh padang gurun! Jika engkau menginginkan Allah, banyak gereja yang bagus di kota ini. Pilihlah salah satu dan menetaplah.”
Setelah meninggalkan restoran, musafir itu tampak lelah dan bingung, ia menemukan sebuah tempat di bawah pohon lalu duduk. Seorang pria tua datang mendekatinya dan mulai memohon kepadanya dengan nada mendesak, “ Jika kau tinggal di Kota Kristen ini, keadaanmu akan semakin buruk. Kau harus pergi ke jalan setapak itu. Aku adalah bagian dari padang gurun yang kau lihat. Aku dikirim untuk mendorong dan mendesakmu. Kau akan berjalan bermil-mil jauhnya. Kau akan haus dan kepanasan; tetapi para malaikat akan berjalan bersamamu, dan kau akan menemukan mata air di sepanjang jalan. Pada akhir perjalananmu kau akan tiba di Kota Allah! Kau tidak pernah melihat keindahan seperti yang ada di dalam kota itu sebelumnya! Dan ketika kau tiba pintu gerbangnya akan dibuka bagimu karena kau telah dinanti-nantikan.”
“Yang kau katakan kedengarannya bagus,” sahut si musafir. “Tapi saya takut tak dapat melewati padang gurun itu. Mungkin lebih baik saya di Kota Kristen ini saja.”
Orang Tua itu tersenyum. “Kota Kristen adalah tempat bagi mereka yang menginginkan agama namun tak mau kehilangan kehidupan mereka. Padang gurun adalah tempat bagi mereka yang hatinya begitu haus akan Allah sehingga mereka bersedia terhilang di dalam Dia. Kawanku, ketika Petrus menarik perahunya ke darat, meninggalkan semua itu lalu mengikut Yesus, ia tertelan oleh padang gurun. Ketika Matius meninggalkan pekerjaan memungut pajak dan Paulus meninggalkan tugas keagamaannya, mereka juga meninggalkan kota yang seperti ini lalu mengikut Yesus sampai ke bukit pasir dan terhilang di dalam Allah. Karena itu janganlah takut. Banyak orang yang telah pergi sebelum engkau.”
Lalu saya melihat si musafir mengalihkan pandangannya dari mata orang tua yang tampak menyala itu ke Kota Kristen yang penuh dengan kesibukan. Ia melihat orang-orang sibuk berjalan ke sana ke mari dengan Alkitab dan tas kotak yang bersinar, mereka tampak seperti pria dan wanita yang mengetahui tujuan hidupnya. Tapi sudah jelas mereka tidak memiliki sesuatu yang dimiliki oleh orang tua yang memiliki mata bagaikan seorang nabi itu.
Di dalam mimpi saya membayangkan si musafir mempertimbangkan segala sesuatu di dalam pikirannya. “Jika aku pergi ke sana, bagaimana aku bisa yakin kalau aku akan terhilang di dalam Tuhan? Di Abad Pertengahan orang-orang Kristen mencoba menenggelamkan diri mereka di dalam Tuhan dengan cara menempatkan dunia di belakang lalu memasuki sebuah biara. Dan betapa kecewanya mereka ketika menemukan ternyata dunia masih ada di tempatnya semula! Dan orang-orang yang ada di Kota Kristen ini sedang bersiap-siap untuk pergi ke sebuah rimba atau sebuah perkampungan kumuh yang terabaikan, mungkin mereka sudah mulai mendekati apa yang dimaksud dengan terhilang di dalam Tuhan. Tapi ternyata, seseorang dapat bepergian sampai ke ujung bumi dan tidak kehilangan dirinya sendiri.
Si musafir kembali berpaling untuk melihat orang tua itu berjalan ke jalan setapak yang menyempit menuju ke tepi padang gurun. Tiba-tiba, ia melompat berdiri dan memutuskan untuk mengejar orang tua itu. Ketika ia berhasil mengejarnya, mereka tidak berbicara satu patah kata pun. Orang tua itu tiba-tiba berbelok ke kanan dan menuntunnya ke lereng lain yang lebih curam dan mereka terus berjalan menuju ke puncak yang diselimuti oleh awan yang berkilauan. Pendakian itu terasa amat sulit. Si musafir tampak pusing dan mulai sempoyongan. Orang tua itu berhenti dan menawarinya minum dari botol yang tergantung di pundaknya. Dengan nafas yang terengah-engah ia minum dengan tegukan yang besar. “Tidak ada air yang semanis ini,” katanya dengan perasaan lega. “Terima kasih.”
“Sekarang lihat ke sana.” Orang tua itu menunjuk sebuah pemandangan yang sama sekali tidak monoton dan sunyi seperti yang mereka lihat sebelumnya. Padang gurun di bawah kini tampak berwarna-warni dan bergradasi. Di kejauhan terlihat pendaran cahaya yang bergerak di permukaan kaki langit seperti sebuah benda hidup. “Itu adalah Kota Allah! Tapi sebelum kau sampai ke sana, kau harus melewati empat hutan belantara yang kau lihat itu. Tepat di bawah kita adalah Hutan Belantara Pengampunan.” Si musafir memperhatikan bayangan orang-orang yang tampak kecil dan suram yang membuat perjalanan mereka menuju ke kota itu menjadi lambat, terpisah satu sama lain dengan jarak yang berjauhan.
“Bagaimana mereka dapat mengatasi kesepian?” Tanya si musafir. “Bukankah lebih baik mereka berjalan bersama-sama?”
“Yah, sebenarnya mereka tidak benar-benar sendirian. Setiap mereka ditemani oleh pengampunan dari Allah. Mereka tertelan oleh padang gurun belas kasihan Tuhan Allah yang sangat besar. Sepanjang perjalanan Roh Kudus berkata kepada mereka, ‘Lihatlah, Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia!’ Mereka mengalami pemurnian di sepanjang perjalanan.”
Di tempat yang lebih jauh lagi tampak suatu area yang berwarna biru. “Apakah itu laut?” si musafir bertanya.
“Kelihatannya memang seperti air, tapi itu adalah lautan pasir. Itulah yang disebut Padang Belantara Penyembahan. Mari, lihatlah dengan teropong ini dan kau akan melihat orang-orang itu juga sedang berjalan ke sana. Perhatikan bagaimana di sini mereka mulai membentuk kelompok. Mereka mengalami sukacita pertama yang mereka dapatkan dari Kota – yaitu penyembahan. Mereka menyadari bahwa mereka diciptakan untuk menyembah Allah. Penyembahan menjadi kehidupan bagi mereka, suatu sumber bara api yang menyemangati apa pun yang ,mereka lakukan.”
“Tapi bukankah orang-orang juga melakukan penyembahan di Kota Kristen? Apa yang istimewa dengan hutan belantara itu?”
“Penyembahan (itu), yaitu penyembahan yang sejati, dapat dimulai hanya ketika hidup kita telah kita tinggalkan sama sekali di padang gurunnya hadirat Allah. Di sana hati kita mulai menyembah Bapa di dalam roh dan kebenaran.”
Lalu kami memandang melewati padang belantara yang berwarna biru, di sana tampak padang gurun menanjak yang berwarna merah dan pegunungan yang berwarna merah menyala, orang tua itu menjelaskan kepada musafir bahwa di antara pegunungan yang kemerahan itu terdapat Hutan Belantara Doa.
“Untuk dapat melewati padang belantara itu para pejalan kaki tahu bahwa mereka harus menghindari setiap gangguan dan berkonsentrasi untuk berdoa. Dengan cepat mereka belajar bahwa tidak ada cara yang mungkin bagi mereka untuk selamat kecuali terus menerus berseru kepada Allah. Ketika mereka sampai di bagian tertinggi dari padang belantara, doa adalah keinginan mereka yang utama dan sumber sukacita mereka yang terbesar. Awalnya Kota Allah seperti berada setelah Padang Belantara Doa. Tapi ada satu lagi padang belantara yang tersembunyi di balik pegunungan yang harus kau lewati sebelum kau mencapai tujuan akhirmu. Tempat itu bernama Tuaian. Kau akan mengenalnya bila kau tiba di sana. Dan setelah Tuaian barulah Kota Allah. Namamu dikenal di sana. Kedatanganmu sangat dinanti-nantikan. Ayo, mari kita mulai perjalanan kita.”
“Sore hari kelihatannya bukan waktu yang baik untuk memulai sebuah perjalanan seperti ini,” katanya.
“Jangan kembali ke Kota Kristen,” desak orang tua itu sambil menatapnya dengan sungguh-sungguh.
“Meski pada jam seperti ini? Di sana aku dapat tidur dengan nyenyak dan bangun pagi-pagi untuk mengerjakan sesuatu,” lanjut si musafir dengan nada berharap.
“Tapi tempat peristirahatanmu ada di sana,” desak orang tua itu. “Berjalanlah sekarang ke padang gurun. Roh Kudus akan menolongmu. Jangan takut bila harus terhilang di dalam Allah. Kau takkan menemukan hidupmu di tempat lain.”
Padang Belantara Pengampunan
Orang tua itu telah meninggalkan si musafir sendirian dan sekarang si musafir berdiri di tepi padang gurun sementara hari mulai gelap. Lampu-lampu Kota Kristen berkelap-kelip di belakangnya. Saya dapat membayangkan bagaimana ia berpikir tentang kehangatan suasana perbincangan teman-temannya di tengah makan malam yang hangat kemudian pergi tidur di tempat tidur yang nyaman. Tetapi kemudian ekspresi wajahnya menjadi tegas dan ia berkata, “Ini pasti jalan yang harus kuambil. Aku akan menemukan hidupku dengan cara melepaskannya, itu adalah sebuah kepastian. Tapi bagaimana aku TAHU kalau aku mengambil jalan menuju ke padang gurun ini maka aku pasti terhilang di dalam Allah dan bukan hanya sekedar terhilang? Aku ingat ada banyak orang yang memilih sebuah jalan yang sunyi dan jalan tersebut bukan menuntun mereka ke Kota Allah melainkan membawa mereka kepada pikiran-pikiran yang tidak nyata dan pengalaman-pengalaman yang palsu sehingga pikiran dan hidup mereka menjadi hancur. Tentu saja bahaya menetap di Kota Kristen dan memiliki kehidupan yang nyaman harus dibandingkan dengan kemungkinan akan kehilangan semua itu di padang belantara khayalan rohani. Saya yakin kegelapan yang terbentang di depan bukan hanya berisi jalan menuju ke Kota Allah tapi juga jebakan-jebakan menuju neraka yang jumlahnya tak terhitung yang dapat membuat seseorang terhilang di dalam kesia-siaan. Bagaimana aku tahu bahwa aku sudah memilih jalan yang benar?”
Tadinya di dalam mimpi itu saya mengira telah melihat sebuah bintang yang tergantung rendah di kaki langit, tapi ternyata benda itu adalah sebuah salib yang tergantung tepat di bagian atas depan dari jalan yang dilalui oleh si musafir. Ia memandang ke atas dan memperhatikan salib tersebut, kemudian wajahnya menyiratkan pengertian. Ia berbisik perlahan, “Pengampunan.” Dan dengan sangat khusuk ia mengutip firman Tuhan: “Itu jugalah sebabnya Yesus telah menderita di luar pintu gerbang untuk menguduskan umat-Nya dengan darah-Nya sendiri. Karena itu marilah kita pergi kepada-Nya di luar perkemahan dan menanggung kehinaan-Nya. Sebab di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap; kita mencari kota yang akan datang…’ Ya, aku akan pergi!” kata si musafir itu dengan gembira, lalu ia mulai mengambil langkah pertamanya menuju ke padang gurun.
Ketika fajar menyingsing ia tak melihat apa pun selain pasir, langit dan sebuah jalan yang dapat dibedakan dari jalan lain oleh salib yang tergantung di tempat pertemuan ujung jalan dengan kaki langit. Ketika hari semakin siang tampak si musafir mulai kelelahan, haus dan kepanasan. Ketika ia merasa tidak dapat melangkah lagi, ada seorang wanita asing yang muncul di sisinya.
“Setelah bukit itu kau akan menemukan sebuah mata air,” kata wanita itu. “Teruslah berjalan, kau hampir mencapainya,” ia memberi semangat pada musafir itu.
Tak lama kemudian si musafir tiba di mata air dan mulai minum serta makan makanan yang disediakan oleh wanita asing yang sangat menolongnya itu.”
“Ini adalah Padang Belantara Pengampunan,” wanita itu menjelaskan. “Orang-orang sering mengharapkan pengampunan Allah itu seperti sebuah taman yang indah dengan air mancur dan sungai-sungai serta rumput yang hijau. Mereka tidak dapat mengerti mengapa pengampunan-Nya harus berupa padang gurun. Namun kita harus belajar bahwa pengampunan Allah adalah segalanya – segalanya! Dan hal ini hanya mungkin terjadi di padang gurun, dimana orang Kristen datang untuk tidak melihat apa pun, tidak menghargai apa pun, tidak berharap pada apa pun selain salib Yesus.” Wanita itu mengutip beberapa ayat dari Galatia untuk si musafir:
Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia. Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya. Dan semua orang, yang memberi dirinya dipimpin oleh patokan ini, turunlah kiranya damai sejahtera dan rahmat atas mereka dan atas Israel milik Allah… Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku. Aku tidak menolak kasih karunia Allah. Sebab sekiranya ada kebenaran oleh hukum Taurat, maka sia-sialah kematian Kristus.
“Apakah menurutmu Paulus menjalani Padang Belantaranya?” Tanya si musafir.
“Ya, ia memang melakukannya. Selama bertahun-tahun Paulus bekerja keras di Kota Agama untuk menjadi orang yang religious. Tapi ia tetap tak mendapatkan kedamaian di rohnya. Lalu Paulus bertemu Yesus; dan dari awal Yesus mempunyai satu arti bagi Paulus: pengampunan. Ia sangat diberkati dengan hal itu. Sejak saat itu pengampunan dari kayu salib merupakan pokok utama kehidupannya. Tapi pengalaman pertama Paulus yang sejati akan Kerajaan Allah di dalam hidupnya berada persis di hutan belantara ini.”
“Jadi aku berjalan di tempat rasul Paulus pernah berjalan.” Suara si musafir terdengar penuh kekaguman.
“Ingatkah kau ketika Petrus menebarkan jala atas perintah Yesus dan kemudian mendapatkan banyak ikan? Respon pertamanya ketika melihat hal itu adalah: ‘Tuhan pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa!’ Yesus menjawab, ‘Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia.’ Dengan kata lain Yesus berkata, ‘Aku akan menyelesaikan dosamu.’ Dan ketika mereka membawa perahu mereka ke darat, mereka meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Yesus – mengikuti-Nya ke tempat ini, ke Padang Belantara Pengampunan, untuk mengejar sebuah salib. Setelah Yesus mati bagi dosa Petrus dan bangkit untuk membenarkannya serta berjanji akan memenuhi Petrus dengan Roh Kudus, Ia berkata kepada pria yang telah menyangkalnya sampai tiga kali ini, ‘Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihiku?… gembalakanlah domba-domba-Ku.’ Dan dengan pertanyaan dan perintah yang diulang sampai tiga kali ini, hidup Petrus dipulihkan karena pengampunan yang datang dari Tuhannya.”
“Selama bertahun-tahun,” kata si musafir kepada wanita itu, “Aku telah berusaha mengerti bukan hanya sekedar teori dan doktrin pengampunan seperti yang diajarkan di Kota Kristen, aku melakukannya supaya aku tahu mengenai pengampunan itu sendiri. Aku ingin ditenggelamkan, dibaptis, TERHILANG di dalamnya. Aku rindu Yesus berbicara kepadaku secara pribadi, ‘Bergembiralah, saudara-Ku; dosamu sudah diampuni.’ Aku ingin darah yang berasal dari kayu salib itu mengalir ke dalam hatiku dan menyucikannya.”
“Engkau telah datang ke tempat yang tepat. Sebelum kau mencapai bagian lain dari Padang Belantara ini, kau akan mengalami pembebasan dari rasa bersalah yang besar, yang pada kenyataannya masih membebanimu seperti batu. Kau akan mulai berjalan di hadapan Allah tanpa rasa malu. Seperti ketika sekali waktu kau terobsesi dengan kebutuhan akan penghargaan diri, maka tak lama lagi kau akan terobsesi dengan pengampunan Allah.”
“Terobsesi dengan pengampunan Allah?”
“Kau akan sangat terobsesi dengan rahmat Allah sehingga, untuk pertama kalinya di dalam hidupmu, kau akan terbebas dari pendapat orang lain tentang dirimu.”
“Ha! Itu bukan untukku.” Ia menjawab dengan segera.
“Wanita yang membasuh kaki Yesus dengan air matanya terobsesi dengan pengampunan-Nya sehingga ia tidak menghiraukan ejekan dan pendapat orang lain tentang dirinya. Atau orang kusta yang disembuhkan – ia tersungkur dengan sukacita di kaki Yesus dan ia bersyukur bukan hanya karena kesembuhan atas seluruh tubuhnya tetapi terlebih lagi karena ia telah menerima kesembuhan batin dari pengampunan. Ketika Zakheus memanjat sebuah pohon untuk melihat Yesus, ia sedang menyaksikan pengampunannya sendiri berjalan menghampirinya. Ia begitu terobsesi dengan pengampunan yang datang ke dalam hidupnya pada hari itu sehingga belenggu ketamakan di hatinya dihancurkan. Kau telah tiba di tempat di mana semuanya itu akan terjadi atasmu.”
Musafir itu melanjutkan perjalanannya, wanita misterius yang mengikutinya berjalan dalam keheningan di sampingnya selama kurang lebih satu atau dua jam dan tiba-tiba menghilang.
“Aku merasa sangat bersukacita!” seru si musafir dengan gembira. “Pasti seperti inilah yang dirasakan murid-murid ketika mereka kembali ke Yerusalem setelah kenaikan Yesus ke surga.”
Di bawah pantulan sinar, si musafir melihat bayangan seorang wanita yang berjalan perlahan ke arahnya menuruni puncak bukit pasir yang ada di sebelahnya. Musafir itu seperti mengenalnya. Dari ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh si musafir saya menyimpulkan bahwa wanita tersebut pernah berbuat salah terhadapnya. Mata wanita itu menatap si musafir sambil terus mendekatinya.
“Maukah kau memaafkan saya?” tanyanya.
Si musafir terdiam. Wanita itu semakin mendekat, dan bertanya untuk yang kedua kalinya, “Maukah kau memaafkan aku?” Sekarang mereka telah berhadapan muka dan untuk ketiga kalinya wanita itu bertanya, “Maukah kau memaafkan aku?” Wanita misterius yang menemani si musafir kembali muncul di sampingnya, ia memberikan instruksi dengan suara pelan, “Padang Belantara Pengampunan ini bukan hanya tempat untuk menerima pengampunan, tapi juga untuk memberi pengampunan. Wanita ini adalah salah seorang yang berasal dari masa lalumu yang belum benar-benar kau ampuni. Kesabaran ilahi yang memenuhi dirimu setiap hari sekarang sedang ditantang oleh kepahitan yang terkubur di dalam jiwamu selama beberapa tahun ini. Kau harus membuat sebuah pilihan. Pengampunan yang hampa, dangkal dan hanya terucap di bibir yang kau nyatakan di masa lalumu bahkan tak sanggup membuatmu bersikap sopan terhadap wanita ini. Namun pengampunan Allah yang telah mengalir dan menjadi sebuah obsesi sekarang dapat muncul ke luar bila kau mengizinkannya.”
Si musafir meraih tangan wanita itu, menatap ke dalam matanya dan berkata, “Tentu saja aku mengampunimu!”
Wanita itu menangis. Dan setelah mengucapkan kata-kata, “Terima kasih,” ia pun menghilang.
Lalu pria yang menyebut si musafir sebagai orang yang bodoh saat mereka berada di sebuah restoran di Kota Kristen, datang berlari kepadanya dengan nafas yang terengah-engah. Ia menyeka wajahnya dengan sebuah sapu tangannya, dan mulai memohon pengampunan.
“Tentu, tentu,” jawab si musafir dengan sungguh-sungguh. “Itu bukan apa-apa. Jangan terlalu memikirkannya.”
“Tolong jangan anggap enteng persoalan ini. Aku BUTUH pengampunanmu. Maukah kau BENAR-BENAR memaafkan aku, dari dasar hatimu yang paling dalam?”
“Tapi aku sudah mengampunimu,” jawab si musafir.
Wanita yang menyertai si musafir memberikan penjelasan: “Ia membutuhkan PENGAMPUNANMU. Bukan sekedar basa-basi, tapi pengampunanmu yang tulus dan sejati. Ia membutuhkan KASIH mu.” “Sahabat, kau sudah dimaafkan,” si musafir berkata dengan sungguh-sungguh kepada pria tersebut dengan nada suara yang menunjukkan rasa hormat.
Dengan kelegaan yang terpancar pria itu berkata perlahan, “Terima kasih!” kemudian ia menghilang ke padang gurun. Wanita yang menyertai si musafir mengingatkannya akan ayat-ayat yang terdapat di dalam Matius 18:
Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” (Bersambung)
Baca juga artikel selanjutnya:
LUPUT DARI DUNIA ORANG KRISTEN (Bagian 2)