Padang Belantara Penyembahan
“Air!” Siapa yang akan berpikir kalau di tengah padang gurun ini ada sebuah laut!” seru si musafir pada dirinya sendiri dengan gembira saat saya melihatnya di dalam mimpi saya yang berikutnya. Dari sisi sebuah bukit pasir yang besar ia memandang ke bawah melihat hamparan warna biru yang terbentang sampai ke kaki langit. “Tapi bukan, itu bukan air,” tiba-tiba ia teringat. “Orang tua di pegunungan itu menunjuk tempat ini sebagai permulaan padang belantara yang kedua.” Ketika ia menuruni bukit sampai ke tepinya, laut pasir yang asing itu ternyata tidak serata seperti yang terlihat dari atas bukit. Di situ terdapat beberapa gelombang-gelombang biru yang memanjang sampai ke kejauhan seperti laut yang membeku. “Mungkin tempat ini ada hubungannya dengan ‘lautan kaca’ yang berada di hadapan takhta Allah. Mungkin gelombang-gelombang itu akan semakin rata begitu aku mendekati Kota Allah.”
Tiba-tiba muncul seseorang dengan kecantikan yang tak wajar, ia berdiri hanya beberapa kaki dari si musafir. “Salam,” kata makhluk itu. “Jalan yang kau lalui sangat panjang. Banyak orang yang binasa karena mereka mencoba melaluinya dengan berjalan kaki. Aku menawarkan padamu sebuah cara yang lebih baik.”
“Sebuah cara yang lebih baik?” Tanya si musafir.
“Ya, aku memiliki kuasa untuk menyeberangi padang belantara ini dalam waktu sekejap. Dan bila kau mengizinkan, aku dapat membawamu bersamaku. Aku dapat langsung membawamu ke seberang dengan selamat.”
“Permintaanku adalah sebuah bukti tindakan yang nyata. Jika kau bersedia berlutut menyembahku, maka aku akan mengangkatmu menyeberangi padang belantara ini dengan menggunakan kecepatan cahaya.”
“Tapi itu berarti aku harus menyembahmu, kan?”
“Mengapa kau menganggap hal itu aneh? Banyak orang melakukannya setiap hari. Kau sendiri telah melakukannya jauh sebelum kau datang ke padang belantara ini. Warga Kota Kristen sering menyembahku di sana. Beberapa dari mereka menyembah uang – melayaninya seperti budak. Mata mereka bersinar ketika memikirkan uang. Tapi cinta akan uang hanyalah merupakan sebuah simbol dari keberadaanku.”
“Kau tak membuatku tertarik dengan pembicaraanmu soal uang. Uang tak pernah menjadi masalah dalam hidupku,” jawab si musafir dengan ketus.
“Bagaimana dengan asmara? Hal apakah yang lebih indah atau lebih murni selain dari jatuh cinta? Tapi bila jatuh cinta menjadi sebuah tujuan dan mendominasi pikiran seseorang, maka di dalamnya terkandung penyembahan berhala. Dan di balik ‘salammu’ itulah terdapat berhalanya,” ia berkata dengan nada kemenangan. “Tetapi kepuasan penyembahan pribadi tertinggi yang kudapatkan berasal dari pria dan wanita yang mengejar kesuksesan agamawi.”
“Nah,” si musafir memotong bualannya, “Jika aku harus menyembahmu untuk dapat menukarnya dengan sebuah perjalanan yang cepat melintasi padang belantara ini, maka aku lebih suka jalan kaki saja, meskipun aku harus berjalan sampai selamanya!”
Ketika si musafir selesai mengucapkan kata-katanya, makhluk yang mempesona itu menghilang di dalam kekalahan.
Tak lama kemudian saya mendengar si musafir berbicara lagi kepada dirinya sendiri: “Di Kota Kristen bukan suatu yang mustahil untuk menyembah Allah hanya sampai taraf permukaan saja, sementara banyak perkara yang mengobsesi pikiran siang dan malam pada ternyata adalah wujud dari penyembahan berhala. Sekarang setelah aku meninggalkan kota itu aku hanya dapat selamat hanya jika aku terhilang di dalam penyembahan kepada Allah. Allah telah berkata di dalam Yesaya 43:
Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya? Ya, Aku hendak membuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara. Binatang hutan akan memuliakan Aku, serigala dan burung unta, sebab Aku telah membuat air memancar di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara, untuk memberi minum umat pilihan-Ku; umat yang telah Kubentuk bagi-Ku akan memberitakan kemasyhuran-Ku.”
“Mungkin penyembahan seperti itu hanya dapat terbentuk di padang gurun, dengan lingkungannya yang kering dan panasnya yang menyakitkan, sinar matahari yang menghanguskan dan kesunyian yang menakutkan.”
Perenungan ini tiba-tiba diusik oleh suara musik yang tak terlukiskan yang semakin lama kedengaran semakin kuat mengumandangkan sebuah lagu yang indah. Suara-suara sepertinya ada di segala tempat. Tapi tak seorang pun yang terlihat. Dari puncak sebuah gelombang biru, si musafir melihat tujuh orang sedang berdiri di sebuah lembah dengan tangan yang terangkat ke surga, mereka memuji-muji Allah dengan mulut mereka. Tapi lagu yang terdengar memiliki jutaan kesempurnaan yang terkandung di dalam sebuah lagu! Lalu si musafir membuka mulutnya dan dari dalamnya mengalir dengan deras luapan pujian kepada Allah. Di tengah musik yang sedang mengalun ini, wanita misterius yang menyertainya kembali muncul. Dengan sukacita yang meluap si musafir berkata kepadanya, “Apakah kau memperhatikan bagaimana tujuh penyembah itu sungguh-sungguh dikelilingi oleh banyak sekali makhluk mengagumkan yang memiliki suara yang berpadu dengan suara mereka? Aku merasa, entah mengapa, ketika aku berada di padang gurun ini sesungguhnya aku telah memasuki pinggiran Kota Allah.”
Wanita itu meresponinya dengan sebuah bagian dari kitab Ibrani:
Tetapi kamu sudah datang ke Bukit Sion, ke kota Allah yang hidup, Yerusalem sorgawi dan kepada beribu-ribu malaikat, suatu kumpulan yang meriah, dan kepada jemaat anak-anak sulung, yang namanya terdaftar di sorga, dan kepada Allah, yang menghakimi semua orang, dan kepada roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna, dan kepada Yesus, Pengantara perjanjian baru, dan kepada darah pemercikan, yang berbicara lebih kuat dari pada darah Habel. Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut. Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.
Setelah beberapa waktu lagu ini berhenti. Segala sesuatu menjadi hening. Tak seorang pun yang terlihat selain tujuh penyembah yang memberikan kedamaian Allah kepada si musafir dan seluruh bukit pasir, kemudian mereka meninggalkan si musafir dengan wanita yang menyertainya. Wanita itu mengajaknya ke sebuah sungai yang mengalir dan kembali memberinya makan.
“Jadi ini adalah Padang Belantara penyembahan,” seru si musafir dengan gembira, ia masih merasa kagum dengan apa yang barusan dialaminya.
“Ya, di sini orang Kristen belajar menyembah Allah Bapa di dalam roh dan kebenaran. Kau dapat menyebutnya sebagai halaman luar dari Kota Allah; seperti yang kau lihat, penduduk Kota ini ada di sekelilingmu. Di Padang Belantara Pengampunan kau mengalami bagaimana kuasa darah Yesus membersihkan hatimu yang terdalam. Di sini, di Padang Belantara Penyembahan kau menerima Roh Kudus-Nya. Allah membaptismu dengan kuasa dari tempat tinggi agar kau menyembah-Nya dengan penyembahan sejati di tempat yang lebih jauh dari padang belantara ini. Yoel 2 mengatakan kepada kita:
Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia, maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat; orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi, teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan. Juga ke atas hamba-hambamu laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-Ku pada hari-hari itu.
Aku tak pernah mengalami penyembahan seperti yang kualami di tempat ini, tapi apakah ini akan bertahan lama?” Tanya si musafir. “Apakah aku masih mampu menyembah Allah yang hidup dengan kasih karunia yang seperti ini di tanah yang lebih jauh dari padang belantara ini?”
“Perubahan-perubahan akan terjadi di dalam dirimu, dan bila kau membiarkannya terjadi, maka hal itu akan bertahan selamanya. Hatimu sedang dibuka oleh pencurahan roh. Mulutmu sedang dibuka untuk berbicara seperti yang Allah ucapkan: ‘Anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat.’ Dan matamu sedang dibuka untuk melihat mimpi-mimpi dan penglihatan-penglihatan. Kau sedang menerima mata yang dapat melihat Allah.”
“Tapi bukankah hal yang sama juga terjadi di Kota Kristen? Mereka mengatakan padaku bahwa hal-hal ini juga berlangsung di Gereja Apostolik Masa Depan setiap hari minggu malam.”
“Saudaraku, perbedaannya adalah, di sini kau tidak sekedar mengecap penyembahan atau mencoba-coba melakukan penyembahan. Di padang belantara ini kau terhilang di dalam penyembahan kepada Allah sehingga segala pujian dan pengucapan syukurmu kau berikan hanya bagi Dia. Segala sesuatu yang kau perbuat kau lakukan untuk Dia.”
“Tapi bukankah fanatisme itu mengandung bahaya?”
“Kefanatikan menyembah aturan-aturan, gagasan-gagasan, kepribadian manusia dan bahkan setan, tapi ia tak pernah menyembah Allah. Melakukan penyembahan kepada Allah adalah pintu masuk, bukan untuk menuju ke fanatisme, tapi kepada kebebasan yang belum pernah kau kenal. Ketika kau terhilang di dalam penyembahan kepada Allah, kau tak lagi menyembah perkara-perkara seperti uang, asmara atau kesuksesan. Kau telah menemukan suatu obyek penyembahan yang benar, dan ketika kau menyembah-Nya kau akan merasa dilengkapi.”
Setelah mengucapkan kata-kata ini wanita yang menyertainya itu pergi. Sekali lagi si musafir tinggal seorang diri di laut yang berpasir biru, terhilang di dalam penyembahan kepada Allah.
Padang Belantara Doa
Sekarang laut pasir itu berbelok ke ujung-ujung bukit yang terletak di jajaran pegunungan berapi. Di situ tidak terdapat tumbuh-tumbuhan, lingkungan sekitarnya kering dan dipenuhi dengan bebatuan yang keras dan terbakar. Tulang-tulang yang berserakan di pasir di dekat bebatuan yang berfungsi sebagai perintang merupakan saksi bisu dari bahaya yang terdapat di daerah yang terpencil ini. Saat sedang berjalan si musafir mengarahkan pandangannya kepada bintang yang berbentuk salib dan berkata kepada dirinya sendiri:
“Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya. Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya.”
Si musafir mendengar suara di kejauhan, lalu ia berjalan menyusuri jalan kecil di kaki gunung yang ada di depannya. Tiba-tiba jalan kecil itu berbelok ke sebuah lekukan gunung. Ketika ia memasukinya, ia mendengar sebuah suara yang keras, bergaung dan bergema sehingga kata-kata yang diucapkan tidak terdengar dengan jelas. Ia terus masuk lebih dalam ke jalan kecil yang berbatu-batu ini, dan ia berjalan mendekati sebuah besi tempa besar yang berbentuk melengkung di mana di bawahnya seorang pria sedang berpidato di hadapan suatu kumpulan pria dan wanita.
“Inilah jalannya, percayalah padaku,” kata seorang pria dengan nada memohon dan dengan suara yang sekarang terdengar jelas. “Pintu sempit di sebelah kiriku ini sangat kaku dan akan sulit digerakkan. Mana ada orang yang mempunyai akal sehat mau menempuh jalan yang suram itu, sementara di sini ada jalan rata dan beraspal yang sudah siap dibuka untuk dilalui? Berjalanlah melalui pintu ini dan kau akan keluar dari padang belantara sebelum hari menjelang malam. Makanan yang enak dan tempat tidur yang bersih sudah menantimu. Ada beberapa pertemuan doa yang diselenggarakan di setiap tempat peristirahatan yang akan kau lewati setiap satu jam perjalanan.”
Tanpa ragu-ragu si musafir melewati lengkungan besi tempa dan berjalan maju menuruni jalan. Orang-orang lain mengikutinya. Rute yang ditempuhnya sekarang adalah jalan yang halus dan menyenangkan, jauh berbeda dengan perjalanan sulit yang dilaluinya di pasir biru. Sebuah rambu tampak menginformasikan tempat-tempat perhentian untuk beristirahat setiap satu jam sekali yang menyediakan acara pertemuan doa dan santap siang.
Pada tempat perhentian pertama si musafir berbicara dengan seorang kepala pelayan wanita: “Aku sudah berjalan cukup jauh. Tolong katakan kepadaku ke mana jalan ini akan membawa kami.”
Wanita itu tersenyum dan menjawab, “Kau akan tiba di pemondokan yang menyenangkan dan kau akan diurus dengan baik. Perjalananmu akan berakhir saat matahari terbenam.”
Si musafir kembali berjalan, ia kelihatan semakin bingung. Setelah ia menempuh perjalanan yang indah melewati bebatuan dan pepohonan, tak lama kemudian hari pun mulai malam, sekarang ia menemukan dirinya berdiri di sisi sebuah bukit, memandang ke bawah dan melihat sebuah kota.
“Selamat datang!” seru seorang pria yang berdiri di lengkungan besi tempa yang sebelumnya telah dilaluinya.
“Terima kasih,” jawab si musafir. “Tapi di mana aku berada?”
“Mengapa, ini kan Kota Kristen!”
Tanpa berkata apa-apa lagi si musafir berbalik dan berlari kembali ke tempat semula di mana ia berada. Ketika Kota Kristen itu sudah tak terlihat lagi, ia berhenti berlari dan mulai berjalan tetapi ia tak berhenti berjalan sampai tiba di lengkungan lain yang merupakan ujung jalan yang keliru diambilnya. Ia berteriak, “Aku hanya mempunyai satu kerinduan: menemukan pintu yang sempit itu dan memasukinya sebelum aku dapat beristirahat. Bagaimana aku bisa demikian buta? Tentu saja pintu yang lebar itu menuju ke Kota Kristen, tempat di mana seseorang dapat memperoleh kemudahan – tidak perlu menyangkal dirinya, mengambil resiko, menderita rasa sakit atau kekurangan waktu tidur,” tambahnya dengan sengit.
Akhirnya si musafir menemukan pintu tua yang sudah berkarat itu. Pintu itu sangat sempit sehingga hampir-hampir ia tak dapat melewatinya, lagipula pintu itu nyaris tak terlihat karena tertutup oleh tumbuh-tumbuhan merambat dan rumput liar.
Saat fajar si musafir masih berjalan di jalan yang sempit itu sambil berusaha melewati batu-batu yang berwarna merah. Di udara terdengar sebuah dengungan seperti angin yang bertiup di antara pepohonan, tetapi di situ tidak ada angin maupun pohon. Suara dengungan terdengar semakin kuat dan ternyata itu adalah suara nyanyian mazmur yang dilagukan oleh banyak suara. Sekarang si musafir melihat orang-orang yang berjalan di depannya. Ia telah menjadi bagian sebuah prosesi dari orang-orang yang berjalan menuju ke Kota Allah. Sambil berjalan, masing-masing dari mereka tampak serius berbicara dengan seseorang yang tidak terlihat. Beberapa dari mereka menangis, dan beberapa tampak sangat gembira. Beberapa ada yang menyebutkan nama-nama orang dan berdoa supaya hal yang baik terjadi atas orang-orang itu. Beberapa meminta bantuan kepada orang-orang yang berjalan di depan atau di belakang mereka, tapi perhatian utama mereka tertuju kepada pendengar yang tidak kelihatan.
Wanita misterius yang menyertai si musafir muncul kembali dan berkata kepadanya. “Di Padang Belantara Doa ini kau akan melihat perbedaan yang sangat kontras dengan apa yang terjadi di Kota Kristen. Di sana, mereka memang melakukan pertemuan doa dan orang-orang berdoa dahulu sebelum tidur. Ketika hidup bertambah sulit, doa mereka semakin hebat sampai masa krisis berlalu. Namun di Padang Belantara Doa, doa menjadi sebuah gaya hidup seseorang – sumber dari seluruh keberadaan seseorang. Waktunya telah tiba bagiMU untuk terhilang di dalam sebuah kehidupan doa. Renungkanlah bagian firman Tuhan dari Injil lukas ini,” tambahnya seraya menyerahkan selembar kertas yang di dalamnya tertulis:
Ketika seluruh orang banyak itu telah dibaptis dan ketika Yesus juga dibaptis dan sedang BERDOA, terbukalah langit dan turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atas-Nya. Dan terdengarlah suara dari langit: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” (Luk. 3:21-22).
Tetapi kabar tentang Yesus makin jauh tersiar dan datanglah orang banyak berbondong-bondong kepada-Nya untuk mendengar Dia dan untuk disembuhkan dari penyakit mereka. Akan tetapi Ia mengundurkan diri ke tempat-tempat yang sunyi dan BERDOA. (Luk. 5:15-16).
Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk BERDOA dan semalam-malaman Ia BERDOA KEPADA ALLAH. Ketika hari siang, Ia memanggil murid-murid-Nya kepada-Nya, lalu memilih dari antara mereka dua belas orang, yang disebut-Nya rasul… (Luk. 6:12-13).
Kira-kira delapan hari sesudah segala pengajaran itu, Yesus membawa Petrus, Yohanes dan Yakobus, lalu naik ke atas gunung untuk BERDOA. Ketika Ia sedang BERDOA, rupa wajah-Nya berubah dan pakaian-Nya menjadi putih berkilau-kilauan. (Luk. 9:28-29)
Pada suatu kali Yesus sedang BERDOA di salah satu tempat. Ketika Ia berhenti BERDOA, berkatalah seorang dari murid-murid-Nya kepada-Nya: “Tuhan, ajarlah kami BERDOA, sama seperti yang diajarkan Yohanes kepada murid-muridnya.” (Luk. 11:1)
Lalu pergilah Yesus ke luar kota dan sebagaimana biasa Ia menuju Bukit Zaitun. Murid-murid-Nya juga mengikuti Dia. Setelah tiba di tempat itu Ia berkata kepada mereka: “BERDOALAH supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan.” Kemudian Ia menjauhkan diri dari mereka kira-kira sepelempar batu jaraknya, lalu Ia berlutut dan BERDOA… (Luk. 22:39-41).
Ketika mereka sampai di tempat yang bernama Tengkorak, mereka menyalibkan Yesus di situ dan juga kedua orang penjahat itu, yang seorang di sebelah kanan-Nya dan yang lain di sebelah kiri-Nya. Yesus berkata: “YA BAPA, AMPUNILAH MEREKA, SEBAB MEREKA TIDAK TAHU APA YANG MEREKA PERBUAT.” (Luk. 23:33-34).
“Kehidupan doa adalah sesuatu yang kita kerjakan di dalam kesendirian, namun hal itu membawa kita ke dalam persekutuan dengan Allah dan dengan manusia, yang tak dapat diberikan oleh hal-hal lainnya,” wanita yang menyertai si musafir berkata setelah ia selesai membaca. “Berdoa adalah langkah kepada Allah, datang ke pintu Bapa untuk meminta roti supaya kau dapat memberikannya kepada saudaramu yang membutuhkan. Ketika kau mengetuk dan terus mengetuk, pintu itu selalu terbuka. Selalu. Setelah kau bersekutu dengan Allah maka kau akan memiliki sesuatu yang dapat kau bagikan dengan orang lain. Dan ketika kau membagikan apa yang Allah berikan untukmu kepada orang lain, maka kau memiliki persekutuan dengan mereka. Setiap orang akan memiliki persekutuan ini meskipun ia seorang yang pemalu dan kikuk. Kehidupan doa akan membebaskan seseorang dari rasa takut akan pendapat orang lain terhadap dirinya dan rasa takut akan kesalahan besar yang mungkin dilakukan oleh dirinya sendiri.”
“Tapi bila kita ingin belajar berdoa haruskah kita melalui gunung yang mengerikan, jurang-jurang dan bahaya yang tak ada habis-habisnya ini?” Tanya si musafir.
“Nah, dahulu kau berseru kepada Allah hanya pada saat-saat genting. Di sini kau akan belajar melihat hidupmu sebagai krisis yang berkelanjutan dan hal itu membuatmu berseru kepada Allah siang dan malam. ‘Tidakkah Allah membela orang-orang pilihan-Nya yang berseru kepada-Nya siang dan malam?’ Para pendoa membuat penglihatan kita akan apa yang terjadi di dunia menjadi semakin jelas – betapa kekacauan bangsa-bangsa semakin mendekati puncaknya – semakin kita mengerti bahwa satu-satunya cara untuk memahami kehidupan yaitu dengan datang mendekat kepada Allah Bapa di dalam doa, berseru pada-Nya siang dan malam. Kita berdoa tanpa henti karena krisis kehidupan di dunia tidak pernah berakhir.”
“Tapi mengapa semua ini harus sedemikian sulit? Bagiku, mendaki pegunungan ini sepertinya merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan perjalanan.”
“Karena doa adalah tugas utama kita. Doa melibatkan pikiran, konsentrasi, kehendak yang aktif dan kekuatan terbaik yang dimiliki seseorang untuk berdoa bagi kekudusan nama Allah, kedatangan kerajaan Allah, berdoa bagi para pekerja di ladang tuaian, atau berdoa untuk orang-orang tertentu dan kebutuhan mereka. Kau baru saja mulai menggores permukaan dari sesuatu yang mengagumkan yang perlu diselesaikan supaya doamu dapat terjawab, itu pula bila kau terus melakukannya.”
“Sulit sekali untuk terus melakukannya! Aku mulai merasa letih.”
“Itu karena doamu mulai terlibat di dalam Pertempuran yang Sesungguhnya. Doa adalah tempat di mana kita membalas kejahatan dengan kebaikan. Di pegunungan ini kau akan belajar berdoa untuk musuh-musuhmu. Gaya hidup membalas yang jahat dengan yang baik dimulai dengan cara meminta hal yang baik terjadi atas mereka yang berbuat jahat kepada kita.”
Jalan sempit itu menuntun ke sebuah tempat penjagaan di mana si musafir dan wanita yang menyertainya beristirahat untuk makan. Setelah itu mereka berjalan ke tepi tempat penjagaan, kemudian si wanita menunjuk ke sebuah tempat yang terletak di bawah, melewati liku-liku gunung dan tempat itu terlihat semakin lama semakin kecil sampai batas mata memandang di kaki langit.
“Kau lihat, di situlah Tuaian dimulai,” wanita itu berkata sambil menunjuk sebuah pemandangan yang ada di depan mereka. “Ingatkah ketika Yesus berkata:
Bukankah kamu mengatakan: empat bulan lagi tibalah musim menuai? Tetapi Aku berkata kepadamu: Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai. Sekarang juga penuai telah menerima upahnya dan ia mengumpulkan buah untuk hidup yang kekal, sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita. Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa: Yang seorang menabur dan yang lain menuai. Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka.”
Si musafir menatap ke kejauhan sementara wanita yang menyertainya memberikan penjelasan lebih lanjut: “Ingat, di Kota Kristen ada sebuah jalan yang besar dan bagus bernama Jalan Raya Misionari, di sana terdapat bangunan-bangunan megah dan luas, dihiasi dengan air mancur dan semak-semak yang indah. Bangunan-bangunan tersebut digunakan sebagai tempat bagi badan-badan misi Kristen yang terkenal di dunia menjalankan kegiatannya. Ada beberapa markas pustaka yang berhubungan dengan penjangkauan, kantor-kantor tajuk rencana untuk menyunting pernak-pernik naskah majalah misionari, dan fasilitas-fasilitas yang lebih kecil untuk menyediakan pelayanan doa melalui surat bagi para pekerja misi yang kurang dikenal. Ada studio-studio yang menghasilkan kepustakaan dunia dan rekaman video untuk keperluan para misionari. Ada lembaga-lembaga yang menawarkan kursus penyegaran bagi para misionari yang sedang cuti, juga rencana perjalanan yang diprogram di dalam komputer yang diperuntukkan bagi para misionari yang ingin menambah tingkat keuangan mereka. Ada pusat-pusat perekrutan, fasilitas peristirahatan bagi misionari yang sudah pensiun dan bahkan sebuah catatan perusahaan yang mulai menanjak. Tapi akhir-akhir ini Jalan Raya Misionari mengalami gejolak kepanikan karena beberapa berita yang mengganggu. Ada pernyataan yang menyebutkan bahwa sejumlah besar misionari telah melakukan tindakan pelanggaran etika misionari yang tak dapat dimaafkan: mereka bukannya mengambil ladang misi yang diakui sebagai daerah yang dikenal di dunia melainkan malah menerjunkan diri ke padang gurun yang ada di dekat Kota Allah.
“Tapi ladang misi seperti apa yang ada di padang gurun ini?” Tanya si musafir. “Jiwa siapa yang akan kau selamatkan di Padang Belantara Pengampunan ini selain dari jiwamu sendiri? Dan ketika kau tiba di Padang Belantara Penyembahan, setiap orang yang ada di sana sudah hidup dalam kemuliaan Allah. Di Padang Belantara Doa ada sebuah persekutuan yang indah dengan para musafir lainnya, dan aku sedang belajar menjadi seorang pendoa syafaat. Tapi di sana tidak ada satu pun jiwa yang terhilang…” (Bersambung)
Baca juga artikel selanjutnya: