Tanah Negeb. Bagian selatan wilayah suku Yehuda. Daerah yang terkenal dengan gurunnya. Tempat yang kerontang. Gersang di hampir sepanjang musim kemarau. Namun ketika musim berganti, curah hujan mengubahnya secara drastis. Sungai-sungai yang kering terisi dengan cepat. Aliran-aliran air membanjir. Bahkan meluap ke berbagai cabang-cabangnya. Pada saat itu, lokasi yang tandus itu dalam waktu singkat berubah. Tampak seperti daerah yang dialiri dengan baik. Sukar dipercaya jika sebelumnya tempat itu merupakan padang gurun yang kering.
Perubahan yang besar-besaran serupa itulah yang dibayangkan dan diilhami penulis Mazmur dari Roh Tuhan yang bekerja atasnya saat menuliskan syair-syairnya dalam Mazmur 126.
Doanya adalah seruan sarat pengharapan :
Pulihkanlah keadaan kami, ya TUHAN, seperti memulihkan batang air kering di Tanah Negeb!
~ Mazmur 126:4
Gubahan yang lahir dari kerinduan akan pemulihan.
Pemulihan dari apa?
Dalam kondisi mereka saat itu, mereka merindu kembalinya mereka dari pembuangan. Untuk melihat kembali keadaan negeri mereka yang disebut dengan Sion, berdiri bersinar seperti sebelumnya. Penawanan mereka membuat seantero negeri mereka tertinggalkan. Porak poranda oleh perang. Hampir-hampir tak berpenghuni. Kosong dan merana. Keadaan inilah yang ditangisi secara luar biasa oleh Yeremia dalam kitabnya yang terkenal: Ratapan.
Kerinduan pemazmur akan pemulihan dapat menjadi inspirasi atau menjadi alasan penggerak yang sama bagi kita untuk memohon pemulihan dari Tuhan. Pemulihan dari apa? Dari keadaan buruk dan hancur apapun yang sedang kita alami. Kehidupan pribadi yang kacau. Keluarga yang berantakan, yang rusak oleh konflik dan permusuhan. Hubungan-hubungan yang hancur. Keuangan yang merosot atau kesehatan yang memburuk.
Atau… atas kota-kota dan kondisi bangsa kita yang dirundung kegelapan dan terpuruk pada kejatuhan yang dalam. Dimana kefasikan merajalela. Kejahatan dimana-mana sehingga orang-orang benar bersembunyi dan sukar ditemui. Dimana para pengkhianat dan orang curang menduduki posisi-posisi kekuasaan. Dimana rakyat tidak mampu berbuat yang lain kecuali turut larut dalam segala permainan kegelapan yang ada. Orang-orang melakukan dosa tanpa malu, malah membanggakannya. Agama disuarakan keras tapi tanpa moral dan keluhuran, apalagi kasih. Mereka yang menyebut diri pengikut Kristus justru menjadi salah satu yang terdepan dalam kepura-puraan agamawi dan fokus pada keduniawian.
Tidakkah keadaan semacam ini memerlukan pemulihan?
Tidakkah kita perlu berdoa dan berseru seperti pemazmur : “pulihkanlah keadaan kami ya Tuhan”?
Tidakkah kita harus meminta perubahannya seperti Tuhan mengubah dan membalikkan keadaan tanah Negeb, yang kering kerontang menjadi basah dan diakhiri dengan deras?
Adakah yang merindukannya dan menjerit dari dasar jiwa terdalam untuk melihat lawatan dan jamahan Tuhan yang ajaib itu mengubahkan Indonesia?
BERBONDONG-BONDONG MEMBANJIRI
Bayangan lain yang kemungkinan muncul di pikiran pemazmur mengenai kembalinya sungai-sungai di tanah Negeb, menurut para penafsir Alkitab, adalah aliran-aliran yang dengan cepat menggenangi dan mengisi tempat-tempat yang cekung dan terbiasa terisi air. Dalam waktu tak lama, di wilayah yang gersang terbentuk cabang-cabang sungai yang mengalir kemana-mana.
Bagi pemazmur, ini merupakan gambaran orang-orang Israel yang muncul dari tempat yang tidak diketahui sebelumnya lalu kemudian bersama-sama, beramai-ramai, berbondong-bondong bergerak pulang ke negeri mereka. Suatu jumlah penduduk yang besar. Bagai air yang meluncur dan mengalir deras di bentangan gurun Negeb.
Seperti itu pulalah seharusnya yang kita harap dan rindukan atas sekitar kita. Bangkitnya suatu kumpulan orang-orang benar. Penyembah-penyembah sejati yang dimunculkan Tuhan. Itulah yang harus kita doakan. Dan USAHAKAN. Sudah seharusnya kita yang mendoakan munculnya pribadi-pribadi yang berpegang teguh dan hidup dalam kebenaran TERHITUNG SEBAGAI SALAH SATU DARI GOLONGAN ORANG-ORANG BENAR ITU.
Kesalahkaprahan (baca : kesesatan) menjadi sesuatu yang tak terelakkan ketika kebodohan agamawi dijadikan dasar hubungan kita dengan Tuhan. Doa dan deklarasi adalah salah satu elemen saja. BUKAN SATU-SATUNYA ELEMEN untuk suatu pemulihan yang hendak Tuhan berikan.
Bukankah DENGAN SANGAT JELAS TUHAN BERFIRMAN:
dan umat-Ku, yang atasnya nama-Ku disebut,
merendahkan diri,
berdoa
dan mencari wajah-Ku,
lalu berbalik dari jalan-jalannya yang jahat,
maka Aku akan mendengar dari sorga dan mengampuni dosa mereka, serta memulihkan negeri mereka.
~ 2 Tawarikh 7:14
Sayangnya, masih banyak yang berpikir bahwa dengan berkumpul bersama, menyerukan klaim dan yel-yel rohani, bergandengan tangan dan menaikkan doa-doa nan indah dan disusun sempurna dan diucapkan dengan kemerduan intonasi, kita seperti menunggu detik-detik Tuhan menyulap bangsa kita. Mengubah mental korupsi dan maling yang merajalela ini dengan satu jentikan jari ilahi saja.
Pertanyaannya, di manakah pernah dikatakan (termasuk dalam Alkitab) manusia dapat diubah apalagi sebuah komunitas bahkan kota dan bangsa bisa berubah secara rohani dan menjadi baik-baik saja dalam hitungan jam atau hari saja? Jika itu mungkin, bukankah kita sudah bisa menjadi orang-orang paling saleh sejak tiga, empat atau lima puluh tahun lalu? Dan bila mengubah diri kita saja kerapkali sukar sehingga membutuhkan bertahun-tahun proses, bagaimana bisa kita mengubah suatu bangsa dengan air mata keegoisan kita yang sebenarnya malas membayar harga perubahan???
SUSAH PAYAH UNTUK PEMULIHAN
Dalam nats 2 Tawarikh 7:14 di atas, sebelum kita berdoa, kita semestinya merendahkan diri. Sudahkah kita melakukannya? Bukankah justru acapkali kita datang dengan meninggikan diri seperti orang Farisi yang menepuk dada dengan membawa daftar perbuatan baik, kerajinan ibadah kita dan kesalehan kita yang kita pandang telah banyak itu? Kita harusnya jujur bahwa doa kita itu doa tanpa menyebut-nyebut dengan segala kehancuran hati setiap kegagalan dan dosa-dosa kita melakukan kehendak Tuhan sebagai pribadi maupun korporat tapi dengan begitu yakin (atau kurang ajarnya) kita mengumumkan posisi-posisi rohani kita dan main perintah sana sini supaya Yang Mahakuasa bergerak sesuai kemauan kita yang kita atasnamakan kemauan-Nya. Lalu di manakah yang namanya merendahkan diri itu?
Selanjutnya, bagaimana setelah berdoa?
Merendahkan diri, berdoa. Lalu?
Tuhan berfirman Ia ingin kita MENCARI WAJAH-NYA.
Setiap kali ditanya apakah kita ingin melihat pemulihan, semua orang (kecuali yang tidak paham arti pemulihan) pastilah menjawab “Ya, aku merindukannya”.
Masalahnya, seberapa banyak yang kita lakukan dan bersedia bayarkan untuk melihat pemulihan itu terjadi?
Bagaimana dengan ini: “mencari wajah-Nya”?
Apakah kita telah mencari wajah Tuhan demi pemulihan negeri kita? Berapa banyak gereja Tuhan mencari wajah Tuhan jauh melebihi mencari tangan-Nya? Berapa banyak yang menyelami bagaimana cara menerbitkan senyum di wajah-Nya ketimbang melihat peragaan kuasa mujizat-Nya? Berapa banyak yang ingin menangkap isi hati-Nya yang juga terpancar di raut muka-Nya (sebab Ia bukan Pribadi yang munafik sama sekali) jauh melampaui segala usaha memperoleh kemegahan dan kenyamanan tempat ibadah dan fasilitasnya yang super lengkap itu?
Tanda mereka yang mencari wajah Tuhan ialah menghidupi kehendak-Nya. Dan jika semua kita melakukan kehendak-Nya, sudah pasti kita mendekati cara hidup jemaat mula. Nabi-nabi. Rasul-rasul. Hamba-hamba Tuhan sejati dan saleh-saleh-Nya di masa lalu.
Gereja minim intrik dan perebutan pengaruh manusiawi. Program-programnya kebangunan rohani daripada pembangunan jasmani. Kesucian dan kesalehan diteliti dan dihidupi. Jalan kompromi dengan duniawi dijauhi.
Nah, sudahkah kita, yang adalah gereja-Nya, mencari wajah-Nya?
Jika tiga langkah pemulihan ini belum kita kerjakan, bagaimana kita akan melakukan yang keempat: BERBALIK DARI JALAN-JALAN KITA YANG JAHAT?
Ironis jika kita membayangkan serta bermimpi-mimpian Indonesia akan gilang gemilang, jaya raya, bersinar penuh kemuliaan dan memasuki masa keemasan jika gereja justru melangkah berkebalikan dari yang Tuhan harapkan? Bersediakah kita jujur jika tidak sedikit gereja yang malah berbalik dari jalan-jalan yang benar? Bukannya berpegang teguh pada yang benar, mengasihi dan memperjuangkan kebenaran tanpa kompromi tetapi beberapa pemimpin sekaligus jemaat memilih untuk semakin sama dengan dunia, memilih melencengkan sedikit demi sedikit jalan mereka sampai-sampai tanpa sadar telah berada di jalur lebar bebas hambatan yang penuh keramaian dan kesenangan dunia tapi meluncur cepat ke neraka?
Sudahkah gereja masuk pintu yang sesak dan jalan yang sempit itu? Bukankah jalan yang sepi yang seharusnya ditempuh gereja dan ke sanalah kita seharusnya berbalik?
Pemulihan tidak pernah akan terjadi jika kita tidak bersedia bersusah payah merindukan dan mengusahakannya. Kerinduan kita yang sebenar-benarnya NYATA DALAM MEMBAYAR STARAT-SYARAT PEMULIHAN, bukan sebatas ucapan bibir belaka.
Selagi pemazmur menuliskan jeritan hatinya “pulihkanlah keadaan kami, ya TUHAN!” ia belum akan selesai. Gubahannya belum ditutupnya. Ia harus membesarkan pengharapannya. Dan itu tak lahir dari jiwanya yang malas diselimuti kebodohan. Pengharapannya disandarkan pada TUHAN, Allahnya, Sang Pemulih Agung…. saat ia tahu ia telah melakukan bagiannya dan membayar harga pemulihan itu.
PESAN MEMASUKI 2018 : PENGHARAPAN AKAN PENUAIAN
Mazmur 126 ditutup dengan salah satu ayat kesukaan saya dan yang juga merupakan satu dari pernyataan paling menggugah hati dalam Alkitab:
Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai.
Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya.
~ Mazmur 126:5-6
Penuaian. Sorak sorai. Pulang dengan hasil. Penuh sukacita. Perkara yang besar. Bagai bermimpi. Penuh dengan tawa. Yang disampaikan dalam nats di atas dan di ayat 1-3, semua itu merupakan apa yang dirasakan dan dialami mereka yang dipulihkan. Dahsyat, ajaib, jauh lebih baik. Penuh kemuliaan.
Siapa yang tidak menginginkannya?
Tetapi apakah kita cukup menginginkannya sehingga kita bersedia “menabur sambil mencucurkan air mata dan berjalan maju menabur benih sambil menangis” supaya kita bisa menuai dan pulang dengan sorak sorai?
Akan panjang dan membutuhkan satu buku tersendiri membahas tentang “menabur dengan air mata” tetapi kita harus tahu setidaknya apa maksudnya semua itu.
Menabur menandakan awal pekerjaan dalam bercocok tanam dimana pengharapan digantungkan setinggi-tingginya pada penguasa langit dan bumi. Membajak tanah dan proses lainnya sebelum menabur benih tidak sebesar pertaruhan pada saat benih ditaburkan. Benih terkadang dibeli dengan biaya tidak murah, tapi keberhasilan penuaiannya tidak bergantung pada sang penabur. Juga bukan pada kualitas tanahnya. Sebab dari ditabur hingga dituai, penentu akhirnya adalah kondisi alam, yang sepenuhnya ada di tangan Tuhan, sang pemilik dan penguasanya.
Menabur ialah tindakan yang didasarkan pada pengharapan yang besar. Sebab jika tidak demikian, tidak ada orang yang memutuskan untuk menaburkan benih di ladangnya.
Menabur juga merupakan bentuk usaha dan jerih lelah. Bergulat dengan keringat, kotoran, lumpur. Pekerjaan yang menguras tenaga dan memakan fisik.
Menabur dengan air mata merupakan perumpamaan ganda akan susah payah sang penabur. Dalam keadaan hati yang berat lagi susah, tertekan dan putus asa, ia memilih menabur dalam pengharapan. Air mata dan kerja keras menjadi makanan sehari-harinya. Tapi ia tetap berjalan maju. Dengan hati yang tertuju pada Tuhan, pengharapan yang tidak akan mengecewakannya.
Melewati 2017 yang keras lagi kelam, kita seperti memasuki 2018 dengan keputusasaan. Lebih-lebih dua tahun ke depan adalah tahun yang akan mengharu biru Indonesia karena merupakan tahun-tahun pertarungan politik. Jika 2017 terang semakin redup di Indonesia, adakah itu muncul kembali di tahun selanjutnya?
Bagaimana kita menyikapi tahun yang akan kita jelang ini?
Seperti pemazmur kita dapat menaikkan doa dan mulai membayar harga pemulihan. Meski penuh ratap tangis, kita tidak boleh kehilangan pengharapan kita. Kita tetap harus menabur bagi kemuliaan Tuhan.
Menabur berarti juga memberi, bukan meminta. Membayar harga, bukan tawar menawar harga.
Menabur dengan menangis adalah harga untuk melihat suatu pemulihan.
Apa yang kita tabur? Kita harus menaburkan perbuatan-perbuatan yang Tuhan kehendaki atas kita. Bukan hanya perbuatan-perbuatan baik tapi KEHENDAK-NYA dalam hidup kita. Kita harus dengar-dengaran dan taat pada-Nya. Lebih dari tahun lalu. Kita perlu menangkap isi hati-Nya dan berubah sesuai kerinduan hati-Nya. Kita harus menaburkan BENIH-BENIH PERUBAHAN ATAS INDONESIA. Suatu kehidupan yang berharga dan dikenan Tuhan, dengan tidak mengikuti jalan-jalan kita sendiri yang kita pikir benar tapi tekun mencari jalan-jalan-Nya DAN MENGIKUTI JALAN-NYA DENGAN SETIA.
Entah tampaknya ada hasilnya atau tidak, kita HARUS TETAP MENABUR, BERJALAN MAJU DENGAN PENUH PENGHARAPAN. Allah yang empunya langit bumi akan memberkati setiap kita yang menabur sambil berharap penuh kepada-Nya. Sambil percaya bahwa setiap yang kita lakukan tidak sia-sia. Bahwa apapun yang kita lakukan seturut kehendak-Nya, karena Dia dan bagi Dia PASTI DIBERKATI-NYA. Dan bahwa Ia sanggup -bahkan LEBIH DARI SANGGUP- memulihkan kita seperti memulihkan aliran-aliran air di tanah Negeb.
Martin Luther seorang diri sewaktu menabur dengan mencucurkan air mata dan 500 tahun kemudian, gereja telah bereformasi berulang kali.
David Livingstone seolah-olah melakukan sesuatu yang bodoh dan sia-sia berkeliling Afrika tapi benua hitam itu merupakan ladang penuaian rohani terbesar di masa kini.
Hudson Taylor berangkat ke China dan benih itu masih terus bersemi dan bertumbuh walaupun terus berusaha dibabat habis.
William Seymour diusir dari beberapa gereja di California sewaktu menyampaikan ajaran dasar gerakan pentakosta tapi titik api yang dibawanya telah menjalar dan membakar seluruh dunia hingga kini.
Semua orang itu dan seharusnya juga dengan kita, mengikuti jejak Paulus yang menginjil melewati segala aniaya sepanjang hidupnya di Asia Kecil dan Eropa. Ia tidak pernah tahu seberapa banyak benihnya telah tumbuh dan berbuah-buah setelah selesai menunaikan tugasnya dengan dihukum pancung salah satu kaisar Romawi terbengis, Nero.
Dan lebih dari siapapun, sesungguhnya kita mesti mengikuti jejak Yesus saat kita melangkah dengan pengharapan yang besar setiap harinya, sekalipun harus berurai air mata. Hidup Yesus berakhir sebagai guru yang dianggap sesat dimana ia dihukum dengan keji tanpa kesalahan dan ditinggalkan oleh semua pengikut dan murid-murid-Nya sendiri di saat-saat terakhir. Namun bahkan di atas kayu salib pun, Ia tidak pernah putus harap. Sebaliknya ia membesarkan pengharapan penjahat di sampingnya, memberikan janji untuk bersama Dia di tempat kekal mulia. Dan lebih dari semuanya, KEBANGKITAN-NYA adalah dasar pengharapan kita. Allah kita tidak mati. Ia hidup, ada, eksis, bergerak dan berkarya hingga kini.
Jika dahulu Ia mengadakan pekerjaan-pekerjaan pemulihan, Ia masih melakukannya sekarang. Ia masih bersedia dan siap mengerjakannya dalam hidup Anda dan saya. Tergantung sekarang apakah kita mau bekerja sama dengan Dia. Melakukan bagian kita dalam pemulihan.
Jika kita cukup merindukan pemulihan itu sampai kita membayar harganya, IA AKAN MENGADAKAN PEMULIHAN ITU BAGI KITA.
Rindukanlah apa yang ingin Ia berikan pada kita di tahun 2018 yang akan kita masuki.
Sesuatu yang mustahil dan tak terpikirkan sangat mungkin bisa terjadi.
Jika kita mau membayar harganya, di tahun ini bahkan Indonesia akan diubahkan seperti mimpi yang menjadi kenyataan.
SALAM REVIVAL!
Indonesia Penuh Kemuliaan Tuhan
Saya, Peter B dan keluarga, mengucapkan selamat memasuki Tahun Baru 2018.
Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,
selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!
“TUHAN adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.
TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia.
~ Ratapan 3:22-25
Puji Tuhan