Oleh: Peter B, MA
Tuhan melepaskan lebih lagi dari kuasa dan hadirat-Nya sesuai ukuran rasa lapar kita akan Dia.” ~Mike Bickle
“Jangan toleransi apapun dalam hidup Anda yang mungkin mengurangi rasa lapar Anda akan firman Tuhan. Dan lakukan itu dengan segala kekuatan dan energi rohani Anda” ~Sam Storms
“Kunci dari kehidupan Kristen adalah haus dan lapar akan Tuhan. Dan salah satu dari beberapa alasan mengapa orang tidak memahami atau mengalami kuasa kasih karunia serta bagaimana kasih karunia itu bekerja melalui dibangkitkannya sukacita yang memerintah dalam hati oleh karena rasa lapar dan haus mereka akan Tuhan begitu kecil” ~John Piper
Kekristenan tanpa lapar dan haus adalah kekristenan yang lemah. Kurang gizi dan sakit-sakitan. Dampaknya jelas. Apakah yang dapat dilakukan tubuh yang lemah dan dirundung sakit? Begitu pula apa yang bisa dihasilkan kerohanian yang tak bertenaga atau terinfeksi dosa di sana sini? Orang-orang Kristen sedemikian memerlukan perhatian, perawatan, pengobatan dan pemulihan terus menerus! Hampir serupa dengan kanak-kanak rohani, rohani yang lemah lagi gering tak akan pernah menghasilkan buah bagi kemuliaan Bapa. Bagai ranting yang merasa sanggup hidup tanpa melekat pada pokoknya, mereka yang tak memiliki lapar dan haus akan Tuhan menggenapi apa yang Kristus katakan, “… di luar Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh.15:5).
Tanpa lapar dan haus akan Tuhan, roh kita menjadi kerdil. Tanpa pertumbuhan yang normal, rohani kita tidak mengalami perkembangan yang berarti. Hanya pada tingkatan itu-itu saja tahun demi tahun. Bahkan ketika melampaui selang waktu yang panjang, bertambahnya pengetahuan-pengetahuan rohani yang memuaskan pikiran tetapi tak mencukupkan kebutuhan rohani yang sesungguhnya akan melahirkan jiwa yang picik dan angkuh. Merasa tahu banyak hal tentang Allah padahal jauh dari pengenalan sejati akan pribadi-Nya. Jika itu dipupuk dalam keangkuhan, maka manusia-manusia agamawi pun muncul. Merasa diri paling rohani dan paling benar di mata Tuhan. Suka menghakimi dan mencari-cari kesalahan orang. Pada dasarnya, mereka lebih menyerupai “sang pendakwa yang bekerja siang dan malam” (Wah.12:10-12) daripada “sang pengasih dan penyayang yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya” (Kel.34:6).
Betapa vitalnya rasa lapar dan haus akan Tuhan jika kita ingin berhasil dan teguh dalam iman kita pada Kristus. Tanpa lapar dan haus, kita hanya beragama tapi mungkin tidak bertuhan. Beribadah tapi tidak mengenal siapa yang kita sembah.
Tanpa suatu hasrat untuk terhubung dengan Tuhan terus menerus, pada dasarnya kita akan kembali menjadi sama dengan orang-orang yang tidak mengenal Allah. Duniawi. Fasik. Egois. Munafik. Terhilang. Binasa.
RASA LAPAR DAN HAUS YANG TIDAK BERTAHAN
Dalam suatu pemberitaan Injil yang masif, banyak jiwa dijamah kasih Tuhan. Suatu nyala api kasih Tuhan dinyalakan di hati mereka. Beberapa bertahan. Tapi banyak redup lalu kembali pada hidup yang lama.
Dalam suatu perjumpaan pribadi dengan Tuhan di kelompok tumbuh bersama, rasa lapar dan haus akan Tuhan bangkit di hati para pelajar sekolah itu. Mereka menjerit merindukan lawatan dan kebangunan rohani. Tahun-tahun berlalu, semuanya tak ada lagi. Keinginan untuk menikmati hidup yang nyaman dalam keindahan dunia yang kian gemerlap lebih menguasai jiwa daripada mencari hati Tuhan dan kehendak-Nya. Sudah lenyap, entah kemana, semua rasa lapar dan haus itu.
Dengan roh yang menyala-nyala, beberapa anak Tuhan menyerahkan hidupnya bagi Tuhan demi menjadi hamba-hamba-Nya. Bertahun-tahun, mereka melayani Tuhan. Mendambakan kemuliaan Tuhan dinyatakan dalam pelayanan mereka masing-masing. Terasa sangat sukar dalam perjalanannya. Hasilnya pun tak terlihat sebagai sesuatu yang sukses. Sebagian ada yang tetap mencari wajah Tuhan dan mengalir dalam kehendak-Nya apapun yang terjadi. Sebagian menjadi puas dengan sedikit jemaat dan penghidupan sederhana sebagai hamba Tuhan. Sebagian yang lain menggunakan”api asing” (lihat Im.10:1) untuk melayani Tuhan dan menarik perhatian banyak orang. Sayangnya api ilahi sejati -suatu lapar dan haus yang murni- tidak lagi menyala di hati dan pelayanan mereka.
Lapar dan haus pernah datang. Lalu pergi. Sepertinya semua anak Tuhan pernah mengalaminya.
Ada yang kembali lapar dan haus. Ada yang tak lagi pernah merasakannya karena digantikan lapar dan haus akan yang lain, bukan akan Allah. Yang mencari rasa puas dan nyaman bukan pada roti dan air kehidupan itu. Sesungguhnya itu semua tidak akan pernah mengenyangkan.
Sesungguhnya tidak banyak yang menyadari dirinya tak lagi lapar dan haus akan Tuhan. Juga tidak banyak yang peduli apakah dirinya lapar dan haus akan Tuhan. Dan jauh lebih sedikit lagi yang tahu bagaimana menjaga dan mempertahankan rasa lapar dan haus akan Tuhan yang mereka alami.
Beruntung kita memiliki Alkitab. Yang berisi petunjuk bagi kita menghadapi problem-problem pada kerohanian kita, yang juga merupakan panduan bagaimana berhasil dalam Tuhan. Dalam terang kuasa Roh Kudus, Roh hikmat dan Wahyu itu, kita akan mengetahui rahasia memelihara rasa lapar dan haus akan Tuhan. Anda dapat mempunyainya, jika Anda berkeinginan hidup dalam rasa lapar dan haus akan Tuhan itu. Percayalah. Saat Anda memiliki rasa lapar dan haus yang konstan dan benar maka hidup Anda akan menjadi hidup yang paling memuaskan yang pernah di jalani seorang manusia. Itu janji Tuhan. Dan Dia tidak pernah berdusta.
DAUD YANG SELALU LAPAR DAN HAUS
Dalam Mazmur 63 saat ia di padang gurun Yehuda, Daud mencurahkan isi hatinya dalam sebuah Mazmur yang sangat indah. Ilham Roh membuat pena dan kecapinya melahirkan nyanyian ini :
“Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair” (ayat 2).
Apakah ini kerinduan sesaat belaka?
Suatu rasa lapar dan haus yang segera menguap beberapa waktu kemudian?
Justru sebaliknya.
Itu sesuatu yang kesekian kalinya menggelegak di hati Daud.
Melihat tanah yang kering. Pecah-pecah. Tandus. Tanpa setitik air. Pikiran Daud membayangkan kondisi hatinya. Hati yang kekurangan air dan makanan rohani. Hatinya yang rindu dekat dengan Allah, sang pemuas jiwanya.
Mustahil jika seseorang yang sesekali saja atau tak lagi memiliki lapar dan haus akan Tuhan mengatakan ini, “Demikianlah aku mau memuji Engkau SEUMUR HIDUPKU dan menaikkan tanganku demi nama-Mu” (ayat 5).
Rasa lapar dan haus itu telah menguasainya. Bersarang dalam jiwanya. Ia menginginkan Allah untuk seterusnya. Seumur hidupnya. Selama-lamanya.
Dan puncak perenungan Daud dalam kerinduannya pada Tuhannya ialah ayat 9, “Jiwaku MELEKAT kepada-Mu, …”
Alkitab versi KJV menerjemahkannya kata ‘melekat’ dengan frasa “followed hard after thee” yang berarti ia terus mengejar Allah. Ia tak ingin jauh dari Tuhan, apalagi terpisahkan. Ia terus lapar akan Allah. Ia pernah haus dan kini masih haus akan Tuhan.
DAUD TIDAK PERNAH KEHILANGAN RASA LAPAR DAN HAUSNYA AKAN TUHAN. Ia telah menemukan rahasia kerinduan yang tak pernah surut akan Tuhan.
Kita perlu belajar dari Daud.
Mengapa hasrat Daud akan Tuhan tak pernah padam selagi yang lain meredup dan lenyap?
PERNAHKAH ANDA MENYAKSIKAN TUHAN DI TEMPAT KUDUS-NYA?
Ada satu pengalaman yang menjadi dasar utama dan sejati dari rasa lapar dan haus akan Tuhan di hati Daud. Pernahkah Anda mengalaminya?
“Bahwasanya TELAH aku melihat Engkau dalam tempat kesucian-Mu, serta kupandang akan kuasa dan kemuliaan-Mu” ~Maz. 63:3, TL
“Aku TELAH melihat-Mu di tempat kudus, dan menyaksikan kuasa dan keagungan-Mu” ~Maz. 63:3, AYT (Alkitab Yang Terbuka) 2015
“I HAVE SEEN you in your sanctuary and gazed upon your power and glory”~ Maz. 62:3, NLT
(huruf besar ditambahkan penulis)
Ya, Daud sebelumnya TELAH mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Ia melihat dan merasakan bagaimana kuasa Tuhan menjamah hidupnya. Pun kemuliaan Tuhan, sungguh, ia pernah mengetahuinya sendiri secara pribadi.
Dan yang dilihat Daud bukan sekedar kata orang. Atau suatu gambaran muluk-muluk mengenai Tuhan dan hal-hal sorgawi yang disampaikan dengan begitu meyakinkan hati. Daud mengecap sendiri keberadaan Tuhan. Merasakan kehadiran-Nya. Mengagumi kemuliaan Tuhan. Seolah Daud dibawa masuk dalam dunia yang lain. Ke langit tingkat ketiga. Dimana ia melihat Tahta Sang Mahakuasa.
Pengalaman perjumpaan dengan Tuhan di hadapan tahta adalah pengalaman yang tak tergantikan. Mereka yang mengalaminya tidak akan pernah sama lagi hidupnya. Pada saat itulah seseorang merasakan sorga di hatinya. Bersentuhan dengan Pribadi yang untuk-Nya manusia diciptakan.
Saat Allah menerobos hati kita, siapakah yang dapat menyamai-Nya?
Saat hadirat-Nya begitu nyata, tidakkah roh kita disegarkan dan dipulihkan kembali bagai minum dari oasis di gurun yang gersang?
Dan, adakah yang lebih baik daripada itu?
Banyak yang tidak pernah merasakan hasrat yg begitu besar akan Tuhan karena pada dasarnya mereka belum benar-benar berjumpa dengan Yesus Kristus, Tuhan dan juru selamat itu. Iman mereka dibangun berdasarkan kisah-kisah inspiratif yang membangkitkan semangat dan motivasi. Ibadah mereka rutinitas dan tradisi keluarga atau suku semata. Atau rohani mereka dijejali oleh sensasi yang memenuhi emosi saja dalam suatu event kebangunan rohani atau saat melakukan rutinitas ibadah. Seperti orang Israel yang gemetar mendengar guruh, petir dan kilat di Gunung Sinai tetapi memilih berdiam diri di kejauhan, mereka tidak pernah benar-benar mengalami suatu perjumpaan yang mengubah hati seperti Musa atau Yosua.
Tidak heran bila kemudian mereka menginginkan tuhan yang lain. Sebuah patung anak lembu emas dibuat supaya mereka dapat menyembah dengan sesuka hati mereka. Mereka tidak pernah benar-benar datang di hadapan tahta Tuhan dan menyembah saat melihat kemuliaan kuasa-Nya.
Perjumpaan sejati dengan Tuhan ditandai dengan jejak membekas yang tak mungkin terhapuskan. Serupa dengan suatu peristiwa yang membawa dampak traumatis bagi jiwa seseorang sehingga sebagian dari dirinya berubah, perjumpaan dengan Tuhan mengubah pribadi seseorang dalam suatu cara yang ajaib, yang tak mampu dilakukan apapun atau siapapun lainnya. Saat Tuhan menjamah seseorang, terjadi kesembuhan, pemulihan dan penyucian berselubungkan rasa gentar yang kudus dan dalam. Roh kita tahu ada Pribadi yang jauh lebih besar dan jauh lebih berkuasa di hadapan kita namun bukan hendak meremukkan kita. Sebab Dia lembut, baik dan mulia. Di atas semuanya, Dia mengasihi kita apa adanya melampaui apapun juga. Saat itulah kita tahu, kita telah berjumpa Tuhan. Kita pun menjadi manusia baru.
Tanpa pengalaman di atas, kita akan segera bosan dengan hal-hal rohani yang terasa hanya itu-itu saja dan tidak pernah benar-benar akan merindukan kehadiran Tuhan di hidup kita.
APAKAH KASIH TUHAN MENJADI YANG PALING BERHARGA DI HIDUP ANDA?
Selanjutnya, hal yang kedua, inilah pengalaman Daud bersama Tuhan:
“Sebab kasih setia-Mu lebih baik dari pada hidup; bibirku akan memegahkan Engkau” (Maz. 63:4)
Alkitab NET menyatakan dengan lebih jelas “Sebab mengalami (dan merasakan) kasih setia-Mu itu lebih baik daripada hidup itu sendiri.. “
Hidup adalah sesuatu yang sangat berharga bagi manusia. Tidak ada satupun manusia yang berpikiran waras yang tidak ingin hidup. Apapun akan dilakukan demi mempertahankan dan tetap memperoleh hidup. Menguras seluruh harta demi membayar tebusan bagi yang diculik. Mencari solusi pengobatan ke tempat-tempat yang jauh melalui segala metode atas sakit yang mengancam jiwa. Memikirkan keselamatan dalam bekerja atau saat berkendara. Mendaftar asuransi untuk mendapat jaminan kesehatan. Mengubah cara hidup, pola makan atau kebiasaan sehari-hari demi umur yang lebih panjang. Menciptakan model dan strategi keamanan baik pribadi atau nasional menghadapi ancaman serangan orang jahat atau teroris. Menciptakan sistem deteksi dini dan persiapan menghadapi bencana alam. Dan seterusnya.
Manusia menghargai hidup demikian tinggi. Kisah penyelamatan yang menggemparkan dunia atas 33 orang penambang di Chili yang tertimbun ratusan meter di bawah tanah menjadi bukti tak terbantahkan betapa manusia menghargai kehidupan sedemikian tingginya.
Hidup adalah yang paling berharga bagi manusia selama di dunia. Tapi bagi Daud ada yang melebihi hidup. Yang lebih berharga. Yang lebih baik. Itu adalah kasih setia Tuhan.
Bagi Daud, hidup itu berharga. Tapi itu tak cukup berharga jika dijalani tanpa cinta Tuhan.
Cinta membuat hidup lebih hidup. Lebih indah dan berarti. Cinta adalah inti kehidupan. Tanpa cinta, hidup hanya kehampaan tanpa makna. Dengan cinta, hidup memiliki tujuan dan alasan untuk dihidupi.
Dan tujuan serta alasan tertinggi ialah cinta dalam tingkat yang tertinggi: cinta Tuhan (Yoh. 3:16). Cinta yang murni, sejati dan tak bersyarat. Yang di dalamnya manusia menemukan penerimaan diri, pembaharuan jiwa, pengampunan dosa, pembebasan dari rasa bersalah, pembasuhan hati dan pemulihan hidup?
Bukankah kasih Tuhan jua yang mendidik, menopang, menumbuhkan dan menguatkan kita sehingga kita menjadi tak tergoyahkan apapun di dalam Dia, yang oleh karenanya kita dimampukan menanggung segala perkara (Fil. 4:13).
Di dalam kasih Tuhanlah hidup kita menjadi bermakna -dalam tingkatan tertingginya.
Karena hidup manusia berdasar tujuan penciptaannya ialah supaya ia dikasihi dan mengasihi Tuhan.
Sebelum kita merasakan kasih Tuhan itu tiap-tiap hari mengalir dan menyegarkan hidup kita, sukar bagi kita merindukan Dia lebih dan lebih lagi. Sebab hati kita akan dipikat daya tarik dunia yang selalu mengklaim mampu membuat hidup lebih hidup, penuh petualangan yang mendebarkan. Kita masih akan tergantung pada perhatian dan cinta manusia lebih dari kasih sayang Tuhan. Kita tetap akan larut dalam pergaulan yang keliru dengan harapan menemukan sahabat sejati. Kita masih akan ditarik dan hanyut dalam berbagai pengejaran yang memboroskan hari-hari kita dalam kesibukan yang tidak berhubungan dengan nasib kekekalan kita (berputar-putar untuk urusan yang di sini, yang meskipun harus dilakukan, tetapi kodrat manusia baru kita ialah memikirkan perkara-perkara yang di atas, bukan yang di bumi saja sebagaimana diperintahkan dalam Kolose 3:1). Lambat laun kita kehilangan perspektif tentang Allah, tentang sorga, tentang harta abadi, tentang kemuliaan sejati di balik hidup yang sekarang ini.
Kita tertipu oleh kenikmatan semu. Bagaikan candu. Yang sebentar saja membuat kita melambung tinggi hanya untuk terpuruk dan diperbudak makin dalam. Haus dan haus lagi. Tanpa pernah sungguh-sungguh dikenyangkan.
Jika hingga kini pewahyuan akan kasih Tuhan yang melebihi hidup itu belum Anda dapatkan, mintalah dengan segenap hati supaya Tuhan membukakan mata hati Anda sehingga dapat melihat betapa berharganya kasih Tuhan bagi hidup Anda.
Kasih Tuhan yang telah rela turun ke dunia untuk menghampiri dan mengentas kita dari kubangan dosa. Buka hati Anda menerima curahan kasih-Nya. Percayalah, dalam tangan kasih Yesus Kristus, Anda akan dibawa masuk dalam hidup yang sejati. Terimalah pengampunan dan pembasuhan dosa Anda. Terimalah hidup yang baru: hidup dalam kasih-Nya itu. Jadikan itu harta terbesar Anda. Sesuatu yang tak akan tergantikan dan tak akan Anda lepaskan karena alasan apapun juga.
Sama seperti Daud, Anda tidak akan mudah kehilangan hasrat akan Tuhan. Sebab Tuhan telah menjadi kebutuhan terbesar Anda. Anda tak akan pernah ingin hidup lagi tanpa Dia atau di luar Dia. Sebaliknya, Anda makin lapar dan haus akan Dia tiap-tiap hari. Seperti tubuh jasmani Anda yang memerlukan makanan dan minuman setiap hari dan tidak dapat hidup selain itu dipenuhi, demikian roh Anda merindukan Dia secara tetap waktu demi waktu.
MEMELIHARA RASA LAPAR DAN HAUS AKAN TUHAN (Bagian 2)
MEMELIHARA RASA LAPAR DAN HAUS AKAN TUHAN (Bagian 2)