Sebagai contoh, bayangkan ada seorang Kristen, seorang tetangga sebelah rumah kita yang tiap hari memutar lagu rohani, yang hampir setiap hari berangkat ke acara-acara di gereja, menenteng Alkitab, berkalungkan liontin berbentuk salib, berpakaian dengan nuansa dan citra seorang Kristen yang taat (yang bahkan assesories itu disebut sebagai benda-benda profetik yang diperintahkan Tuhan sendiri), rajin menghadiri event-event serta seminar rohani dengan segala atributnya- apakah yang kemungkinan muncul di pikiran kita maupun orang-orang pada umumnya saat melihat itu semua?
Bagaimana pula jika kemudian setelah bertatap muka dengan orang itu, ia sering sekali menggunakan istilah yang rohani seperti “Puji Tuhan”,”Haleluya”, “Tuhan Yesus baik” lalu suka mengutip ayat-ayat Alkitab dan dalam perkataannya penuh kesaksian tentang betapa banyaknya pengalaman dan mukjizat yang dialaminya (dengan penekanan lebih banyak pada dirinya daripada Tuhan)?
Tidak hanya itu. Ketika terhubung di media sosial, sangat sering ia membagikan pesan-pesan rohani seperti renungan serta artikel Kristen, selalu menyampaikan hal-hal rohani serta aktif menyimak dan menyambut pesan-pesan rohani yang masuk.
Apakah kira-kira yang terbersit di benak kita atau orang-orang mengetahui hal-hal tersebut?
Kemungkinan besar sebagian besar dari kita akan tidak jauh memiliki pemikiran-pemikiran berikut ini:
“Wah dia orang rohani, pasti dekat sama Tuhan”
“Dia rajin sekali ibadah, Kristennya betulan itu”
“Imannya pasti kuat. Tiap hari selalu berkutat dan membahas hal-hal rohani.”
“Coba minta masukan ke dia saja, pembawaannya sudah mirip pendeta. Pasti mengerti hal-hal rohani.”
Ya. Umumnya, meski tidak semua, dengan segala tampilan dan pembawaan yang tampak rohani, seseorang kerap dinilai sebagai orang yang rohani dan punya banyak pengalaman dengan Tuhan.
Tapi, benarkah demikian?
ORANG FASIK YANG RAJIN BERDEKLARASI
Mazmur 50 merupakan Mazmur bagi umat Tuhan, Israel. Sebab jelas disana Tuhan sedang mengadili umat -Nya (ayat 4). Bangsa yang dikasihi-Nya, yang mengadakan perjanjian dengan Dia (ayat 5). Di situ Ia berfirman kepada umat-Nya, Israel, dan menyebut diri-Nya Allah mereka (ayat 7). Korban bakaran mereka pun tetap di hadapan-Nya (ayat 8).
Tetapi, perhatikanlah, pribadi yang sama yang menyebut Israel sebagai umat-Nya, juga menyebut bahwa di antara mereka ada orang-orang yang dipanggil-Nya sebagai “orang-orang fasik“ (ayat 16).
Siapakah diantara umat Tuhan, yang seharusnya sehati dengan Dia, namun dipandang-Nya sama seperti orang fasik itu? Bukan. Bukan mereka yang tidak pernah beribadah atau tidak mengerti akan Firman -Nya. Bukan pula yang hidup tidak seperti orang Yahudi. Bukan pula seorang yang tampak seperti orang yang jahat, ganas, sama sekali tidak bertuhan. Bukan itu semua.
Yang disebut-Nya fasik justru mereka yang dikatakan sebagai orang-orang yang “menyelidiki ketetapan Tuhan dan menyebut-nyebut perjanjian dengan Tuhan dengan mulutnya” (ayat 16). Alkitab versi lainnya seperti versi King James dan New English Translation (NET) menuliskan dalam bentuk yang sedikit berbeda. Dikatakan di sana bahwa orang-orang ini adalah “orang-orang yang kerap mendeklarasikan hukum-hukum Tuhan, dan suka membicarakan atau menyebut-nyebut perjanjian Tuhan”.
Dengan kata lain, sekalipun orang-orang ini beribadah pada Tuhan, gemar membaca, menyelidiki bahkan mendeklarasikan ketetapan Tuhan serta mengutip, menyinggung, menyebut-nyebut, dan membahas perjanjian Tuhan- nyatanya Tuhan tidak pernah mengakui mereka sebagai orang-orang yang memiliki hubungan dengan Dia.
Tuhan menyebutkan mengapa Ia menyebut mereka demikian di ayat 17-21.
Yaitu bahwa sekalipun mereka senang menyebut-nyebut hukum Tuhan dan berbagai hal berbau rohani lainnya, keseharian mereka rupanya jauh dari kehidupan orang yang mengenal Tuhan apalagi memiliki keintiman dengan Dia. Mereka menolak dikoreksi. Terhadap teguran dan peringatan firman, mereka acuh tak acuh. Meskipun tampaknya saleh, mereka berkompromi dengan dosa dan berhubungan dekat dengan orang-orang yang jahat dan korup. Di saat tertentu bibir mereka mendeklarasikan firman namun lidah mereka masih mengucapkan yang jahat dan membiasakan diri untuk berdusta. Pikiran mereka jahat sampai-sampai mereka berkata-kata yang buruk akan saudara mereka bahkan memfitnah keluarga mereka sendiri. Dan yang terburuk dari semuanya ialah mereka menganggap Tuhan sederajat dengan mereka. Itu menunjukkan sikap kurangnya rasa takut kepada Tuhan dan memandang bahwa Tuhan dapat mereka perlakukan atau suruh-suruh untuk selalu memenuhi apapun yang mereka minta dan perintahkan atas nama Tuhan.
Ini kekurangajaran rohani yang besar. Di tengah-tengah apa yang tampaknya sangat rohani, Tuhan tidak mendapati rasa hormat dan takut yang sejati. Semuanya hanya tampilan di depan manusia, demi tujuan-tujuan mereka sendiri. Bukan untuk mengasihi dan memuliakan Tuhan!
Tetapi kepada orang fasik Allah berfirman: “Apakah urusanmu menyelidiki ketetapan-Ku, dan menyebut-nyebut perjanjian-Ku dengan mulutmu,
padahal engkaulah yang membenci teguran, dan mengesampingkan firman-Ku?
Jika engkau melihat pencuri, maka engkau berkawan dengan dia, dan bergaul dengan orang berzinah.
Mulutmu kaubiarkan mengucapkan yang jahat, dan pada lidahmu melekat tipu daya.
Engkau duduk, dan mengata-ngatai saudaramu, memfitnah anak ibumu.
Itulah yang engkau lakukan, tetapi Aku berdiam diri; engkau menyangka, bahwa Aku ini sederajat dengan engkau. Aku akan menghukum engkau dan membawa perkara ini ke hadapanmu.
~ Mazmur 50:16-21 (TB)
Mungkin tak terbayangkan itu semua dilakukan oleh mereka yang selalu menunjukkan dirinya sebagai orang-orang rohani namun itu terjadi. Banyak kali.
Dan selalu akan ada saatnya semuanya terungkap dan terkuak ke permukaan. Tuhan telah mengetahui kekerasan dan kedegilan hati mereka semua. Dan ia muak akan semua itu. Jika manusia lain dapat tertipu, tidak demikian Tuhan. Ia tahu dan pasti segera menghakimi orang-orang fasik ini.
PARA PENYUKA PUASA YANG DIABAIKAN TUHAN
Serupa yang digambarkan Mazmur 50, nabi Yesaya menyampaikan suatu pesan profetik yang keras mengenai orang Israel yang gemar akan berbagi kegiatan rohani dan ambil bagian di dalamnya, termasuk mendengar dan mengikuti pengajaran-pengajaran tentang Allah.
Serukanlah kuat-kuat, janganlah tahan-tahan! Nyaringkanlah suaramu bagaikan sangkakala, beritahukanlah kepada umat-Ku pelanggaran mereka dan kepada kaum keturunan Yakub dosa mereka!
Memang setiap hari mereka mencari Aku dan suka untuk mengenal segala jalan-Ku. Seperti bangsa yang melakukan yang benar dan yang tidak meninggalkan hukum Allahnya mereka menanyakan Aku tentang hukum-hukum yang benar, mereka suka mendekat menghadap Allah,…
~ Yesaya 58:1-2 (TB)
Bukankah terasa janggal, bahwa mereka yang rajin berkecimpung dalam kegiatan dan urusan rohani, nyatanya MELAKUKAN PELANGGARAN DI MATA TUHAN dan BERDOSA DI MATANYA sehingga harus menerima teguran keras dari Tuhan sendiri?
Bahkan mereka berpuasa, merendahkan diri di hadapan Tuhan. Namun Tuhan mengabaikan mereka. Tak diindahkan-Nya semua yang mereka banggakan dan tunjukkan sebagai perbuatan-perbuatan yang tampak rohani itu.
“Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya juga? Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga?”
~ Yesaya 58:3 (TB)
Mengetahui ada nats semacam ini, sudah seharusnya kita tidak menjadi bodoh, yang menyangka bahwa setiap apa yang kita lakukan dengan menyebut-nyebut nama Tuhan dan aktif dalam berbagai acara maupun menunjukkan tampilan-tampilan seperti orang yang rajin beribadah akan pasti diterima sebagai orang yang dikenan Tuhan atau yang pasti memiliki hubungan dengan Dia.
Tuhan yang melihat hingga di ruang-ruang pribadi, yang mengetahui apa yang dilakukan di wilayah-wilayah privat dalam keluarga bahkan hingga ke setiap jengkal pemikiran dan relung-relung hati, ya, Ia yang mengetahui semuanya, Dialah yang menilai secara adil dan benar, tanpa prasangka atau penghakiman yang tak berdasar.
… Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus urusanmu, dan kamu mendesak-desak semua buruhmu.
Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena. Dengan caramu berpuasa seperti sekarang ini suaramu tidak akan didengar di tempat tinggi.
~ Yesaya 58:3-4 (TB)
Secara lahiriah mereka tampak seperti orang-orang yang rohani. Perkataan, tingkah laku, bahkan gaya hidup mereka terlihat rohani sekali. Dengan sering menyebut-nyebut nama Tuhan, berdoa bahkan berpuasa, siapakah yang meragukan mereka? Tapi Tuhan tahu prioritas di hidup mereka. Yang tampak di mata sebagian orang sebagai sikap dan pembawaan yang rohani nyatanya tidak diikuti kualitas atau bobot rohani yang sama dalam kehidupan pribadi mereka, khususnya terhadap orang-orang di sekeliling mereka sehari-hari. Tuhan menemukan mereka berpuasa SAMBIL TETAP FOKUS PADA DIRI DAN KEPENTINGAN MEREKA, bukan kepada Tuhan yang kepadanya mereka katakan sebagai tujuan puasa mereka itu. Tuhan juga melihat bahwa hati mereka penuh kesombongan, kebencian, tegar tengkuk, mau menang sendiri, bahkan kejam karena tega melakukan kekerasan dengan menyakiti orang lain dengan semena-mena!
Tuhan berkata, “Dengan caramu seperti itu, suaramu tidak akan didengar di tempat tinggi!” Yang artinya, doa-doa mereka, puji-pujian serta penyembahan mereka tidak akan pernah dipandang maupun diperhatikan Tuhan. Tuhan tidak cocok dengan sikap-sikap semacam ini. Semuanya tak sesuai dengan hati-Nya.
Ia mencari orang yang bukan sekedar menampilkan diri sebagai orang rohani. Ia tidak suka dengan mereka yang mengaku-ngaku kenal dekat dengan Dia tapi menolak ketetapan dan maksud kehendak-Nya. Ia ingin orang-orang yang mengenal pikiran dan menyelami hati-Nya, yang sepikiran dan sehati dengan-Nya. Ia muak dengan orang yang PURA-PURA mengenal Dia dan hidup bagi Dia tetapi dalam kenyataan sehari-hari hati dan hidup mereka jauh dari yang diharapkan di hadapan-Nya.
SALAH SATU TIPE MANUSIA AKHIR ZAMAN
Ribuan tahun berlalu, sikap hati dan cara-cara berhubungan dengan Tuhan semacam ini masih tetap ada. Jauh setelah masa-masa Perjanjian Lama, rasul Paulus di sekitar abad pertama menubuatkan berbagai tipe manusia yang muncul di akhir zaman. Orang-orang yang justru semakin matang dan canggih dalam dosa-dosa dan kepalsuan di hadapan Tuhan.
Salah satunya yang disebutnya dalam 2 Timotius 3:5 dan 7 :
Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!
yang walaupun selalu ingin diajar, namun tidak pernah dapat mengenal kebenaran.
Dikatakan bahwa mereka “secara lahiriah beribadah” (dan seseorang akan selalu tampak rohani saat beribadah). Tapi mereka memungkiri kekuatan ibadah itu.
Dengan cara apa?
Kuasa dari penyembahan sejati pada Tuhan ialah pergaulan kita dengan Dia yang selalu berdampak secara konsisten dan bertahap mengubah pribadi dan karakter kita. Kita akan diperbarui makin serupa Dia dan hidup kita mulai berbuah-buah bagi kemuliaan Tuhan. Memungkiri kekuatan ibadah berarti sebaliknya. Mereka yang melakukannya rajin hadir dalam berbagai program dan acara rohani namun tak banyak perubahan nyata dimana karakternya tak pernah berubah dan sangat sedikit berkat dan buah-buah rohani yang dirasakan orang-orang di sekitarnya. Mereka beribadah dengan giat tapi tingkah laku serta perbuatannya sehari-hari pada sesama menjadi batu sandungan dan membuat orang mempertanyakan, menyangsikan serta menghina Tuhan yang disebut-sebut dan disembahnya sebagaimana terlihat dari aktifitas keagamaan rutin mereka.
Ciri yang lain disebutkan Paulus: “selalu ingin diajar, tapi tidak pernah dapat mengenal kebenaran.” Frasa “selalu ingin diajar” artinya bahwa mereka suka belajar firman, rajin membaca serta mengumpulkan artikel rohani, rajin menyimak ulasan atau berita-berita rohani, tak pernah ketinggalan menghadiri KKR serta event-event rohani besar lainnya sehingga bisa dikatakan memiliki minat yang besar akan hal-hal yang berkaitan dengan kerohanian dan Tuhan. Tak jarang mereka dijuluki orang-orang fanatik atau mabuk agama karena melihat giatnya mereka itu akan hal-hal yang berbau rohani.
Walupun begitu, mereka “tidak pernah dapat mengenal kebenaran”. Mereka kehilangan tujuan dan inti utama pengajaran yang mereka cari dan peroleh itu. Kebenaran bukan semakin dekat tapi semakin jauh. Bagaimana bisa demikian?
Itu karena fokus mereka pada tampilan daripada isi. Mengejar kulit daripada isi. Puas dengan topeng daripada wajah asli di hadapan Tuhan.
Kebenaran menjadi baju zirah atau baju pelindung kita ketika dengan iman kita menjadi pelaku firman. Tapi orang-orang akhir zaman ini puas dengan menjadi pemirsa, penyimak dan pendengar firman belaka.
Kemurnian dan kesejatian menjadi kekuatan rohani kita saat kita sungguh-sungguh hidup di hadapan Tuhan sebagai anak-anak yang taat dari hati hingga pada tiap aspek hidup kita: pikiran perasaan dan kehendak kita yang diwujudnyatakan dalam perbuatan-perbuatan yang menyenangkan hati-Nya.
Sayangnya, beberapa orang mencoba menyelewengkan dan mengecilkannya dengan meyakini bahwa kerohanian sejati itu cukup sekedar melalui kehadiran rutin tanpa absen dalam berbagai acara rohani disertai tampilan-tampilan assesories rohani yang hanya mengesankan orang-orang yang memandangnya.
MENGUKUR KEINTIMAN DENGAN TUHAN BERDASARKAN TAMPILAN RELIGIUS ADALAH KEBODOHAN
Harus diakui, sudah merupakan sesuatu yang umum jika manusia menggunakan agama untuk membentuk suatu citra diri yang baik, tinggi, terhormat, dan suci. Dari situ, oleh karena kesesatannya, agama digunakan lebih lanjut untuk meraih tujuan-tujuan egois mereka sendiri. Demi Penghormatan. Kekaguman manusia dan massa. Uang. Daya tarik terhadap lawan jenis. Posisi di masyarakat. Jabatan dan kekuasaan politik. Dan keuntungan apapun lainnya.
Fatalnya, ke banyak orang mudah ditipu oleh tampilan. Tidak sedikit yang tertipu memandang seorang figur sebagai panutan dan tokoh kebaikan yang saleh berdasarkan tampilan-tampilan semata.
Itu semua karena sebagai manusia, kita terbiasa memandang rupa -sesuatu yang justru tidak pernah menjadi perhatian dan penilaian pertama dan utama Tuhan. Manusia sangat dipengaruhi yang dilihat mata jasmaninya. TUHAN melihat sesuatu yang tak dapat ditutupi atau dipalsukan: hati manusia.
… Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi,..
Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”
~ 1 Samuel 16:7 (TB)
Itulah sebabnya penampilan tidak dapat diandalkan sebagai ukuran. Penampilan itu menipu. Serohani apapun itu. Percaya dan meyakini seseorang merupakan orang-orang yang dekat dengan Tuhan berdasarkan tampilan-tampilan belaka sudah tentu merupakan kebodohan, yang apabila diteruskan akan membawa pada jalan kesesatan yang dalam.
Sama seperti kita tidak dapat menilai profesi atau pekerjaan seseorang berdasarkan peran yang dimainkannya di dalam sebuah film, sebaik apapun ia memerankannya, demikianlah seharusnya kita tidak menilai bahwa orang-orang tertentu yang rajin menghadiri acara-acara rohani, yang suka menampilkan seperti orang yang saleh sebagai orang-orang yang benar-benar memiliki hubungan dengan Tuhan.
Sudah seharusnya kita tidak silau, terpukau, terpesona atau mudah percaya dengan yang mengesankan indera jasmaniah kita. Kita perlu mengetahui ukuran-ukuran yang benar sesuai standar kebenaran firman untuk menguji serta menilai segala sesuatu. Tak lupa secara rendah hati bergantung dan senantiasa meminta pimpinan Roh Kudus untuk menolong kita membedakan mana yang murni di hadapan Tuhan dan mana yang bukan.
KEROHANIAN SEJATI DIMULAI DARI HATI DAN HIDUP YANG TERSEMBUNYI DI HADAPAN MANUSIA, YANG SAAT TUHAN MELIHATNYA IA BERKENAN ATASNYA
Lebih dari sekali Yesus menyampaikan dalam pengajaran-Nya di atas bukit yang terkenal itu pesan semacam ini:
Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”
Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.
… supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”
~ Matius 6:4, 6, 18 (TB)
Jika Yesus menyebutkan sesuatu hal lebih dari sekali maka itu pastilah sesuatu yang penting dan harus benar-benar kita perhatikan dengan seksama.
Dari sini kita seharusnya menjadi paham bahwa Allah yang kita sembah menyukai ketulusan dan kerendahan hati. Ia menghargai bahkan membalas setiap ibadah yang semata-mata ditujukan untuk Dia demi menyukakan hati-Nya. Bukan yang kita lakukan di depan orang supaya diketahui, diakui, dikagumi, dan dipuji orang.
Bukankah Yesus mengawali khotbah-Nya itu dengan mengucapkan sembilan kata bahagia? Dan bukankah kesemuanya menekankan pada SIKAP HATI DI HADAPAN DIA lebih daripada tampilan apapun yang bisa kita tunjukkan di depan orang?
“Berbahagialah yang… miskin (hati) di hadapan Allah, yang berdukacita, yang lemah lembut, yang lapar dan haus akan kebenaran, yang murah hatinya, yang suci hatinya, yang pendamai, yang rela dianiaya karena kebenaran…”
Allah tidak menyukai pameran kesalehan dan sikap unjuk diri dalam beribadah. Bagi Bapa di sorga, penyembahan kita harus merupakan tindakan yang muncul keluar dari bagian paling dalam dan dasar diri kita yaitu hati kita, yang dilakukan demi satu-satunya tujuan : mengasihi dan memuliakan Dia yang layak dipuji dan ditinggikan itu.
Menampilkan diri kita sebagai orang yang rohani apalagi demi mengesankan atau mengelabui orang bukan saja mengurangi nilai penyembahan kita namun itu akan membawa murka Tuhan atas kita. Tidakkah Tuhan akan memperhitungkan kita sedang membohongi dan menipu orang dengan menggunakan Dia sebagai alatnya?
Sesungguhnya Tuhan kerap merasa kecewa mengamati sikap umat-Nya. Sementara kita puas dan bangga dengan berbagai program dan acara yang kita sebut kita rayakan bagi Dia, pernahkah terpikir jika Tuhan mencari lebih dari itu? Yaitu hidup kita yang dserahkan dan diabdikan untuk tujuan dan renacana-Nya?
Patung-patung tertinggi dibuat untuk menghormati Yesus Kristus, didirikan di seluruh dunia (tiga di antaranya di wilayah Indonesia dan satu di Timor Leste). Namun apakah kita menemukan orang-orang Kristen paling tulus, yang memegang teguh prinsip-prinsip ajaran Kristus dan mengaplikasikannya dalam kasih sebagaimana yang Tuhan kehendaki saat kita meneliti kota-kota dimana monumen-monumen keagamaan itu ditegakkan? Bukankah kita harus jujur mengakui bahwa di negara di tempat patung Cristo Redentor (Kristus Penebus) yang terkenal itu ada, tingkat korupsi dan kriminal sangat tinggi dan taraf sangat meresahkan dan memalukan? Salah satu patung tertinggi Yesus itu bahkan ada yang didirikan di sebuah kota di Eropa yang merupakan pusat perjudian di sana!
Lalu, bagaimana dengan yang di Indonesia?
Kita bisa menilainya sendiri.
Akankah Tuhan berkenan jika patung peringatan bagi-Nya yang dibangun sebagai landmark (ciri khas penanda suatu wilayah) suatu daerah yang mengaku sebagai umat-Nya namun dari sana terdengar kabar busuk dan tercium bau anyir limbah dosa dan kejahatan yang tidak jauh berbeda dengan tempat-tempat yang tidak menyebut nama-Nya?
PENUTUP
Mereka yang beribadah dari hati mencari kehendak Tuhan untuk dilaksanakan dan diwujudkannya dalam hidupnya. Mereka jarang unjuk diri untuk menyatakan bahwa diri mereka memiliki hubungan dengan Tuhan dan telah berbuat banyak untuk Tuhan.
Seperti Daud berencana mendirikan Bait Suci termegah bagi Tuhan, namun hati Allahnya tidak menghendaki hal itu. Ia pun taat. Tuhan pun memberikan kesempatan dan kasih karunia untuk melaksanakan program itu pada masa Salomo.
Namun setelah Bait Suci yang dibangun Salomo itu berdiri, adakah hati Allah disenangkan dengan salah satu bangunan termegah yang pernah dibangun di muka bumi itu? Sepertinya tidak. Ia justru terkenang-kenang dan merindukan Kemah atau Pondok Daud yang sederhana dan berniat menegakkannya kembali melalui gereja-Nya.
“Pada hari itu Aku akan mendirikan kembali pondok Daud yang telah roboh; Aku akan menutup pecahan dindingnya, dan akan mendirikan kembali reruntuhannya; Aku akan membangunnya kembali seperti di zaman dahulu kala,
~ Amos 9:11 (TB)
Meminjam istilah Tommy Tenney, rumah kesukaan Tuhan, Pondok Daud itu, merupakan tempat dimana dalam segala ketulusan, kesejatian dan kemurnian Ia disembah, dikagumi dan dimuliakan. Suatu tempat yang diadakan hanya untuk mengesankan dan menyenangkan Dia. Bukan untuk tujuan-tujuan lain. Tidak mengherankan jika kemudian Bait Salomo yang demikian megah akhirnya Ia musnahkan sama sekali oleh sebab telah menjadi tempat untuk kepentingan dan tujuan yang lain, yang tidak sesuai dengan hati-Nya.
Tinggal di dalam Kristus berarti menjadi satu dan sepakat dengan Dia. Dan itu nyata melalui suatu kehidupan yang merupakan penerapan dari firmannya dan pelaksanaan kehendak-Nya. Suatu hidup yang makin hari terlihat menunjukkan karakter-karakter seperti Yesus Kristus Tuhan. Bukan sekedar tampilan yang religius namun di balik itu ada suatu cara hidup yang ternyata berlawanan dengan ketetapan-ketetapan Tuhan, yang justru membawa duka di hati-Nya.
Biarlah doa kita menggerakkan dan menyentuh hati-Nya. Biarlah pujian kita menyunggingkan senyum di wajah-Nya. Biarlah penyembahan kita membuat hati-Nya bersuka cita. Biarlah tampilan-tampilan rohani kita merupakan ungkapan dari hati kita terdalam di mana di sana dibanjiri rasa rindu untuk lebih intim lagi dengan Dia.
Biarlah deklarasi kita menjadi saluran kuasanya. Dan biarlah perjanjian-perjanjian-Nya, yang kita sebut-sebut di mulut kita, menjadi saluran berkat dan kemenangan secara nyata dalam hidup kita.
Saat kita sungguh-sungguh rela mengasihi dan taat kepadanya…
Adakah itu akan didapati Tuhan dalam hidup Anda ?
“Sebab yang disebut Yahudi bukanlah orang yang lahiriah Yahudi, dan yang disebut sunat, bukanlah sunat yang dilangsungkan secara lahiriah.
Tetapi orang Yahudi sejati ialah dia yang tidak nampak keyahudiannya dan sunat ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara hurufiah. Maka pujian baginya datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah.”
~ Roma 2:28-29
SALAM REVIVAL!
Indonesia penuh kemuliaan Tuhan.