MENANGGUNG SALIB GANTI SUKACITA

Renungan Jumat Agung 2017
Oleh: Peter B, MA

Sama seperti peringatan-peringatan keagamaan lainnya, setiap tahun umat kristiani merayakan Jumat Agung dan Paskah dua hari kemudian. Suatu seremoni yang terus berulang tahun demi tahun. Ada emosi dan suasana yang berbeda mewarnai musim-musim itu. Membangkitkan banyak kenangan yang kembali muncul; campur aduknya berbagai perasaan entah haru, sedih atau gembira; ada kesibukan atau sensasi tersendiri melalui masa-masa perayaan semacam ini.  Tahun-tahun hidup kita menjadi semarak dan kurang dari kebosanan.
Hanya saja, sama seperti acara-acara rohani yang terus berulang dan dirayakan lainnya, jika kita tidak mengambil waktu untuk merenungkan kembali mengapa kita melakukan semua itu, kita hanya akan beroleh sensasi dan kegembiraannya namun kehilangan makna terdalamnya. Alih-alih bertambah bijak memandang kehidupan dan semakin berakar dalam pengenalan akan Tuhan, tidak sedikit anak-anak Tuhan yang semakin nyaman dengan kondisi rohaninya yang tanpa disadari menjadi lebih bersifat agamawi daripada rohani dan merasa  dirinya kian saleh di pemandangannya sendiri tahun demi tahun.

Sebagai contoh, selagi kita memperingati penderitaan Kristus dalam drama penyaliban yang terjadi lebih dari 2000 tahun yang lalu melalui ibadah khusus, misa, lagu-lagu pujian dan penyembahan, perjamuan suci dan tentunya tidak ketinggalan pertunjukan dramatisasi Via Dolorosa yang kerap dimainkan kaum muda gereja, ya selagi kita melewati hari Jumat ini dengan membayangkan kengerian seperti yang ditampilkan dalam film The Passion of the Christ sembari meratapi dan menangisi betapa sengsaranya juruselamat kita menanggung setiap dosa dan hukuman kita, PERNAH TERPIKIRKANKAH DI PIKIRAN KITA APAKAH HANYA ITU YANG KRISTUS KEHENDAKI ATAS KITA SETIAP TAHUN SAAT BERKUMPUL DI GEREJA MENGENANG JUMAT YANG DIAGUNGKAN ITU?
Dan, dengan melakukannya, sudahkah kita puas dan merasa telah melakukan kehendak-Nya serta menyenangkan hati-Nya? Benarkah jika seremoni dan liturgi hari-hari dan puncak perayaan itu saja yang menjadi inti dari Jumat Agung dan Paskah kita?

Kesalahan terbesar kita dalam hubungan kita dengan Tuhan ialah menyangka bahwa kita sedang berbakti kepada Tuhan namun sesungguhnya kita sedang memuaskan tuntutan moral serta menghapus rasa bersalah yang menghantui kita karena sebenarnya kita tidak sungguh-sungguh mengasihinya. Sesungguhnya hubungan yang kuat dan nyata antara dua pribadi adalah hubungan yang sangat mendalam yang ditandai dengan menyatunya hati dan pikiran dua pribadi itu sehingga yang satu menerima serta sepakat dengan yang lain pada akhirnya. Itu lebih dari sekedar mengumbar kemesraan di depan publik atau foto-foto romantis yang kerap diupload oleh sepasang kekasih di media-media sosial. Hubungan yang mendalam jauh melewati batas-batas yang ditampakkan di depan umum. Itu bermakna sampai ke tulang sumsum, darah dan daging. Tembus hingga ke ruang-ruang batin terdalam sampai ke relung-relungnya. Hubungan itu demikian dalam dan berarti sehingga kita sukar membayangkan perpisahan terjadi atasnya.

Hubungan kita dengan Tuhan tidak dapat diukur dari kedatangan kita secara tetap ke gereja di saat-saat peringatan semacam ini. Itu diukur dari pikiran, hati dan hidup yang berjalan bersama Dia tiap-tiap hari. Kenangan kita akan pengorbanan Kristus tidak selayaknya dilakukan sekali setahun seolah mengenang meninggalnya orang yang kita sayangi saat berziarah ke kuburnya. Bukan demikian. Sebab Kristus yang Anda dan saya sembah bukan sosok yang mati sekarang ini. Ia pernah mati tapi tidak lagi. Memperingati kematian-Nya seperti mengenang jasa pahlawan-pahlawan pun tidak layak. Ia hidup, Ia bergerak, Ia berkarya dan bekerja melalui gereja-Nya untuk menggenapkan tujuan-Nya atas dunia ini sebelum kedatangan-Nya kali kedua.

Penulis surat Ibrani memberi kita petunjuk bagaimana seharusnya mengenang pengorbanan Kristus:

“Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.
Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.” (Ibrani 12:1-2)

Perhatikanlah.
Sebagai orang percaya kita DIWAJIBKAN UNTUK TURUT SERTA DALAM PERLOMBAAN YANG SUDAH DITETAPKAN BAGI KITA. Hidup kita sebagai anak-anak Tuhan sehaprusnya serupa perlombaan, bukan jalan-jalan santai menikmati keindahan sekitar kita.
Kita juga dinasihati supaya bukan sekedar berlomba tapi BERLOMBA DENGAN TEKUN. Dan untuk melakukannya, kita dipanggil untuk menanggalkan semua beban dan dosa yang menghambat kemenangan kita dalam perlombaan itu.

Perlombaan apakah gerangan?
1 Timotius 6:12 menyebutkan supaya, “Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal.” Lalu 1 Korintus 9:25  menambahkan bahwa “tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi.”
Perlombaan bagi orang-orang percaya adalah perlombaan iman. Untuk mempertahankan hidup kekal (yang tepatnya disebut sebagai” lay hold” atau “hold tightly” the eternal life)  dan memperoleh mahkota abadi. Sebenarnya ini pula yang dimaksud oleh rasul Petrus sebagai “… , berusahalah sungguh-sungguh, supaya panggilan dan pilihanmu makin teguh. Sebab jikalau kamu melakukannya, kamu tidak akan pernah tersandung. Dengan demikian kepada kamu akan dikaruniakan hak penuh untuk memasuki Kerajaan kekal, yaitu Kerajaan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus.” (2 Petrus 1:10-11). Hidup kekal telah diberikan pada kita saat kita percaya dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Namun, jika kita tidak tetap dalam iman dan mengikut Dia untuk tinggal dan bertumbuh dalam kasih karunia-Nya, kita dapat melepaskannya dan kembali pada jalan kebinasaan.
Benarlah jika dikatakan bahwa hidup kekal diberikan secara cuma-cuma namun untuk tetap dalam jalan dan jalur yang benar hingga kita menerima hidup kekal itu merupakan sebuah perjuangan, pertandingan, perlombaan, kerja keras, disiplin dan susah payah di dalam Tuhan. Itulah berjalan di jalan yang sempit itu. Itulah jalan hidup menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus! Terpujilah Tuhan bahwa saat kita melakukannya, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Roh Kudus menjadi penolong setia dan penuh kuasa asalkan kita bersedia bertahan sampai kesudahannya.

Iblis melalui kekuasaannya atas sistem dunia tidak pernah tenang sebelum anak-anak Tuhan membuang imannya dan menyerahkan kembali kendali hidup mereka ke tangan penguasa neraka itu. Ia ingin menyeret anakanak Tuhan keluar dari jalan iman agar kembali berpacu di jalur dunia yang penuh kesia-siaan ini. Itu sebabnya kita dipanggil untuk berjuang dalam perlombaan sampai kita memenangkan hadiahnya.
Jika kita mengaku sebagai orang percaya, kita seharusnya merupakan salah satu kontestan dalam perlombaan ilahi itu. Tuhan ingin kita berhasil dan menang. Tampil sebagai juara dan menerima hadiah abadi yang tak ternilai itu. Dan Ia tidak membiarkan kita kesulitan sendirian mengerjakannya. Tuhan memberitahukan kita kunci kemenangannya. Itu berhubungan dengan sengsara Kristus.

Ibrani 12:2 mengatakan supaya kita “melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.”

Supaya kita meraih hidup dan upah kekal dalam kemuliaan yang tiada taranya, kita harus berlomba dengan MATA YANG TERTUJU PADA YESUS. Dialah teladan kita yang sempurna sebagaimana dinyatakan dalam ayat ke-3 : “Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa.”
Penderitaan Kristus menanggung salib ialah SEBUAH TELADAN DAN INSPIRASI ROHANI TERBESAR dalam kita mengikut Dia. Serupa dengan Dia memikul salib-Nya, kita dipanggil menyangkal diri, memikul salib kita setiap hari dan berjalan mengikut Dia. Itulah perlombaan iman kita sampai saat terakhir. Sebelum kita menjadikan penderitaan-Nya sebagai suatu teladan supaya kita tidak putus asa mengikut Dia, maka sesungguhnya KITA BELUMLAH MENGENAL MAKNA JUMAT YANG MULIA ITU.

Kita harus berhenti bermain-main dalam hubungan kita dengan Tuhan. Maksud dan tujuan-Nya dalam hidup kita telah jelas. Kita bisa menipu diri kita atau orang lain atau bahkan bersandiwara di depan banyak orang. Tapi kita tidak bisa menipu Tuhan. Ia tahu apa yang ada di dalam hati kita hari ini:  apakah kita sedang berusaha melakukan kewajiban agamawi kita ataukah kita kembali menetapkan suatu tekad di hati kita untuk tidak pernah undur namun terus berlari lebih jauh dalam pertandingan iman dan menuntaskan apa yang telah Tuhan mulai di dalam kita. Dia tahu apakah kita hanya ingin mencari perhatian dan berkat-berkat Tuhan (yang tidak lain hanya bermaksud memanfaatkan-Nya demi kepentingan egois kita sendiri) ataukah kita benar-benar rindu menghidupi kehidupan dan kematian Kristus, meneladani jalan hidup-Nya karena kita mengasihi Dia lebih dari apapun di dunia ini.

Di Jumat itu, Yesus menanggung segala malu, celaan, hinaan, cemoohan, deraan, luka, cidera, kesakitan luar biasa, dan “neraka” demi SUATU SUKACITA YANG DISEDIAKAN BAGI DIA. Sukacita itu ialah sukacita saat melihat Anda dan saya beroleh masa depan. Ketika Anda dan saya beroleh harapan untuk bersama-sama dengan Dia dalam kebahagiaan selama-lamanya di kekekalan. Sukacita melihat kita  hidup dalam hidup yang baru, yang mempunyai makna dan tujuan terbaiknya. Sukacita karena melihat dosa dikalahkan dan banyak orang menjadi percaya mengetahui kesaksian hidup kita yang meneladani Dia.

Tak dihiraukan-Nya Jalan Penderitaan sebab SUKACITA ITU TERLEBIH BESAR DARI YANG DIDERITA-NYA. Sukacita untuk melihat kita kembali ke rumah Bapa dan bekerja lagi bersama Bapa di ladang-Nya, dengan segala kerelaanmengambil bagian dalam menggenapi tujuan dan kerinduan hati-Nya menjangkau dunia yang terhilang. Satu kali kelak, sukacita terbesar dan tak terbayangkan TERSEDIA BAGI KITA yang mengikuti jejak-Nya.

Sudah saatnya kita beranjak dari menerima dan mengalami kuasa darah dan bilur-Nya bagi pengampunan dan kesembuhan kita KEPADA kuasa darah dan bilur Yesus sebagai SUMBER KERELAAN DAN KEKUATAN KITA UNTUK HIDUP BAGI KEMULIAAN-NYA.

CINTA TUHAN SUDAH TERBUKTI BAGI KITA, BAGAIMANA DENGAN BUKTI CINTA ANDA PADA-NYA?

Salam revival!
Indonesia bagi kemuliaan TUHAN.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *