Dalam kedua hal inilah: kasih dan keadilan Tuhan, manusia seringkali tidak dapat menangkap dan mengertinya. Sifat egois dan keangkuhan pikiran manusia seringkali lebih mudah mengerti dan ‘senang’ pada kasih karunia daripada keadilan Allah. Atas kasih yang besar itu, manusia yang sudah kehilangan kemuliaan Allah berkata, “Sudah sewajarnya”. Tetapi terhadap keadilan Allah, mulut-mulut pemberontakan berkata, “Itu tidak mungkin” atau “Allah tidak adil”. Kasih karunia diterima sebagai alasan untuk terus hidup dalam dosa dan sebagai alasan untuk tidak bertobat.
Sesungguhnya kasih karunia Allah dimaksudkan sebagai suatu sarana dan kekuatan bagi setiap mereka yang rindu untuk terus menerus tinggal di dalam Dia dan mengejar kekudusan dengan setia. Dimana kita kemah dan merasa tidak mampu, di situlah kasih karuniaNya menopang kita dan memberikan harapan yang tidak berkesudahan. Kasih karunia Allah sama sekali tidak dimaksudkan sebagai pengganti dari hukuman atas mereka yang berdosa dan tidak mau bertobat. Tetapi siapa mau berbalik kepada Allah, menerima kasihNya dan hidup bagi Dia dalam kasihNya itu, maka tidak ada lagi penghukuman bagi dia. KasihNya jauh lebih besar dari penghukuman tetapi jika kasih yang besar itu ditolak maka tidak ada pilihan lain lagi selain hukuman berdasarkan keadilanNya (renungkan dengan penuh kesungguhan Yohanes 3:16-21)
Kasih yang begitu sempurna itulah yang seharusnya menarik dan membawa manusia mendekat, menyembah, menjalin keintiman dengan Allah dan memberikan kasih yang terutama dan seluruhnya bagi Dia. kasih manusia yang mendua, bercabang, dan tidak setia jelas bukan berasal dari pekerjaan Allah. Apa yang berasal dari Allah pastilah selaras dan sesuai dengan sifat-sifatNya. Kasih manusia di masa kini telah mengalami degradasi oleh karena dosa dan tipu daya setan. Kebenaran yang sejati adalah bahwa mustahil kita menyembah Tuhan dan mengasihi dunia.
Jika kita mengasihi dunia pastilah kita bukan penyembahNya dan sebaliknya, jika kita menyembah Tuhan maka dunia bukanlah suatu objek bagi kasih kita. Dalam hal ini Israel telah gagal. Perjalanan mereka selama 40 tahun di padang gurun membuktikan hal itu. Secara lahiriah mereka seola-olah beribadah kepada Allah tetapi sesungguhnya hati mereka tidak pernah tertuju sepenuhnya pada Tuhan. Mereka membuat patung lembu emas, menghujat Tuhan karena sekedar tuntutan perut serta sifat-sifat daging mereka tidak pernah percaya dan berserah pada Tuhan. Penyembahan mereka jelas bukan kepada Tuhan tetapi diri mereka sendiri.
Melihat kepada diri kita pribadi maka seharusnyalah kita yang dipanggil sebagai “bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, dan umat kepunyaan Allah sendiri..” (1 Petrus 2:9) seperti Israel, kita harus menjaga diri dan hati kita dari segala illah dan perkara lain yang mencoba mengambil alih posisi satu-satunya Tuhan dan Raja kita, Yesus Kristus. Ada batu uji yang cukup baik yang pernah diajukan oleh Dr. A. W. Tozer. Ini merupakan suatu cara yang tajam untuk dapat mengevaluasi diri kita sendiri dan tidak hanya mengetahui siapa kita namun juga bagaimana cara kita hidup dengan setia sebagai pengikut Kristus dalam suatu lingkungan yang penuh dosa dan menggiurkan.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di bawah ini bukanlah untuk kita menilai dan menghakimi banyak orang atau seorang saudara kita, tetapi semata-mata untuk mengoreksi dan menguji hidup kita sendiri di hadapan Tuhan. Berikut ini 7 pertanyaan itu:
1. Apa yang paling kita inginkan?
2. Apa yang paling sering kita pikirkan?
3. Apa yang kita gunakan dengan uang kita?
4. Apa yang kita lakukan pada waktu senggang kita?
5. Apa perkumpulan/pergaulan yang kita sukai?
6. Apa dan siapa yang kita kagumi?
7. Apa yang membuat kita tertawa?
Mengevaluasi diri kita sendiri menurut kriteria-kriteria ini dalam terang Firman Allah akan membantu kita untuk memahami dengan lebih baik dari kita sendiri dan motivasi-motivasi kita. Apa yang paling kita inginkan di dunia ini? Apa yang kita pikirkan tanpa sadar? Apa yang kita lakukan dengan uang kita yang bebas kita gunakan? Bagaimana kita menggunakan waktu senggang kita? Dengan siapakah kita berteman? Siapakah yang kita lihat sebagai contoh dan panutan? Apakah rasa humor kita memuliakan Allah atau melayani dunia?
Jawaban yang jujur atas pertanyaan-pertanyaan di atas paling tidak dapat mengungkap seberapa besar perhatian, ketertarikan, keinginan, kerinduan, bahkan penyerahan kita di hadapan Tuhan. Tujuan dan hasil akhir yang hendak dicapai adalah kita dapat menjadi penyembahan-penyembahan yang sejati (true worshipper), yang dicari dan dikehendaki oleh Bapa di surga. Sekali lagi, kita kembali kepada definisi penyembahan: menempatkan Tuhan setinggi-tingginya dan merendahkan diri kita serendah-rendahnya.
Dalam penyembahan, segala sesuatu seharusnya dipersembahkan dan dipandang sebagai milik Tuhan.
Segala sesuatu. Apapun yang kita miliki. (Tapi benarkah kita masih memiliki sesuatu? Bukankah hidup kita sesungguhnya telah dibeli dan lunas dibayar menjadi milikNya?)
Sudahkah kita mengembalikan milikNya? Penyembahan bukan persoalan dari apa yang kita lihat dan lakukan. Penyembahan adalah masalah hati. Apa yang ada di hati kita mendasari dan menjadi inti penyembahan kita. Dalam hati yang menyembah, ada komitmen di dalam hati untuk menyembah Dia, dan hanya Dia saja.
Tuhan tidak berubah, demikian pula panggilan dan hukumNya atas umatNya. Hari ini Tuhan masih mencari-cari adakah yang gentar akan FirmanNya? Adakah yang tergerak dan gemetar dalam sujud penyembahan sejati saat Ia berkata,” jangan ada padamu Allah lain dihadapanKu?” AMIN