PANDANGAN TERKAIT PERCERAIAN

Oleh : Bpk. Peter B, MA

(sumber percakapan dari group diskusi – Worship Center)

Selamat pagi rekan² grup Disciples semuanya.
Selama dua hari saya mencoba mendalami masalah perceraian yang telah didiskusikan sebelumnya. Dengan tujuan untuk benar² menemukan dengan lebih jelas dan tepat apa yang dimaksud oleh Tuhan dalam ayat² firman-Nya terkait hal ini.
Terus terang, sebelumnya saya belum pernah benar² secara khusus meneliti dan mendalami masalah ini dalam studi² saya di bidang pengajaran. Namun karena kontroversi yang terjadi dan semakin membingungkan banyak anak Tuhan, saya merasa tergerak untuk turut ambil bagian memberikan penjelasan dari sudut pandang pengajaran, bidang dimana saya percaya Tuhan memanggil dan memberikan otoritas rohani-Nya bagi saya.
Berikut beberapa poin penting yang saya temukan terkait diskusi tentang perceraian. Saya berharap ini menjadi perenungan lebih lanjut, bukan bahan perbantahan apalagi debat kusir, yang kemarin terasa sekali kurang bermutu karena bukan didasarkan pada pencarian dan jawaban atas pertanyaan² yang diajukan atau penilaian yang jujur dari pemikiran² yang ada tetapi lebih kepada argumen² pribadi yang kurang didukung penafsiran yang seharusnya dilakukan terhadap ayat² Alkitab.
Saya tidak mengklaim diri saya telah memiliki pendapat yang paling benar. Namun, saya melakukan apa yang saya bisa lakukan sebagai usaha menemukan kebenaran yang alkitabiah. Saya sendiri mendapatkan tambahan informasi yang penting untuk memahami tentang perceraian ini dari penjelasan/pengajaran Dr Widjanadi, yang dibagikan bu Merry kemarin. Dimana penjelasan tsb menggugah saya mencari tahu lebih jauh mengenai makna ayat² Alkitab dan data² Alkitab yang lain terkait perceraian.
Berikut beberapa poin hasil penemuan saya, suatu tafsiran yang saya coba bangun dari sudut pandang yang bisa dipertanggungjawabkan sebagai ajaran dan prinsip yang sehat, yang dapat kita pertimbangkan sebagai suatu pegangan dalam hal memahami masalah perceraian di hadapan Tuhan:
1) Adalah benar ada 2 kata yang berbeda dalam Matius 5:32 dan Matius 19:9, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai “zinah”. Dua kata tsb memiliki pengertian yang berbeda tetapi diterjemahkan menjadi satu kata yang sama sehingga dari pendekatan awal akan membingungkan pembacanya.
Matius 5:32 (TB) 
Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah (seharusnya diterjemahkan sebagai percabulan atau perbuatan amoral secara seksual), ia menjadikan isterinya berzinah (yang dimaksud adalah berhubungan secara seksual dengan bukan pasangan sahnya dalam perkawinan); dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.
2) Dan memang benar bahwa alasan untuk bercerai yang dimaksud Yesus dalam nats di atas (frasa “kecuali karena zinah”), bukanlah zinah sebagaimana yang disebutkan dalam Matius 5:28 maupun dalam ayat² di atas yang memiliki pengertian berhubungan secara seksual dengan seseorang yang bukan suami/istrinya. Jadi memang benar bahwa pengertian zinah yang semacam ini tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan perceraian. Namun pada sisi lain, tetap ada alasan untuk dibolehkannya terjadinya perceraian sebagaimana yang Yesus sendiri katakan.
3) Dari nats di atas itu saja, jelas sekali bahwa ada alasan yang dibolehkan untuk perceraian, meskipun Allah membenci perceraian. Ini tidak bisa dibantah sebab pernyataan tersebut disampaikan oleh Yesus sendiri. Jadi sebaiknya, jangan sampai memaksakan pandangan bahwa perceraian sama sekali tidak diperbolehkan, sebab itu pasti menentang pernyataan Allah sendiri
4) Alasan perceraian dibolehkan (bukan diperintahkan atau dianjurkan) adalah hanya karena satu hal saja, yaitu karena telah terjadinya suatu “porneia” yang dilakukan salah satu atau kedua pihak. Makna dari “porneia” secara mendasar diringkas dalam bahasa Inggris “harlotry, yang maksudnya adalah” “suatu gaya hidup tak bermoral, yang menolak prinsip² kekudusan seksual yang ditetapkan oleh Tuhan tetapi mengeraskan hati hidup dalam perbuatan² yang amoral secara seksual, seperti misalnya pergaulan bebas, prostitusi, atau berbagai penyimpangan seks lainnya seperti homoseksual, bestialitas, menjadi waria dst. Termasuk sebenarnya di sini ialah jika seseorang telah mencemarkan diri dengan istri/suami orang lain dan tidak bersedia meninggalkan dosa tsb. 
Pengertian “porneia” juga bisa berarti “idolatry” atau penyembahan berhala yang menunjukkan inti dari kondisi orang yang hidup di dalamnya dimana ia terikat kepada sesuatu yang lain lebih daripada kepada Tuhan, yang dalam hal ini adalah perbuatan² seks yang di luar ketetapan Tuhan.
Singkatnya, perceraian diijinkan apabila salah satu pihak dalam perkawinan telah memilih gaya hidup dalam percabulan / seks yang tidak sesuai ketetapan Tuhan.
5) Pengertian “porneia” yang banyak kali diterjemahkan sebagai “percabulan” ini pula yang menjadikan mengapa Tuhan, sebagaimana dituliskan dalam Yeremia 3:8, memberikan surat cerai untuk Israel. Konteks Yeremia 3:8, jelas sekali, bahwa memang Israel telah berzinah dalam pengertian hidup dalam suatu cara yang tidak bermoral, tidak setia dan berkhianat kepada Tuhan dengan membiarkan dirinya dicemarkan ilah-ilah lain (bersundal secara rohani).
Yeremia 3:1-3, 6-9 (TB) 
Firman-Nya: “Jika seseorang menceraikan isterinya, lalu perempuan itu pergi dari padanya dan menjadi isteri orang lain, akan kembalikah laki-laki yang pertama kepada perempuan itu? Bukankah negeri itu sudah tetap cemar? Engkau telah berzinah dengan banyak kekasih, dan mau kembali kepada-Ku? demikianlah firman TUHAN.
Layangkanlah matamu ke bukit-bukit gundul dan lihatlah! Di manakah engkau tidak pernah ditiduri? Di pinggir jalan-jalan engkau duduk menantikan kekasih, seperti seorang Arab di padang gurun. Engkau telah mencemarkan negeri dengan zinahmu dan dengan kejahatanmu.
Sebab itu dirus hujan tertahan dan hujan pada akhir musim tidak datang. Tetapi dahimu adalah dahi perempuan sundal, engkau tidak mengenal malu.
TUHAN berfirman kepadaku dalam zaman raja Yosia: “Sudahkah engkau melihat apa yang dilakukan Israel, perempuan murtad itu, bagaimana dia naik ke atas setiap bukit yang menjulang dan pergi ke bawah setiap pohon yang rimbun untuk bersundal di sana?
Pikir-Ku: Sesudah melakukan semuanya ini, ia akan kembali kepada-Ku, tetapi ia tidak kembali. Hal itu telah dilihat oleh Yehuda, saudaranya perempuan yang tidak setia.
Dilihatnya, bahwa oleh karena zinahnya Aku telah menceraikan Israel, perempuan murtad itu, dan memberikan kepadanya surat cerai; namun Yehuda, saudaranya perempuan yang tidak setia itu tidak takut, melainkan ia juga pun pergi bersundal.
Dengan sundalnya yang sembrono itu maka ia mencemarkan negeri dan berzinah dengan menyembah batu dan kayu.
Jadi, perbuatan menentang Tuhan dengan mengikatkan diri pada dosa² yang mencemarkan dirinya lalu menolak untuk bertobat, dapat menjadi dasar atau alasan yang sah untuk bercerai. Dan jika Tuhan saja memberikan surat cerai, siapakah kita sehingga berani mengatakan bahwa perceraian tidak diijinkan sama sekali?
6) Meskipun diijinkan, persoalan bercerai atau tidak diserahkan kepada masing² pribadi. Maksudnya, orang boleh memilih untuk bercerai atau tidak ketika telah terjadi gaya hidup dalam perzinahan dalam rumah tangganya. Meskipun demikian, keputusan untuk bercerai tidak selalu harus diambil. Ini digambarkan dalam kisah Hosea yang mengambil kembali istrinya yang kembali melacur itu. Pada sisi lain, jika terjadi perceraian pun, pihak yang meminta cerai juga tidak disalahkan dalam hal ini.
7) Alasan lain untuk perceraian tidak diijinkan, termasuk dalam hal pasangan tidak seiman, kecuali apabila salah satu pihak mengikuti prinsip² gaya hidup duniawi (yang lebih khusus lagi dalam hal seksualitas) dimana akhirnya terjadi perbedaan di dalam prinsip perkawinan. Ini pula yang dimaksud oleh rasul Paulus dalam 1 Korintus 7:12-13, 15
Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. 
Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu.
Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera.
8) Meskipun kemungkinan perceraian sangat diperkecil dalam ajaran Tuhan, tidak tertutup kemungkinan akan banyaknya dan parahnya kasus dalam rumah tangga mengingat tidak semua orang yang mengaku pengikut Kristus ternyata hidup menurut hukum² Kristus. Rumah tangga yang sebenarnya harus menjadi sorga di bumi, dapat menjadi neraka di bumi meskipun orang² Kristen yang menjadi pihak² di dalamnya. 
Di sinilah pertanyaan berkembang lebih jauh terkait bagaimana seseorang menemukan pasangan hidup dari Tuhan dan bagaimana seharusnya dari sana pernikahan itu dibangun dalam prinsip² kebenaran oleh DUA PIHAK, yang seharusnya menjadi satu dalam segala hal.
Apabila dalam perjalanan pernikahan, salah satu atau kedua pihak merasa tak sanggup lagi hidup dalam suatu ikatan pernikahan yang pada intinya lebih membawa kerusakan dan kehancuran yang besar bagi hidup masing² bahkan anak², maka perceraian (berpisah untuk selamanya atau sementara waktu hingga salah satu bertobat) seringkali menjadi alternatif pilihan. Di sinilah seringkali timbul perdebatan lainnya terkait apakah ini diperbolehkan atau tidak. Dari dasar² di atas, tentu sebetulnya ini tidak diperbolehkan kecuali karena salah satu sudah bersikeras dalam gaya hidup perzinahan, sebagaimana telah dibahas di atas. Sedapat mungkin seseorang mempertahankan rumah tangganya di hadapan Tuhan. Namun sebagaimana disebutkan dalam surat Rasul Paulus, ada orang² yang tidak mau lagi hidup dalam standard² rohani yang diajarkan Kristus dan memilih untuk bercerai, sehingga mereka memilih menceraikan pasangannya yang Kristen, yang mungkin saja tidak ingin bercerai. Dalam hal ini, perceraian akan sukar dihindarkan. Teyapi saya percaya, atas perceraian ini, Tuhan memberikan belas kasihan dan bukan penghakiman-Nya. Dalam peristiwa seperti ini, perceraian merupakan bentuk kegagalan dalam perkawinan, yang bisa disebabkan oleh kedua pihak atau salah satu pihak dimana pihak yang lain akhirnya harus menanggung akibatnya meskipun tidak menginginkan perceraian. Dan saya pun yakin terhadap perceraian semacam ini, Tuhan bersedia mengampuni dan memberikan kesempatan yang baru sebab perceraian bukan merupakan dosa yang tidak dapat diampuni selama seseorang masih mau datang dan meminta kasih karunia Tuhan. Belas kasihan akan menang atas penghakiman.
Yakobus 2:13 (TB) 
Sebab penghakiman yang tak berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan. Tetapi belas kasihan akan menang atas penghakiman.
9) Persoalan lain yang perlu kita dalami adalah masalah zinah yang bukan “porneia” atau gaya hidup dalam percabulan tsb. 
Ini seharusnya menjadi perenungan kita bahwa meskipun kita hidup dalam perkawinan, jika dinilai berdasarkan Matius 5:28 dimana seorang pria menginginkan lawan jenisnya adalah zinah, maka sesungguhnya tak terhitung banyaknya perkawinan Kristen diisi dengan perzinahan di hadapan Tuhan, apalagi dengan budaya masa kini yang semakin terbuka dan tak terbendungnya informasi melalui internet dan media massa terkait hal² yang berhubungan dengan seksualitas. Inilah yang kemudian menjadi pertanyaan besar yang harus kita jawab. Mungkinkah Tuhan tidak menghendaki perceraian tetapi mengijinkan perkawinan diisi dengan perzinahan? Bagaimana mengatasi supaya firman Tuhan bukan saja kita ketahui dan pahami tetapi benar² dapat kita praktekkan dalam kehidupan nyata? 
Mengenai hal ini, saya belum bisa menyampaikan pandangan secara lengkap karena masih banyak bagian yang harus dipahami dan diperjelas.
Demikian pandangan saya. 
Doa saya biarlah ini menjadi perenungan kita semua. 
Tuhan Yesus memberkati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *