PEMULIHAN BAGI RUMAH-NYA

Oleh: Peter B, MA


Yesus berkata: “Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah BapaKu menjadi tempat berjualan. Maka teringatlah murid-muridNya. Bahwa ada tertulis: ‘Cinta untuk rumahMu menghanguskan Aku.’ (Yohanes 2:16-17)
Banyak pujian yang mengatakan dan mengajak kita untuk menjadi seperti Yesus. Itu adalah lagu-lagu pujian yang baik, karena itu Alkitabiah. Bapa sendiri memang menghendaki kita meneladani Yesus Kristus, AnakNya. Lebih dari itu, Ia ingin kita menjadi serupa dengan Yesus (lihat Roma 8:28). Tetapi meskipun mungkin telah cukup jelas bagi kita, perlu kita sadari benar bahwa yang dimaksud dalam puji-pujian maupun dari nats Alkitab tersebut, bukanlah kita menjadi seperti Yesus dalam segala arti hurufiahnya. Kita diperintahkan untuk serupa dengan Kristus dalam meniru tingkah laku dan prinsip-prinsip hidupNya. (lihat 1 Yohanes 2:6).
Kegagalan sebagaian orang Kristen mengerti akan perkara-perkara ini menyebabkan mereka menjalani suatu kehidupan yang sebenarnya justru jauh dari kehendak Tuhan. Beberapa orang karena ingin meniru Kristus merelakan dirinya dipaku di atas kayu. Ada pula yang berambut gondrong ataupun memilih jalan hidup lajang, karena berpikiran bahwa bukankah Kristus seperti itu. Benarkah demikian?
Jika pendapat orang-orang itu benar, maka seharusnya mereka juga harus meniru tindakan Kristus yang satu ini dengan persis tepat: mengambil cambuk dan mengusir orang-orang yang berbisnis, berdagang, dan hiruk pikuk di dalam rumah Tuhan. Tentu saja tidak, bukan? Yang perlu kita teladani bukanlah persis seperti apa yang Yesus lakukan kira-kira 2000 tahun lampau, sebagaimana dalam Yohanes 2:15, mengambil cambuk dan mengusir orang-orang keluar. Yang perlu kita pelajari dan contoh adalah semangat yang kuat dan menyala-nyala disertai keberanian yang besar untuk melihat kemuliaan Bapa bersinar dan nyata di dalam BaitNya, yaitu gereja. Yang dilakukan Yesus adalah khusus, tidak semua orang diperintahkan atau harus berbuat demikian. Tetapi prinsip atau intisari dari apa yang dilakukan Yesus adalah prinsip umum yang berlaku atas setiap kita. Intisari dari apa yang Yesus lakukan saat itu adalah bahwa Ia begitu dikuasai semangat serta keberanian yang kudus melihat rumah Bapa-Nya dipulihkan fungsi dan keadaannya yaitu sebagai tempat Bapa di hormati, ditinggikan dalam takut dan hormat.
Yesus tidak takut untuk tampil berbeda dengan orang-orang lain (baca: pengunjung-pengunjung Bait Suci yang lain) pada umumnya. Ketika semua orang hanyut dalam keramaian ‘pasar’ Bait Suci, Yesus mengatakan diriNya dengan cara yang sangat kontras. Mungkin saja, beberapa orang di situ merasa agak risih juga melihat kenyataan seperti itu, tetapi tidak ada seorangpun yang berani bersikap berbeda dengan khalayak umunya jemaat di situ. Mereka memilih untuk diam dan mengikuti apa yang telah berlangsung. Renungan penting bagi kita: lebih mirip siapakah kita? Seperti Yesus yang dipenuhi kemarahan kudus dan semangat yang kudus pula untuk memulihkan kemuliaan Bapa? Atau, seperti orang-orang pada umumnya, yang hanya bisa terdiam membisu melihat rumah Tuhan dipergunakan tidak sebagaimana mestinya?
Mungkin ada di antara Anda yang berpikir, “Ah, itu bukan panggilanku. Aku tidak pernah tergerak untuk melakukan itu. Itu sih urusan para pendeta!” benarkah sikap yang demikian? Perlu saya ingat kan kembali bahwa apa yang dilakukan Yesus haruslah kita teladani. Dan Yesus memberikan suatu peragaan bagaimana seharusnya sikap hati para penyembah sejati. Dan jikalau kita menyelidiki lebih dalam, ketahuilah bahwa pada saat Yesus menyucikan Bait Suci iti pertama kalinya, Ia masih belum dikenal dimana-mana. Itu dilakukannya dalam permulaan masa pelayananNya. Tidak ada seorangpun saat itu yang mengenal Dia sebagai pengajar, nabi, tokoh besar dan sebagainya. Pada saat itu, Yesus masih ‘orang biasa saja’. Di pandangan mata orang Israel waktu itu, Ia tidak lebih dari salah satu pengunjung atau jemaat di Bait Suci itu. Jika Yesus yang belum dikenal, tidak memiliki sebutan apapun, dan tidak menyandang predikat apapun sebagai contoh tokoh agama bersemangat untuk rumah BapaNya, bukankah kita sendiri yang sering kita pandang sebagai ‘orang biasa saja’ juga seharusnya bersikap seperti Kristus?
Oleh karena itu, adalah tanggung jawab kita untuk kita mengambil sikap dan tindakan yang benar sesuai dengan pimpinanNya untuk melihat rumah Bapa dipulihkan secara murni dalam tujuannya. Kita tidak boleh diam saja, apalagi terhanyut sehingga turut serta dalam gelombang orang-orang yang tidak mencari Tuhan di dalam BaitNya. Setiap kita terpanggil untuk menegakkan kebenaran dengan cara yang dikehendaki oleh Tuhan sendiri. Untuk itu, jika kita mendapati keadaan gereja kita mengalami kemerosotan dan tidak lagi berjalan sebagaimana tujuannya, beberapa pemikiran ini kiranya dapat membantu kita:

A. Kita harus menunjukkan sikap yang konsisten (yang didorong oleh semangat yang kudus) untuk tidak pernah lagi menggunakan rumah Tuhan sebagai sarana apapun yang lain selain tempat untuk mencari, meninggikan, menyembah dan memuliakan Dia. Kerinduan Tuhan adalah rumahNya menjadi ‘rumah doa bagi segala bangsa’ (Yesaya 56:7). Sikap yang konsisten akan kebenaran dapat dipastikan mengundang reaksi yang keras dari orang-orang di sekeliling kita. Seperti yang dialami Kristus, orang-orang akan mulai menantang dan bertanya dengan keras, “Ini sudah tradisi kebiasaan di sini. Mengapa engkau mau berbuat begitu?” (lihat Yohanes 2:18). Tetapi kita harus lebih takut kepada Allah daripada kepada manusia.
B. Kita memperagakan suatu pelayanan dan ibadah dengan dasar dan motivasi yang benar yaitu pelayanan bagi kemuliaan Tuhan semata, bukan keuntungan atau kepentingan kita sendiri. Banyak orang hingga hari ini datang ke gereja, yang adalah rumah Bapa, dengan suatu ‘api yang asing’, dengan semangat yang tidak dikenal dan dikenan oleh Bapa. Mereka datang beribadah dan juga melayani didorong oleh motivasi untuk memperoleh keuntungan bagi diri mereka sendiri. Itu tidak boleh terjadi demikian. Kemuliaan Tuhan akan dipulihkan kembali dalam rumahNya, jika kita yang datang kedalamNya merindukan dan mengundang kemuliaan dan kehadiranNya di sana. Jika Ia diundang maka percayalah, Ia pasti datang. Masalahnya adalah, kita sangat jarang mengundang serta mendambakan Dia. Kita lebih sering merindukan apa yang Ia dapat perbuat bagi kita apa keuntungannya bagi kita daripada apa yang bisa kita persembahkan bagi kemuliaanNya.
Dalam hal mengasihi Rumah Tuhan, tidak ada yang lebih baik daripada Daud, raja Israel yang berkenan di hatiNya. Ia memperjuangkan Rumah TuhanNya seumur hidupnya. Lihatlah apa yang tertulis dalam Alkitab kita tentang Daud ini: “Sesungguhnya aku tidak akan masuk ke dalam kemah kediamanku, tidak akan berbaring di ranjang petiduranku, sesungguhnya aku tidak akan membiarkan mataku tidur atau membiarkan kelopak mataku terlelap, sampai aku mendapat tempat untuk TUHAN, kediaman untuk Yang Maha kuat dari Yakub.” (Mazmur 132:3-5) dan juga “Dengan segenap kemampuan aku telah mengadakan persediaan untuk rumah Allahku, yakni emas…perak…tembaga…besi…kayu…batu…permata… (2Tawarikh 29:2).
O, dimanakah Daud-daudnya Tuhan di masa ini? Saya tidak akan pernah dapat mengukur betapa besar kerinduanNya akan penyembah-penyembah sejati seperti Daud.
(Diambil dari warta Worship Center edisi 6–15 Februari 20012)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *