“Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa PENYEMBAH-PENYEMBAH BENAR (penyembah-penyembah sejati / true worshippers) akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah
Yesus mengatakan bahwa akan datang waktunya dan sudah tiba waktunya untuk tampilnya penyembah-penyembah sejati. Penyembah-penyembah seperti itulah yang diinginkan oleh Bapa. Penyembah-penyembah sedemikianlah yang dinanti-nantikan oleh hati-Nya.
Jika ada penyembah-penyembah sejati berarti ada penyembah-penyembah palsu (false worshippers). Dan jika ada penyembah yang dikehendaki Bapa, maka pasti ada penyembah yang tidak dikehendaki-Nya. Juga, jika ada penyembah palsu maka yang mereka hasilkan adalah penyembahan-penyembahan yang palsu; sedangkan penyembah sejati menaikkan penyembahan yang sesungguhnya, yang layak di hadapan Tuhan.
Siapakah penyembah-penyembah palsu dan siapa-siapakah yang merupakan penyembah sejati? Apakah Anda tahu Anda termasuk dalam kelompok yang mana? Berapa banyak yang telah kita ketahui mengenai adanya perbedaan semacam ini? Mereka yang memahami mengenai perkara-perkara ini akan beroleh petunjuk untuk hidup menyenangkan hati Tuhan. Mereka yang tidak mengerti dan menolak untuk membuka hatinya untuk kebenaran akan berakhir sebagai penyembah-penyembah palsu yang tersesat hingga kesudahan hidup mereka.
Model penyembahan yang palsu
Adalah menarik menemukan bahwa Yohanes 4:23-24 merupakan sebuah jawaban –sebuah jawaban dari Yesus kepada seorang perempuan Samaria. Nats ini tidak berdiri sendiri namun merupakan bagian dari pembicaraan yang terjadi. Apabila kita membaca kisah ini dari ayat pertama maka kita akan mengetahui beberapa fakta penting tentang perempuan Samaria ini, yang menjadi latar belakang dari jawaban Yesus tersebut :
1. Pikiran-pikirannya berisi banyak batasan-batasan yang dibentuk oleh tradisi dan kebiasaan bangsanya, juga keterbatasan pikiran manusia duniawinya –yang merupakan kebalikan dari pikiran yang dipenuhi prinsip-prinsip kebenaran firman Tuhan :
“Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” -ayat 4
(Orang-orang Yahudi tidak berhubungan dengan orang-orang Samaria karena sejarah asal-usul mereka sehingga mereka menjauhi dan memandang hina satu sama lain)
(Orang-orang Yahudi tidak berhubungan dengan orang-orang Samaria karena sejarah asal-usul mereka sehingga mereka menjauhi dan memandang hina satu sama lain)
“Tuhan, Engkau tidak punya timba dan sumur ini amat dalam; dari manakah Engkau memperoleh air hidup itu? -ayat 11
(Tampak di sini bahwa logikanya terbatas pada pengetahuan tentang hal-hal yang nyata dan materi –bahkan pengertiannya terhadap istilah ‘air hidup’ itu pun semata-mata air dalam bentuk materinya)
(Tampak di sini bahwa logikanya terbatas pada pengetahuan tentang hal-hal yang nyata dan materi –bahkan pengertiannya terhadap istilah ‘air hidup’ itu pun semata-mata air dalam bentuk materinya)
“Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami dan yang telah minum sendiri dari dalamnya, ia serta anak-anaknya dan ternaknya?” -ayat 12
(Tokoh yang terbesar, termulia dan yang dibanggakannya dalam kehidupan adalah kakek moyangnya yaitu Yakub –bukan Allah Yahweh yang selayaknya dipuji dan disembah. Suatu kebanggaan yang membatasi dan menghalangi pengenalannya akan Tuhan yang sejati)
(Tokoh yang terbesar, termulia dan yang dibanggakannya dalam kehidupan adalah kakek moyangnya yaitu Yakub –bukan Allah Yahweh yang selayaknya dipuji dan disembah. Suatu kebanggaan yang membatasi dan menghalangi pengenalannya akan Tuhan yang sejati)
2. Ia menampilkan diri tidak sesuai dengan keadaan dirinya yang sesungguhnya. Dengan kata lain ia berlaku munafik dan hidup dalam kepalsuan :
“Di situ terdapat sumur Yakub. Yesus sangat letih oleh perjalanan, karena itu Ia duduk di pinggir sumur itu. Hari kira-kira pukul dua belas. Maka datanglah seorang perempuan Samaria hendak menimba air. Kata Yesus kepadanya: “Berilah Aku minum.” –ayat 6-7
(Perempuan biasa dan baik-baik sebenarnya tidak pernah menimba air pada tengah hari. Ia menimba air pada tengah hari karena pada waktu itu sepi dan tidak akan ada banyak orang ada di situ. Perempuan itu malu karena ada aib dalam kehidupannya yang hendak ditutupinya)
(Perempuan biasa dan baik-baik sebenarnya tidak pernah menimba air pada tengah hari. Ia menimba air pada tengah hari karena pada waktu itu sepi dan tidak akan ada banyak orang ada di situ. Perempuan itu malu karena ada aib dalam kehidupannya yang hendak ditutupinya)
Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, panggillah suamimu dan datang ke sini.” Kata perempuan itu: “Aku tidak mempunyai suami.” Kata Yesus kepadanya: “Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar. –ayat 16-18
(Perempuan itu menjawab seolah-olah ia memiliki kehidupan yang baik dan biasa-biasa pada umumnya. Ia pun menjawab dengan diplomatis —dan yang memang sesuai kenyataan bahwa ia tidak memiliki suami. Namun Yesus (melalui karunia marifat / pengetahuan; lihat 1 Kor. 12:8; 13:2,8) mengetahui bahwa perempuan ini hidup dalam dosa dengan berganti-ganti pasangan)
(Perempuan itu menjawab seolah-olah ia memiliki kehidupan yang baik dan biasa-biasa pada umumnya. Ia pun menjawab dengan diplomatis —dan yang memang sesuai kenyataan bahwa ia tidak memiliki suami. Namun Yesus (melalui karunia marifat / pengetahuan; lihat 1 Kor. 12:8; 13:2,8) mengetahui bahwa perempuan ini hidup dalam dosa dengan berganti-ganti pasangan)
3. Pengetahuannya akan perkara-perkara rohani sangat dangkal, yang seringkali direka-reka menurut pikirannya sendiri dan menghasilkan suatu kerohanian yang seolah-olah menyembah Tuhan melalui sikap dan tampilan yang tampak dari luar padahal hatinya tidak terpusat dan terarah kepada Tuhan. Penyembahan bagi perempuan Samaria itu adalah bentuk-bentuk ritual kasat mata berdasarkan kebiasaan-kebiasaan lama, waktu-waktu tertentu dan tempat-tempat tertentu. Dengan kata lain, penyembahan difokuskan kepada pola-pola jasmaniah daripada rohaniah, pada tampilan-tampilan luar daripada batiniah, pada perilaku fisik daripada kondisi-kondisi hati di hadapan Tuhan.
“Kata perempuan itu kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tidak punya timba dan sumur ini amat dalam; dari manakah Engkau memperoleh air hidup itu?” – ayat 11
(Dapatkah dikatakan bahwa ini suatu pertanyaan yang naif? Apakah yang dipikirkan perempuan itu sebagai ‘air hidup’ itu –apakah sesuatu yang jasmani atau rohani? Jika yang dimaksudkannya adalah air rohani mengapa perlu timba dan diambilnya dari dalam sumur? Jika yang dimaksudkannya air dalam bentuk jasmaniah dan diambil dari dalam sumur itu, bukankah setiap hari ia mengambil air dari dalam sumur itu? Bolehkah jika dikatakan bahwa pola pikir dan cara pandang perempuan ini menunjukkan ketidaktahuan dan kedangkalannya akan perkara-perkara rohani?)
(Dapatkah dikatakan bahwa ini suatu pertanyaan yang naif? Apakah yang dipikirkan perempuan itu sebagai ‘air hidup’ itu –apakah sesuatu yang jasmani atau rohani? Jika yang dimaksudkannya adalah air rohani mengapa perlu timba dan diambilnya dari dalam sumur? Jika yang dimaksudkannya air dalam bentuk jasmaniah dan diambil dari dalam sumur itu, bukankah setiap hari ia mengambil air dari dalam sumur itu? Bolehkah jika dikatakan bahwa pola pikir dan cara pandang perempuan ini menunjukkan ketidaktahuan dan kedangkalannya akan perkara-perkara rohani?)
“Jawab Yesus kepadanya: “Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.” Kata perempuan itu kepada-Nya: “Tuhan, berikanlah aku air itu, supaya aku tidak haus dan tidak usah datang lagi ke sini untuk menimba air.” –ayat 13-15
(Penjelasan Yesus tampaknya ditanggapi dengan pemahaman yang sama sekali berbeda. Yesus sedang berbicara mengenai perkara rohani sedangkan yang dipikirkan perempuan Samaria itu hanya perkara jasmani yaitu berupa air yang bisa diminumnya seperti pada umumnya sehingga ia tidak perlu lagi ke sana untuk menimba air. Mungkin air yang seperti itulah yang sesuai dengan kebutuhannya yang sebenarnya enggan untuk setiap hari menimba air di siang hari!)
“Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah.” –ayat 20
(Di nats berikut, perempuan Samaria ini mulai tertarik membicarakan hal-hal rohani (setelah Yesus menyingkapkan rahasia dalam kehidupannya yang berdosa) namun di sini pun tampak ia hanya mengetahui mengenai tradisi-tradisi kepercayaan yang dikenalnya secara turun temurun bahkan ia mulai memunculkan perbedaan doktrin antara orang Samaria dan orang Yahudi yakni di gunung mana seharusnya orang menyembah Tuhan. Hal-hal semacam itu belaka yang ia ketahui dalam hidup rohaninya –sedangkan pengenalan dan penyembahan akan Allah yang sejati tidak dikenalnya. Dapatkah ini disebut sebagai semacam kedangkalan rohani?)
(Di nats berikut, perempuan Samaria ini mulai tertarik membicarakan hal-hal rohani (setelah Yesus menyingkapkan rahasia dalam kehidupannya yang berdosa) namun di sini pun tampak ia hanya mengetahui mengenai tradisi-tradisi kepercayaan yang dikenalnya secara turun temurun bahkan ia mulai memunculkan perbedaan doktrin antara orang Samaria dan orang Yahudi yakni di gunung mana seharusnya orang menyembah Tuhan. Hal-hal semacam itu belaka yang ia ketahui dalam hidup rohaninya –sedangkan pengenalan dan penyembahan akan Allah yang sejati tidak dikenalnya. Dapatkah ini disebut sebagai semacam kedangkalan rohani?)
4. Kehidupan perempuan Samaria itu menunjukkan ciri-ciri utama para penyembah yang palsu
Menyimpulkan contoh-contoh di atas, maka kita mendapati tiga hal yang merupakan karakter wanita Samaria itu :
1) Pikirannya duniawi –jauh dari pikiran-pikiran kebenaran firman Tuhan
2) Kehidupannya penuh kepalsuan –yang walau tampak beribadah namun dijalani dalam gelimang dosa
3) Tampaknya mengetahui perkara-perkara rohani dan hidup beribadah namun sama sekali tidak mengerti makna dan pengertian sesungguhnya dari ibadahnya tersebut –ibadahnya hanya tampilan-tampilan luar belaka bukan dari kedalaman hati.
Berdasarkan kesimpulan di atas itulah, Yesus memberikan pernyataan dari nats yang kita baca di awal artikel ini. Perhatikanlah sekali lagi apa yang dikatakan Yesus,
“Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.
Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi.
Tetapisaatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.
Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” (Yoh. 4:21-24)
Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi.
Tetapisaatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.
Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” (Yoh. 4:21-24)
Sesungguhnya bertolak dari keadaan perempuan Samaria itulah Yesus menyampaikan pernyataan mengenai penyembahan sejati. Dengan kata lain, ada yang salah dari penyembahan perempuan Samaria tersebut. Penyembahan yang sejati tidaklah demikian. Penyembahan sejati adalah apa yang disampaikan oleh Yesus :
- Penyembahan sejati itu tidak bergantung pada tempat ibadah tertentu (bukan di gunung ini, gunung itu, bukan di Yerusalem,…. dan dapatkah kita lanjutkan : bukan di gereja ini maupun gereja itu, di kota suci ini atau kota suci itu, bukan dalam denominasi ini ataupun denominasi itu….)
- Penyembahan sejati itu berkaitan dengan menyembah apa yang kita kenal. (bukan hanya mengetahui sedikit tentang Tuhan atau mengenal dari permukaan saja atau atas dasar kita menyangka kita telah kenal dengan siapa yang kita sembah)
- Penyembahan yang sejati itu berkaitan dengan menyembah dalam roh (bukan sekedar tampilan-tampilan lahiriah semata yang menunjukkan seolah-olah sedang berhubungan dengan Tuhan namun sama sekali tidak ada koneksi nyata dan pribadi dengan Dia)
- Penyembahan yang sejati itu berkaitan erat dengan ‘kebenaran’ atau ‘kesejatian’ atau ‘keaslian’ (bukan di dalam kemunafikan dan kepalsuan, bukan di dalam kehidupan yang penuh kepura-puraan di hadapan manusia)
Pada bagian ini marilah kita berhenti sejenak dari segala aktifitas dan mulai merenung. Sudahkah penyembahan kita berkenan di hadapan Tuhan? Cukupkah kehadiran kita di gereja satu kali atau beberapa kali dalam seminggu menyenangkan hati Tuhan? Adakah Tuhan berkenan dan disukakan saat Dia melihat kehidupan kita sehari-hari yang mengaku sebagai penyembah-penyembah-Nya (dan yang ingin digolongkan sebagai penyembah-penyembah sejati-Nya)? Lebih dari segala perkara, Tuhan menghargai hati yang hancur dan bertobat.