HIDUP DALAM TAKUT AKAN TUHAN
Petrus, yang berjalan bersama Yesus dan menyaksikan penghukuman ini, menuliskan nasehat berikut ini
Tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus. Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini.
– 1 Pet. 1:15-17
Perhatikan, dia tidak mengatakan “hendaklah kamu hidup dalam kasih.” Ya, kita memang harus berjalan
dalam kasih, karena tanpa kasih kita tidak memiliki apa-apa! Di luar kasihNya, kita bahkan tidak dapat mengenal hati Bapa. Di bagian awal surat kiriman ini, Petrus bercerita tentang kasih yang membara di dalam hati kita untuk Tuhan, “Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya” (1 Pet. 1:8). Kita dipanggil untuk memiliki hubungan kasih pribadi dengan Bapa kita, tetapi Petrus dengan segera menambahkan untuk mengimbanginya dengan rasa takut akan Tuhan. Kasih kita kepada Allah dibatasi dengan kurangnya rasa takut yang kudus. Hati kita harus menampung terang dan kehangatan dari kedua nyala api tersebut.
Anda mungkin bertanya-tanya bagaimana kasih ini dapat dibatasi. Anda hanya dapat mengasihi seseorang sampai pada batas Anda mengenal dirinya. Jika gambaran Allah yang Anda miliki tidak mencerminkan siapa Dia sesungguhnya, maka Anda mengenal Dia hanya pada batas permukaan. Apakah menurut Anda Dia akan menyatakan hati-Nya kepada mereka yang meremehkan Dia? Begitukah? Sesungguhya, Allah telah memilih untuk menyembunyikan diri-Nya (Yes. 45:15). Pemazmur menunjuk tempat persembunyian-Nya sebagai “tempat perlindungan” (Maz. 91:1). Di dalam tempat perlindunganNya ini kita menemukan kekudusan dan kebesaranNya. Tetapi hanya mereka yang takut akan Dia akan menemukan tempat persembunyian ini. Karena kita diberitahu bahwa:
TUHAN bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia, dan perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka.
– Maz. 25:14
Sekarang Anda dapat lebih mengerti perkataan Petrus. Paulus yang tidak berjalan dengan Yesus di muka bumi ini tetapi yang menjumpai-Nya di jalan menuju Damascus memperkuat perkataan nasehat ini dengan menambahkan kata “gentar.” Dia berkata kepada orang-orang percaya, “Kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar” (Fil. 2:12). Bahkan frase ini digunakan tiga kali dalam Perjanjian Baru untuk menerangkan hubungan yang benar antara orang percaya dan Kristus.
Paulus mengenal Yesus melalui pewahyuan Roh. Dengan cara yang sama kita akan mengenal Dia. “Jika kami pernah menilai Kristus menurut ukuran manusia, sekarang kami tidak lagi menilai-Nya demikian.” (2 Kor. 5:16). Jika kita berusaha untuk memperoleh pengetahuan akan Allah dan berjalan dengan-Nya seperti halnya kita berjalan dengan orang-orang lainnya, maka akhirnya kita akan meremehkan hadirat-Nya seperti yang dilakukan oleh beberapa pada waktu gereja mula-mula.
Saya yakin Ananias dan Safira adalah sebagian dari mereka yang terheran-heran dan bergairah dengan gereja mula-mula di Kisah Para Rasul. Semua orang tercengang-cengang dengan tanda-tanda dan mujizat-mujizat yang berlimpah-limpah. Tetapi tanda-tanda dan mujizat-mujizat itu akan menjadi hal yang biasa apabila tidak ada rasa takut akan Allah dalam hati Anda. Rasa takut akan Allah akan dapat mencegah perbuatan bodoh dari pasangan suami istri yang malang ini (Baca Maz. 34:11-13).
Rasa takut akan Allah akan menyatakan kekudusan Allah.
Kita harus mengingat kedua sifat Allah ini yang tidak pernah berubah: “Allah adalah kasih,” dan “Allah adalah api yang menghanguskan” (1 Yoh. 4:8; Ibr. 12:29). Paulus menunjuk pada api yang dialami oleh para orang percaya ketika mereka berdiri di hadapan Allah yang kudus di kursi penghakiman. Di sana, kita akan memberi laporan tentang pekerjaan yang telah kita lakukan dalam Tubuh Kristus, yang baik ataupun yang buruk (2 Kor. 5:10). Paulus kemudian mengingatkan, “Kami tahu apa artinya takut akan Tuhan, karena itu kami berusaha meyakinkan orang…” (2 Kor. 5:11)
Karena kasih Allah, kita dapat memiliki keberanian ketika kita mendekati Dia. Alkitab menambahkan bahwa kita harus melayani dan mendekati Dia dengan benar. Bagaimana? Dengan rasa hormat dan rasa takut ilahi (Ibr. 12:28).
Mereka yang telah dilahirkan kembali mengenal Allah sebagai Abba Bapa. Tetapi, itu tidak menyangkali posisi-Nya sebagai Hakim atas semua orang (Gal. 4:6-7; Ibr. 12:23). Allah membuatnya menjadi jelas: “Tuhan akan menghakimi umat-Nya” (Ibr. 10:30).
Bayangkan seorang raja bersama anak-anak lelaki dan perempuannya. Di dalam istana, dia adalah seorang suami dan ayah. Tetapi, di ruang takhta, dia adalah raja dan harus dihormati seperti itu bahkan oleh istri dan anak-anaknya. Ya, ada saat-saat-Nya ketika saya merasakan Bapa memanggil saya dari ruang pribadi-Nya, tangan-Nya diulurkan dan mengundang saya untuk “datanglah, lompat ke pangkuan-Ku, dan mari kita berpelukan dan bercakap-cakap.” Saya suka saat-saat seperti itu; saat-saat yang begitu istimewa. Tetapi, ada saatnya ketika saya sedang berdoa atau dalam kebaktian ketika saya merasakan takut yang kudus dan gentar dalam hadirat-Nya.
Pernah ada kebaktian seperti itu pada bulan Agustus 1995 saat penutupan konferensi selama satu minggu di Kuala Lumpur, Malaysia. Suasana sebelumnya sangat berat, dan akhirnya pada hari itu saya merasakan kami mengalami suatu terobosan. Hadirat Tuhan memenuhi seluruh ruangan, dan beberapa orang tertawa ketika sukacita-Nya mengalir. Hal ini berlangsung selama 10-15 menit; kemudian keheningan terjadi yang diikuti dengan gelombang baru dari hadirat Allah. Lebih banyak orang lagi yang dijamah. Lagi terjadi keheningan, dan diikuti oleh gelombang baru hadirat Allah yang penuh sukacita sampai setiap orang tertawa dan disegarkan. Setelah itu terjadi keheningan yang lain.
Kemudian saya mendengar Tuhan berkata, “Aku datang dalam gelombang yang terakhir, tetapi berbeda dengan cara-cara yang sebelumnya.” Saya terdiam dan menunggu. Dalam beberapa menit, sebuah manifestasi yang sangat berbeda dari hadirat Allah memenuhi seluruh gedung. Begitu menakjubkan dan hampir menakutkan! Namun, saya terlena masuk ke dalamnya. Suasana menjadi berubah. Orang-orang yang sama yang baru saja tertawa mulai menangis, meratap, dan menjerit. Beberapa orang bahkan berteriak-teriak seolah-olah mereka menginjak api. Tetapi, teriakan mereka bukan karena pekerjaan kuasa kegelapan.
Ketika saya berjalan mondar-mandir di panggung, gagasan ini muncul dalam pikiran saya: John, jangan lakukan satu tindakan yang salah atau mengatakan satu kata yang salah…jika engkau melakukannya, engkau adalah orang bodoh. Saya tidak yakin dengan apa yang telah terjadi, tetapi gagasan ini menyampaikan ketegangan yang saya rasakan. Saya tahu rasa tidak hormat tidak boleh ada dalam hadirat-Nya yang mengagumkan ini. Saya menyaksikan dua respon yang berbeda saat itu – orang-orang merasa takut dan menarik diri dari hadirat-Nya, atau mereka takut akan Allah dan mendekatkan diri dalam hadirat-Nya yang luar biasa. Suasana saat itu bukan seperti saat-saat ketika Allah berbisik, “Datanglah, lompatlah ke pangkuan-Ku!”
Akhirnya, kami meninggalkan tempat kebaktian dengan dipenuhi rasa kagum. Banyak orang merasa diubahkan oleh hadirat Allah yang luar biasa. Seorang pria yang dijamah oleh hadirat-Nya berkata kepada saya sesudah itu, “Saya merasa begitu bersih di dalam diri saya.” Saya setuju karena saya juga merasa dibersihkan. Beberapa saat kemudian, saya menemukan ayat ini: “Takut akan Tuhan itu suci, tetap ada untuk selamanya” (Maz. 19:10).