RENUNGAN NATAL 2016

Oleh: Bpk. Peter B, MA

Sejak mulai dirayakan sekitar abad ke-4 hingga sekarang di abad ke-21, perayaan Natal telah berkembang dengan berbagai variasinya sehingga menjadi festival global. Di era informasi dimana kita dapat mencari data sejarah atau catatan kuno hingga berita terkini, kita tahu ada banyak versi orang merayakan Natal yang mana kerap tergantung pada berbagai pemikiran, keyakinan theologis, aliran atau asal denominasi, budaya bangsa dimana kita berada hingga situasi politik di suatu negara seperti yang terjadi hari-hari ini pada kita di Indonesia. Perbedaan ini hingga pada taraf perdebatan apakah Natal perlu dirayakan atau tidak. Versi mana yang terbaik dan sepatutnya kita ikuti merupakan pembahasan yang tidak pernah surut setelah berpuluh bahkan beratus tahun lamanya.

Di era yang kemajuan teknologi yang luar biasa ini, Natal telah menjadi suatu industri. Perayaannya dilakukan hampir sebulan penuh. Bukan hanya di tempat-tempat ibadah Kristen atau Katolik, namun juga di sudut-sudut kota, di pusat-pusat perbelanjaan, di tujuan-tujuan wisata hingga di tempat-tempat hiburan malam yang banyak dipandang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan hal-hal rohani. Suasana semarak Natal telah dirasakan seluruh bagian yang dihuni manusia di bumi ini. Bisa jadi karena itu pula banyak yang berpikir bahwa Natal tak memerlukan Kristus lagi. Santa Klaus telah menjadi pengganti yang lebih diterima semua ketimbang Yesus dari Nazaret. Huruf ‘X’ pun menggantikan kata ‘Christ’ dalam Christmas karena Kristus bukan lagi fokus utama dalam Natal.

Di kalangan Kristen sendiri, Natal direspon secara beragam. Ada yang memandang Natal sebagai ulang tahun Tuhan Yesus. Atau merayakan kedatangan Juruselamat manusia. Juga ada yang memandangnya sebagai saat-saat berpesta pora dan selebrasi yang megah karena sang raja telah datang ke dunia. Program dan acara besar-besaran bukan merupakan sesuatu yang luar biasa dalam menyambut Natal yang jujur harus diakui sering jauh lebih mewah dan semarak dibandingkan perayaan Paskah atau peringatan kebangkitan Kristus. Meski demikian, peringatan tahunan ini menjadi sesuatu yang kian membosankan ketika kita merayakannya hampir dalam suasana yang sama tanpa makna setiap tahunnya.

Berapa banyakkah yang benar-benar memahami makna Natal yang sejati?

Di antara ribuan Natal yang pernah dirayakan tiap 25 Desember, tidak ada Natal yang lebih penting dan berharga seperti Natal yang pertama. Itulah Natal yang dicatat oleh Matius dan Lukas mengenai kelahiran Yesus Kristus di kandang Betlehem. Sudah seharusnya kita menyimak dan merenungkan apa yang disampaikan tulisan-tulisan para rasul yang diilhami Roh ini supaya kita tahu apa makna Natal yang sesungguhnya. Ketika kita menangkap maksud hati Tuhan maka Natal kita senantiasa membawa kita makin dekat pada hati-Nya. Sekali lagi kitapun akan dikuatkan-Nya menatap tahun yang baru bersama-sama dengan Dia, melangkah dalam musim dan perjalanan yang baru lebih dalam lagi selanjutnya.

Kisah yang terus berulang saat kita mengenang kelahiran Yesus ialah kisah perjalanan panjang melelahkan yang harus dilakukan oleh pasangan pengantin baru yang bersahaja dari Nazaret menuju Betlehem demi mengikuti sensus penduduk pada saat itu. Sang istri, perempuan desa yang sederhana bernama Maria sedang hamil tua secara ajaib, bukan hasil dari hubungan dengan seorang laki-laki tapi oleh karena kuasa ilahi telah menaungi dan bekerja atas dirinya.
Malam itu, waktu bersalin telah tiba. Betlehem walau kota kecil tapi hari itu dipenuhi pendatang. Penginapan murah semuanya telah terisi sedangkan yang mewah tentu di luar penghasilan Yusuf, sang suami yang hanya seorang tukang kayu biasa. Kisah selanjutnya kita telah tahu semuanya.

Tetapi apakah kita cukup jeli melihatnya? Tidakkah kita merasakan dan mulai menangkap pesan tersembunyi itu?

Polanya jelas. Perhatikanlah deretan fakta berikut ini.
Perawan desa. Disunting tukang kayu biasa. Tinggal di pelosok Nazaret, kota yang tak memiliki kebanggaan apapun. Pergi ke Betlehem, kota kecil. Melahirkan di kandang hewan. Bayi yang ditaruh di palungan. Ditengok para gembala yang papa. Dan hanya mereka. Raja diraja itu datang dan yang tahu hanya orang-orang majus. Orang-orang yang bukan sebangsa dengan Sang Mesias. Kelahiran yang rahasia. Tersembunyi. Tak dapat diduga hampir semua orang.
Sunyi. Senyap.
Polanya jelas.
Kebersahajaan dan kesederhanaan.

Sekarang, pernahkah kita bertanya mengapa Tuhan datang mengambil rupa manusia dengan cara seperti itu? Mengapa Dia datang dengan cara yang paling tidak menyolok dan tidak meyakinkan bagi dunia yang hendak disentuh-Nya dengan karya penyelamatan-Nya itu? Mengapa Dia harus turun begitu rendah untuk memulai misi-Nya?

Paulus menggambarkan pikiran Allah akan apa yang kita peringati sebagai Natal hari ini dengan pernyataan yang sangat dalam:

“… pikiran dan perasaan yang terdapat .. Kristus Yesus,
yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,
melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.
Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Filipi 2:5b-8)

Dia adalah Tuhan. Kekuasan-Nya tidak terbatas. Tapi Ia tak ingin terus berada dalam keadaan demikian. Ia mengosongkan diri-Nya, yaitu menjadikan reputasi atau keberadaan-Nya sebagai Allah tak lagi berarti bagi-Nya. Lalu Ia mengambil rupa seorang pelayan dalam wujud manusia yang terbatas. Dan Ia masih terus turun dan turun lagi.
Dalam rupa sebagai manusia, Dia memilih jalan kehambaan, dengan taat sepenuh pada Bapa seumur hidup-Nya. Bahkan sampai harus mati dalam kehinaan yang tak terperi digantung di kayu salib di antara pelaku-pelaku kejahatan.

Perhatikan.

Jalan yang ditempuh-Nya itu menurun.
Ke bawah.
Merendah.
Meninggalkan keterbatasan untuk menjadi terbatas.
Lebih bawah lagi.
Menjadi hamba.
Datang untuk melayani.
Hidup taat tanpa mementingkan diri.
Mati dalam penderitaan dan kenistaan.
Di tempat bayi yang tak layak bukan milik-Nya, Ia lahir.
Di kubur orang, Ia dimakamkan.

Dia datang dan pergi dalam kehinaan, kerendahan dan kesederhanaan.

Banyak yang menafsir bahwa Dia menjadi miskin supaya kita kaya. Dia susah sengsara supaya kita nyaman dan senang. Dia menderita supaya kita lepas dari segala kesukaran. Dan sekarang kita hidup dalam kelimpahan kasih karunia-Nya. Tidak perlu bersusah payah. Tinggal mengklaim setiap janji berkat, kesembuhan dan pemulihan dalam berbagai bidang.
Pertanyaannya, jika itu memang benar sedemikian mudahnya, mengapa Yesus berkata bahwa untuk menjadi pengikut-Nya kita harus menyangkal diri? Memikul salib kita setiap hari? Lalu berjalan di belakang-Nya kemana Dia menuntun kita pergi?

Bagi saya, kesederhanaan Kristus dalam kelahiran, hidup dan kematian-Nya ialah SUATU CONTOH MENGENAI MERENDAHKAN DIRI. Bahwa kita seharusnya melihat Dia dan menyadari betapa kita perlu merendahkan diri di hadapan Tuhan yang sudah merendahkan diri-Nya begitu dalam demi menjangkau kita.

Betapa hati kita tak boleh membanggakan diri dengan segala kelebihan, kemampuan dan kapasitas kita. Bahwa setinggi-tingginya kita mengunjukkan diri, kita telah berlaku tidak pantas ketika Allah yang maha segalanya dan mengatasi segala sesuatu itu telah memberikan teladan dalam merendahkan diri.

Betapa hidup kita tak layak lagi kita pegang erat untuk memperjuangkan cita-cita mencari kebesaran atau pengakuan sebagai yang unggul di bumi ini ketika Tuhan yang mampu melakukan dan mencapai segalanya memilih mengusahakan segenap keberadaan diri-Nya oleh karena cinta demi satu tujuan yaitu tersambungnya hubungan manusia dengan Allah!

Betapa kita semestinya tak lagi mempertahankan kebaikan-kebaikan kita sendiri, membanggakan kesalehan serta giatnya kita dalam beribadah atau memuji diri karena jasa sumbangan kita bagi pelayanan dan lingkungan sosial kita -ketika mengetahui bahwa Allah justru memandang segala keberadaan-Nya itu tak perlu dipertunjukkan supaya Ia dapat menjangkau kita.

Jika Allah telah merendahkan diri-Nya bagi kita, akankah kita meninggikan diri di hadapan-Nya dengan menolak uluran tangan kasih karunia-Nya bagi kita? Masihkah kita membawa ke hadapan-Nya kebanggaan-kebanggaan rohani kita supaya kita mendapat perkenan di hadapan-Nya? Pantaskah Tuhan yang tak perlu merendahkan diri namun merendahkan diri-Nya begitu dalam sedangkan kita yang perlu merendahkan diri justru berusaha meninggikan diri dengan segala kebenaran dan kebaikan kita sendiri?

Dia merendahkan diri supaya kita belajar dari kerendahan-Nya. Supaya kita selalu mengambil sikap rendah hati selama di dunia ini. Supaya kita menjauhi kesombongan, ketakaburan dan kecerobohan karena merasa cukup benar. Supaya kita tak lagi mementingkan diri dan menganggap diri kita paling utama dan paling layak dihormati dan dikagumi. Supaya kita selalu bergantung pada-Nya sepanjang hidup kita. Supaya kita tak merasa hebat dan mampu meraih sorga dengan cara-cara kita yang sendiri. Supaya kita tahu bahwa tanpa Tuhan merendahkan diri-Nya, kita tak mungkin memperoleh hidup dan mengenal Dia. Supaya kita tahu bahwa seluruh ibadah kita sia-sia tanpa kita merendahkan diri memohon kasih karunia-Nya diberikan pada kita. Supaya kita sungguh-sungguh tahu bahwa upacara penyembahan kita tak akan dipandang-Nya tanpa sikap menyembah dari hati yang rela taat dan melakukan setiap kehendak-Nya bagi kita.

Natal itu sederhana. Itu sebabnya hanya hati yang sederhana yang dapat maknanya dan merayakannya bersama segenap penghuni sorga. Tak seorang pun yang mengetahui Natal yang pertama selain gembala-gembala yang percaya perkataan malaikat dan orang-orang pandai dari timur yang hatinya mencari Allah dan bersedia taat dipimpin Allah. Mereka yang sibuk dengan urusan dan kepentingannya sendiri tak pernah tahu juruselamat telah lahir di kota Daud. Begitu juga orang-orang besar di mata manusia seperti Kaisar Agustus, Herodes atau tokoh-tokoh agama Yahudi waktu itu. Hanya mereka yang bersedia merendahkan diri dan mempercayakan diri pada Tuhan dengan iman dan ketaatan yang sederhana memperoleh berkat Natal yang sebenar-benarnya.

Dalam kerendahan, Juru Selamat dan manusia berdosa bertemu.
Dalam pengakuan dosa dan kejujuran diri, Raja Sorga itu bertahta di hati kita.
Dalam pelepasan ego dan harga diri, Natal pertama itu dirayakan kembali di hati kita.

Ya, Yesus menjadi miskin supaya kita kaya. Bukan menjadi kaya materi seperti dunia. Tetapi menjadi kaya karena memiliki lebih daripada yang dimiliki dunia. Kita memiliki hubungan dengan Bapa di sorga melalui iman sejati pada Anak Manusia yang telah dikaruniakan sebagai Jalan, Kebenaran dan Hidup bagi kita. Oleh Yesus pula Roh Allah berdiam di dalam kita.
Oleh Kristus, kita yang merendahkan diri serta mengakui Dia sebagai Tuhan dan Raja akan dikaruniai segala yang terbaik dan yang paling berarti untuk hidup yang sekarang maupun yang akan datang.

Hanya yang rendah hati akan menerima hadiah Natal dari sorga.
Hadiah itu ialah karunia dari Bapa. Anaknya yang tunggal.

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16)

Maukah Anda merendahkan diri dan membuka hati Anda supaya karunia Bapa itu menjadi milik Anda seutuhnya di Natal ini?

SELAMAT NATAL 2016 BAGI SAUDARA-SAUDARI TERKASIH DI SELURUH INDONESIA

Salam revival!
YESUS KRISTUS ITU RAJA!
INDONESIA PENUH KEMULIAAN TUHAN!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *