Oleh: Bpk. Peter B, MA
Berdasarkan berbagai survei, petahana gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, masih mendapatkan dukungan terbesar hingga kini dalam kontestasi pilkada 15 Februari 2017 dua hari mendatang. Bagi pendukungnya, Ahok tidak hanya tak tergantikan namun juga hampir sempurna. Apalagi dibandingkan dengan cagub lainnya yang turut bersaing memperebutkan kursi pimpinan di ibukota ini.
Walaupun berbagai cara telah digunakan untuk menggerus elektabilitas Ahok, mendekati hari-H pemilihan, dukungan untuk sang calon gubernur nomor urut 2 ini kembali menguat. Ini juga disebabkan karena setelah melewati sekitar 4 bulan masa pengenalan calon dan kampanye, calon² lain rupanya gagal membangkitkan kepercayaan publik Jakarta bahwa mereka lebih baik dan lebih mampu daripada Ahok dalam memimpin di kota megapolitan tersebut. Media sosial pun mengambil peran yang penting dalam mengawal persidangan Ahok dan melakukan serang balik terhadap berbagai siasat dan fitnah yang digunakan sebagai strategi melemahkan dukungan untuk Ahok.
Dan hari ini banyak yang yakin bahwa Ahok akan menang. Entah satu atau dua putaran. Hampir semua berharap satu putaran tapi tidak ada yang tahu hingga kini.
Meskipun demikian, besarnya dukungan bukan berarti yang didukung selalu benar atau bahwa sang cagub nomor urut dua ini tidak memiliki kelemahan. Saya meyakini bahwa Ahok punya kinerja yang sangat baik sebagai pelayan masyarakat dan pejabat publik. Tetapi saya menolak menjadi semacam simpatisan buta yang menutup mata terhadap kekurangan pemimpin yang didukungnya, malah sebaliknya kemudian selalu membela dan menyerang mereka yang menentang pemimpin idolanya itu. Dalam kondisi seperti itu, kita akan sama tidak adilnya dengan pendukung² pemimpin lainnya yang bersikap yang sama. Sungguh sikap demikian akan membuat kita rawan jatuh dalam kebodohan serta kesombongan karena menolak introspeksi diri.
Sejak berbulan-bulan yang lalu ketika saya menulis mengenai kondisi politik di Indonesia jika Ahok maju terus sebagai calon gubernur Jakarta (di fb saya https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1376421722369924&id=100000063291732) dan rekan saya memuat pesan agar Ahok sebaiknya mundur dari pencalonannya itu (link fb https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1381080855237344&id=100000063291732 dan https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1384692531542843&id=100000063291732) maka saya melihat sebenarnya hingga kini Ahok masih belum banyak berubah dari kelemahan karakternya seperti yang sudah-sudah, yang menyebabkannya jatuh dalam permasalahan yang menggoncang seluruh bangsa seperti sekarang ini. Komunikasinya yang terlalu terang-terangan, cenderung kasar dan merendahkan orang nyatanya tetap menjadikan Ahok sebagai pribadi yang tidak disukai oleh banyak orang dan tentu saja terutama lawan² politiknya.
Dan inilah yang sangat saya sayangkan hingga kini. Lidahnya yang tajam dan sukar dikendalikannya kembali menjerat dirinya pada persidangan keenam yang lalu, ketika ia melontarkan pernyataan yang keras di tengah² sidang terhadap saksi KH Ma’ruf Amin, ketua MUI yang juga Rais Aam ormas islam terbesar di Indonesia, Nadhatul Ulama. Di sinilah, Ahok sebenarnya melakukan kesalahan yang lebih serius. Mengambil belokan yang keliru, bukannya berbalik, Ahok terjebak dengan pembenaran dan rasionalisasi sikapnya itu.
Seperti yang sudah², ketika perkataannya menyebabkan dirinya terjerat masalah, Ahok minta maaf dan mencari dukungan kesana kemari. Dalam hal inilah, Ahok sebenarnya semakin sama dengan politisi kebanyakan. Yang menggunakan cara-cara yang tidak jujur atau yang tidak sepantasnya dalam mengamankan jalannya menjadi pemimpin. Memang dalam politik, cara-cara kotor sudah biasa digunakan tetapi seharusnya Ahok menunjukkan cara yang berbeda dimana karena itu pulalah ia memperoleh dukungan. Dalam kasus ketegangan dengan NU, kita bisa mengatakan apapun untuk membela Ahok. Tapi beberapa orang yang tahu kultur Indonesia menilai Ahok sudah kebablasan. Pernyataannya mulai tidak konsisten, yang sebenarnya hanya untuk menutupi arogansinya yang semakin besar.
Permintaan maaf Ahok bukan saja terlambat. Tapi sudah salah kaprah dan melukai hati banyak orang. Apalagi tindakannya yang juga menggunakan kekuatan² agama untuk mencari dukungan suara juga sebenarnya melenceng dari pendiriannya semula yang sebenarnya tidak pernah ingin menggunakan agama sebagai cara berpolitik.
http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/02/05/okvmj4354-pengamat-ahok-seperti-tak-hidup-di-indonesia
http://m.republika.co.id/berita/video/berita/17/02/03/okt40q216-konfrontasi-pidato-minta-maaf-ahok-vs-ucapan-terhadap-kiai-maruf-amin
http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/02/06/okwun2330-ketum-pbnu-said-aqil-bantah-hadiri-istighatsah-dengan-ahok
http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/02/06/okwtxu320-istighatsah-dengan-ahok-catut-logo-nu-nu-dki-itu-bukan-dari-kami
http://m.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/17/02/04/okt71k361-sujiwo-tejo-ahok-wassalam
Melalui ini semua, lawan² politik yang sudah membencinya akan terus mengobarkan rasa antipati terhadap Ahok tak peduli jasa dan kemampuannya bagi umat Islam maupun Jakarta. Ahok mungkin mendapat dukungan besar tetapi perlawanan yang semakin besar juga terus akan terjadi.
Sampai hari ini, semuanya membuktikan bahwa Ahok belum benar-benar siap tampil sebagai pemimpin bangsa. Dalam hal-hal yang penting dan dibutuhkan sebagai pemimpin bangsa yang lebih tinggi tingkatannya, Ahok masih sangat kedodoran dan belum dapat membawa diri. Jauh dibandingkan Jokowi yang memang rendah hati dalam bersikap.
Kepemimpinan ala Ahok ini, jika ini diteruskan tanpa ada perubahan yang berarti dari pria asal Belitung ini, akan menjadikan suasana terus memanas dan ketegangan semakin memuncak. Kita berdoa supaya kita disiapkan melihat peristiwa yang mengejutkan dan menghancurkan hati hari-hari ke depan karena pertentangan dan perpecahan bangsa yang belum terlihat ujungnya ini.
Pesan saya dalam keprihatinan yang mendalam bagi Ahok ialah bahwa “selurus-lurusnya dan sebulat-bulatnya tekad di hati untuk menciptakan dan membangun pemerintahan yang baik haruslah dilaksanakan dengan sikap hati yang juga ingin mempersatukan seluruh bangsa, bukannya dengan perkataan atau tindakan yang menghakimi apalagi merendahkan komponen-komponen bangsa siapapun itu. Kerendahan hati selalu akan dihargai daripada arogansi.”
Mari berdoa bagi bangsa kita yang sudah berada di ambang perpecahan dan pertentangan besar ini. Yang terutama, marilah kita merendahkan diri karena kita tidak cukup punya hati untuk melakuman introspeksi diri, jujur pada diri kita sendiri, untuk mencari solusi terbaik bagi bangsa ini yaitu mendengarkan kehendak Tuhan. Mungkin hanya dengan didikan yang keras, kita akan belajar mengetahui isi hati-Nya.
Semoga kita semua benar-benar akan belajar dan rela untuk berubah.
#IntrospeksiDiri
#BerdoaBagiIndonesia
#BelajarMembedakan
#BenarVsHampirBenar