“Ingatlah ya Tuhan, kepada Daud dan segala penderitaannya, bagaimana ia telah bersumpah kepada TUHAN, telah bernazar kepada Yang Mahakuat dari Yakub: “Sesungguhnya aku tidak akan masuk ke dalam kemah kediamanku, tidak akan berbaring di ranjang petiduranku, sesungguhnya aku tidak akan membiarkan mataku tidur atau membiarkan kelopak mataku terlelap, sampai aku mendapat tempat untuk TUHAN, kediaman untuk Yang Mahakuat dari Yakub.”
(Mazmur 132:2-5)
Mungkin saja salah satu kata yang paling sering dipakai, didengungkan, dihimbau, dianjurkan, diteriakkan, diharuskan pelaksanaannya, dan diharapkan kenyataannya atas orang-orang adalah kata ini : KOMITMEN. Sayangnya, justru kata inilah yang paling sering tidak dimengerti, tidak jelas standardnya, tidak pernah tampak dalam kenyataannya, bahkan mungkin saja belum pernah benar-benar ada atau kita temui selama hidup kita yang singkat ini di tengah-tengah bangsa yang kita diami ini. Sungguh kasihan kata ‘komitmen’ ini. Tetapi jauh lebih kasihan lagi orang-orang atau pribadi (termasuk juga Pribadi Mahatahu dan Maha Agung itu) yang mengharap-harapkankan kata itu muncul dalam wujud nyata dan dinyatakan dalam perbuatan sehari-hari.
(Syukur bagi Tuhan, dalam masa hidup manusia yang hanya sekelebatan ini saja, saya dihiburkan oleh komitmen dari Satu Pribadi termulia, Dialah yang tidak pernah dan tidak akan pernah mengecewakan saya. Saya mengenal komitmen dari Pribadi Yesus Kristus Tuhan. Karena komitmenNya untuk mengasihi saya dan membawa saya satu kali untuk berjumpa dengan Dia di surga muluia, hari ini karena kemurahan saya ada di jalurNya. Kasih karuniaNya yang tiada berkesudahan menjadiakan saat ini saya ada sebagaimana saya ada. (Lih. 1 Kor.15:10) Terima kasih, Tuhan)
Kesalahpahaman tentang komitmen
Apakah komitmen itu? Bagaimana saya tahu itu adalah suatu komitmen atau bukan? Dan apakah saya telah hidup sesuai dengan komitmen-komitmen saya? Marilah kita merenungkan pertanyaan-pertanyaan itu dan –tentu saja- mencari jawabannya.
Pertama sekali, ada baiknya kita belajar mengenai apa yang tidak termasuk sebagai komitmen. Melalui pengantar ini, kiranya salah persepsi atau anggapan-anggapan yang keliru atas apa yang disangka sebagai komitmen dapat terjawab. Jadi, jika demikian, apakah yang bukan komitmen itu? Inilah beberapa penjelasannya :
Komitmen bukan sekedar perkataan yang mengandung janji.
Banyak orang menyangka bahwa berjanji atau bahkan bersumpah dengan satu tangan di atas Kitab Suci atau satu tangan teracung membentuk huruf V dapat digolongkan sebagai komitmen. Kenyataan yang ada adalah janji atau sumpah yang dibuat hingga hari ini tetap tak terhitung pelanggarannya. Manusia suka berjanji namun termasuk jarang untuk menepati. Banyak orang bahkan mudah membuat sumpah atau ikrar namun dalam langkah berikutnya, mereka dengan entengnya menyangkal pernyataan mereka sendiri (tidak terkecuali pernyataan yang jelas-jelas telah terekam dalam media perekam elektronik!). Tidak heran firman Tuhan melalui nubuatan Nabi Hosea mengatakan, “Kesetiaanmu seperti kabut pagi, seperti embun pagi yang buru-buru pergi.[Lih. Hos.6:4]
Komitmen bukan sekedar melakukan sesuatu.
Melakukan sesuatu tanpa makna tidak dikenal sebagai sesuatu yang sehat. Melakukan sesuatu seharusnya memiliki arti, tujuan atau maksud. Sekedar melakukan sesuatu atau melakukan sesuatu yang baik dipandangan banyak orang belum tentu memiliki arti komitmen di dalamnya.
Di tengah-tengah sifat orang-orang di sekitar kita yang munafik, di lingkungan kerja yang dipenuhi dengan intrik dan saling mencurigai, di antara teman-teman pergaulan yang mencari PEkesenangan-kesenangan pribadi, dan hidup bersama-sama dengan bangsa yang dikenal dengan orang-orangnya yang mengijinkan kemunafikan –tidaklah cukup melakukan sesuatu yang baik. Terlihat bertingkah laku baik belum memenuhi syarat disebut ‘berkomitmen’. Yudas Iskariot, 3 ½ tahun lamanya hidup dan melayani (perhatikanlah : ia melayani!) bersama-sama Yesus dan murid-murid lain. Dan kita tahu seperti apakah komitmennya, bukan?
Komitmen bukan sekedar keikutsertaan atau partisipasi (partisipasi aktif sekalipun).
Siapa saja bisa mengikuti kegiatan dalam organisasi apa saja. Siapapun bisa muncul dan turut serta dalam even apapun. Semua orang –tidak terkecuali- sangat berpotensi menjadi para penggembira. Dan ini faktanya : para penggembira tidak pernah berkomitmen. Merekalah penganut prinsip anut grubyuk; merekalah para penonton topeng monyet yang turut gembira melihat penampilan pertunjukan sewaan tetangganya; merekalah orang-orang yang berpartisipasi dalam suatu acara semarak grand opening dan pulang kekenyangan. Adakah komitmen di sana? Mereka yang hanya hadir, turut serta, atau –mungkin saja- sedikit bersibuk ria membantu pelaksanaan acara masih tepat disebut sebagai ‘penggembira’. Ada ribuan orang yang pernah menyaksikan pelayanan Yesus, makan roti mujizat, melihat dengan mata kepala sendiri keajaiban orang mati bangkit dari kubur. Ah, tapi mereka hanya penggembira. Karena kita tahu sewaktu Yesus telah terangkat, hanya 120 orang saja yang menantikan kegenapan janjiNya.[Lih. Kis. 2:15]
Komitmen bukanlah sesuatu yang tidak lagi dibayarkan padahal belum lunas.
Apa maksudnya? Maksudnya adalah komitmen tidak dibatasi waktu, tetapi komitmen dibatasi oleh penggenapannya. Komitmen itu harus dibayar barulah itu tidak diperhitungkan lagi. Sebelum komitmen itu dibayar lunas, komitmen belum berakhir. Sesuatu yang belum lunas dibayar tetapi tidak dibayarkan lagi, tidak dapat disebut sebagai komitmen karena komitmen itu kuat dan mengikat, tidak ada apapun yang dapat membatalkannya jika seseorang telah menetapkannya. Komitmen itu baru berakhir setelah lunas dibayar. Mari saya jelaskan lebih jauh : Seseorang bisa saja mengaku berkomitmen menjadi bapa atau ibu yang baik bagi anak-anaknya. Namun dalam perjalanan hidup kemudian, ia merasa berat untuk menjadi orang tua yang baik bagi anak-anaknya. Akhirnya ia menyerah dan menghentikan usahanya, kini ia pun mulai membiarkan dirinya menjadi orang tua yang kurang bertanggung jawab atas anak-anaknya. Orang ini belum tuntas membayar harga menjadi orang tua tetapi telah berhenti membayar harga. Dapatkah kita sebut apa yang dia tetapkan dahulu adalah sebuah komitmen? Saya meragukannya. Lebih tepat jika itu dikatakan sebagai keinginan atau kerinduan semata. Jangan campur baurkan kerinduan dengan komitmen. Itu dua hal yang berbeda. Menginginkan sesuatu terjadi adalah satu hal. Menetapkan untuk mewujudkan keinginan itu menjadi kenyataan adalah hal yang lain lagi. Terhadap keinginan, angan-angan, cita-cita, kerinduan harus ditambahkan komitmen. Dengan demikian, semuanya itu dapat menjadi kenyataan. Betapa beruntungnya kita, karena Allah tidak hanya rindu menyelamatkan kita. Ya, Ia berkomitmen untuk keselamatan kita sehingga mengorbankan AnakNya yang tunggal. Kini surga bukan hanya cerita. Allah yang berkomitmen, puas dengan pengorbanan Kristus sehingga “itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia sehingga kepadaNya diberikan nama di atas segala nama, supaya di dalam nama Yesus setiap lutut harus bertelut semua yang di surga, di atas bumi maupun di bawah bumi dan setiap lidah boleh mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa.”[Fil.2:9-10] Ya, komitmen dipuaskan setelah bertemu muka dengan kenyataan yang dibayarkan sesuai dengan apa yang ditetapkan.
Arti komitmen yang sesungguhnya
Jika komitmen ternyata bukan sekedar perkataan, perbuatan tertentu saja, keikutsertaan atau partisipasi dan seterusnya –jika demikian, apakah atau bagaimanakah sesungguhnya yang disebut ‘komitmen’ itu? Karena komitmen merupakan kata yang berasal dari bahasa asing –dan kurang dikenal dalam pengertian bahasa Indonesia, mungkin arti gramatikal kata ‘komitmen’ dari kamus Webster akan lebih membantu. Di sana tertulis bahwa komitmen adalah :
“suatu persetujuan atau penyerahan diri untuk melakukan sesuatu di waktu yang akan datang; sesuatu yang sifatnya mengikat dan diperjanjikan atau disetujui;
keadaan atau kondisi dimana seseorang menjadi terikat/diwajibkan melakukan sesuatu atau didesak secara emosional untuk melakukan sesuatu (seperti suatu dorongan kewajiban moral).”
Jika memperhatikan definisi kamus di atas, maka cukup menjadi jelas apa sebenarnya yang dinamakan ‘komitmen’ itu. Komitmen lebih dari sekedar perkataan atau sekedar melakukan sesuatu. Komitmen melibatkan persetujuan dan janji yang mengikat bahkan penyerahan diri untuk melakukan sesuatu. Karena itu adalah persetujuan, maka tidak ada sifat ‘melakukan karena terpaksa’. Karena sifatnya yang mengikat, maka seseorang tidak cukup hanya mengucapkan kata-kata tanpa wujud nyata. Karena melibatkan emosi atau faktor kejiwaan, maka seseorang yang berkomitmen mau tidak mau akan sangat terdorong untuk membayar kewajibannya. Sebelum kewajiban yang telah disetujui dan diikat dalam perjanjian itu dilaksanakan, seorang yang berkomitmen tidak dapat hidup tenang.
Untuk membedakan lebih jelas antara keterlibatan/partisipasi dengan komitmen, coba renungkan pernyataan mengenai komitmen dari seorang pengarang yang tidak dikenal berikut ini : “Perbedaan antara keterlibatan dan komitmen adalah seperti telur dengan daging ham untuk sarapan: dalam hal ini, si ayam hanya terlibat –namun si babi berkomitmen.
Apakah Anda telah berkomitmen? Komitmen untuk melakukan apakah itu? Sudahkah itu dilaksanakan? Jika belum, ujilah komitmen Anda: sudah tenangkah hati Anda? Atau Anda masih merasa terusik seperti Daud yang berkomitmen membangun bait suci Allah? Ketahuilah satu fakta ini sekali lagi :
Jika kita mengaku telah berkomitmen dan jika komitmen itu belum terbayar namun kita merasa tidak didesak atau diwajibkan, maka sebenarnya kita belum benar-benar pernah berkomitmen.
Komitmen yang sejati bagi Tuhan
Sebagaimana manusia yang merindukan orang-orang lainnya berkomitmen bagi keluarga, pekerjaan, perjanjian bisnis, hukum negara, agama, bahkan berkomitmen untuk membela bangsa dan negaranya; Allah yang menciptakan manusia –yang daripadaNya sifat-sifat dan watak yang baik dari manusia itu berasal- terlebih lagi merindukan komitmen manusia untuk hidup bagi Penciptanya. Tuhan merindukan komitmen kita. Dan Dia mencari-cari, menghargai, memakai bagi kemuliaanNya orang-orang yang berkomitmen bagi Dia. Bukankah “mata Tuhan menjelajah seluruh bumi untuk memberikan kekuatan dan kuasa bagi mereka yang bersungguh hati kepada Dia (versi NIV: fully commited to Him)”[2Taw. 16:9]?
Satu kenyataan yang tidak dapat dibantah adalah bahwa semua hamba-hamba pilihanNya adalah mereka yang berkomitmen kepada Dia. Alkitab kita dipenuhi dengan tokoh-tokoh teladan yang semuanya –pasti, tanpa keraguan- berkomitmen kepada Allah. Justru di situlah kesuksesan mereka selama menjalani hidup di dunia –berkomitmen kepada Penguasa tertinggi, pencipta alam semesta. Apakah di sini Allah berlaku tidak adil? Tentu saja tidak. Pikirkankanlah : bagaimana mungkin Yesus Kristus Tuhan yang akan memerintah di bumi selama seribu tahun dan tinggal bersama-sama selama-lamanya dalam kekekalan dapat bekerja dan tinggal bersama-sama mereka yang tidak berkomitmen kepada pemerintahan kerajaanNya? O, Dia mencari orang-orang kepercayaan –orang-orang yang setia kepada kehendakNya bukan program atau rancangan mereka sendiri.
Berikut ini adalah beberapa tanda dari mereka yang berkomitmen bagi Dia. Mari kita belajar lebih dalam dari kehidupan hamba-hamba pilihanNya!
Pertama, komitmen bagi Tuhan menuntut seseorang untuk membayar harga bagi Tuhan.
Abraham membayar harga dengan meninggalkan adat dan kebiasaan leluhurnya. Yusuf membayar harga kekudusan di tanah asing, Musa membayar harga dengan melepaskan haknya sebagai ahli waris kekayaan Mesir, Daud membayar harga dengan hidup sederhana supaya emas dan peraknya dapat digunakan bagi pembangunan Bait Suci, Daniel dan teman-temannya membayar harga dengan tidak makan daging persembahan berhala. Yeremia membayar harga kesetiaan yang tanpa kompromi, Paulus membayar harga dengan tetap teguh sekalipun ditentang hingga akhirnya mati syahid. Dan daftar ini terus berlanjut. Tidak lupa tentu saja, komitmen dari Juruselamat kita. Ia membayar harga nyawaNya sehingga mati di kayu salib bagi Anda dan saya. Dia telah membeli jiwa kita dengan nyawaNya sendiri. Dia telah membayar darah kita dengan darahNya sendiri. (Terima kasih Tuhan, karena sebelum kami membayar harga bagi Engkau, Engkau telah membayar harga termahal bagi kami).
Perlu ditekankan di sini, membayar harga di sini bukan sekedar melakukan sesuatu dengan begitu saja. Hampir setiap kali, dalam memenuhi komitmennya, para hamba Tuhan yang setia ini menderita. Sekalipun demikian, karena mereka sungguh mengerti benar akan arti sebuah komitmen, mereka tetap membayar harga. Tidaklah mengherankan apabila kemudian mereka beroleh kasih karunia untuk bertemu dengan Tuhan di gunung kudusNya; karena mereka adalah “yang berpegang pada sumpah, walaupun rugi.”[Maz. 15:4] Merekalah yang akan mengalami persekutuan lebih intim dan mendalam bersama Tuhan baik di bumi, terlebih lagi di surga dalam kekekalan.
Lagi, komitmen bagi Tuhan menuntut seluruh hidup kita.
Berbeda dengan perjanjian kerja atau hubungan sementara antara sekelompok orang yang disatukan oleh kepentingan-kepentingan tertentu, komitmen kepada Tuhan menuntut penyerahan seluruh hidup kita, bukan hanya satu dua aspek atau sebagian dari keberadaan kita. Komitmen dengan Tuhan berarti mati dan bangkit bersama Kristus, menjalani hidup yang baru selamanya dengan mengenakan Kristus dan memberikan diri kita untuk hidup hanya bagi kehendak dan kemuliaanNya.[2Kor. 5:14-15] Contoh sederhana –sekalipun jauh
tidak sebanding- mengenai komitmen antara dua pribadi yang menuntut penyerahan diri sepenuhnya adalah komitmen perkawinan. Dua orang yang menjadi suami dan istri memberikan diri mereka sepenuhnya kepada pasangannya “sehingga mereka bukan lagi dua melainkan satu.”[Mat. 19:6]
Sesungguhnya komitmen ini jualah yang seringkali disebut sebagai iman sejati kepada Kristus. Mereka yang menerima Kristus dan diselamatkan tidak dapat tidak pastilah akan hidup berkomitmen bagi Tuhan saja. Keindahan Kristus menjadikan seorang manusia mengubah total arah kehidupannya. Paulus seorang jenius yang ganas, penganiaya banyak orang menemukan Kristus dan seluruh kehidupannya tak pernah sama lagi. Kepada ketuhanan Kristus ia memberikan dirinya sepenuhnya :
“Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku,lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus,“
Mat. 19:6
“Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan”
Fil. 1:21
Itulah iman yang sejati. Itulah komitmen pada Tuhan.
Yang terakhir, komitmen kepada Tuhan selalu membawa konsekuensi penderitaan.
Ya, penderitaan. Gentarkah Anda membaca kata ini? Memang benar, tidak ada seorang pun di dunia ini suka apalagi mau mengalami kata-kata itu terjadi dalam hidupnya. Tetapi hal ini pulalah yang harus dihadapi oleh setiap orang yang hendak mengikut Kristus. Yesus berkata, “Jika dunia menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu…”[Yoh. 15:20] Kita tidak boleh menoleh ke belakang.[Luk.9:62] Jalan menuju surga bagaikan pintu yang sesak.[Mat.7:13]Dan mengikut Kristus berarti tidak diterima, ditolak dan tidak mempunyai tempat di dunia ini.[Luk.9:58] Itu belum termasuk ‘meninggalkan’ keluarga, istri, anak, harta benda atau apa saja yang kita hargai di dunia ini demi kasih kepada Tuhan.[Mat. 10:37; Luk. 14:26] Pendeknya, mengikut Kristus digambarkan oleh Yesus sendiri sebagai “menyangkal diri dan memikul salibnya.”[Mat. 16:24] Tentu saja, memikul salib bukan termasuk sebagai suatu kegiatan yang bersifat rekreasi.
Marilah kita sadari bahwa dunia yang bobrok ini tidaklah terlalu menghendaki orang-orang yang sulit dikendalikan dan diatur oleh sistem dunia ini. Orang-orang tanpa kompromi sering dijuluki bodoh, eksentrik, aneh, tolol, menyia-nyiakan hidup, nyentrik, fanatik dan radikal. Fanatik dan radikal untuk perkara yang tidak jelas juntrungnya jelas adalah sia-sia. Hal itu bisa berujung pada penangkapan, pengadilan dan pemenjaraan. Namun, dasar perjuangan kita adalah agung: korban Kristus di atas kayu salib bagi kita. Pikirkanlah : jika untuk mendapatkan satu rumus saja orang harus tidak tidur bermalam-malam; atau demi memperjuangkan satu prinsip agama seseorang rela dihukum mati sebagai teroris; atau jika untuk melepaskan diri dari kolonialisme penjajah seseorang rela berjuang sampai titik darah terakhir; BUKANKAH DEMI KEMULIAAN DAN KEAGUNGAN NAMA TUHAN –YANG TELAH DEMIKIAN MENGASIHI KITA-, kita harus rela melakukan bagian kita, memikul salib kita dengan sukacita bagaimanapun beratnya? Oleh karena itu, penderitaan seharusnya bukan merupakan sesuatu yang asing bagi orang Kristen. Ya, seperti kata rasul : sebab kepada kita dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita bagi Dia.[Fil. 1:29]
Marilah kita menguji diri kita. Sudahkah kita mengikut Kristus? Jika sudah, pasti kita telah berkomitmen untuk hidup bagi Dia, sebab jika tidak demikian, kita mudah disesatkan dan menyimpang dari jalan-jalanNya. Baiklah kita berkomitmen untuk hidup hanya bagi Dia dan rencanaNya yang indah yang telah disiapkanNya untuk kita. Sebelum saya akhiri renungkanlah sekelumit kisah ini :
“Ada seorang yang hendak menjual rumahnya seharga 20 juta rupiah. Dan ada seseorang yang sangat ingin memiliki rumah itu. Tetapi karena calon pembeli ini seorang yang miskin, ia tidak sanggup membayar dengan harga yang diminta. Akhirnya karena mendesak, sang pemilik rumah setuju menjual rumah itu dengan satu syarat: ia boleh memiliki satu buah paku yang menancap di atas pintu rumah. Sang pembeli pun akhirnya setuju dan perjanjian jual beli diadakan. Beberapa tahun kemudian, sang pemilik rumah lama datang lagi dan ingin membeli rumah itu lagi. Pemilik baru tidak berminat atau bersedia menjualnya. Maka pemilik rumah yang lama pergi, menemukan sebuah bangkai anjing mati dan kemudian menggantungnya di atas paku (yang masih dimilikinya itu) di rumah itu. Segera saja rumah itu tidak lagi nyaman ditinggali dan pemilik baru terpaksa menjual rumah itu kepada pemilik lama.” Hal yang sama dapat terjadi pada kita.
Sebelum kita berkomitmen total bagi Tuhan dan hidup sepenuhnya bagi kepentingan, kehendak dan kemuliaanNya maka setiap saat Iblis bisa datang, masuk dan menaruh perkara-perkara yang busuk dalam bagian hati yang masih belum diserahkan kepada Tuhan itu. Maka segera seluruh hidup kita kembali ke tangan si jahat itu. Bukankah itu mengerikan? Saudara-saudariku, hari ini bertobatlah dari keakuan, kebenaran diri sendiri, kepahitan, kekecewaan, atau keinginan-keinginan duniawi. Dan berkomitmenlah untuk menyerahkan sepenuhnya hidup kita bagi rencana Tuhan. Hari ini, Tuhan tetap mencari orang-orang yang berkomitmen padaNya. Adakah Ia menemukan Anda?