Oleh: Peter B, MA
“Sementara itu murid-murid-Nya mengajak Dia, katanya: “Rabi, makanlah.” Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: “Pada-Ku ada makanan yang tidak kamu kenal.” Maka murid-murid itu berkata seorang kepada yang lain: “Adakah orang yang telah membawa sesuatu kepada-Nya untuk dimakan?” Kata Yesus kepada mereka: “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku” (Yohanes 4:31-34)
Di masa kekristenan begitu marak dengan berbagai bentuk pelayanan disertai suatu hembusan segar dari terobosan di bidang pujian dan penyembahan, tidaklah mengherankan ada suatu kegairahan baru dalam beribadah kepada Tuhan. sebagai suatu organisasi yang bergerak di bidang penyembahan, kita dipanggil Tuhan untuk mendalami akan makna, pengertian mendalam bahkan esensi atau inti dari penyembahan itu sendiri. Ketidaktahuan mengenai apa yang dimaksud penyembahan sejati kepada Tuhan didalam Kristus Yesus telah membawa banyak orang Kristen dari zaman ke zaman ke dalam suatu kondisi yang menyedihkan dan penuh dengan kesesatan.
Seperti dikatakan di atas, dengan adanya era baru dalam bentuk-bentuk ibadah kita, maka tidak sedikit pula di antara orang-orang Kristen yang mengaku sebagai para penyembah. Masalahnya adalah suatu sikap atau tanda bagaimanakah yang kemudian menjadi ukuran bagi kita sehingga kita tahu apakah kita termasuk seorang penyembah (sejati) atau tidak. Beberapa orang berkata bahwa dengan menjadi orang Kristen secara otomatis kita menjadi seorang penyembah. Benarkah demikian? Bagaimana dengan mereka yang merasa menjadi penyembah karena telah menunaikan kewajiban agama mereka di hari Minggu? Atau bagaimana pula dengan mereka yang merasa pantas menyandang gelar seorang penyembah karena pelayanan mereka di dalam bidang ‘praise and worship? Atau mungkin seperti konsep yang pernah ada di benak saya dahulu yang saya percaya juga ada di benak beberapa orang yaitu bahwa karena saya suka menyanyikan lagu pujian berirama lambat (yang sering kita sebut lagu penyembahan); maka karena itulah saya menganggap bahwa saya seorang penyembah. Demikian banyak pendapat. Manakah yang dapat kita jadikan pegangan? Darimanakah kita tahu bahwa kita ini penyembah sejati atau bukan?
Sebelum masuk lebih dalam lagi membahas mengenai karakter yang membedakan seorang penyembah dengan bukan penyembah, kita akan merenungkan nats di atas. Yesus berkata, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia (Bapa) yang mengutus Aku…” (Yohanes 4:34). Ini merupakan jawaban atas kebingungan murid-murid saat mereka menawarkan roti dan Yesus menjawab bahwa ada padaNya roti yang tidak mereka kenal. Apa maksud dari semuanya ini? Yesus ingin mengajarkan pada murid-muridNya bahwa sebagai manusia rohani ada perkara lain yang fungsinya sama seperti makanan untuk tubuh. Tetapi makanan yang satu ini adalah untuk kepentingan rohani. Dan makanan itu bernama: “melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan Bapa”!
Saudaraku, Yesus menggambarkan tindakan ‘melakukan kehendak BapaNya’ seperti halnya makanan. Untuk mengetahui maksud terdalam dari perkataan Yesus ini, kita perlu menyelidiki apa sesungguhnya yang disebut ‘makanan’ itu. Menurut Ensiklopedia, ‘makanan’ adalah apa saja yang di makan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik sepeti pertumbuhan, memelihara seluruh proses tubuh, menyediakan tenaga bagi pemeliharaan suhu serta aktivitas tubuh; dan juga untuk memuaskan selera makan kita. Demikianlah apa yang dimaksud sebagai ‘makanan’. Dari keterangan tadi kita menjadi tahu bahwa makanan mencakup dua hal: (1) Kebutuhan hidup dan (2) Kegemaran/kesukaan bagi tubuh kita. Dan seperti itu pulalah Yesus memandang kehendak BapaNya. Bagi Yesus, melakukan kehendak Bapa adalah suatu kebutuhan pokok dan suatu kesenangan hidup. Benarkah demikian? Bagaimana kita tahu pikiran Yesus?
Mari melihat lebih seksama. Yesus berkata, “Makanan-Ku…” (penekanan pada kata ‘Makanan’). Kata ‘makanan’ menunjukkan akan ketergantunganNya serta betapa Ia membutuhkan untuk hidup dalam kehendak BapaNya. Tidak melakukan kehendak Bapa dapat disamakan dengan berhenti untuk makan. Yesus sangat bergantung kehidupan rohaninya akan makanan rohani ini: Ia tidak dapat hidup tanpa melakukan kehendak BapaNya. Dan berikutnya, kita tahu bahwa bagi Yesus ‘melakukan kehendak Bapa’ adalah kesenanganNya dari kata-kata yang sama dengan penekanan yang berbeda. Bacalah sekali lagi kata-kata Yesus, “Makanan-Ku…’(penekanan pada kata “Ku”). Mengapa satu kata kecil itu begitu penting? Ya, itu penting karena Yesus menegaskan bahwa melakukan kehendak Bapa adalah makananNya, makanan yang dipilihNya untuk di makanNya setiap hari. Saudaraku, tidak ada orang yang memilih makanan yang kemudian dijadikan sebagai makanannya sesuatu yang tidak enak untuknya. Kita memilih suatu makanan untuk menjadi ‘makanan kita’ atau ‘makananku’ karena kita merasa makanan itu enak dan kita suka untuk memakannya. Jadi, melakukan kehendak Bapa adalah kebutuhan utama dan suatu kegemaran bagi Yesus! Bukankah demikian?
Dari uraian di atas kita mengetahui sesuatu. Yesus memberitahukan kepada kita salah satu pelajaran paling penting mengenai penyembahan. Sebagai teladan dari penyembahan yang sejati, Yesus menunjukkan kepada kita apa arti sesungguhnya menjadi seorang penyembah sejati itu. Seorang penyembah sejati hidup dan bertahan hidup dari suatu makanan yang disebut ‘melakukan kehendak Bapa’. Tidak ada keharusan yang lebih besar dan kesenangan yang lebih kuat di dalam hati dan hidup para penyembah sejati selain melakukan kehendak Allah (dan menyelesaikan pekerjaanNya: ini akan kita bahas minggu depan) Inilah sesungguhnya perbedaan hakiki antara seorang penyembah sejati dengan mereka yang hanya mengaku sebagai penyembah adalah bahwa PENYEMBAH SEJATI HIDUP UNTUK MELAKUKAN KEHENDAK ALLAH DAN MEREKA MENYUKAINYA!
Bukti nyata dari kehidupan Kristen dalam hal ini adalah doa penyerahanNya di Getsemani; beberapa jam sebelum penyalibanNya. Di sana tiga kali Ia berseru, “Ya Bapa jikalau boleh kiranya cawan ini lalu daripadaKu. Tetapi bukan kehendakKu, melainkan kehendakMu yang jadi.” Orang-orang yang berhati tidak lurus meninggikan tanduknya dan mulai menuduh Yesus, “Hey kedengarannya seperti Ia keberatan? Apakah Ia sedang menawar kehendak Bapa? Benarkah Ia suka melakukan kehendak BapaNya?” Bukan demikian. Jelas bukan demikian sama sekali. Jika kita tahu benar penderitaan yang akan dialami Kristus, kita tidak akan berkata demikian. Perkataan supaya ‘cawan itu berlalu’ menunjukkan kepada kita bahwa Kristus menanggung penderitaan dalam rupa seorang manusia biasa tidak ada rekayasa atau pengurangan rasa sakit karena sifat keillahianNya, semua penderitaan itu nyata, dirasakanNya secara penuh dalam keadaan sadar. Sesungguhnya, jika kita mengerti benar apa yang disebut penyaliban itu, percayalah tidak ada seorang manusiapun di dunia ini yang dapat berdiri tegak dan tidak gemetar. Itu adalah salah satu bentuk kematian terburuk yang pernah ada di pikiran manusia!
Para pembaca terkasih, mari renungkan jawaban apa kiranya yang keluar dari mulut kita saat kita ditanya, “Maukah engkau melakukan kehendakNya? Apakah engkau suka melakukannya?” Jawaban kita menentukan penyembahan kita. Tanggapan kita menyatakan status kita, siapa diri kita di hadapan Tuhan. Tuhan mencari penyembah-penyembah sejati. Seperti Daud; yang berkata, “Aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku; TauratMu ada dalam dadaku.” (Mazmur 40:9). “Bapa, kami rindu menyembahMu dalam kesejatian seperti hambaMu Daud serta menyerupai AnakMu, Yesus. Betapa hati kami rindu penyembahan kami menyenangkan Engkau. Sebab itu, ya Tuhan, berikan kepada kami hati yang rela untuk hidup dalam kehendakMu dan menjadi penyembahMu. Amin.”
(Diambil dari warta Worship Center edisi 11 – 22 Maret 2002)