TABIR yang TERBELAH

Oleh: Peter B, MA
Ketika itu hari sudah kira-kira jam dua belas, lalu kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga, sebab matahari tidak bersinar. Dan tabir Bait Suci terbelah dua. Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” Dan sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawa-Nya.” (Lukas 23:44-46)
Salah satu peristiwa yang menggemparkan saat Yesus Kristus Tuhan kita tergantung diantara hidup dan mati, diantara langit dan bumi, meregang nyawa menanggung dosa dunia, adalah apa yang baru saja kita baca di nats di atas. Ya, pada saat persis sebelum Ia menyerahkan nyawaNya, tabir atau tirai di Bait Suci yang menjadi pembatas antara Ruang Kudus dan Ruang Mahakudus terbelah menjadi dua. Yang dimaksud terbelah di sini adalah kain-kain tirai itu robek persis di tengah-tengah dan terbukalah Ruang Mahakudus itu.
Konon kabarnya, tirai yang menjadi pembatas antara Ruang Kudus dan Ruang Mahakudus itu sangatlah sulit untuk disobek karena sedemikian tebalnya. Perlu diketahui bahwa tirai atau tabir itu tidak hanya terbuat dari satu kain yang tipis saja tetapi dari empat macam kain yang cukup tebal dan kuat (baca Keluaran 36:31). karena terdiri dari 4 lapisan kain maka tirai itu menjadi sangat kokoh dan kuat. Merobek satu kain yang tipis saja begitu sulit, bagaimana dengan 4 lapis kain? Menurut penelitian, 2 ekor kuda yang diikat secara berlawanan pada masing-masing sisi kiri-kanan tirai tersebut belum tentu dapat merobeknya menjadi dua!
Jika demikian pertanyaan yang penting adalah: siapakah yang merobek tirai itu menjadi dua bagian dengan sendirinya? Jawabannya mudah, tentu saja Allah sendiri. Nah, pertanyaan yang lebih penting lagi: mengapa Allah melakukannya? Ini tidak terlalu mudah untuk dijawab…(tetapi saya tidak ingin mempersulitnya bagi Anda).
Untuk mengetahuinya jawabannya kita perlu mengerti beberapa hal terlebih dahulu. Misalnya apa itu Ruang Mahakudus. Di dalam Perjanjian Lama ini adalah “ruangan terlarang”. Tidak semua orang boleh masuk ke dalamnya. Setahun sekali ruangan itu boleh dimasuki hanya oleh satu orang yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu dia yang menjabat sebagai Imam Besar. Di sana Imam Besar membawa darah korban persembahan yang telah ditentukan untuk mengadakan pendamaian bagi seluruh bangsa Yahudi. Meskipun boleh masuk dan melayani di situ, pelayanannya bukanlah pelayanan sepele dan bisa dianggap remeh. Mengapa? Karena apabila Imam Besar tersebut salah menjalankan peraturan upacara perdamaian tersebut atau belum memenuhi syarat tertentu maka ia dapat “dihukum mati” oleh TUHAN. Risiko untuk masuk ke dalam ruangan itu adalah mati. Ruangan itu merupakan ruang dari tahta Tuhan dan tempat itu hampir mustahil didekati oleh siapapun juga. Jangankah untuk memasukinya, untuk melihat apa yang ada di dalamnya mungkin saja hanya merupakan mimpi seumur hidup bagi orang Israel. Betapa tak terjangkaunya ruangan itu!
Ruangan itu menjadi sangat keramat dan ditakuti karena orang Israel tau disitulah tempat Tuhan bertahta dan seringkali menyatakan shekinah (awan) kemuliaanNya, yang merupakan tanda kehadiranNya di tengah-tengah umatNya. Allah ingin menyatakan diri-Nya lebih jauh kepada umatNya tetapi tidak ada yang dapat menahan kemuliaanNya. Melihat kemuliaan Tuhan pada zaman PL adalah sama dengan berahkirnya hidup mereka di dunia. Oleh karena itu kehadiran Allah dibatasi oleh tabir yang tebal. Tabir itulah yang membuat manusia tetap dapat berhubungan dengan Dia tanpa kehilangan nyawanya.
Ribuan tahun kemudian, terjadilah sesuatu yang luar biasa. Saat Yesus, yang mereka panggil orang Nazaret itu mendekati ajalNya, tabir itu terbelah dan tidak dapat disambung kembali. Seluruh Yerusalem kini dapat melihat Ruang Mahakudus itu. Melihat ke dalam Ruangan itu kini bukan lagi suatu impian atau perkara yang mustahil. Sebaliknya, mungkin siapa saja tidak mustahil bagi siapa saja yang ingin memasukinya!
Apa arti dari semua itu? Artinya begitu mengejutkan dan begitu mengharukan. Saat nyawa Anak Domba Allah dikorbankan di atas kayu salib, saat itulah Allah berkenan untuk menyambung hubungan dengan manusia ciptaanNya. Ia tidak ingin membatasi diriNya untuk berhubungan erat dengan manusia. Ia sudah bosan dengan tabir, Ia sudah muak dengan segala penghalang antara Dia dan manusia yang dikasihiNya. Inilah waktunya kasih karunia di curahkan. AnakNya yang tunggal telah dikorbankan dan Ia berkenan akan korban itu. Ia akan mengampuni dan menerima setiap manusia yang datang atas dasar korban Anak Domba Allah yang kudus itu. Allah berkenan untuk didekati dan ditemui oleh siapa saja yang mau dan rindu untuk melakukannya. Tidak hanya itu, Ia berkenan menjalin hubungan, hubungan yang paling dekat dan intim. Ia membuka diri untuk kita sekalian lewat korban AnakNya di kayu salib.
Sekitar pertengahan November 2000 dan kira-kira Akhir Februari 2001 ada dua insiden yang hampir sama. Keduanya sama-sama mengerikan. Keduanya meminta korban-korban jiwa anak-anak muda. Yang pertama adalah saat konser grup musik Shieila on 7 di Lampung, yang lain adalah saat kedatangan grup vokal pria asal Inggris di Jakarta, A1. Apa yang sesungguhnya terjadi? Yang terjadi sebenarnya didasari oleh kerinduan dan “kehausan” anak-anak muda Indonesia untuk melihat grup musik pujaan hatinya. Saat kesempatan muncul dan pintu terbuka untuk bertemu muka lebih dekat kepada idola mereka – ini suatu kesempatan yang jarang, bahkan bisa jadi sekali seumur hidup- maka mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka rela berhamburan, berdesakan, bersikutan, saling menjatuhkan dan saling injak untuk bertemu dengan idola mereka. Bahkan mereka ‘rela’ untuk mati…agar bisa bertemu dengan idola mereka! Bagaimana seharusnya perasaan kita? Bangga atau bersedih?
Dari pengalaman tragis di atas, adakah persamaannya dengan kita? 2000 tahun lampau, Allah telah membuka pintu yang menghalangi kita dengan Dia. Pertanyaannya, adakah begitu merindukan dan menginginkan untuk begitu dekat dengan Dia sehingga rela untuk “berdesak-desakan, berebut, dan berkorban begitu besar untuk bisa bersama-sama dengan Dia? Adakah yang rela mati (bagi dirinya sendiri) supaya ia dapat bertemu dengan Dia. Seberapa jauh hati kita merindukan Dia? Di segala zaman, Ia mencari keintiman dengan manusia yang amat dikasihiNya. Haruskah Ia tetap berharap tanpa ada tanggapan? Saudaraku, tabir pemisah telah terbelah, pintu telah terbuka…. Adakah yang akan ‘menyerbu’ untuk memasukinya? Adakah itu Anda dan saya? Amin.
(Diambil dari warta Worship Center edisi 25– 20 April 2001)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *