TELADAN MARIA DAN YESUS

Oleh: Peter B, MA


Ketika mereka kekurangan anggur, Ibu Yesus berkata kepada-Nya: “Mereka kehabisan anggur.” Kata Yesus kepadanya: “Mau apakah engkau daripada-Ku, Ibu? Saat-Ku belum tiba.” Tetapi ibu Yesus berkata kepada pelayan-pelayan: “Apa yang dikatakan kepadamu. Buatlah Itu!” (Yohanes 2:3-5)
Membaca Alkitab, bagi saya lebih dari sekedar membaca sebuah buku atau bahkan lebih dari sekedar membaca. Ada suatu kesenangan tersendiri di dalamnya. Lebih dari itu ada suatu perasaan kagum yang tiada henti-hentinya melanda hati dan pikiran saya saat mengetahui fakta-fakta tertentu yang begitu mulia dan mempesonakan. Seringkali saya menjadi terharu bahkan hancur hati saat meneliti ayat-ayat dan karakter tokoh-tokoh di dalam buku terbaik sepanjang zaman itu. Tidak terkecuali dalam kisah ini, kisah mujizat pertama Yesus ini. Pancaran karakter dari dua tokoh utama kisah ini begitu menyentuh hati dan menantang iman saya. Saya belajar banyak dari Maria dan Yesus.

BELAJAR DARI MARIA, IBU YESUS
Mengamati kehidupan Maria sebagaimana yang digambarkan Alkitab, tidaklah berlebihan jika saya berpendapat bahwa Maria, ibu Yesus adalah salah satu dari pribadi yang paling mulia yang ada di Alkitab. Meskipun di pandangan mata banyak orang ia hanyalah seorang perempuan desa biasa yang miskin, tetapi saya memiliki keyakinan bahwa dia juga salah satu wanita yang terbaik yang pernah hidup di dunia. Karakter Maria yang mulia tampak dengan jelas dalam perjamuan kawin di Kana itu. Tahukah Anda apa itu?
Perhatikanlah lebih seksama. Maria yang mengetahui bahwa pesta tersebut kehabisan anggur datang meminta pertolongan pada Yesus. Seperti telah kita ketahui, Maria tahu benar siapa Yesus. Ia tahu ‘anaknya’ itu memiliki otoritas yang besar untuk melakukan perkara-perkara yang luar biasa. Dan kita telah belajar pula bahwa tanggapan Yesus secara manusia kurang bersahabat bahkan cenderung kasar dan tajam. Sebagai seorang ibu, yang selayaknya dihormati oleh anaknya atau orang yang lebih muda, seharusnyalah Maria tersinggung atau patah semangat. Apalagi ia bukan orang luar tetapi sesungguhnya ‘keluarganya’ sendiri. Tetapi Maria tidak bersikap demikian. Tetapi ia memerintahkan para pelayan terus memperhatikan Yesus dan melakukan apa saja yang nanti akan dikatakanNya (Yohanes 2:5 nats di atas). Tidak tampak ada kekecewaan atau rasa tersinggung pada Maria. Ia tetap yakin dan berharap.
Betapa berbedanya sikap Maria dengan sikap kita. Seringkali kita meminta Tuhan mengabulkan permohonan kita dan sepertinya Ia tidak menanggapi bahkan kemudian memberikan kata-kata yang keras kepada kita (Bukankah ini mirip dengan yang dialami oleh Maria?). Tetapi sikap kitalah yang berbeda dengan Maria. Kita seringkali menjadi marah, tersinggung atau paling tidak menjadi sangat kecewa kepada Tuhan. Di dalam hati atau melalui kata-kata yang terucapkan, kita mengelu & protes atas tanggapan Tuhan. Tidak jarang pula yang akhirnya mengambil keputusan: ‘aku akan jalan sendiri tanpa Tuhan’ atau ‘tanpa Tuhan pun aku masih dapat menjalani hidup’. Mari lihat jauh ke dalam hati kita. Harus diakui bahwa kita lebih banyak bersikap demikian daripada bersikap seperti Maria.
Kita harus belajar dari ibu Yesus ini mengenai banyak hal. Ia percaya sepenuhnya pada Tuhan dan kasihNya. Ia setia. Ia tidak putus asa. Ia tetap berharap. Lebih dari semuanya, ia bertindak dalam pengharapan dan imannya itu! (lihat kembali ayat 5 tadi – itulah bukti iman Maria). Maria mungkin juga telah tahu bahwa memang waktu Yesus belum tiba tetapi ia juga kenal benar siapa Allahnya. Ia tahu bahwa Tuhan yang ia sembah tidak pernah menutup mata jika ada yang meminta pertolongan terlebih lagi jika keperluan itu begitu mendesak. Maria tahu bahwa permintaannya tidak dapat dipenuhi saat itu, tetapi ia memilih untuk terus berharap dan tidak menjadi kecewa pada Tuhan.
Bagaimana dengan kita? Mau kah kita terus berharap pada Tuhan sekalipun Tuhan berkata, “Nanti, anakKu”? Poin penting di sini sesungguhnya bukan sekedar masalah iman tetapi masalah ketekunan pengharapan kepada Tuhan (1Tesalonika 1:3). Maria tetap berharap kepada Tuhan meskipun Tuhan tidak mengabulkan permohonannya saat itu. Secara pribadi, saya berpendapat bahwa seandainya saja Yesus tetap tidak mengadakan mujizat, saya tetap yakin Maria tidak akan kecewa dan down rohaninya. Bagi Maria, yang penting ia telah berharap kepada Tuhan dan ia percaya Tuhanlah yang apa yang terbaik untuk dilakukan. Sebaliknya, adalah cukup ironis jika melihat apa yang seringkali kita lakukan. Seperti bangsa Israel yang suka bersungut-sungut, kita tidak pernah mau menguatkan iman dan pengharapan kita pada Tuhan sekalipun jelas-jelas Tuhan telah melakukan banyak mujizat atas kita dan juga Tuhan telah siap mengadakan mujizatNya dalam hidup kita. Belajarlah dari Maria. Milikilah iman yang sederhana tetapi teguh.

BELAJAR DARI YESUS KRISTUS, TUHAN KITA
Sebelum mengakhiri renungan kita, masih ada satu pertanyaan lagi yang perlu kita bahas yaitu mengapa pada akhirnya Yesus menolong Maria dan akhirnya mengadakan mujizat di sana? Apakah Bapa berubah pikiran? Apakah Ia bertentangan atau berubah-ubah dalam hukum dan ketetapanNya?
Jawabannya tidak sesulit yang Anda kira. Di sinilah kita menemukan hikmat Allah yang tidak tertandingi itu. Dan karena itulah saya bersyukur dan bangga memiliki Allah yang seperti Dia, yang kita kenal di dalam Kristus. Perhatikanlah sekali lagi kisah ini. Alasan Yesus tidak antusias menolong Maria adalah karena saat itu bukanlah waktuNya untuk mengadakan perkara-perkara ajaib di tengan banyak orang. Selama itu menarik perhatian banyak orang, Bapa tidak berkenan pada waktu itu. Tetapi Allah kita juga tidak dapat hanya duduk diam melihat anakNya dalam kesulitan. Jelas Ia sangat mengasihi anak-anakNya dan rindu untuk menolong setiap anak-anakNya terlebih lagi yang berharap sepenuhnya hanya kepada Dia. Saya yakin inilah yang terjadi: Bapa mengizinkan Yesus mengadakan mujizat di perkawinan itu sepanjang itu tidak menarik perhatian banyak orang. Dan Yesus melakukannya tanpa khalayak banyak mengetahui mujizat luar biasa tersebut. Sungguh Allah kita baik dan untuk selama-lamanya kasih setiaNya. Tak tertandingi oleh segala sesuatu, hikmatNya yang tiada tara itu.
Di sini kita melihat karakter penyembah sejati yang perlu kita teladani dari Kristus. Ia melakukan mujizat yang adalah perbuatan ajaib tanpa sedikitpun menginginkan puji-pujian dan penghormatan dari manusia. Ia melakukannya dengan senyap, tanpa publikasi besar-besaran. Inilah kerendahan hati sejati. Jasa dan perbuatan baik kita (yang hanya perbuatan biasa saja tidak ajaib) seringkali kita banggakan dan pamerkan kepada semua orang dengan mengharapkan semua orang kemudian memandang kita lebih tinggi lagi. Hal ini kiranya dijauhkan dari hati setiap kita. Para penyembah sejati. Biarlah kita tetap rendah hati dan menaruh rasa aman dan kesukaan kita hanya pada ketaatan mutlak kepada Bapa. Itulah kerendahan hati sejati yang akan membawa kemuliaan yang sejati pula. O, Tuhan berikan kami hati sedemikian supaya kami menjadi penyembah yang Kaurindukan.Amin.
(Diambil dari warta Worship Center edisi 4– 1 Februari 2002)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *