Begitu Yefta melihatnya, Yefta menjadi sangat sedih sehingga ia mengoyak-ngoyak bajunya, sambil berkata, “Aduh anakku, hancurlah hatiku! Mengapakah harus kau yang menjadikan hatiku pedih? Aku telah bersumpah kepada TUHAN, dan aku tak dapat lagi menariknya kembali!” Lalu kata gadis itu kepada Yefta, “Ayah sudah bersumpah kepada TUHAN, dan TUHAN telah memperkenankan Ayah membalas kejahatan orang-orang Amon, musuh Ayah itu. Jadi, apa yang telah Ayah janjikan, hendaklah ayah jalankan.” “Hanya,” kata gadis itu selanjutnya, “saya mohon satu hal: Berilah saya waktu dua bulan untuk jalan-jalan di pegunungan bersama-sama dengan kawan-kawan saya. Di sana saya akan menangisi nasib saya, sebab saya akan meninggal semasa masih perawan.” Ayahnya mengizinkannya, lalu melepaskannya pergi. Gadis itu dan kawan-kawannya pergi ke pegunungan untuk bersedih hati di sana, karena ia akan meninggal sebelum menikah dan mempunyai anak. Setelah lewat dua bulan, ia kembali kepada ayahnya, lalu ayahnya melakukan apa yang telah dijanjikannya kepada TUHAN. Maka meninggallah gadis itu semasa masih perawan. Itulah asal mulanya mengapa di kalangan orang Israel, biasanya anak-anak gadis pergi selama empat hari setiap tahun untuk bersedih hati mengenangkan anak Yefta di Gilead.
Hakim-Hakim 11:35-40 (Alkitab versi bahasa sehari-hari)
Yefta bernazar kepada Allah adalah hal yang baik, ketika ia hendak memberikan persembahan bakaran kepada Tuhan, jika Allah memberikan kemenangan padanya. Tuhan akhirnya memberikan kemenangan besar. Yefta memberi hak kepada Tuhan untuk memilih persembahan, yaitu apa yang keluar pertama kali dari rumahnya akan dipersembahkan kepada Tuhan. Yang keluar dari rumahnya anak gadisnya semata wayang. Celakanya Yefta tidak menanyakan kehendak Tuhan lebih lanjut dan berakhir dengan matinya anak gadisnya dijadikan korban bakaran.
Dari kisah ini kita belajar tragedi akibat kurang memahami hati dan kehendak Allah secara pribadi (intim). Saya percaya Tuhan tidak menghendaki anak gadis Yefta dipersembahkan kepada Tuhan sebagai korban bakaran. Mungkin benar Tuhan menghendaki anaknya sebagai persembahan kepada Tuhan. Mungkin menjalani hidup sebagai hamba Tuhan yang mengabdi sepenuhnya bagi Tuhan seperti Samuel.
Berapa banyak tanpa kita sadari juga melakukan hal yang sama dalam membayar janji kita dihadapan Tuhan, jika kita kerjakan dengan pikiran kita sendiri tanpa menanyakan kehendak Tuhan lebih lanjut. Akibatnya kita malah mendukakan hati Tuhan dan merusak rencanya-Nya. Maksud hati mau memberi sesuatu yang istimewa kepada Tuhan, malah mengecewakan Tuhan dengan cara-cara kita sendiri tanpa tuntunan-Nya, oleh sebab kesombongan kita yang sok tau. Gbu.
(Oleh: Faith Ruddy)