TUHAN DAN BENCANA


Akhir September 2018, Indonesia disentakkan oleh bencana
alam di Sulawesi Tengah. Seluruh negeri berduka. Korban jiwa tercatat jauh
lebih banyak daripada gempa sebelumnya yang terjadi di Lombok. 

Melihat kerusakan yang masif serta kerugian yang demikian
besar, pastilah muncul banyak pertanyaan di hati kita. Salah satunya adalah
pertanyaan yang telah ada di hati manusia sejak ribuan tahun yang lalu ketika
bencana terjadi : “Mengapa, Tuhan?”

Bencana alam, apapun itu, selalu terjadi atas ijin Tuhan.
Namun ini bukan berarti Dia yang menjadi penyebab, apalagi sumber dari segala
malapetaka itu. Tidak pernah terbesit di hati-Nya sedikit saja keinginan melihat
manusia mengalami penderitaan yang besar (yang seharusnya tidak perlu terjadi)
apalagi bersuka hati melihat sejumlah besar jiwa binasa. Dia bukan Allah yang
suka mempermainkan ciptaan-Nya semena-mena demi sebuah keisengan dan hiburan
semata. Jelas itu bukan merupakan sifat-Nya. Walaupun Ia mahakuasa, tak
sedikitpun atau satu kalipun Ia menggunakan kedahsyatan-Nya demi sekedar suatu
pameran kesombongan di hadapan yang ciptaan-Nya.

Sekarang mari membahas bagian yang sukar. Meski berat
dikatakan, Alkitab berkali-kali menyiratkan pesan bahwa penyebab suatu bencana
alam terjadi adalah karena perbuatan manusia sendiri. Entah karena secara
langsung manusia ‘merusak’ keseimbangan alam atau secara rohani, mereka
melakukan dosa-dosa dan kejahatan yang telah melampaui batas kesabaran Tuhan
sehingga Ia harus menjalankan penghakiman-Nya.

Selain itu, tempat dimana suatu malapetaka terjadi
berhubungan erat dengan kejatuhan rohani mayoritas orang yang berada di wilayah
tersebut. Hal ini nampak dari kebinasaan yang dijatuhkan atas Sodom dan Gomora,
juga tulah atas seluruh Mesir (kecuali tanah Gosyen dimana umat Israel berdiam)
maupun atas bangsa Israel dan Yehuda yang mengalami penyerbuan dan penawanan ke
bangsa-bangsa asing. Bahkan perjalanan di padang gurun pun tak terlepas dari
tulah atas Israel yang sedang menuju Kanaan. Semuanya merujuk pada kejatuhan
rohani yang dalam dimana mereka sudah sampai pada posisi dan tahap menentang
Tuhan sendiri dengan kekerasan hati mereka dalam dosa.

Dan lagi-lagi, di setiap peristiwa, Tuhan tak pernah
menampik bahwa Diri-Nyalah yang mengijinkan tulah demi tulah terjadi sebagai
bentuk hajaran atau bahkan hukuman bagi orang-orang yang memilih berkeras dalam
kejahatan serta mengabaikan sama sekali keberadaan-Nya yang telah dengan segala
kerendahan hati dan kasih sayang memberikan hidup dan kebaikan atas hidup
manusia yang acap melupakan-Nya itu.

Bencana alam pertama yang dicatat dalam Alkitab merupakan
bencana yang paling kita kenal. Air bah di zaman Nuh. Dari Kejadian 6 kita tahu
mengapa bencana itu terjadi:

Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi
dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata,
maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia
di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.
Berfirmanlah TUHAN: “Aku
akan menghapuskan manusia yang telah Kuciptakan itu dari muka bumi, baik
manusia maupun hewan dan binatang-binatang melata dan burung-burung di udara,
sebab Aku menyesal, bahwa Aku telah menjadikan mereka.”
~ Kejadian 6:5-7
Dan pola serupa terus berlanjut.

Adapun orang Sodom sangat jahat dan berdosa terhadap TUHAN.
~ Kejadian 13:13
Sesudah itu berfirmanlah TUHAN: “Sesungguhnya banyak keluh kesah orang tentang
Sodom dan Gomora dan sesungguhnya sangat berat dosanya.

Baiklah Aku turun untuk melihat, apakah benar-benar mereka
telah berkelakuan seperti keluh kesah orang yang telah sampai kepada-Ku atau
tidak; Aku hendak mengetahuinya.”
~ Kejadian 18:20-21
Catatan masih terus bertambah, misalnya pada sepuluh tulah
yang menimpa Mesir, tulah atas Israel di padang gurun, perampokan dan
kemiskinan di zaman Gideon, peperangan yang terus menerus di zaman Hakim-hakim,
kelaparan tiga tahun di masa pemerintahan Daud hingga nubuatan
menunggangbalikkan Niniwe oleh nabi Yunus atau teguran nabi Yoel atas serbuan
belalang yang menggagalkan panen seluruh bangsa. Semuanya mengindikasikan ada
dosa yang dilakukan di hadapan Tuhan sehingga Ia murka dan memberikan
peringatan-Nya melalui peristiwa-peristiwa alam yang buruk.

Dari berbagai data Alkitab di atas, kita harus dengan jujur
mengakui bahwa bencana adalah alat Tuhan. Alat untuk memperingatkan. Sarana
untuk menegur dan menghajar. Tongkat hukuman bagi orang-orang yang fasik di
suatu wilayah tertentu di bumi.

Namun sebelum kita berprasangka dan mengambil sikap
menghakimi mereka yang tertimpa bencana, kita harus ingat bahwa bencana
diijinkan BUKAN SUPAYA KITA MENGGUNAKAN UNTUK MENGHAKIMI DAN MENCARI-CARI
KESALAHAN ORANG. Penghakiman adalah milik Tuhan. Sebab Dialah yang paling benar
dan paling berhak menghakimi oleh karena sifat-Nya yang adil dan penuh kasih
sehingga bahkan penghakiman-Nya pun dilakukan dalam kasih dan karena kasih. Dan
jika kita harus menghakimi, diri kita sendirilah yang harus lebih dahulu kita
hakimi dengan seksama dalam kejujuran.

Bagian kita, tatkala mengalami atau mengetahui adanya
bencana, adalah menyelidiki hati kita dan mencari tahu maksud hati Tuhan. Bukan
melihat dengan pongah sambil menudingkan telunjuk kita pada mereka yang
tertimpa bencana sebagai orang-orang berdosa. Sikap demikian justru dapat
membangkitkan murka Tuhan. Sebab siapakah yang tahu bahwa dirinya pasti bersih
dan tak bersalah di hadapan Tuhan? Bukankah kesombongan dan sikap menghakimi
juga merupakan dosa yang dibenci oleh Tuhan (karena lebih menyerupai iblis yang
suka mendakwa)? Dan, siapakah yang benar-benar tahu bahwa dirinya tidak akan
mengalami musibah di hidupnya atau di daerah dimana ia tinggal di waktu-waktu
berikutnya?

Selagi bantuan dan dukungan secara materiil terus
dialirkan, setiap orang harus merenung dan meratapi keadaan hati dan hidup kita
yang membuat Tuhan mengijinkan sesuatu yang buruk terjadi atas kita. Dalam
konteks gempa yang beberapa kali terjadi di Indonesia, anak-anak Tuhan di
wilayah yang terkena bencana perlu memeriksa diri dan menyelami hati Tuhan atas
daerah dimana mereka berada yang mengalami keadaan yang mengerikan itu. Bagi
wilayah Indonesia yang tidak terkena bencana pun harus merenung dan bertanya
kepada Tuhan, mengapa negeri kita dilawat musibah. Apakah yang membuat Tuhan
menjalankan penghakiman-Nya atas Indonesia? Adakah yang salah dengan cara kita
berhubungan dengan Dia? Mengapa seolah ibadah dan doa syafaat kita tak
berdampak? Apa yang harus kita lakukan supaya beroleh perkenan dan berkat-Nya
daripada penghajaran-Nya? Apakah hanya sedikit orang benar yang mencegah Tuhan
menghukum suatu negeri? (Yehezkiel. 30:22, Kejadian 18:23-32)

Tuhan ingin kita memeriksa diri saat tangan-Nya
menyentakkan kita dengan bencana oleh karena jalan kita didapati-Nya berada di
jalur yang salah. Seperti seorang bapa yang baik, yang menegur, menghardik,
menjewer telinga anaknya atau menghajar anaknya dengan tongkat didikan demi
masih kepada anaknya itu -sudah saatnya kita mengambil waktu di hadapan-Nya
untuk berdiam diri mendengarkan nasihat teguran, dan kerinduan hati-Nya atas
kita.

Di dalam kasih-Nya, melalui musibah yang menimpa, tanpa
kita pernah sadari dan pahami Tuhan mungkin sedang menyelamatkan kita dari
bencana yang lebih besar lagi yang mungkin terjadi di depan kita. Bagaimanapun,
hajaran-Nya adalah pukulan karena kasih karunia-Nya.

Pada hari mujur bergembiralah, tetapi pada hari malang
ingatlah, bahwa 
hari malang ini
pun dijadikan Allah 
seperti
juga hari mujur, supaya manusia tidak dapat menemukan sesuatu mengenai masa
depannya.
~ Pengkhotbah 7:14
Semua mengharapkan kemujuran dalam hidupnya. Tetapi
siapakah yang dapat menolak kemalangan? Semuanya Tuhan ijinkan supaya manusia
tidak memandang dirinya terlalu tinggi dan merasa mampu merancang kemujurannya
sendiri tanpa Tuhan. Hanya di dalam Tuhan dan dalam hubungan dengan Dia,
hari-hari mujur maupun malang menjadi kebaikan yang akan nyata indah pada
waktunya. Di tangan Sang Penenun Agung, benang-benang yang berwarna gelap
dikelindan dengan yang berwarna cerah untuk kemudian menghasilkan kain yang
penuh warna yang mahal harganya.

Hanya dengan mencari Tuhan dan melihat dalam
perspektif-Nya, kita tidak akan menjadi pahit atau sesat menyikapi suatu
bencana. Dengan meminta hikmat-Nya menolong kita maka kita akan bangkit dari
dalam debu dengan kekuatan yang baru dan sebagai manusia yang diperbarui. Yang
lebih mengasihi Tuhan, makin teguh dalam Dia, kian mantap berjalan dalam
kehendak-Nya dan tak ingin keluar dari persekutuan dengan Dia.

Jangan keraskan hati seperti Firaun. Namun datanglah kepada
Tuhan dengan membawa hati yang hancur, dalam penyesalan akan apa yang mungkin
telah menyakiti hati dan menimbulkan murka-Nya. 

Dia, yang dekat dengan orang-orang yang patah hati dan
remuk jiwanya akan memulihkan kita. Kain kabung kita akan dibukakan-Nya dan
ratapan kita segera menjadi tarian.

Sesungguhnya, berbahagialah manusia yang ditegur Allah;
sebab itu janganlah engkau menolak didikan Yang Mahakuasa.
Karena Dialah yang melukai, tetapi juga yang membebat; Dia
yang memukuli, tetapi yang tangan-Nya menyembuhkan pula.
~ Ayub 5:17-18
Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu
relakanlah hatimu dan bertobatlah!
~ Wahyu 3:19
Sebab sesaat saja Ia murka, tetapi seumur hidup Ia murah
hati; sepanjang malam ada tangisan, menjelang pagi terdengar sorak-sorai.
Aku yang meratap telah Kauubah menjadi orang yang
menari-nari, kain kabungku telah Kaubuka, pinggangku Kauikat dengan sukacita,
~ Mazmur 30:6,12
Tuhan memberkati setiap kita yang melakukan petunjuk dan
perintah-Nya!

Dalam terang Firman-Nya,
Peter B

Hamba sahaya di ladang Tuhan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *