Kesejajaran antara Yehezkiel 8 dan gereja saat ini sangat nyata. Sebagaimana penatua pada masa Yehezkiel diam-diam menjalankan penyembahan berhala, Demikian pula kita saat ini. Ada krisis kepemimpinan dalam gereja. Bukan krisis kecakapan atau teknik yang baik, melainkan krisis orang-orang yang sungguh-sungguh mengandalkan Roh Kudus. Mereka yang, di dalam hatinya yang paling tersembunyi, menolak untuk menyembah ilah asing dan sistem manusia.
Muslihat iblis tidak pernah terang-terangan. Seperti ular, diam-diam dan dengan sembunyi-sembunyi, roh agamawi dan penyesatan memasuki Bait Allah. Dengan berpura-pura melayani gereja Allah, motivasi yang campur aduk dan najis telah menginfiltrasi pelayanan. Sebagai pemimpin, kita telah menjadi pelayan gereja, bukannya pelayan Allah. Kita menyembah gambaran palsu – gambaran sukses, kerohanian, kekuasaan. Kita mengimpor ke dalam gereja dan kota kita model dan formula mutakhir untuk menjamin sukses. Melihatnya dari jauh – dari kota atau negara lain – hal-hal itu kelihatan sangat menggiurkan, sangat menjanjikan. Namun seperti fatamorgana, harapan akan ledakan pertumbuhan gereja atau transformasi kota menguap pada saat kita bergerak maju. Mengapa? karena kita menolak untuk membayar harga dengan merendahkan diri kita – atau membiarkan kekuatan kita diremukkan – program dan rencana kita – kefasihan dan kecakapan berbicara kita – musik dan talenta kita – dijadikan tidak bermakna. Kalau apa yang kita lakukan tidak dikandung di dalam rahim kelemahan kita, kita tidak akan pernah melahirkan keajaiban kuasa-Nya. Hanya ada dua pilihan: entah hal itu dilahirkan dari Allah, atau dari manusia. Tanpa mengalami kehancuran hati, setiap model baru mengakibatkan kita lebih mengandalkan kecakapan kita dalam mengorganisasi, kecakapan berkomunikasi dan berjejaring, sumber daya finansial kita, atau kreativitas musikal kita. Kalau kita mengimpor model sukses paling mutakhir ke kota kita tanpa menjalani kerendahan hati salib, kita hanya akan menyembah pada gambaran yang hampa. Seperti rasul-rasul hebat di Korintus itu, kita akan “bermegah karena hal-hal lahiriah dan bukan batiniah” (2 Kor. 5:12).
“Dan aku melihat bahwa segala jerih payah dan segala kecakapan dalam pekerjaan adalah iri hati seseorang terhadap yang lain…” (Pkh. 4:4)