YESUS YANG SEBENARNYA? (oleh John Bevere)

Sementara menyelidiki kehidupan Musa dan Abraham dalam terang takut akan Tuhan kita selanjutnya memperluas definisinya. Takut akan Tuhan meliputi kasih pada apa yang dikasihi Allah sekaligus kebencian pada apa yang Dia benci. Yang penting bagi Dia menjadi penting bagi kita. Kita menjadikan prioritas-prioritas dan keinginan-keinginan-Nya sebagai milik kita. Manifestasi dari takut akan Tuhan adalah ketaatan yang tidak tergoyahkan pada keinginan-keinginan dan kehendak Allah.

Menurut Kitab Suci, sementara kita memegang erat takut akan Tuhan, Allah datang lebih dekat. Sekali Ia ditemui secara intim, intensitas kasih kita kepada Dia bertumbuh. Kita mengasihi Allah yang sejati dan hidup, bukan sekadar suatu persepsi tentang Dia. Tanpa suatu ketakutan akan Allah yang dalam dan kekal kita hanya memiliki kasih tanpa pengenalan intim yang benar akan Dia. Kita tahu tentang Dia, tetapi tidak mengenal Dia; karena itu kasih sayang kita diarahkan pada suatu citra atas diri “Yesus” yang dibentuk di dalam imajinasi kita, bukan pada Pribadi aktual yang duduk di sebelah kanan Allah Bapa.


Itu bisa dibandingkan dengan cara para penggemar memandang para bintang Hollywood atau para atlet terkenal. Mereka mencintai citra dari para superstar ini yang digambarkan oleh media melalui wawancara-wawancara dan artikel-artikel surat kabar. Nama-nama mereka menjadi umum dalam rumah tangga kita. Saya telah mendengar para fans berbicara seakan-akan para selebriti adalah sahabat-sahabat karib. Saya telah melihat emosi-emosi mereka terlibat dalam urusan-urusan pribadi para selebriti seakan-akan mereka adalah keluarga. Namun, seandainya mereka harus bertemu secara pribadi mereka mungkin mendapati pribadi yang sesungguhnya sangat berbeda dari citra yang dipasarkan. Relasi antara para selebriti dan para fans bersifat satu arah. Seandainya mereka bertemu, akan ada sedikit titik temu, dan bahkan lebih sedikit lagi yang dapat dibicarakan karena mereka tidak benar-benar saling mengenal.

Saya telah melihat dinamika ini di dalam gereja juga. Banyak orang berbicara tentang Tuhan seakan-akan Dia sangat dekat, tetapi sementara Anda mendengarkan pembicaraan mereka, Anda menyadari mereka membicarakan Pribadi yang hanya mereka ketahui – bukan mereka kenal. Mereka mengenal kata-kata-Nya, bukan suara-Nya; perbuatan-perbuatan-Nya, tetapi bukan jalan-jalan-Nya; apa yang dahulu Ia katakan, bukan apa yang sedang dikatakan-Nya.

Sebuah contoh ekstrim dari hal ini terjadi tahun lalu. Keluarga saya dan saya sedang berlibur di Hawaii. Saya bangun pagi karena perbedaan zona waktu. Pada pagi ini saya sedang berdoa di taman, ketika seorang pria menghampiri dan mulai berbicara. Ia begitu bersemangat terhadap pulau itu, dan hampir seketika mencetuskan, “Gadis-gadis di sini mengagumkan. Mereka begitu ramah dan maju.” Ia kemudian berceloteh tentang sebuah pesta yang baru-baru ini dihadirinya dan topik-topik duniawi lainnya; selama itu pembicaraannya ditandai dengan kata-kata yang tidak senonoh.


Ia bertanya apa profesi saya dan saya memberitahukannya. Ketika ia mendengar saya adalah seorang pendeta, ia menjadi sangat tertarik dan mulai berbicara tentang Tuhan kepada saya. Ia menceritakan peranannya dalam suatu pelayanan penginjilan yang dilakukan gerejanya untuk para pengendara sepeda motor dan kemudian berbicara tentang gembalanya. Ia menceritakan bagaimana ia telah mengenal Yesus dan bahkan memberikan kepada saya sebuah traktat yang ia miliki. Kemudian ia berbicara tentang istrinya dan anak-anaknya yang masih tidur di hotel (pikiran-pikiran saya langsung beralih  pada kegairahannya terhadap gadis-gadis di pulau ini). Hati saya hancur karena ternyata pria ini percaya ia mengenal Tuhan, tetapi kehidupannya menunjukkan yang sebaliknya. Inilah sebabnya Yesus berkata kita akan mengenal orang-orang percaya dari buah mereka atau gaya hidup mereka, bukan dari kata-kata atau pelayanan-pelayanan mereka (lihat Mat. 7:20-23).

Ini hanyalah satu dari beberapa contoh yang akan saya kutip. Saya yakin Anda telah menemukan contoh-contoh yang sama dramatisnya. Dalam semua kasus ini pengenalan akan Allah dari orang-orang yang “mengaku dirinya Kristen” ini bagaikan pengenalan penggemar terhadap sang superstar. Hati saya hancur karena hal ini. Inilah orang-orang yang menginginkan keselamatan, tetapi mencintai dunia, dan meninggikan kesenangan-kesenangan, jadwal-jadwal, dan agenda-agenda mereka di atas keinginan-keinginan Allah.

Kemudian ada orang-orang yang benar-benar diselamatkan, tetapi seperti Lot mereka bersifat daging dan terjerat dalam urusan-urusan dunia. Mereka ingin melayani Allah, tetapi mereka diperbudak oleh nafsu-nafsu mereka. Mereka belum mengizinkan salib mematikan keinginan daging mereka karena mereka menolak karya penyucian Allah. Mereka tidak dengan segenap hati mencari kehendak-Nya dan kemajuan kerajaan-Nya. Sekalipun diselamatkan, mereka tidak memiliki keintiman dengan Dia. Mereka masih hidup dalam pelataran luar; dibatasi oleh tabir kedagingan mereka sendiri hingga mereka tidak dapat datang mendekat ke dalam jalan yang baru dan hidup. Mereka berada dekat hadirat-Nya, tetapi terasa begitu jauh.

Mereka yang hidup dalam pelataran luar telah gagal menyadari mengapa Ia menyelamatkan

mereka dari penindasan dunia. Mereka melewatkan panggilan agung untuk mengenal Allah secara intim. Mereka mencintai khotbah-khotbah yang berbicara tentang kasih, berkat-berkat, perlindungan, pemeliharaan, dan kelimpahan dari Allah – dan semuanya ini benar, tetapi mereka menghindari apa yang menyangkut persoalan-persoalan hati. Mereka telah memilih hal-hal yang tidak dapat memuaskan mereka, sementara melewatkan mata air dari Air Hidup yang berdiam di dalam hati mereka sendiri.

Kita harus memberitakan bahwa Allah menginginkan suatu relasi yang intim dengan kita dan


bahwa Ia kudus adanya dan tidak boleh dihina. Ia membayar harga yang sangat mahal untuk membawa kita kepada diri-Nya, bagaimana kita dapat tetap menjadi sahabat dunia ini? Yakobus memperingatkan kita sebelum ia memberikan nasihat untuk mendekat: “Tidakkah kamu tahu bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah?” (Yak. 4:4). Ia melanjutkan dengan mengatakan jika kita mencari kesukaan-kesukaan duniawi kita menjadikan diri kita musuh Allah! Ingat, ia sedang berbicara kepada orang-orang percaya. Paulus juga menggunakan istilah-istilah yang tegas: “Karena kasih karunia Allah yang membawa keselamatan telah dinyatakan kepada semua manusia, yang mengajarkan kepada kita agar, dengan meninggalkan kecemaran dan nafsu-nafsu duniawi, kita harus hidup dengan bijaksana, benar, dan saleh dalam zaman ini” (Tit. 2:11-13). Sekali lagi, inilah sebabnya Paulus memerintahkan kepada kita untuk mengerjakan keselamatan kita dengan takut dan gentar.   

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *