Oleh : Peter B, MA
Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian.
Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu.
Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat.
Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia.
Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku.
Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.
Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu.
Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”
~ Lukas 15:25-32
Tidak banyak yang tahu bahwa perumpamaan tentang anak yang hilang dalam Lukas 15, sebagaimana yang disampaikan Yesus, sesungguhnya tidak hanya berbicara tentang seorang atau satu anak yang hilang. Tetapi dua anak yang hilang.
Si bungsu adalah yang kerap dipandang sebagai anak yang hilang. Tapi sebenarnya ada dua anak yang hilang dalam kisah itu. Jika yang dimaksud sebagai “hilang” adalah tersesat jalannya dan meninggalkan persekutuan dengan bapa mereka, anak yang sulung pun sama terhilangnya dengan adiknya.
Perhatikanlah ini.
Yang satu terhilang dalam hiruk pikuk kehidupan berpesta pora, pelampiasan hawa nafsu dan berfoya-foya. Yang satu, terhilang di ladang ayahnya. Sibuk bekerja keras, membuktikan diri sebagai anak yang berbakti dan menuruti ayahnya namun bagaimanapun ia tidak mendapat perkenan sang ayah.
Anak kedua tersesat oleh akibat-akibat perbuatannya sendiri sehingga jatuh miskin, kesepian lalu hidup dalam penderitaan jasmani maupun jiwa. Anak pertama terjerat pikiran dan pandangannya sendiri, menjadi pribadi yang berkebalikan sifat dengan bapanya. Tidak saru karakter dengan orang tuanya. Ia menjadi pribadi, yang sekalipun tinggal di rumah bapanya sendiri, nyatanya tak memiliki hubungan yang baik dengan bapanya itu.
Duanya sama-sama jauh dari bapa. Sama-sama tak memiliki hubungan yang baik dan dekat dengan bapa mereka.
Anak yang satu tersesat di tengah-tengah kegelapan dan lumpur dosa. Yang satu tersesat di kediaman bapanya sendiri (gambaran bait Tuhan atau gereja).
Yang satu menghabiskan waktu dengan mengejar kesenangan dan kesemarakan dunia. Yang satu tersesat dalam berbagai perbuatan yang diklaimnya sebagai perbuatan-perbuatan baik, yang dirasanya akan membuat sang ayah bangga dan bersukacita.
Yang satu tidak suka dibebani pekerjaan di rumah bapanya, memilih menjalani hidup menurut caranya sendiri. Yang satu, meski mengerjakan tugas bapanya, ia melakukannya minim sukacita karena hatinya hanya dipenuhi ketidakrelaan dan harapan-harapan yang fokus pada diri sendiri.
Yang satu tidak mengerti hati bapanya yang ingin dikasihi lebih dari anaknya itu menyukai kecemaran dan dosa.
Yang tinggal di rumah pun gagal mengenali hati sang Bapa yang rindu akan keintiman dan kehangatan daripada anaknya itu unjuk diri setiap hari.
Kedua-duanya jauh dari bapanya. Walau yang satu tak terlihat dan yang satu terlihat setiap hari, dua-duanya jauh dari sang bapa. Sama-sama tidak memiliki hubungan yang intim, erat dan dalam dengan bapanya -sesuatu yang justru amat sangat diharapkan bapa mereka itu.
Dua-duanya sama terhilangnya.
Gambaran Dari Kita semua
Dua anak yang dikisahkan dalam perumpamaan Yesus itu sebenarnya mewakili gambaran hubungan kita semua dengan Bapa di sorga. Anda dan saya pernah termasuk (dan mungkin saja masih termasuk) sebagai salah satu dari dua anak bapa itu.
Entah kita serupa anak bungsu yang mengambil jalan kita sendiri tanpa peduli maksud hati Tuhan dalam hidup ini atau kita serupa anak sulung yang tampaknya melayani ayahandanya tapi tidak pernah mengerti dan mempunyai hati seperti bapanya. Bahkan bisa jadi peduli pun tidak. Ia hanya peduli pada usaha-usahanya sendiri.
Anak sulung sepertinya penurut dan berpihak pada ayahnya tapi jauh di dalam hatinya, ia memperjuangkan kepentingan dan kebenarannya sendiri. Ia hanya ingin membanggakan perbuatan-perbuatannya dengan harapan dengan itu semua ia dapat “membeli” pujian dari ayahnya. Ia sibuk dengan segala kegiatan untuk menunjukkan betapa giat dan kerasnya usahanya bagi kepentingan bapa tapi tidak pernah mencari tahu apakah memang itu yang diinginkan bapanya. Benar bahwa ada pekerjaan di rumah bapa dan banyak pekerjaan itu. Namun, apakah bapa menginginkan anak-anaknya hanya bekerja dan bekerja? Atau hanya melayani dan aktif dalam berbagai aktifitas keagamaan dan perbuatan-perbuatan amal? Apakah disebut bekerja bagi Bapa jika hati dan kehendak Bapa tidak pernah kita cari untuk tahu apa yang benar-benar Ia ingin kita lakukan?
Tidak heran jika di waktu-waktu kemudian, nyata bahwa pemikiran anak sulung dengan sang bapa berbeda. Mereka tidak sepikiran dan sehati, meskipun anak sulung bersikeras dialah yang benar dan telah melakukan segala sesuatu untuk menyenangkan bapanya. Jelas sekali, si sulung tidak memahami hati dan pikiran ayahnya, yang merindukan persekutuan dan pengenalan pribadi akan Dia lebih dari segala hal lainnya.
Anak sulung adalah gambaran orang-orang Kristen yang giat dalan berbagai usaha dan pelayanan. Di gereja dan organisasi sosial. Di berbagai program dan acara rohani. Sibuk dan aktif dalam berbagai kebaktian, persekutuan, jam-jam doa dan puasa dan berbagai kegiatan yang bersifat rohani. Tapi pernahkah mereka bertanya pada Tuhan apakah itu yang benar-benar Tuhan inginkan untuk mereka kerjakan?
Sementara anak bungsu bicara orang-orang duniawi dan Kristen yang menjalani hidup lama maka anak sulung adalah gambaran orang-orang Kristen agamawi.
Dari sikap si sulung, kita tahu bahwa bukan jaminan sekalipun hidup kita tidak duniawi dan tidak mengikuti hawa nafsu sudah pasti akan menjadi hidup yang berkenan di hadapan Tuhan. Anak yang sulung tiap hari berada di rumah bapanya tapi mendapat didikan serta teguran dari bapanya. Selama ini ia telah salah memahami dan menilai ayahnya. Ia gagal menangkap kemauan dan kerinduan orang tuanya itu karena sibuk dengan persangkaan dan pemikirannya sendiri tentang apa yang benar dan menyenangkan hati bapa. Begitulah jika kita giat dalam berbagai acara rohani tetapi hati kita tidak mencari serta menyelami hati Tuhan.
Bukan jaminan sekalipun kita rajin ke gereja, beribadah, suka berdoa dan berpuasa, rajin melayani di gereja, rumah sakit atau penjara itu artinya sudah berkenan di hadapan Bapa di sorga.
Seperti anak sulung, jika hati kita sibuk membenarkan diri, mengklaim diri kita sudah melakukan yang baik, sudah menjadi orang rohani, membanggakan berbagai ibadah dan kebaikan kita namun di dalam hati yang sama itu pula tiada kasih kepada Tuhan dan sesama (namun lebih banyak cinta bagi diri kita sendiri), tiada peduli akan jiwa-jiwa terhilang, tapi kerap menghakimi dan mengutuk orang lain yang masih hidup dalam dosa -maka kita sama tersesatnya dengan orang-orang yang belum mengenal Tuhan, yang tidak ingat kepada Tuhan atau hidup jauh dari Tuhan.
Kesesatan Yang Tidak Disadari Lebih Mengerikan
Sekalipun dua anak tersebut “terhilang” dan sama-sama jauh dari bapanya, ada perbedaan di antara keduanya.
Perhatikanlah.
Adegan pertobatan hanya diceritakan terjadi pada anak kedua. Tidak dikisahkan anak pertama itu bertobat dari sikap dan pandangannya itu.
Itu artinya, orang-orang yang duniawi, ketika hidup mereka digoncang Tuhan lebih mudah diingatkan betapa ia selama ini telah bersalah pada Tuhan dan bahwa yang terlebih baik adalah tinggal dan bekerja bagi Bapa sorgawi.
Tidak demikian dengan anak sulung yang sehari-hari sudah di rumah bapa. Ia tidak merasa ada kesalahan dari sikapnya. Ia merasa benar. Karena itu, pertobatan bukan sesuatu yang akan dipikirkannya
Apakah itu karena anak sulung tidak perlu bertobat dan memperbaiki sikap dan pandangannya?
Mungkinkah tindakannya itu sudah benar sehingga tidak perlu meminta maaf kepada bapanya?
Jawaban semua pertanyaan itu adalah TIDAK.
Jelas sekali sikap anak pertama itu : ia seorang yang angkuh, merasa lebih tahu dan lebih mampu menilai orang daripada bapanya; ia merasa tahu sikap terbaik terhadap adiknya yang salah jalan itu; ia berlaku kurang ajar karena dengan berani memprotes dan meragukan kebijaksanaan bapanya; ia penuh prasangka dan pikiran negatif kepada bapanya; ia merasa dirinya telah berlaku benar sehingga merasa pantas menerima penghargaan dan penghormatan dari bapaknya padahal di sisi lain, hatinya keras dan kejam, tidak ada belas kasihan bahkan ketika adiknya pulang dalam pertobatan.
Terhadap sikap semacam ini, jika kita melakukannya maka kita harus bertobat. Apalagi, jelas sekali dalam kisah itu ,sang bapa berkata bahwa pikiran anak pertamanya ini keliru!
Jadi, mengapa tidak dikisahkan anak sulung ini bertobat?
Sebab demikianlah adanya sikap orang-orang yang seperti anak sulung ini. Sulit bertobat. Tidak mau bertobat karena merasa tidak perlu bertobat. Merasa sudah cukup baik, telah cukup rohani, tidak merasa ada yang harus diperbaiki dan dibenahi. Ia memandang tidak perlu merendahkan diri di hadapan Tuhan.
Masalahnya, adakah manusia yang tidak perlu bertobat?
Adakah orang yang sudah memenuhi ukuran pertobatan sepenuh-penuhnya?
Yang sudah mencapai target atau ukuran kehendak Tuhan secara sempurna?
Yang berpikir tidak usah lagi merendahkan diri lagi di hadapan Tuhan?
Hanya ada satu manusia yang tidak perlu bertobat. Yesus Kristus!
Meski begitu, Ia yang tidak perlu bertobat itu TIDAK SEGAN MERENDAHKAN DIRI berkali-kali banyaknya (lihat Filipi 2:5-8)
Betapa sombongnya kita manusia lemah yang bahkan tidak tahu jika kita telah terjerat dosa ini namun acap menolak untuk merendahkan diri dan bertobat!
Adakah yang dengan perbuatan baik dan kebenaran hidupnya sendiri merasa layak di hadapan Tuhan dan tidak perlu kasih karunia-Nya?
Jika ada yang merasa tidak membutuhkan kasih karunia Tuhan, maka Tuhan pun tidak akan “memaksa” untuk memberikannya pada orang-orang yang semacam itu.
Takkan mengejutkan jika kelak kita tidak menemukan orang-orang yang rajin beribadah di gereja atau bahkan pendeta-pendeta terkenal ada di Kerajaan Sorga! (lihat Matius 7:21-23)
Jangan terbilang dalam salah satu golongan dari anak-anak yang hilang.
Biarlah kita tinggal di rumah Bapa sambil menikmati hubungan serta persekutuan yang intim dan hangat dengan Dia. Lalu dengan sukacita mengabdikan diri untuk hidup bagi pekerjaan dan agenda-agenda-Nya.
Biarlah seluruh hidup kita menyenangkan hati Tuhan. Dengan secara sukarela dan sukacita menyerahkan diri untuk turut bekerja di ladang-Nya, menyelesaikan apa yang ditugaskan pada kita selama tahun-tahun kehidupan kita di dunia ini.
Mari kita membuat hati Tuhan senantiasa penuh sukacita karena melihat kehidupan kita yang dijalani dengan semangat pertobatan. Yang melalui pertobatan dan perubahan hidup kita, lebih banyak lagi orang yang ditobatkan dan semakin melimpahkan lagi sukacita di Kerajaan Sorga dan tentunya, di hati Bapa kita di sorga.
Jadilah anak² kesayangan dan terkasih-Nya.
Maukah Anda?
Salam Revival
Tuhan Yesus memberkati kita semua